• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres Akulturasi Mahasiswa Papua yang Menjalani Perkuliahan di Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Stres Akulturasi Mahasiswa Papua yang Menjalani Perkuliahan di Universitas Sumatera Utara"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akulturasi

Akulturasi mengacu pada perubahan yang terjadi dalam identitas, nilai,

perilaku, dan sikap-sikap melalui kontak dengan kultur yang lain (Berry 1990;

Berry et al., 1987 dalam Liebkind, 1996 ).

Berdasarkan kamus psikologi (Colman, 2001 dalam Andiyasari, 2005),

akulturasi didefinisikan sebagai “ the process of assimilating the ideas, beliefs,

customs, value, and knowledge of another culture through direct contact with it,

usually after migration from one place to another”.

Menurut Berry, Trimble, & Olmedo dalam Berry 2002, akulturasi

dipelajari karena dua alasan; pertama, untuk mengendalikan perubahan karena

pengalaman-pengalaman kultural dan sosial; kedua, akulturasi dipelajari sebagai

fenomena psikologi yang muncul akibat perpaduan dua kultur.

Social Science Research Council (1954 dalam Berry, 2002)

mendefinisikan akulturasi sebagai “Culture change that is initiated by the

conjuction of two or more autonomous cultural systems. Acculturative change

may be the consequence of direct cultural transmission: it may be derived from

non-cultural causes, such as ecological or demographic modification induced by

an impinging culture; it may be delayed, as with internal adjustments following

upon the acceptance of alien traits or patterns; or it may be a reactive adaptation

of traditional models of life”.

Berdasarkan definisi diatas, akulturasi dapat meliputi perubahan yang

(2)

ditunda (karena dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian internal yang membutuhkan

waktu untuk penyesuaian karakter psikologi dan kultural), dan dapat bersifat

reaktif (contohnya, menolak pengaruh kultural dan menjadi lebih etnosentris)

(Berry, 2002).

Peneliti-peneliti lebih banyak mendasari penelitian mereka tentang

akulturasi berdasarkan konteks budaya (level kultural), dalam psikologi lintas

budaya. Secara lebih luas lagi, peneliti akan lebih mudah memahami, dalam

istilah etnographic, kedua kultur yang saling kontak jika mereka memahami

individu-individunya juga (level psikological), sehingga dapat terjadi

keterhubungan yang jelas antara akulturasi dari kelompok individu dan

psychological acculturation dari individu tersebut (Berry, 2001 dalam Chun,

Organista, dan Marin, 2002).

Graves (1967 dalam Berry, 2002) menyatakan bahwa psychological

acculturation mengacu kepada perubahan yang terjadi pada seorang individu

akibat keterlibatannya dalam situasi kontak budaya – seseorang yang dipengaruhi

secara langsung oleh kultur eksternal dan oleh perubahan budaya dimana individu

tersebut menjadi anggotanya.

Ada dua alasan mengapa kedua level ini berbeda. Pertama, adanya

tuntutan terhadap prilaku individu agar berinteraksi sesuai dengan konteks

budaya. Kedua, tidak setiap individu yang masuk ke dalam situasi akulturasi,

berpartisipasi atau berubah dengan cara yang sama; perbedaan-perbedaan

individual tetap ada, bahkan jika individu-individu tersebut hidup dalam kondisi

(3)

Kerangka berpikir yang menggambarkan dan menghubungkan budaya

dengan psychological acculturation serta mengidentifikasi dua (atau lebih)

kelompok yang saling kontak diperlihatkan dalam gambar berikut ini, berdasarkan

teori Berry (2006).

Level Budaya (Kelompok) LevelPsikologis (Individu)

Gambar 1. Kerangka berpikir untuk memahami akulturasi – level kultural dan psikologis

Pada level kultural (bagian kiri), dibutuhkan pemahaman tentang kedua

kelompok kultur A dan B terutama kontak-kontak yang terjadi, sifat-sifat dari

hubungan kontak tersebut, dan hasil-hasil dari perubahan kultural pada kedua

kelompok selama proses akulturasi.

