• Tidak ada hasil yang ditemukan

2006 perlawanan tanpa kekerasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2006 perlawanan tanpa kekerasan"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pengantar i

Perlawanan Tanpa-Kekerasan:

Cerita-cerita dari Daerah Konflik

di Indonesia

CSPS Books 2006

Editor Bahasa Indonesia:

Arifah Rahmawati

Moch. Faried Cahyono

(3)

Perlawanan Tanpa-Kekerasan:

Cerita-cerita dari Daerah Konflik di Indonesia

Copyright © 2006 CSPS BOOKS. All rights reserved

Cetakan Pertama Mei 2006

Editor Bahasa Indonesia:Arifah Rahmawati Moch. Faried Cahyono

Penyelaras Edisi Inggris-Indonesia: Frans de Djalong

Penerjemah ke Bahasa Inggris: Frans de Djalong

Editor Bahasa Inggris: Helen Jenks Clarke

Layout dan Sampul: Syarafuddin

sampul dibuat berdasarkan ide kolektif para peneliti teks pada sampul belakang: Arifah Rahmawati

ISBN 979-98203-5-9 (Edisi Bahasa Indonesia)

ISBN 979-98203-4-0 (Edisi Bahasa Inggris)

Diterbitkan atas kerjasama oleh CSPS BOOKS

Center for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas Gadjah Mada

Sekip K-9 Yogyakarta 55281 I N D O N E S I A Phone/Facs. (62-274) 520733 www.csps.ugm.ac.id

dan

Alliance for Self-reliant Peacebuilding (ASP) serta

(4)

Pengantar iii

Kalau Saudara-Saudara berani

menyentuh mereka, maka langkahi

dulu mayat saya

(5)
(6)

Pengantar v

Pengantar

Benarkah hanya kekerasan yang bisa digunakan untuk melawan kekerasan, kekejaman, dan ketidakadilan? Benarkah hanya kekerasan sebagai satu-satunya alternatif bagi penyelesaian masalah? Jawabnya adalah TIDAK. Masih banyak cara-cara tanpa kekerasan yang bisa dipilih dan digunakan untuk menghadapi ketidakberuntungan serta penderitaan yang ada di sekitar kita. Buku yang sedang Anda baca ini merupakan kumpulan cerita yang menggambarkan berbagai upaya perlawanan tanpa kekerasan (non-violence resistance) yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang hidup di wilayah konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Sulawesi Tengah.

Cerita-cerita seperti ini sangat jarang diketahui dan didengar –untuk tidak mengatakan diabaikan– oleh masyarakat luas. Perlawanan tanpa kekerasan memang bukan sebuah upaya yang populer ketika wacana yang lebih banyak disampaikan dan disebarkan melalui media komunikasi kita adalah wacana tentang kekerasan dan kekerasan.

(7)

dari mulut ke mulut. Cerita-cerita tersebut kemudian ditelusuri dalam kerangka sebuah penelitian sosial. Banyak peristiwa menarik dialami oleh teman-teman di lapangan, mulai dari dicurigai sebagai mata-mata lawan, pencari sumbangan, dan ditolak karena dikira wartawan. Beberapa cerita yang telah ditulis oleh teman-teman tidak semuanya bisa kami sertakan karena pertimbangan sensitivitas isu dan masalah keamanan para pelakunya yang sampai detik ini masih tidak menentu. Dengan alasan yang sama maka beberapa nama dalam cerita juga kami samarkan. Demikian pula tempat kejadiannya.

(8)

Pengantar vii

kampanye tanpa kekerasan yang sudah mulai dilakukan di Indonesia.

Dengan selesainya penulisan buku ini maka saya ingin mengucapkan penghargaan dan terimakasih kepada teman-teman para penggali dan penulis cerita dari Pontianak, Poso, dan Ambon. Mereka semua telah berkomitmen dan bekerja keras untuk mewujudkan proyek ini. Kata penghargaan dan terimakasih juga ingin saya sampaikan kepada orang-orang yang telah bersedia berbagi cerita dan pengalaman mereka. Tanpa ijin dan kesediaan mereka maka buku ini tidak akan pernah terwujud. Terimakasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan pada teman-teman di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada yang sejak awal setia mengawal proyek ini: Faried, Titik, Dody, Vicky, dan Syaraf. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Helen Clarke dan Pacharanapun Tinnabal yang telah membantu mengedit cerita dalam versi bahasa Inggris. Akhirnya penghargaan dan terimakasih saya sampaikan kepada South East Asia Quaker International Affairs (SEAQIAR), khususnya kepada Bob dan Helen Clarke, yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan sepenuhnya bagi terwujudnya proyek ini.

(9)

Indonesia, saat ini dan di masa yang akan datang. Selamat Membaca!

(10)

Pengantar ix

Daftar Isi

Pengantar --- v

Daftar Isi --- ix

Pendahuluan --- 1

Sulawesi Tengah --- 2 1 Abang Didi: Ikhlas Ditahan Polisi --- 2 5 Ahmad Yani: Menggadai Diri

Demi Keamanan --- 3 1 Aziz Lapatoro: Rindu

Silaturahmi yang Fitri --- 3 5 Iskandar Lamuka: Menolak Jihad

dengan Kekerasan --- 4 1 Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson

dan Valium --- 4 5 Ibu Tati --- 4 9 John Tongku: Berperang Melawan Isu --- 5 3 Keluarga Lahmudian Sabarotja --- 5 9 Ngkai Naromba: Sang Penjaga Kampung ---- 6 5 Pak Tua Mispar: Merayakan

Idul Fitri Sendirian --- 6 9 Opa Sontje Karepoan

(11)

