• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TB paru adalah penyakit yang ditimbulkan karena adanya infeksi akut atau

kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

sistemis (menyeluruh) sehingga dapat mengenai hampir seluruh organ tubuh,

dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi

yang pertama kali terjadi. TB paru menyebabkan reaksi jaringan yang aneh di

dalam paru-paru, yang meliputi penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag dan

pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa yang membentuk

tuberkel. Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi penyebaran

bakteri tuberkulosis kemudian di dalam paru-paru (Algasaff, 1989).

Tuberkulosis disebabkan oleh kuman, dan bukanlah penyakit keturunan.

Karena disebabkan oleh kuman maka tuberkulosis dapat ditularkan dari seseorang

ke orang lain. Bila seorang penderita tuberkulosis batuk-batuk misalnya, maka

kuman tuberkulosis yang ada di dalam paru-parunya akan ikut dibatukkan keluar,

dan bila kemudian terhirup orang lain maka kuman tuberkulosis tersebut akan ikut

pula terhisap dan mungkin menimbulkan penyakit. Hanya saja memang perlu

diketahui bahwa tidak semua penderita tuberkulosis paru berpotensi menularkan

(2)

2.1.2 Tatalaksana Pasien TB

2.1.2.1 Penemuan Pasien TB dan Diagnosis TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien,

diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien (Kemenkes, 2014).

Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan

keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga

kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan

keluhan tersebut.

Penemuan pasien TB merupakan langkah pertama dalam tatalaksana

pasien TB (Kemenkes RI, 2014). Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular

secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB

serta sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB. Penemuan secara

aktif dapat dilakukan terhadap:

a. Kelompok khusus yang rentan terhadap atau beresiko tinggi sakit TB

seperti pada pasien HIV, Diabetes melitus, dan malnutrisi.

b. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi

terjadinya penularan TB, seperti: lapas/rutan, tempat pengungsian, daerah

kumuh, tempat kerja, asrama, dan panti jompo.

c. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.

d. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.

Tahap awal penemuan pasien TB paru dilakukan dengan menjaring

mereka yang memiliki gejala utama batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.

Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk

(3)

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari

satu bulan (Kemenkes RI, 2014).

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Berdasarkan

pedoman TB nasional yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2014,

menjelaskan bahwa pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan

dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari

kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat

pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung

dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di

fasilitas pelayanan kesehatan.

c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari

kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB paru

harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan

bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan,

dan tes cepat. Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif, maka

penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil

(4)

telah terlatih TB. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan

serologis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan

foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik

pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun

underdiagnosis. Juga tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan

pemeriksaan uji tuberkulin.

2.1.2.2 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Berdasarkan pedoman TB nasional yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI

pada tahun 2014, menjelaskan bahwa tujuan dari pengklasifikasian dan pemberian

tipe pada pasien TB adalah untuk kepentingan pengobatan dan surveilan

penyakit, dengan maksud:

a. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat.

b. Penetapan paduan pengobatan yang tepat.

c. Standardisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB.

d. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan

bakteriologis dan riwayat pengobatan.

e. Analisis kohort hasil pengobatan.

f. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat

baik dalam maupun antar kabupaten / kota, provinsi, nasional, dan global.

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pasien TB dapat

dikelompokkan menjadi :

(5)

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Pasien kambuh (relaps)

Adalah pasien TB yang telah sembuh atau mendapat pengobatan lengkap,

kemudian dinyatakan sakit TB kembali dengan BTA(+).

c. Pasien pengobatan setelah putus berobat

Adalah pasien yang putus berobat selama 2 bulan atau lebih, kemudian

dinyatakan masih sakit TB dengan hasil BTA(+)

d. Pasien gagal (failure)

Adalah pasien TB yang mulai pengobatan kembali setelah hasil

pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada

bulan ke-5 atau lebih, pada masa pengobatan sebelumnya.

e. Pasien pindahan (transfer in)

Adalah pasien yang dipindahkan dari Puskesmas/Rumah Sakit antar

kabupaten/kota yang berbeda untuk melanjutkan pengobatannya.

2.1.2.3 Pengobatan Pasien TB

Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk

mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (Kemenkes RI, 2014). Dalam

proses pengobatan, pasien TB akan diberi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) karena

OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.