Pada level individual (bagian kanan), yang harus dipertimbangkan adalah

perubahan-perubahan psikologis dari individu-individu pada kedua kelompok dan

(4)

akibat-akibat yang terjadi pada situasi baru. Perubahan-perubahan ini dapat

berupa perubahan perilaku yang terlihat (contoh, cara berbicara, berpakaian atau

makanan) atau dapat juga muncul dalam bentuk yang lebih problematik,

menciptakan acculturative stress sebagai manifestasi dari ketidakpastian,

kecemasan, dan depresi (Al-Issa & Tosignant, 1997 dalam Berry, 2006). Adaptasi

dapat terjadi secara internal atau psikologis (contohnya, adaptasi yang

menyebabkan rasa well-being atau self-esteem) atau sosiokultural (contohnya,

adaptasi yang menghubungkan individu dengan yang lain pada komunitas baru)

(Searle & Ward, 1990 dalam Berry, 2006).

Baik individu maupun kelompok terikat dengan proses akulturasi dengan

cara-cara yang berlainan. Strategi yang mana yang digunakan tergantung pada

variasi dari faktor-faktor antesenden ( kultural dan psikologis). Strategi-strategi ini

terdiri dari dua komponen yang saling berhubungan; sikap dan prilaku yang

ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari (Berry, 2002).

Pada awalnya, strategi-strategi tersebut diistilahkan dengan modes of

acculturation atau variasi-variasi akulturasi, sementara komponen sikap disebut

dengan relational attitudes dan selanjutnya disebut dengan acculturation attitudes

(Berry, 2002), dan indikator-indikator perilaku digunakan untuk memvalidasi

preferensi. Sudah pasti, jarang ada yang cocok secara tepat antara apa yang

seorang individu suka dan cari (sikap-sikap) dengan apa yang sebenarnya yang

dapat dilakukan seseorang (perilaku). Meskipun demikian sering juga terjadi

korelasi positif yang signifikan antara sikap-sikap akulturasi dan perilaku (Berry,

(5)

Konsep strategi akulturasi dapat dijelaskan pada Gambar 1. Pada level

kultural, kedua kelompok yang melakukan kontak (dominan atau tidak dominan)

kadang mempunyai dugaan terhadap apa yang mereka coba lakukan (contohnya,

motivasi untuk migrasi) atau apa yang dilakukan terhadap mereka (Berry, 2006).

Pada level individual, perubahan perilaku dan fenomena acculturative

stress diketahui menjadi sebuah fungsi, sekurang-kurangnya pada beberapa

tingkatan. Apa yang individu coba lakukan selama akulturasi kadang berhubungan

dengan tujuan strategi yang dipilih oleh kelompok, dimana mereka menjadi

anggotanya (Berry, 2001 dalam Chun, Oraganista, & Marin, 2002).

2.2 Strategi akulturasi

Berdasarkan (Berry, 2005 dalam Jamhur, dkk., 2015), strategi akulturasi

terdiri dari empat bagian, antara lain :

a. Asimilation strategy terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan

memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan budaya

lain.

b. Separation strategy terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai

yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan menghindari

berinteraksi dengan yang lain.

c. Integration strategy terwujud ketika seseorang memiliki ketertarikan

untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian dengan

kelompok lain. Menurut John W. Berry, integritas kultural yang telah terwujud

memiliki beberapa kualitas (kualitasnya tidak sama). orang yang berbeda pada

(6)

etnokultural tertentu) dan juga mencoba untuk berpartisipasi (sebagai bagian

integral dari jaringan kelompok sosial yang lebih besar).

d. Marginalization strategy terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara

budaya aslinya dan kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok lain sangat

kecil. Menurut John W. Berry, strategi marginalisasi bisa terjadi karena hal itu

merupakan pilihan yang secara sadar dibuat oleh seseorang, dan hal itu juga bisa

terjadi sebagai akibat dari kegagalannya mencoba strategi asimilasi.

2.3 Stres

2.3.1 Definisi stres

Menurut Lazarus (1984), stres adalah suatu kondisi atau perasaan

yang dialami ketika seseorang menganggap bahwa tuntutan-tuntutan

melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu dikerahkan

seseorang. Seseorang hanya merasa sedikit stres jika dia memiliki waktu

dan sumber daya yang cukup untuk menangani sebuah situasi. Namun,

jika seseorang menganggap dirinya tidak mampu menangani

tuntutan-tuntutan yang dibebankan kepadanya, stres yang dirasakan akan lebih

besar (Manktelow, 2009 dalam Suganda, 2013).