Maluku --- 9 9 Abang Ris and Pembunuhan

Tukang Ojek --- 103

Raja Amahusu: Penggagas Perdamaian --- 107

Grace and Ibunya --- 111

Jusman dan Kuasa Pela Gandong --- 117

Abdulgani Fabanyo: Pembawa Pesan Perdamaian --- 121

Robby dan al-Kitab di Tangan --- 127

Ustadz Iwan dan Diplomasi Sepakbola --- 131

Kalimantan Barat --- 137

Anwar: Dari Pengemudi Bis Menjadi Penggiat Perdamaian --- 141

Endang: Melindungi Para “Tamu” --- 149

Eni Dewi Kurniawati: Guru Perdamaian --- 153

Mas Abdullah: Sang Negosiator --- 159

Maya Satrini: Sang Pelindung --- 165

Muhammad dari Pancaroba: Menghapus Dendam --- 169

Pasak Piang: Sebuah Desa Damai --- 175

PEMUDA: Organisasi Perdamaian --- 183

Sastra dan Tata: Pahlawan Para Pengungsi --- 189

Tosin dari Kampung Simpang Tujuh --- 197

Abdus Syukur: Enam Hari Memberantas Kekerasan --- 203

Alamat Kontak --- 216

(12)

Pendahuluan 1

Pendahuluan

Buku ini adalah hasil kerjasama di antara tiga lembaga perdamaian yang bekerja di Indonesia, yakni Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP-UGM), ASP (Alliance for Self-reliant Peacebuilding), dan Quaker International Affairs Representatives Program for Southeast Asia (SEAQIAR)1. Dengan

mengambil model kemitraan ketiganya telah berpartisipasi dalam proyek Nonviolence Resistance. Ketiga lembaga yang aktif dalam upaya-upaya perdamaian pada tingkat komunitas ini, ingin mendokumentasikan bagaimana masyarakat akar rumput, sebagai aktor yang hidup di tengah-tengah konflik kekerasan, memiliki kapasitas dan pengalaman untuk memakai pendekatan mereka sendiri (self-reliant approaches) dalam mengatasi konflik. Kami juga ingin merekam bagaimana resistensi nir-kekerasan ditunjukkan dalam situasi kekerasan yang aktual ataupun yang potensial sebagai suatu terobosan krea-tif menuju masyarakat cinta damai. Besar harapan bahwa buku ini bisa membakar semangat perjuangan kalangan pegiat perdamaian—masyarakat akar rumput, organisasi kemasyarakatan, komunitas, LSM per-damaian, akademisis, dan tokoh-tokoh politik—untuk tidak henti-hentinya melakukan transformasi dan resistensi tanpa kekerasan.

1 SEAQIAR adalah program American Friends Service Committee

(13)

Koordinator program ini, seorang peneliti andal dari PSKP-UGM, telah sukses dalam mengorganisir dan menyelenggarakan kajian, serangkaian pelatihan, memimpin suatu tim lapangan untuk mengumpulkan cerita dari daerah konflik, sampai pada finalisasi kegiatan dokumentasi dan proses publikasinya. Tim lapangan adalah para penulis studi-studi kasus resistensi, yang dalam buku ini disajikan dalam bentuk cerita dari tiga provinsi. Mereka juga membuat kata pengantar untuk kumpulan dari Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat. Seluruh cerita dan dua pengantar kemudian dialihbahasakan oleh staf PSKP untuk edisi bahasa Inggris. Selain itu, koordinator program membuat kata pengantar dalam dua bahasa untuk kumpulan cerita dari Maluku. Untuk distribusi buku edisi berbahasa Inggris akan dikerjakan ASP.

Lembaga-Lembaga Kerja Sama

(14)

Pendahuluan 3

Adapun tiga program utama yang menjadi orientasi kegiatan lembaga ini, resolusi konflik, reformasi sektor keamanan, dan pembangunan perdamaian dengan fokus pada tujuh isu area: 1. multi kulturalisme dan konflik etnis dan agama; 2. otonomi daerah dan self-determination; 3. konflik kebijakan publik dan governance; 4. reformasi sektor keamanan; 5. demokratisasi dan masyarakat sipil; 6. manajemen krisis; 7. advokasi hak asasi manusia.

Dalam pendekatan dan strateginya, pusat studi ini dengan kepeduliannya yang besar memberikan prioritas tinggi pada isu keamanan manusia, hak asasi dan kebutuhan dasar manusia, demokrasi, inisiatif lokal, pemberdayaan kapasitas, dan gender. Sementara untuk memperkuat jaringannya, PSKP memelihara hubungan kemitraan yang baik dengan pemerintah, LSM, institusi pendidikan, dan elemen masyarakat sipil yang terikat kepentingan serupa.

ASP (Alliance for Self-reliant Peacebuilding) berdiri pada tahun 2005, sebagai sebuah jaringan transnasional bagi lembaga-lembaga perdamaian ma-syarakat sipil. Anggota inti dari jaringan ini antara lain, Society for Health, Education and Environtment for Peace di Yogyakarta; Khmer Ahimsa di Phnom Penh, Kamboja; dan Peace and Community Action di Colombo, Sri Langka.

(15)

secara mandiri. Aliansi ini mensponsori pertukaran para pegiat perdamaian, mengembangkan sejumlah metode guna mendorong terobosan pembangunan perdamaian yang berdikari, dan menawarkan kesempatan bagi para staf organisasi perdamaian berbasis komunitas untuk meningkatkan keahlian mereka. ASP sendiri telah ikut berpartisipasi dalam serangkaian diskusi tentang proyek resistesi nir-kekerasan yang hasil-hasilnya tertuang dalam buku ini. Sekretariat ASP berlokasi di Yogyakarta. Lembaga ini pun berencana akan emanfaatkan karya yang bersifat kolegial ini dalam kegiatannya membangun perdamaian berbasis komunitas yang berdikari.

(16)

Pendahuluan 5

memperoleh kesempatan untuk memperbaharui dan mengembangkan strategi, mengordinasi kegiatan dan memperluas serta memperkuat jaringan mereka.

Perwakilan ini merangsang dialog dan aksi agar kepekaan masyarakat akan keamanan semakin meningkat. Metode-metode lokal untuk mengurangi kekerasan dan strategi-strategi nir-kekerasan untuk memberdayakan dan melindungi hak-hak komunitas didukung secara serius. SEAQIAR mengidentifikasi dan memberi dukungan kepada para pencipta perdamaian, dan menyatukan serta menggalakan orang-orang di kawasan ini untuk memelihara perdamaian dan merealisasikan inisiatif-inisiatif keadilan.