Tujuan pengobatan TB adalah:

a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup

(6)

c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB

d. Menurunkan penularan TB

e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

Berdasarkan pedoman TB pada tahun 2014, prinsip pengobatan TB adalah

sebagai berikut:

a. OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan

b. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya yang paling efisien untuk

mencegah penularan lebih lanjut dari kuman TB

c. Pengobatan diberikan dalam paduan OAT yang tepat mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

d. Diberikan dalam dosis yang tepat

e. OAT ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai

selesai pengobatan

f. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

Pengobatan TB harus meliputi 2 tahap yaitu:

a. Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada

tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah

kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari

sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien

mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,

(7)

dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu.

b. Tahap lanjutan: tahap ini merupakan tahap yang penting untuk

membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman

persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan dalam pengobatan TB

adalah sebagai berikut:

a. Isoniazid (H)

b. Rimfapisin (R)

c. Parazinamid (Z)

d. Streptomisin (S)

e. Etambutol (E)

Paduan obat yang digunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi

WHO yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah :

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan kepada pasien baru yaitu pasien TB paru yang

terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru yang terdiagnosis klinis, dan

pasien TB ekstra paru.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini dberikan kepada pasien BTA(+) yang pernah diobati

(8)

pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang

diobati kembali setelah putus obat (lost to follow-up).

c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,

Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta

OAT lini ke-1 yaitu piranizamid dan etambutol.

Dalam kegiatan pengobatan TB, harus selalu dilakukan pemantauan.

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan

ulang dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam

memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan

dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).

Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut

negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan

ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes RI, 2014).

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai

pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif

merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang

dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien

harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila

(9)

ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,

pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan

pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Kemenkes RI, 2014).

2.2 Perilaku

2.2.1 Pengertian Perilaku

Perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003) adalah hasil

hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respons). Perilaku dari

pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme

yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas

dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai

bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian,

dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir,

persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

Untuk kepentingan kerangka analisis dalam penelitian ini dapat dikatakan

bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh penderita TB paru dalam

menjalani pengobatan, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak

langsung.

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut

Skinner dalam Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau

reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan

dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil

(10)

komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada

terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai

tujuan- tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau penguat untuk

masing-masing komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen

yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka

penguatnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau

perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau

perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku)

yang kedua, diberi penguat (komponen pertama tidak memerlukan penguat

lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah

itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai

seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

2.2.2 Perilaku Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan adalah suatu respon

seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit

dengan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta

lingkungan.

Backer dalam Notoatmodjo (2010), membuat klasifikasi lain tentang

(11)

1. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan

upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan

kesehatannya.

2. Perilaku sakit (illness behavior), yakni mencakup respon seseorang

terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan

tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan

sebagainya.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), yakni dari segi sosiologis

orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit

dan kewajiban sebagai orang sakit. Hak dan kewajiban itu harus diketahui

oleh orang sakit sendiri maupun orang lain, yang selanjutnya disebut

perilaku orang sakit. Perilaku ini melipuli :

a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

b. Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau

penyembuhan penyakit yang layak.

c. Mengetahui hak dan kewajiban orang sakit.

2.2.3 Determinan dan Perubahan Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi

karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) terbentuk dari dua faktor utama yakni:

∑ Stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor

(12)

maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan

sebagainya.

∑ Respons merupakan faktor dari diri dalam diri orang yang bersangkutan

tersebut (faktor internal). Faktor internal adalah faktor yang menentukan

respons seseorang terhadap stimulus seperti: perhatian, pengamatan,

persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya.

Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan dalam teorinya bahwa

perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang,

yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,

nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, laboratorium,

dan sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud

dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Karr dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi adanya 5 determinan

perilaku, yaitu :

a. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan

(13)

b. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support).

c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya

informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh

seseorang.

d. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk

mengambil keputusan.

e. Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk

bertindak apapun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat

WHO menganalisis bahwa ada 4 alasan pokok (determinan) yang

menyebabkan seseorang berperilaku, yaitu:

a. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) dapat diartikan sebagai

pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus,

merupakan modal awal untuk bertindak atau berprilaku.

b. Kepercayaan (personal references). Di dalam masyarakat dimana sikap

paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung

dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah para tokoh

setempat.

c. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk

terjadinya perilaku seseorang.

d. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap

(14)

2.3 Kepatuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepatuhan dapat

didefinisikan sebagai sifat patuh atau ketaatan (taat pada perintah, aturan, dan

sebagainya). Kepatuhan atau ketaatan adalah tingkat pasien dalam melaksanakan

cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau orang lain.

Haynes & Sackett (1976) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana

perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional

kesehatan.

Dalam hal pengobatan TB Paru, Kemenkes RI (2014) mengemukakan

bahwa penderita yang patuh berobat ialah yang menyelesaikan pengobatannya

secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan

8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh adalah penderita yang tidak datang

rutin berobat dan bila frekuensi meminum obat tidak dilaksanakan sesuai dengan

rencana pengobatan yang ditetapkan.

Selain menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa

terputus selama minimal 6 bulan hal penderita TB paru dinyatakan patuh dalam

pengobatan TB paru ialah penderita yang melakukan pemeriksaan dahak

mikroskopis secara langsung yaitu :

a. Akhir tahap intensif

b. Sebulan sebelum akhir pengobatan

c. Akhir pengobatan.

Dunbar & Stunkard dalam Niven (2002) mengemukakan bahwa saat ini

(15)

kesehatan profesional. Oleh karena itu penting untuk diketahui tentang tingkat

kepatuhan, faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan dan cara-cara untuk

meningkatkan kepatuhan.