Stres juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan

keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan di mana

untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang

(Robbins, 2001 dalam Suganda, 2013). Sedangkan menurut Hans Selye,

stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap apapun permintaan

(7)

Istilah stres digunakan untuk menunjukkan adanya suatu reaksi

tubuh yang dipaksa, di mana hal tersebut mengganggu equilibrium

(homeostasis) fisiologi normal (Julie, 2005 dalam Suganda, 2013).

Menurut Greenberg (1984), stres diungkapkan sebagai reaksi fisik, mental,

dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan,

membahayakan, dan merisaukan seseorang (Yosep, 2007 dalam Suganda,

2013). Definisi lain menyebutkan bahwa stres merupakan

ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi mental, fisik,

emosional, dan spiritual manusia, yang ada pada suatu saat dapat

mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Hardjana, 1994 dalam

Suganda, 2013).

2.3.2 unsur-unsur stres

Sebagai bagian dari pengalaman hidup, stres merupakan hal yang

rumit dan kompleks. Oleh karena itu stres dapat dilihat dari berbagai sudut

pandang yang berbeda. Dalam peristiwa stres, ada tiga hal yang saling

berkaitan, yaitu:

a. Hal, peristiwa, orang, keadaan yang menjadi sumber stres

(stressor)

Hal yang menjadi sumber stres bisa berupa bencana alam,

lingkungan kerja yang berat, tempat tinggal yang tidak sehat

ataupun suatu peristiwa dalam kehidupan yang berhubungan

(8)

b. Orang yang mengalami stres (the stressed)

Dari segi orang yang mengalami stres, pemusatan perhatian

tergantung pada tanggapan (response) seseorang terhadap hal-hal

yang dinilai mendatangkan stres. Tanggapan itu disebut strain,

yaitu tekanan atau ketegangan dan hal tersebut dapat menimbulkan

gejala secara psikologis dan fisiologis.

c. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang

menjadi penyebab stres (transactions)

Hubungan antara orang yang mengalami stres dan keadaan

yang penuh stres merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut,

hal yang mendatangkan stres dalam pengalaman orang yang

terkena stres saling berkaitan. Stres yang dialami setiap orang

berbeda-beda dan cara menghadapinya juga berbeda-beda sesuai

dengan kemampuan orang tersebut (Hardjana, 1994 dalam

Suganda, 2013).

2.3.3 Penyebab stres

Stres adalah kumpulan hasil, respon, jalan, dan pengalaman yang

berkaitan, yang disebabkan oleh sebagai stresor (Manktelow, 2009 dalam

Suganda, 2013). Stres terbentuk dari berbagai hal yang bisa berasal dari

dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Stres terjadi apabila stresor tersebut

dirasakan dan dipersepsikan sebagai ancaman sehingga menimbulkan

kecemasan yang merupakan awal dari gangguan kesehatan fisik dan

(9)

perilaku (Gunawan, 2007 dalam Suganda, 2013). Menurut Rasmund

(2004)(dalam Suganda, 2013), beberapa jenis stresor adalah sebagai

berikut :

a. Stresor biologik

Stresor biologik dapat berupa bakteri, virus, hewan,

binatang, tumbuhan, dan berbagai macam makhluk hidup yang

dapat mempengaruhi kesehatan. Tumbuhnya jerawat, demam, dan

digigit binatang dipersepsikan dapat menjadi stresor dan

mengancam konsep dari individu.

b. Stresor fisik

Stresor fisik dapat berupa perubahan iklim, suhu, cuaca,

geografi, dan alam. Letak tempat tinggal, demografi, jumlah

anggota dalam keluarga, nutrisi, radiasi, kepadatan penduduk,

migrasi, dan kebisingan.

c. Stresor kimia

Stresor kimia dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh.

Contoh stresor yang berasal dari dalam tubuh adalah serum darah

dan glukosa sedangkan stresor yang berasal dari luar tubuh

misalnya obat, alkohol, nikotin, kafein, polusi udara, gas beracun,

insektisida, pencemaran lingkungan, bahan-bahan kosmetika,

(10)

d. Stresor sosial dan psikologik

Stresor sosial dan psikologik misalnya rasa tidak puas

terhadap diri sendiri, kekejaman, rendah diri, emosi yan negatif,

dan kehamilan.

e. Stresor spiritual

Stresor spiritual yaitu adanya pesepsi negatif terhadap

nilai-nilai ke-Tuhanan (Carolin, 2010).