ANV dan NVR

(17)

ketidakseim-bangan kekuasaan ekonomi. Mereka yang terlibat da-lam ANV memiliki sebuah rencana aksi yang nantinya akan menghasilkan sebuah perubahan pemahaman mengenai isu yang dimunculkan oleh pihak yang mempersoalkannya, atau idealnya diharapkan akan terjadi pergeseran dalam pendulum kekuasaan. ANV dikatakan telah berhasil kalau sudah terjadi transfromasi struktur sosial. Dengan perkataan lain, perubahan keseimbangan kekuasaan memungkinkan transformasi relasi antara para aktivis ANV dan kelompok yang berkuasa. Dalam hal ini, masyarakat diberikan pemberdayaan. Karena itu, tujuan ANV sebetulnya adalah melembagakan sebuah perubahan dalam keseimbangan kekuasaan dan dengan demikian, membuatnya menjadi sesuatu yang bisa diterima.

(18)

Pendahuluan 7

Tidak beda dari ANV, NVR memiliki banyak bentuk aktualisasi sebagaimana bisa disimak pembaca dalam buku ini. Resistensi nir kekerasan tidak jauh beda dari active nonviolence karena cara ini juga adalah sebuah terobosan untuk mengubah relasi kuasa yang timpang, sekurang-kurangnya untuk sementara waktu. Dan itu pun hanya mungkin terjadi kalau para aktor sendirilah yang mengembangkannya menjadi ANV atau sebuah gerakan perdamaian.

NVR adalah sebuah tindakan yang spontan sekaligus berisiko bagi mereka yang memakai pendekatan ini. Orang-orang yang terlibat tentulah kumpulan individu yang berani dengan cara-cara perlawanan tanpa kekerasan. Seringkali karena kesungguhan dalam memerangi kekerasan, mereka menjadi terasing atau diasingkan oleh mayoritas orang yang berpartisipasi dalam konflik kekerasan. Spontanitas dan komitmen pribadi sebagai karakter dasarnya kemudian merefleksikan konteks di mana tindakan ini diambil sebagai sebuah pilihan. NVR bisa saja dilakukan ketika kekerasan sedang terjadi, dalam situasi kerusuhan, pertikaian, dan bahkan dalam medan perang sekalipun. Meski risikonya bisa jadi sangat ekstrim, keberanian mereka tetaplah suatu hal yang sangat mengagumkan!

(19)

media mengajak orang lain untuk mendukung tindakan yang berorientasi perubahan ini. Sama halnya dengan para penulis kisah dalam buku ini, mereka pun tidak berada persis di tempat kejadian atau melihat secara langsung bagaimana para tokoh cerita itu bergulat dengan maut demi kerukunan dan perdamaian. Akan tetapi, berkat usaha mereka membeberkan efektivitas dari NVR, mereka berpotensi membuka jalan menuju suatu upaya NVR yang sistematis atau sebuah gerakan perdamaian yang terorganisir dengan baik. Baik ANV maupun NVR sama-sama menjadi “weapons of the weak” Keduanya memperkuat inisiatif menyingkirkan ketidakadilan.

Konflik di Indonesia

(20)

Pendahuluan 9

Sebelum konflik kekerasan terjadi, kelompok-kelompok masyarakat,2 umumnya Muslim dan Kristen,

hidup rukun dalam komunitas-komunitas yang saling bercampur. Bagaimanapun juga, penonjolan garis agama hanyalah tampilan permukaan dari sebuah lukisan konflik yang buram, yang dengan mudah membentuk kubu terhadap satu sama lain. Coba simak yang dituturkan Iskandar Lamuka dalam “Me-nolak Perang Jihad”, bahwa ia dan rekan-rekannya “… menyadari kalau pertikaian yang sedang berkecamuk itu bukanlah persengketaan antar agama, melainkan akibat yang tak terhindarkan dari lebarnya kesalah-pahaman dan dendam di antara dua komunitas, Muslim dan Kristen.”

Orang-orang yang selamat dari amukan keke-rasan, dari banyak fakta yang ada, mencari perlindungan di tenda-tenda pengungsian atau mencari suaka di tempat lain yang lebih aman. Mereka terpecah belah dan dipersatukan kembali dalam komunitas yang terpisah. Terbanyak dari kumpulan cerita dalam buku ini adalah tindakan-tindakan nekat yang tujuannya tidak lain untuk terus menjalin hubungan dengan kelompok atau orang-orang dari komunitas lain.

Komentator-komentator dari Indonesia seringkali menggambarkan konflik yang terjadi dalam dua kategori yang baku, yakni konflik horisontal dan

2 Kelompok-kelompok ini tidak harus didasarkan pada etnisitas.

(21)

konflik vertikal, sebagai akibat dari perilaku dan kebijakan negara, militer dan polisi, intervensi kalangan bisnis dari luar daerah, atau karena ulah segelintir tokoh daerah yang hendak merebut kekuasaaan dengan cara yang tidak biasa. Para penyu-sup atau provokator tidak jarang dipersalahkan atau dijadikan kambing hitam, meski tidak tersedia banyak bukti yang meyakinkan. Seluruh cerita yang terkumpul dalam buku ini mengungkapkan sedemikian banyak upaya membangun perdamaian dengan cara melawan kekerasan horisontal dalam komunitas. Sangat sedikit kisah yang menceritakan perlawan terhadap tokoh atau pejabat daerah. Meski demikian tidaklah berarti perlawanan terhadap relasi vertikal yang timpang itu tidak ada sama sekali. Kebetulan saja kisah semacam itu belum terdokumentasi dalam buku ini.

(22)

Pendahuluan 11

itu sendiri.

Konflik dan Kekerasan

Konflik dan kekerasan seringkali diartikan secara tumpang tindih. Karena penting sekali untuk mem-bedakan konflik sebagai ‘suatu ketidaksesuaian ga-gasan, pertentangan kepentingan, dan ketidakcocokan antar pribadi’,3 dari pengertian kekerasan (termasuk

betrokan, kerusuhan, dan perkelahian) seperti yang dipergunakan dalam buku ini. Konflik tidaklah buruk atau destruktif kalau saja ia dapat diatasi dengan cara-cara damai. Malah konflik bisa berlaku sebagai momentum bagi lahirnya ide-ide bernas, strategi yang efektif dan solusi yang mencerahkan, sebagai pijakan bagi gerak maju yang mantap. Sementara kekerasan dalam seluruh manifestasinya adalah sesuatu yang bersifat menghancurkan. Konflik yang direalisasikan dengan perilaku yang kejam hanya akan menghasilkan lebih banyak kekerasan baru.