Ley (1988) menyatakan bahwa 48,7% pasien gagal meminum antibiotik

mereka, 37,5% gagal meminum obat-obat anti tuberkulosis , dan bahkan diantara

pasien-pasien yang berusaha untuk mematuhi instruksi yang diberikan pada

mereka, 25% sampai 75% mungkin meminum dosis yang salah, lebih dari 30%

membuat kesalahan yang potensial berakibat fatal.

Niven (2002) menyatakan bahwa derajat kepatuhan ditentukan oleh

beberapa faktor:

∑ Kompleksitas prosedur pengobatan

∑ Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan

∑ Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasihat tersebut

∑ Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan

∑ Apakah pengobatan tersebut terlihat berpotensi menyelamatkan hidup

∑ Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien dan bukan

profesional kesehatan.

Niven (2002) menyatakan ada empat faktor yang memengaruhi kepatuhan,

diantaranya yaitu:

1. Pemahaman tentang instruksi,

2. Kualitas interaksi,

3. Isolasi sosial dan keluarga,

(16)

Lorenc dalam Niven (2002) menyatakan dalam kuesioner penelitiannya

bahwa :

1. Kepatuhan dapat ditingkatkan dengan menyediakan informasi yang

komprehensif melalui leaflet.

2. Tingkat pengetahuan pasien tidak ada yang perlu dilakukan dengan

kemungkinannya untuk menjadi patuh.

3. Pasien yang mengalami perawatan dalam jangka waktu lama,

kepatuhannya kurang dibandingkan dengan pasien yang mengalami

perawatan dalam jangka waktu pendek.

4. Pasien yang merasa puas akan lebih patuh terhadap anjuran pengobatan.

5. Pasien diatas 65 tahun akan lebih tidak patuh dibandingkan dengan pasien

yang lebih muda.

6. Orang-orang yang hidup sendiri cenderung melakukan pengobatan

dibandingkan dengan pasien-pasien lainnya.

7. Frekuensi minum obat yang lebih sering, secara otomatis akan

menurunkan kepatuhan.

Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak patuh merupakan

suatu tugas yang sulit (Cluss dalam Niven, 2002). Gordin dalam Niven (2002)

mengatakan bahwa perkiraan tentang kepatuhan yang dilakukan oleh profesional

(17)

2.4 LandasanTeori

Landasan teori yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan teori

Lawrence Green yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2003) mengenai determinan

perilaku dalam hal ini perilaku yang dimaksud adalah perilaku penderita TB paru

dalam melakukan pengobatan TB paru.

Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan dalam teorinya bahwa

perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang,

yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,

nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, laboratorium

pemeriksaan sputum, dan sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud

dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain,

motivasi dari keluarga yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

(18)

2.5 KerangkaKonsep

Berdasarkan penjelasan dari landasan teori diatas, maka kerangka konsep

dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(19)

2.6 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini meliputi:

1. Ada pengaruh karakteristik responden terhadap kepatuhan pengobatan

penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli

Serdang tahun 2016.

2. Ada pengaruh pengetahuan responden terhadap kepatuhan pengobatan

penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli

Serdang tahun 2016.

3. Ada pengaruh sikap responden terhadap kepatuhan pengobatan penderita

TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun

2016.

4. Ada pengaruh jarak tempat responden dengan Puskesmas terhadap

kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan

Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016.

5. Ada pengaruh ketersediaan OAT di Puskesmas terhadap kepatuhan

pengobatan penderita TB di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten

Deli Serdang tahun 2016.

6. Ada pengaruh sikap petugas kesehatan terhadap kepatuhan pengobatan

penderita TB paru puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli

Serdang tahun 2016.

7. Ada pengaruh motivasi dari keluarga terhadap kepatuhan pengobatan

penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Puji Tuhan saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus karena penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Dampak Implementasi Kurikulum 2013 Terhadap TIK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan agar peneliti dapat secara empirik apakah keterampilan berbicara siswa yang diajarkan menggunakan teknik bermain peran lebih tinggi

Saat keluarganya dari etnis Dayak yang datang dari desa Pak Kumbang datang ke rumahnya, dengan alasan hendak melindungi dia dan anak-anaknya, mak Endang menasehati mereka untuk

Pembelajaran Inovatif Berbasis Kerangka Kerja TPCK bagi Guru Kejuruan di SMK , diunduh dari :

Pada output fungsi indeks perbaikan diketahui bahwa masih terdapat indeks perbaikan dari sel non basis yang tidak memenuhi syarat persamaan 9 sehingga pada perhitungan

Hasil dari penelitian menunjukkan sebagian besar responden mengalami mengalami retardasi mental ringan 16 (55,2 %), dan hampir setengah responden mengalami

Metode : Desain penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu ( Quasi eksperimen ) rancangan pretest-posttest dengan kelompok control ( Pretest- posttest with control