2.3.4 Klasifikasi stres

Menurut Rice (1999)(dalam Suganda, 2013), berdasarkan

etiologinya stres dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Stres kepribadian (Personality Stress)

Stres kepribadian adalah stres yang dipicu oleh masalah dari

dalam diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandanga pada

masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu bersikap

positif akan memiliki risiko yang kecil terkena stres kepribadian.

2) Stres psikososial (Psychosocial Stres)

Stres psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan

dengan orang lain di sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya.

Contohnya stres ketika menghadapi lingkungan baru, masalah

keluarga, sres macet dijalan raya dan lain-lain.

3) Stres bio-ekologi (Bio-Ecological Stress)

Stres bio-ekologi adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal

(11)

cuaca. Sedangkan hal yang kedua adalah kondisi biologis seperti

menstruasi, demam, asma, jerawatan, dan lain-lain.

4) Stres pekerjaan (Job Stress)

Stres pekerjaan adalah stres yang dipicu oleh pekerjaan

seseorang. Persaingan di kantor, tekanan pekerjaan, terlalu banyak

pekerjaan, target yang terlalu tinggi, usaha yang diberikan tidak

berhasil, persaingan bisnis adalah beberapa hal umum yang dapat

memicu munculnya stres akibat karir pekerjaan.

5) Stres mahasiswa (College Student Stress)

Stres mahasiswa itu dipicu oleh dunia perkuliahan. Sewaktu

perkuliahan terdapat tiga kelompok stresor yaitu dari segi personal

dan sosial, gaya hidup dan budaya, serta stresor yang dicetuskan

oleh faktor akademis kuliah itu sendiri (Pin, 2011).

Menurut Selye (1979) dalam Suganda, 2013, berdasarkan persepsi

individu terhadap stres yang dialaminya, stres dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1) Distress (Stres Negatif)

Distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak

menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana

individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah

sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,

(12)

2) Eustress (Stres Positif)

Eustress merupakan stres yang bersifat menyenangkan dan

merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustress dapat

meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan

performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi

individu untuk menciptakan sesuatu.

2.4 Stres akulturasi

Individu yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian terhadap budaya

atau kultur baru dapat dikatakan mengalami acculturative stress. Definisi

acculturative stress menurut Dressler & Bernal (1982 dalam Sodowsky &

Maestas, 2000) :“When an individual’s adaptive resources are insufficient to

support adjustment to a new cultural environment”.

Sebuah kerangka berpikir untuk memahami acculturative stress diperlihatkan

pada gambar berikut ini berdasarkan teori acculturative stress J. W. Berry (1987

dalam Berry, dkk., 1999).

Gambar 2. Hubungan antara akulturasi dengan stres, ketika dimodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

Faktor-faktor perantara dari hubungan antara akulturasi dan stres :

Bentuk akulturasi : Integrasi, Asimilasi, Separasi, Marginalisasi Fase akulturasi : Kontak, Konflik, Krisis, Adaptasi

Karakter masyarakat dominan : Multikultural vs Asimilasi, Prasangka vs Diskriminasi Karakteristik kelompok yang berakulturasi : Umur, status, dukungan sosial

(13)

Pada bagian kiri Gambar 2, akulturasi dapat terjadi karena situasi tertentu

(misal, migrasi atau penyesuaian dengan penduduk asli). Pengalaman individu

pada perubahan-perubahan tersebut bervariasi dalam berbagai tingkatan dari

sangat banyak hingga sedikit sekali (Berry, dkk, 1999).

Pada bagian tengah Gambar 2, stressor mungkin akan muncul sebagai

hasil dari pengalaman akulturasi yang bervariasi tersebut. Pada beberapa orang,

perubahan-perubahan akulturasi yang terjadi mungkin menjadi stressor, namun

pada yang lain, sebaliknya merupakan peluang (Berry, dkk, 1999).

Pada bagian kanan Gambar 2, bervariasinya level acculturative stress

merupakan hasil dari pengalaman akulturasi dan stressor-stressor. Variasi

acculturative stress ini bisa terjadi dari sangat tinggi hingga rendah (Berry, dkk,

1999).

Hal penting yang perlu diketahui dalam hubungan antara ketiga konsep ini

(pengalaman akulturasi, stressor, dan acculturative stress), ketiganya tergantung

pada sejumlah faktor-faktor perantara, termasuk diantaranya karakter dari

kelompok dominan, tipe dari akulturasi yang dilakukan kelompok minoritas,

bentuk-bentuk akulturasi yang dialami, dan sejumlah data demografi, sosial dan

karakteristik psikologis dari kelompok dan anggota kelompok (Berry, dkk, 1999).