Tim Lapangan dan Sejumlah Persoalan

Poyek NVR diawali dengan sesi pelatihan tentang penelitian sosial dan penulisan-cerita oleh koordinator program untuk proyek ini, yang diselenggarakan di

3 The American Heritage ® Dictionary of the English Language,

(23)

Yogyakarta pada bulan Desember 2004. Dua belas peserta laki-laki dan perempuan dari Kalbar dan Sulteng hadir dalam acara ini. Mereka adalah staf organisasi perdamaian yang bekerja di tingkat komunitas akar rumput. Juga hadir sebanyak tujuh orang dari Yogyakarta, sebagian besar dari PSKP-UGM, dan dua wakil SEAQIAR. Karena tim lapangan dari Ambon tidak bisa hadir, maka koordinator program menyelenggarakan acara yang sama di Ambon. Tim-kerja lapangan menghabiskan waktu selama empat bulan dengan mengumpulkan dan menulis cerita perlawanan tanpa kekerasan yang termuat di sini dan kemudian wakil dari masing-masing tim berkumpul di Yogyakarta pada bulan Mei untuk mendiskusikan kegiatan dokumentasi dan proses publikasi buku ini.

Semua anggota tim telah menunjukkan komitmen mereka pada konsep perdamaian, perlawanan tanpa kekerasan, dan pada proyek ini secara keseluruhan. Tentu saja proses pengumpulan dan penulisan meminta waktu luang dan kerja keras, dan pada beberapa kejadian, tokoh-tokoh masyarakat mencurigai motivasi di balik kerja kemanusiaan ini. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak bertemu dengan masalah.

(24)

Pendahuluan 13

cerita. Hal ini sudah pasti makan biaya tersendiri— bensin untuk sepeda motor, makanan, minuman, dan penginapan—yang sebelumnya tidak sempat kami antisipasi dalam anggaran proyek. Mereka diminta mengumpulkan cerita sambil tidak mengganggu pekerjaan rutin mereka sendiri, tetapi itu saja sudah membuat mereka sibuk sekali. Tidak mudah mendapatkan waktu untuk mengumpulkan cerita, terutama dari kampung-kampung yang terpencil, dan menulis kembali dalam bentuknya yang lebih sempurna. Itulah sebabnya para penulis memilih mengumpulkan cerita-cerita dari daerah-daerah perkotaan atau kampung-kampung terdekat di Kalimantan Barat. Komitmen mereka dalam proyek ini segera terbaca dari kualitas cerita yang berhasil mereka kumpulkan.

(25)

kekerasan daripada cerita dari komunitas Muslim. Walaupun terbanyak dari anggota tim adalah orang Kristen, cerita yang diperoleh malah lebih banyak tentang komunitas Islam ketimbang komunitas Kristen. Penduduk Kristen tampaknya curiga terhadap motif kegiatan ini. Menurut anggota baru yang disebutkan di atas, dia berencana memanfaatkan cerita-cerita ini untuk pendidikan perdamaian di kalangan perempuan di daerahnya.

Proses pengumpulan cerita di Maluku berjalan lambat karena dua alasan. Pertama, tak satupun dari mereka bisa datang mengikuti pelatihan di Yogyakarta. Berikutnya, dua orang dari tim yang dibentuk sejak awal mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka dan harus meninggalkan Maluku. Itu berarti tim harus merekrut dua anggota baru pada saat program sudah mulai berjalan. Seluruh anggota tim adalah mahasiswa/i sekaligus aktivis LSM, dan mereka pun dikejar waktu yang terbatas. Kendati demikian, mereka yang sebelumnya sudah berurusan dengan konflik kekerasan, bersedia memastikan mereka yang pernah melawan kekerasan sehinga dengan itu cerita bisa diperoleh.

(26)

Pendahuluan 15

cerita di suatu komunitas Kristen, warga Muslim lalu menuduh warga Kristen telah menculiknya. Mereka sulit memahami bahwa seorang Muslim pun bisa membuat keputusan sendiri untuk masuk ke dalam komunitas agama lain. Akibatnya kemudian muncul kabar akan ada serangan untuk membebaskan dirinya yang ujung-ujungnya memperlambat proses dokumentasi cerita. Sampai pada akhirnya, tanggal 25 April 2005, sebuah ledakan bom menandai ulang tahun RMS, dan tim kemudian memutuskan bahwa terlalu berbahaya kalau kegiatan ini tetap dilanjutkan.

Kendala yang Dihadapi Seluruh Tim

Sebagai aktivis LSM, sebagian besar anggota tim sudah terbiasa menuliskan laporan untuk organisasi mereka masing-masing. Menulis studi-studi kasus tentang perlawanan tanpa kekerasan tentu suatu hal yang berbeda. Kegiatan semacam ini sama sekali tidak sama dengan pelatihan merumuskan model pembangunan perdamaian dalam komunitas. Mereka belum terlatih dalam menguraikan kisah, apalagi menuliskannya secara detil untuk dipublikasikan. Karena itulah mereka harus menyita waktu dari pekerjaan rutin agar bisa sampai pada standar penulisan yang memadai.

(27)

Tidak jarang anggota tim berada dalam situasi yang pelik saat dirinya sadar sedang mendapatkan dan mengolah peristiwa dalam cerita yang melibatkan sanak saudara atau kerabatnya. Selain itu, mereka merasa tidak mudah menjelaskan apa itu ‘perlawanan tanpa kekerasan’ kalau tidak terlebih dahulu membuka pikiran orang tentang konsep dasarnya.