Masing-masing dari faktor-faktor ini dapat mempengaruhi tingkat dan arah

hubungan pada tiga konsep tersebut. Faktor-faktor perantara ini dipandang

sebagai sumber dari variasi pada kedua level, baik kelompok dan individu (Berry,

(14)

Hasil penelitian acculturative stress bervariasi secara luas. Pandangan

awal menyatakan bahwa kontak dan perubahan yang tidak dapat dihindari akan

menyebabkan stres. Bagaimanapun, sesuai kerangka pemikiran Berry, stres

dengan akulturasi berkaitan secara probabilistik, dan level stres yang dialami

tergantung dari sejumlah faktor (Berry, dkk, 1999).

Faktor pertama yang menyebabkan acculturative stress adalah strategi

akulturasi individu. Mereka yang merasa marjinal cenderung memiliki stres yang

lebih tinggi, dan mereka yang memilih separasi terkadang hampir selalu

mengalami stres, sebaliknya mereka yang mengikuti level akulturasi integrasi

mengalami stres yang minimal, sementara asimilasi berada pada level tengah dari

stres (Berry, dkk, 1999).

Fase akulturasi juga penting; mereka yang mengalami kontak pertama kali,

dan mereka yang telah melalui adaptasi jangka panjang cenderung lebih rendah

stres-nya dibandingkan mereka yang berada dalam fase konflik atau krisis, secara

khusus, termasuk juga yang merasakan termarginalisasi mengalami stres yang

lebih tinggi (Berry, dkk, 1999).

Faktor-faktor perantara yang lain adalah bagaimana kelompok dominan

menggunakan pengaruh-pengaruh pada proses akulturasi. Sebuah perbedaan

penting adalah tingkat pluralisme dalam masyarakat (Murphy, 1965 dalam Berry,

1987). Masyarakat plural, merupakan kebalikan dari masyarakat yang

monokultural yang dicirikan oleh dua faktor penting: pertama, ketersediaan

(15)

masuk ke dalam pengalaman akulturasi; kedua, toleransi yang cukup besar, atau

penerimaan, pada perbedaan-perbedaan kultur (Berry, 1987).

Satu hal yang cukup penting diketahui, individu yang berakulturasi pada

masyarakat multikultural cenderung lebih rendah stresnya dibanding individu

yang berakulturasi pada masyarakat monokultural yang menekankan asimilasi

(Berry et al., 1987).

Masyarakat yang menekankan asimilasi, memiliki sejumlah faktor yang

menimbulkan acculturative stress yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat

yang pluralis. Jika seseorang individu secara rutin menerima ‘pesan’ bahwa

budaya, bahasa, dan identitasnya tidak diterima, pengaruh sense of security dan

self-esteem pada individu tersebut akan menjadi negatif. Jika pada seseorang

dikatakan ‘ongkos’ untuk berpartisipasi pada masyarakat yang lebih dominan

tidak lagi menjadi hal yang harus ditumbuh-kembangkan dalam diri sendiri, maka

konflik-konflik psikologis akan meningkat (Berry et al., 1987).

Jika, secara kolektif, sebuah kelompok hanya memiliki satu pilihan saja

yang ditentukan oleh masyarakat yang dominan, maka potensi untuk terjadinya

konflik-konflik sosial akan semakin tajam. Sebagai hasilnya kebijakan asimilasi

dan praktek-praktek lain yang menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas

secara beralasan memiliki hubungan dengan acculturative stress yang lebih tinggi

saat dibandingkan dengan kebijakan integrasi (Berry et al., 1987).

Faktor lain yang berkaitan secara paradoks adalah apabila terdapat

kebijakan yang dirancang untuk menolak kelompok yang melakukan akulturasi

(16)

tindakan diskriminasi. Jika individu yang berakulturasi ingin berpartisipasi dalam

hal-hal khusus yang ada pada masyarakat (misal, memperoleh kesehatan, hak-hak

politik) tetapi ditolak karena kebijakan tertentu, maka penolakan ini dapat

mengakibatkan acculturative stress (Berry et al., 1987).