Persoalan lain yang ditemui di lapangan adalah rasa takut penutur cerita bahwa publikasi kisah mereka bisa membahayakan diri dan keluarganya. Beberapa penutur berharap agar identitas mereka tidak perlu ditulis. Ini menjadi alasan beberapa penulis dianonimkan saja. Dalam sejumlah kasus, anggota tim merasa lebih nyaman kalau hubungan kemitraan mereka dengan PSKP, pusat studi yang kebetulan berada di Yogya ini, tidak perlu dipublikasikan mengingat kecurigaan dan ketidaksukaan orang Indonesia bagian timur terhadap masyarakat Jawa.

(28)

Pendahuluan 17

mengubah cerita yang komplek menjadi sebuah narasi yang sederhana memang harus dipenuhi sehingga pembaca terbantu dalam menangkap keseluruhan isi cerita tersebut.

Masalah lain yang tidak kalah mengejutkan anggota tim adalah bahwa mereka harus meyakinkan rekan-rekan dari LSM lain tentang nilai atau manfaat dari upaya mempublikkan NVR. Beberapa aktivis menuding tim telah merampas ‘lahan garapan’ mereka. Untuk itu, anggota tim harus membuka kontak secara hati-hati dengan aktivis lain untuk menjelaskan manfaat dan posisi kegiatan ini. Alhasil, rekan-rekan mereka itu akhirnya tertarik untuk mendapatkan pelatihan penelitian sosial dan penulisan cerita.

(29)

apakah dari Jawa ataupun orang asing dari negara lain. Dalam hal ini, cerita diperoleh dari tangan pertama, dari orang-orang yang hidupnya ibarat telur di ujung tanduk ketika kekerasan sedang berkecamuk. Seluruh tim sangat mengharapkan situasi di mana para pelaku NVR mengisahkan pengalaman mereka dengan sepenuh hati dan menunjukkan kedekatan yang intens pada saat yang bersamaan. Anggota tim mulai mengumpulkan cerita secara perorangan, tetapi beberapa di antaranya memutuskan untuk bekerja secara berpasangan karena pertimbangan keamanan dan juga untuk berbagi peran sebagai pewawancara dan perekam. Para pelaku, mereka yang telah mempertaruhkan hidupnya bagi perdamaian, selalu gembira menyambut anggota tim.

Demikian pula jaringan pertemanan dan jaringan kerja telah berkembang sedemikian rupa di antara komunitas dan sesama aktivis terkait dengan kepentingan mereka dalam proyek ini. Hal ini juga disebabkan oleh konsistennya anggota tim dalam memberikan keterangan mengenai apa sesungguhnya kegiatan yang sedang mereka lakukan.

(30)

Pendahuluan 19

publikasi, besar kemungkinan kerja mereka akan dikenal di Indonesia dan publik yang lebih luas akan memanfaatkan informasi ini untuk keperluan perlawanan yang sama, perlawanan tanpa kekerasan. Studi-studi kasus tersebut amat berguna untuk program penyadaran atau pendidikan perdamaian. Ketika koordinator program dan perwakilan SEAQIAR mempresentasikan gagasan proyek ini ke-pada tim, mereka langsung menangkap betapa hasil-hasilnya akan sangat berguna. Contoh-contoh kasus dari apa yang telah dicapai masyarakat akar tumput semakin mempertebal tekad mereka untuk menentang kekerasan dan penyalahgunaan otoritas di tingkat ko-munitas. Hal ini juga mendongkrak rasa percaya diri mereka dan rekan-rekan mereka dalam mengabdikan diri tanpa pamrih untuk pendidikan perdamaian.

(31)

Kesimpulan

Resistensi yang efektif terhadap kekerasan selalu mungkin untuk dilakukan. Meski berbahaya, orang-orang yang melawan kekerasan, termasuk mereka yang selamat untuk mencurahkan pengalaman itu dalam buku ini, tetap menjalani hidup seperti sebelum konflik kekerasan terjadi, dan bahkan komitmen mereka bagi perdamaian semakin militan. Perlawanan tanpa kekerasan dilakukan tidak lain untuk melindungi orang-orang kecil yang sama sekali tidak berdaya, dan untuk mengembalikan kerukunan hidup di antara kelompok-kelompok yang berbeda suku, agama dan golongan. Dari sejumlah fakta yang ada, perlawanan model ini menjelma menjadi suatu kekuatan perdamaian yang lebih besar atau sebagai sebuah resolusi konflik yang konkrit. Besar harapan kami, semoga kumpulan cerita perlawanan tanpa kekerasan dalam buku ini bisa dijadikan pelajaran dan inspirasi bagi semakin banyak orang dalam menentang kekerasan dan menuntaskan ketidakadilan di komunitas-komunitas lain.

Helen Jenks Clarke

(32)

Sulawesi Tengah 21

(33)
(34)

Sulawesi Tengah 23

Konflik di Sulawesi Tengah:

Pengantar Singkat

Konflik berlangsung sejak Desember 1998. Ini mrupakan tragedi kemanusiaan karena ribuan warga, baik dari komunitas Muslim maupun Kristen, menjadi korban. Ratusan orang meninggal, ribuan luka dan cacat. Ribuan orang harus mengungsi. Ribuan rumah dan tempat ibadah hancur dibakar. Ribuan anak putus sekolah, dan menjadi yatim atau piatu. Perempuan menjadi janda. Secara umum, kaum perempuanlah pihak yang harus menanggung beban paling berat atas semua kehilangan itu.

(35)

Persoalan mabuk-mabukkan awalnya dianggap sebagai pemicu konflik. Tetapi ketika ditelusuri dan dianalisis, adanya persaingan antar elit politik dalam memperebutkan kekuasaan merupakan pokok masalah. Konflik kekerasan meledak persis pada saat pemilihan bupati dan sekretaris kabupaten tengah berlangsung. Konflik kekerasan terjadi juga karena persoalan perebutan proyek. Untuk kepentingan tersebut ada orang-orang tertentu memobilisasi massa dan membakar rumah-rumah orang Kristen (kejadian tahun 1998). Lalu eskalasi kekerasan semakin meningkat terutama ketika agama dipakai untuk menyulut kebencian dan kemarahan terhadap satu sama lain. Dengan adanya identifikasi agama, maka semakin mudah pula komunitas-komunitas berubah menjadi gerombolan pembunuh yang kejam dan tak terkendali.

(36)

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 25

Abang Didi:

Ihklas Menjadi Tahanan Polisi

“Kamu harus tabah.”