Variabel-variabel sosial lain mengacu pada penerimaan atau prestise dari

kelompok yang berakulturasi dalam masyarakat, beberapa kelompok ras, etnisitas,

dan agama lebih dapat diterima dari kelompok yang lainnya. Mereka yang kurang

dapat diterima merasa dihambat (misal, muncul prasangka, diskriminasi,

penolakan) yang dapat mengarah pada marginalisasi kelompok sehingga

menciptakan stres yang lebih besar lagi (Berry et al., 1987).

Semua faktor sosial ini, berbagai faktor psikologis berperan pada status

kesehatan mental pada orang-orang yang mengalami akulturasi, sekali lagi perlu

dibedakan antara karakteristik yang ada sebelum terjadinya kontak dan

karakteristik yang dikembangkan selama proses akulturasi.

Pengalaman-pengalaman tertentu dapat mempengaruhi satu karakteristik untuk berfungsi lebih

efektif dibawah tekanan akulturasi. Termasuk dalam halini adalah: pengetahuan

sebelumnya akan bahasa dan kultur baru, pertemuan antarbudaya sebelumnya

dalam bentuk apapun, motif kontak (kontak sukarela vs kontak tidak sukarela),

dan sikap terhadap kontak (yang dapat berada dalam jangkauan positif ke negatif)

(Berry et al., 1987).

Pengalaman kontak juga dapat menyebabkan variasi dalam acculturative

stress. Apakah mereka senang atau tidak senang, apakah mereka memenuhi

(17)

dipandang positif atau tidak dapat menentukan tahapan berikutnya dan

mempengaruhi kesehatan mental seseorang (Berry et al., 1987).

Diantara faktor-faktor yang timbul selama akulturasi, adalah berbagai

strategi akulturasi: seperti yang disebutkan sebelumnya, individu-individu di

dalam satu kolompok berbeda di dalam preferensi untuk berasimilasi,

berintegrasi, atau memisahkan diri. Variasi-variasi ini ditambah pengalaman

marginalisasi diketahui mempengaruhi kesehatan mental seseorang (Berry et al.,

1987).

Hasil penelitian acculturative stress diketahui berakibat pada tingkat

personal. Salah satunya adalah dampak acculturative stress terhadap menurunnya

kesehatan (fisik, sosial, dan psikologis). Tingkat motivasi yang menurun, perasaan

terasing, penyimpangan sosial yang meningkat.Pada tingakat

komunitas/masyarakat terdapat hal-hal yang berhubungan secara langsung, misal,

meningkatnya biaya kesehatan, pencapaian edukasi dan kerja lebih rendah,

konflik sosial yang meningkat, substance abuse, tindakan kriminal pada

umumnya (Berry et al., 1987).

Jelasnya, dengan hasil yang disebutkan tadi, kebijakan yang mencoba

menghindari atau setidaknya mengendalikan tingkat acculturative stress yang

tinggi lebih disukai dibandingkan dengan kebijakan yang meningkatkan

acculturative stress (Berry et al., 1987).

Keinginan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang lebih luas, atau

keinginan akan pertahanan kultural harus jelas dibedakan, jika hal tersebut tidak

(18)

serius dari individu-individu yang berakulturasi. Kebijakan-kebijakan atau

sikap-sikap dalam masyarakat yang lebih luas yang mendiskriminasikan (tidak

mengijinkan partisipasi, dan mengarah kepada marginalisasi atau segregasi). Atau

asimilationists(mengarah kepada hilangnya kultur yang dipaksakan) adalah

prediktor-prediktor masalah psikologis (Berry et al., 1987).

Acculturative stress merupakan konsekuensi akulturasi yang mungkin

terjadi, tetapi probabilitas terjadinya dapat berkurang secara signifikan jika

partisipasi di dalam masyarakat lebih luas dan pertahanan kultur yang diwariskan

disambut oleh kebijakan dan praktek dalam masyarakat yang lebih luas (Berry et

al., 1987).

Acculturative stres pada etnis minoritas karena migrasi yang diadaptasikan

oleh Liebkind (1996) yang merupakan modifikasi dari teori acculturative stress

Berry (1992) dan Beiser (1991) berasumsi bahwa sikap-sikap akulturasi dan

tingkat akulturasi memiliki pengaruh yang berbeda pada acculturative stress.

Akulturasi diasumsikan menyebabkan gejala stres secara berbeda, tergantung dari

apakah hal tersebut didefinisikan sebagai perubahan-perubahan dalam nilai-nilai

budaya (tingkat akulturasi), tingkah laku atau orientasi bersikap pada budaya

sendiri dan dominan, atau pilihan pada identitas etnis.