Melky Mailowa dan Agustanti Ruagadi

Bekerja sebagai evakuator pengungsi di daerah konflik bukanlah pekerjaan yang ringan Selain berbahaya juga mengancam nyawa. Ancaman penembakan dan peluru nyasar selalu menghantui para pekerja kemanusiaan ini. Ironisnya seorang evakuator pengungsi juga bisa disamakan dengan pelaku perang yang harus dilenyapkan. Inilah yang dialami Pendeta Rinaldy Damanik atau yang akrab di panggil Abang Didi oleh masyarakat Tentena. Abang adalah Sekretaris umum GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) dan juga Koordinator Crisis Centre GKST selama konflik Poso Jilid 3, bulan April 2000-Agustus 2001.

(37)

sekitar desa karena biasanya kendaraan yang tersedia tidak mencukupi untuk mengangkut seluruh penduduk desa. Tentena dianggap sebagai salah satu tempat berlindung yang aman bagi warga Kristen. Sejak kejadian penyerangan, terdapat dua ribuan pengungsi Kristen yang diangkut untuk diselamatkan.

Pada tanggal 16 Agustus 2002 itu, Abang Didi beserta para relawan lainnya berangkat ke Desa Peleru untuk mengungsikan warga ke Desa Taliwan, Kecamatan Mori Atas yang lebih aman, sekitar 12 kilometer dari Peleru. Evakuasi berjalan aman. Esoknya para relawan kembali ke Desa Peleru untuk membawa harta benda pengungsi yang tersisa, dan akan diserahkan kembali pada para pengungsi di Taliwan.

(38)

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 27

Tak ada surat penangkapan buat Abang Didi dan kawan-kawannya. Sepasukan TNI yang datang kemudian juga memberikan perlindungan pada para relawan karena jalanan sudah diblokir massa penyerang dari kelompok Muslim.

(39)

Pendeta Rinaldy Damanik segera keluar menemui massa. Ia meminta warga tenang. Ia juga meminta pengertian warga, dan membolehkan dirinya dibawa polisi. “Terima kasih atas maksud baik bapak, ibu dan saudara sekalian. Saya tidak akan lari sebab saya tidak besalah. Jika mereka ingin menangkap saya, silakan mereka menangkap di ruang kerja saya,” ujar Abang Didi.

(40)

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 29

Malam harinya pada pukul 22.00WITA, mobil polisi datang menjemput Abang Didi untuk dibawa ke Mabes Polri di Jakarta. Massa masih keberatan dan ketegangan antara polisi dan warga Kristen kembali terjadi. Tiang listrik kembali dipukul-pukul sebagai pemberitahuan akan adanya bahaya. Sebagian warga berpakaian hitam-hitam sebagai tanda kesiapan untuk berperang. Abang Didi menuju kumpulan massa yang marah dan berkata, “Tenang saudara-saudara. Tenang. Saya hanya akan diperiksa sebagai saksi bukan sebagai tersangka. Saya bukan penjahat yang takut diperiksa. Karena itu, saya minta saudara-saudara untuk tidak melakukan tindakan anarkis. Saya tidak menginginkan adanya korban,” demikian katanya.

Massa akhirnya bisa ditenangkan. Abang Didi lalu dibawa ke Jakarta. Di ibukota negara ini, Pendeta Rinaldy Damanik ternyata tidak hanya dijadikan saksi tapi menjadi tersangka dengan tuduhan kepemilikan atas sejumlah senjata api dan amunisi. Namun pada pemeriksaan pertama tersebut tidak terdapat cukup bukti. Pemeriksaan lanjutan akhirnya dilakukan di Palu. Abang pun diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara.

(41)

Awalnya sang Ustadz tidak sependapat dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Sinode GKST. Tapi, setelah mengikuti perkembangan, ia me-nyimpulkan Abang adalah korban rekayasa. Guru Tua –demikian Idrus Al Habsyi biasa dipanggil- sering menjenguk pendeta Rinaldy Damanik di penjara, menjalin persahabatan akrab, dan mendukungnya dengan doa.

(42)

Ahmad Yani: Menggadai Diri Demi Keamanan 31

Ahmad Yani:

Menggadai Diri

Demi Keamanan

“…saya bersedia dibawa aparat sebagai jaminan” Ferdy Ebiet Kawani

Suasana desa Pandajaya, sebuah desa Muslim di Pamona Selatan Poso, pada pertengahan Juni 2001 siang itu terasa mencekam. Santer terdengar isu bahwa akan ada serangan dari kelompok merah (Kristen). Warga segera berkumpul sambil mem-persiapkan segala sesuatu untuk mempertahankan diri. Segala jenis senjata, dari golok, senapan sampai bom rakitan, dipersiapkan.

Pada saat bersamaan, aparat keamanan sedang melakukan penyisiran senjata dan bom rakitan dari rumah ke rumah di desa tersebut. Warga yang sebelumnya mendapat bocoran tentang rencana tersebut, segera menyembunyikan senjata mereka di berbagai tempat termasuk di kebun-kebun dengan cara ditimbun dalam tanah.

(43)

penduduk turut diangkut. Tindakan tegas aparat ini tentu saja ditentang dengan keras oleh seluruh pen-duduk. Namun, aparat tidak ambil peduli sedikitpun. Suasana menjadi tidak menentu karena sebagian warga terlanjur termakan oleh kabar angin bahwa akan ada serangan dari kelompok Kristen, semakin banyak berkumpul. Mereka sangat marah karena senjata untuk mempertahankan diri telah disita oleh aparat. Kegaduhan pun terjadi ketika mereka mulai meneriakkan kata-kata protes dan memprovokasi massa untuk menyerang aparat keamanan. Sebagian warga mulai melempari aparat dengan batu. Seorang ibu, sambil menggendong anaknya yang menangis, tampak berdiri persis di depan mobil petugas dan berteriak dengan keras, “Kalo kamu mo ambe itu senjata, lebeh bae kamu tabrak jo kita”. [Kalau kalian mau mengambil semua senjata itu, lebih baik kalian tabrak dulu diri saya.]

Teriakan sang Ibu membuat suasana semakin memanas. Sebagian orang mulai mengepung mobil petugas. Aparat yang berjumlah hanya beberapa orang itu dengan sigap mengokang senjata mereka untuk berjaga-jaga dari serangan massa.

(44)

de-Ahmad Yani: Menggadai Diri Demi Keamanan 33

mikian, usaha ini pun tidak cukup berhasil. Masyarakat tetap saja menolak jika senjata tradisional dan bom rakitan mereka disita. Mereka berdalih bahwa senjata dan bom rakitan tersebut tidak digunakan untuk me-nyerang melainkan untuk membela diri jika sewaktu-waktu desa itu diserang. Hal ini berangkat dari pengalaman sebelumnya di mana keberadaan aparat belum bisa menjamin rasa aman yang mereka inginkan. Di tengah suasana yang panas dan nyaris terjadi bentrok antara aparat dan warga ini, muncul Ahmad Yani, pria berusia 34 tahun, dari tengah kerumunan massa. Ia berdiri di antara kemurunan orang yang marah dan yang siap bertindak keras. Dengan tegas ia berkata, “Kalau memang masyarakat menginginkan kembali barang-barang itu (senjata milik warga), saya bersedia dibawa aparat sebagai jaminan. Atau saya tetap bersama masyarakat, tetapi barang bukti tersebut akan dibawa aparat,” ujarnya.

Spontan saja masyarakat menolak dua pilihan itu. “Kami tidak ingin Ahmad Yani dibawa sebagai jaminan”, demikian teriak mereka. Dalam pikiran mereka, kalau Ahmad Yani dibawa aparat, maka tidak akan ada lagi orang yang mampu mengendalikan masyarakat yang mulai tidak terkontrol. Akhirnya mereka memberi jalan kepada aparat dan merelakan senjata serta bom rakitan mereka disita.

(45)

dia lakukan demi menghindari terjadinya bentrok antara aparat dan masyarakat yang hampir tak terelakkan. Ahmad Yani sadar jika bentrokan terjadi maka akan banyak korban yang jatuh, baik dari warga mayarakat maupun dari aparat.

Ahmad Yani, lelaki bertubuh sedang, berkulit hitam, dan berambut lurus ini, dipercaya sebagai ketua pemuda desa. Ia cukup disegani, dan selalu terlibat dalam banyak kejadian penting di desanya, termasuk turut serta secara rutin dalam rapat desa. Ia kemudian mewakili Desa Papandaya dalam penandatanganan deklarasi Malino. Semangat perdamaian terus ia kobarkan dengan mendukung sejumlah proses perdamaian yang lain.

(46)

Aziz Lapatoro: Rindu Silaturahmi yang Fitri 35

Aziz Lapatoro:

Rindu Silaturahmi yang Fitri

“Kami senang, dia tetap menganggap kami saudara”

Agustanti Ruagadi

Aziz Lapatoro, warga Lawanga, Poso Kota, risau tak kepalang. Konflik berkepanjangan yang terjadi di Poso mendukakan hatinya. Konflik Poso jilid 3, pada Mei 2000, menyebabkan warga Kristen Lawanga serta warga Kristen dari kelurahan lainnya harus mengungsi ke Tentena. Tentena adalah pusat dari Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Ke sanalah warga Kristen yang terusir minta perlindungan.

Kesedihan Aziz berlipat ganda karena ia tak ha-nya kehilangan tetangga yang harus mengungsi, tapi juga orang-orang dalam rumpun keluarganya yang beragama Kristen, juga terusir dari Lawanga setelah hidup rukun selama puluhan tahun. Silaturahmi yang fitri antara warga Muslim dan Kristen tak lagi terjadi. “Saya rindu suasana ketika kita orang bersau-dara bertemu di sini, tinggal bersama, berbagi rasa. Saya ingin situasi itu balik kembali,” ujar Aziz.

(47)

Iskandar Lamuka: Menolak

Jihad dengan Kekerasan

“…Kami memilih

mengurusi pengungsi. Ini juga jihad.” Agustanti Ruagadi

Selama bulan Juni 2000, banyak rumah warga Muslim di sekitar Poso, terbakar. Berbondong-bondong para pengungsi Muslim, kurang lebih dua puluh lima ribu jiwa, bergegas meninggalkan kampung mereka di daerah Kristen menuju Kota Poso. Kobaran api menyatu dengan ketakutan akan diserang. Dalam bahaya, mereka tidak punya pilihan lagi selain mempertebal keberanian untuk mempertahan hidup. Ketakutan bercampur keberanian kemudian menjadi aksi bela diri yang beringas. “Semua laki-laki dan pemuda, diorganisir untuk berjihad. Mereka yang tak ikut perang, dianggap lari dari tanggungjawab,” ujar Iskandar Lamuka, salah seorang pemuda.

(48)

42 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

(49)

Iskandar dan lima puluh orang pemuda lain, ber-tahan untuk tidak ikut perang. “Saya bilang ke kawan-kawan yang berjihad, supaya menghargai pilihan kami mengurusi para pengungsi. Ini juga jihad,” kata Iskandar.

Iskandar meyakinkan orang-orang yang mencoba memaksanya ikut perang dengan memaparkan bagaimana nasib anak-anak sedemikian mengenaskan di tempat pengungsian. Siapa yang akan mengurusi para istri, lansia, dan juga anak-anak yang harus tetap diurus pendidikannya. Begitulah, setelah akhirnya memperoleh “ijin” untuk mengurusi para pengungsi, ia mengorganisir lima puluh relawan yang seluruhnya adalah para mahasiswa Poso yang kuliah di Palu.

Barak-barak pengungsi kemudian dibangun. Komunikasi dilakukan secara lebih intensif, tidak hanya dengan para tokoh saja tapi juga dengan pihak-pihak lain yang terlibat di lapangan untuk mengetahui situasi yang berkembang.