Definisi sikap-sikap akulturasi menurut Berry (Berry et al., 1987 dalam

Liebkind, 1996) :“The ways in which the ethnic or cultural minority whises to

related to the dominant group”.

Sam dan Berry (1993 dalam Liebkind, 1996), menemukan hubungan yang

(19)

remaja-remaja imigran dari dunia ketiga di Norwegia. Berry (1990 Liebkind, 1996)

menekankan bahwa akulturasi mungkin tidak setara (uneven), tergantung pada

domain dari perilaku dan kehidupan sosial; sebagai contoh, seseorang mungkin

memilih akulturasi asimilasi dalam ekonomi (dalam bekerja) tetapi akulturasi

integrasi dalam bahasa (dengan cara menjadi bilingual) (Liebkind, 1996).

Hubungan antara pengalaman akulturasi individu yang senyatanya terjadi

dan hasil-hasilnya pada acculturative stress tergantung pada variasi faktor-faktor

perantara, termasuk kondisi dari komunitas dominan. Terdapat pendapat dan

bukti-bukti yang mengaitkan masalah kesehatan mental mungkin berkurang pada

imigran dan pendatang yang berada di negara dengan ideologi multikultural

(toleransi atas kehadiran perbedaan budaya) dari pada negara dengan ideologi

asimilasi (menekan pada standar budaya yang tunggal) (Berry et al., 1987).

Diasumsikan bahwa prasangka dan diskriminasi dari komunitas yang dominan

akan menyebabkan stressor yang kuat terhadap akulturasi (Liebkind, 1996).

Gender dan generasi memegang peran penting. Generasi yang lebih muda

memiliki sikap yang lebih negatif terhadap budaya mereka sendiri dibandingkan

generasi sebelumnya. Jenis kelamin laki-laki pada kedua generasi memiliki sikap

akulturasi yang lebih positif dari pada perempuan. Dewasa kurang berakulturasi

dibandingkan remaja. Kelompok yang berakulturasinya paling akhir adalah

perempuan dewasa, khususnya bila menyangkut tingkat ekonomi dan kebebasan

memilih (Liebkind, 1996).

Sikap-sikap akulturasi dan tingkat akulturasi memberikan pengaruh

(20)

secara lebih baik hanya pada perempuan dewasa. Pada kelompok yang lain,

pengalaman akulturasi dan tingkat akulturasi merupakan prediktor yang lebih

baik. Termasuk juga konteks sosial merupakan prediktor yang signifikan bagi

acculturative stress. Sikap-sikap negatif dan populasi dominan, terlihat jelas pada

pengalaman prasangka dan diskriminasi, merupakan prediktor yang signifikan

pada gejala stres dewasa pria (Liebkind, 1996).

Penelitian Liebkind (1996) juga menemukan bahwa semakin muda

generasi mengadopsi budaya baru, semakin tinggi gejala kecemasan dan

depresinya. Dalam penelitian lain yang menyangkut akulturasi, dewasa

perempuan termasuk kelompok yang paling banyak mengalami distress (Berry,

1990; Berry et al., 1987 dalam Liebkind, 1996).

Meskipun laki-laki dilaporkan memiliki gejala stres yang lebih rendah dari

pada perempuan, laki-laki mengalami pengaruh budaya yang lebih lama dan

mempunyai pengalaman akulturasi yang negatif dalam hal prasangka dan

diskriminasi diketahui memiliki gejala kecemasan yang secara signifikan lebih

tinggi dari yang lain. Memiliki orientasi yang kuat kepada budaya yang dominan

dan mengalami prasangka serta diskriminasi mungkin menyebabkan laki-laki

menjadi lebih mudah frustasi dibandingkan perempuan (Liebkind, 1996).

Pengalaman traumatik pada premigration mempunyai pengaruh yang lebih

sedikit pada gejala stres dibandingkan kejadian-kejadian yang dialami pada saat

postmigration. Hal ini menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian sebelumnya

yang memperlihatkan bahwa apa yang terjadi pada orang setelah mereka

(21)

yang lebih kuat pada kesehatan mental dari pada yang dialami sebelumnya

(Beiser, 1991 dalam Liebkind, 1996).

2.4.1 Stres Akulturasi yang dihadapi oleh Mahasiswa

Berdasarkan model akulturasi oleh Arends-toth dan Viver (2006), Berry

(1997, 2006), Ward et al (2001) dalam Jamhur, dkk., 2015, stres akulturasi yang

dihadapi oleh mahasiswa adalah sebagai berikut :

a) Bahasa

Sebuah stresor akulturasi utama yang dihadapi oleh mahasiswa

adalah hambatan bahasa. Kecemasan bahasa adalah stresor yang

berinteraksi dengan stres lainnya di kedua domain akademik dan sosial

budaya. Dalam domai akademik, hambatan bahasa dapat berdampak pada

penyelesaian tugas, pemahaman kuliah, ujian lisan dan tulisan, dan

kemampuan untuk mengajukan pertanyaan di kelas. Sedangkan di dalam

domain sosial budaya, bahasa dapat menghambat upaya mahasiswa untuk

berinteraksi dengan teman-teman dan dengan penduduk setempat.

b) Pendidikan

Stres akademik kemungkinan diintensifkan karena adanya stres

terhadap kecemasan bahasa dan beradaptasi dengan ligkungan pendidikan

yang baru. Stres akademik juga ditemukan menjadi bagian yang signifikan

dari stres kehidupan. Kontribusi lain yang menyebabkan terjadinya stres

akulturasi bagi mahasiswa adalah adanya ketidakcocokan dalam harapan

akademis mereka dengan realitas kehidupan di universitas. Mahasiswa

(22)

kinerja akademis mereka mungkin di bawah ekspektasi mereka karena

stres akulturatif dalam belajar bahasa dan beradaptasi dengan pendidikan

baru, budaya, dan lingkungan sosial. Kemudian juga adanya

ketidakcocokan dalam harapan mengenai kualitas dan efisiensi pelayanan

yang disediakan oleh lembaga penelitian, kesulitan dalam menyesuaikan

diri dengan gaya mengajar dari tuan rumah.

c) Sosial budaya

Selain terjadi dalam domain pendidikan, stres akulturasi juga

terjadi disaat mahasiswa membangun jaringan sosial baru setelah

meninggalkan teman-teman dan keluarga mereka. Mahasiswa imigran

mungkin mengalami kesulitan dalam hal berteman dan berinteraksi dengan

penduduk tuan rumah. Kesulitan membentuk persahabatan dengan

penduduk setempat dapat diperparah oleh ketidaktertarikan mahasiswa

dalam memulai persahabatan dengan penduduk tuan rumah.

d) Diskriminasi

Diskriminasi juga tercatat sebagai potensi terjadinya stres

akulturasi. Diskriminasi yang signifikan mulai dari perasaan rendah diri,

penghinaan lisan, diskriminasi saat mencari pekerjaan, dan serangan fisik.

Pengalaman diskriminasi dapat berdampak negatif pada mahasiswa yang

dikaitkan dengan miskin kesejahteraan psikologis dan depresi.

e) Gaya hidup

Selain stres pendidikan dan sosial budaya, mahasiswa juga

(23)

Penelitian menunjukkan bahwa masalah keuangan merupakan faktor

Gambar

Gambar 1. Kerangka berpikir untuk memahami akulturasi – level kultural dan psikologis
Gambar 2. Hubungan antara akulturasi dengan stres, ketika dimodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat Papua yang mendiami daerah pesisir lebih terbuka terhadap adanya pengaruh dari luar, sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara

Culture Shock pada Mahasiswa Luar Jawa di Universitas Muhammadiyah Surakarta ditinjau dari Etnis dan Dukungan Sosial.. Surakarta: Universitas

Budaya ( Cultural ), hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan informasi yang diperoleh dari E, salah satu mahasiwi program afirmasi di Universitas Sumatera Utara yang berasal dari Papua,

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran self-efficacy mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang berasal dari

Hubungan kebiasaan berolahraga dengan tingkat stres pada mahasiswa di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.. Olahraga adalah serangkaian gerak tubuh yang teratur dan

Bagi mahasiswa perantau Universitas Sumatera Utara angkatan 2016 yang berasal dari luar Pulau Sumatera yang masih merasa tidak nyaman dengan perbedaan budaya yang

KOMPAS-USU merupakan tempat bertanya bagi mahasiswa pecinta alam lainnya (khususnya yang berasal dari luar Provinsi Sumatera Utara) mengenai lokasi alam Sumatera Utara yang