(50)

44 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Bagaimana cara menyatukan dan menyembuhkan mereka dari ingatan kelam dan hati yang telah tercabik amarah dan dendam itu? Jaringan perdamian pun segera dibentuk oleh Iskandar dan para relawan. Pada April 2001, dikumpulkannya 36 orang pemuda Muslim dan Kristen Poso yang pernah berperang. Mereka dibawa ke Palu, yang sengaja dipilih karena berada di luar Poso. Para pemuda, Muslim maupun Kristen, ditempatkan dalam ruangan sama, termasuk tidur dalam kamar yang sama pula. Beberapa pemuda kemudian bercerita, bagaimana di malam hari selama dua hari itu, baik yang Muslim maupun yang Kristen sama-sama tidak tidur dengan pulas. Mereka takut jangan-jangan kalau lengah akan dibunuh oleh “musuh” sekamarnya itu. Barulah pada malam ke tiga, sesudah dialog siang hari untuk memulihkan kerukunan dan saling pengertian, mereka bisa tidur nyenyak.

(51)

aparat yang berjaga-jaga malah makin mencekamkan situasi, apalagi dengan adanya penambahan pos-pos pemeriksaan. “Pada periode pasca konflik tahun 2000, aparat keamanan mungkin lebih banyak jum-lahnya daripada warga setempat,” kata Pak Aziz.

Hubungan antara warga Kristen dan warga Muslim kian memburuk justru ketika warga Kristen terkonsentrasi di Tentena dan di daerah-daerah Pesisir sementara kota Poso terkonsentrasi untuk warga Muslim. Sebagian besar pengungsi Kristen adalah para pegawai negeri yang dalam situasi dan kondisi yang ada saat itu tidak berani kembali ke Poso. Demikian pula warga Muslim yang ada di Poso dan sekitarnya tidak berani datang ke Tentena. Kedua komunitas ini tidak mau ambil risiko ditembak dan dibunuh. Di mana-mana terdengar kabar penembakan, pencegatan ataupun pembunuhan, sementara pelakunya tidak teridentifikasi, apalagi tertangkap. Aziz nyaris putus asa melihat situasi ini. Orang Tentena tak lagi berani ke Poso, demikian juga sebaliknya, orang Poso tak berani ke Tentena. “Mengapa orang beragama, bersaudara harus saling bunuh hanya karena ulah orang-orang tidak ber-tanggung jawab yang ingin mengadu domba?” keluh Aziz.

(52)

Aziz Lapatoro: Rindu Silaturahmi yang Fitri 37

tersebut, ia akhirnya memutuskan berangkat seorang diri ke Tentena dengan mengendarai sepeda motor. Keluarga dan tetangganya sangat keberatan, tetapi Aziz tetap nekat. Tujuh belas kilometer dari Kota Poso, persisnya di desa Pandiri yang sudah termasuk wilayah Kristen, Aziz berhenti. Ia bertemu dengan satu keluarga Kristen tetangganya di Lawanga, yang mengungsi di Pandiri, kecamatan Lage. “Ternyata ada warga Muslim yang berani datang ke sini. Kami senang, dia tetap menganggap kami saudara,” ujar bapak Lampadeli, yang terkejut mendapat kunjungan Aziz. Namun, mereka juga khawatir akan keselamatan Aziz jika ia tetap meneruskan perjalanannya ke Tentena.

Menurut mereka, yang dikhawatirkan adalah pihak-pihak yang ingin mengadu domba orang Kristen dan Muslim. Apa jadinya kalau hal terburuk menimpa Aziz di daerah Kristen. Suasana pasti akan lebih keruh. Salah seorang anak dari keluarga Lampadeli, mengaku kaget mendapati Aziz sudah ada di rumahnya. “Apa yang dia buat di sini, nekat sekali dia,” kata pemuda ini keheranan.

(53)

Kristen dari pihak istri, tetapi ada juga yang curiga jangan-jangan yang datang ke Tentena ini adalah se-orang mata-mata. Ia meyakinkan warga yang risau itu dengan kata-kata yang singkat saja, “Saya cuma pasiar (jalan-jalan) sorindu (kangen) sama kamu,” ujarnya setiap kali ditanya.

Saat kembali ke Poso, warga Poso Muslim bertanya-tanya padanya. “Kamu diapakan orang Tentena,” atau sebaliknya, ada yang mencurigainya sebagai mata-mata untuk komunitas Kristen. Ia menjelaskan bahwa Tentena aman, tak ada apa-apa, dan dia diterima dengan baik. Disampaikannya pula ajakan warga Kristen kepada warga Muslim Poso untuk ikut merayakan natal 2001 di Tentena. “Kita diundang ke Tentena untuk merayakan natal,” kata Aziz yang berperawakan sedikit pendek dan gemuk, namun murah senyum ini, seperti ditirukan sejumlah orang yang menyongsongnya ketika ia kembali dari Tentena. Terhadap kabar yang dibawanya, banyak warga yang percaya, meski tidak sedikit juga warga yang meragukan. Prasangka bahwa Aziz mata-mata Kristen masih juga ada di kalangan komunitasnya sendiri.

(54)

Aziz Lapatoro: Rindu Silaturahmi yang Fitri 39

Poso), yang dengan tegas menolak politik adu-domba terhadap kekerabatan umat Mmuslim dan Kristen di Poso.

Aziz sendiri bukannya tak dirundung masalah. Ada pihak yang menuduhnya berkhianat terhadap komunitas sendiri. Ia tidak peduli dengan tuduhan tersebut. Ia bahkan -membela seorang pejabat Kristen yang sudah direncanakan akan ditangkap dengan tuduhan melakukan provokasi.

Sebagian tokoh Muslim juga berencana menang-kap Aziz karena ia membongkar kasus penggelapan dana Kredit Usaha Tani (KUT), satu jenis bantuan kredit pada pemerintah untuk membantu para petani kecil pada masa krisis moneter. Ada sebagian dana KUT digunakan oleh sekelompok elit untuk memo-bilisasi massa Muslim dalam aksi pembakaran satu desa yang ditempati warga Kristen. Aziz dituduh ber-buat makar oleh salah seorang saudara penguasa se-tempat, hanya karena tekadnya untuk membongkar korupsi dana KUT tersebut. Tapi, Aziz tidak sendirian. Beberapa tokoh Muslim membelanya, meski kemudian mereka juga diteror. “Kita dibodohi. Ada penyele-wengan KUT dan digunakan untuk membuat kita saling berkelahi,” keluh Aziz di setiap kesempatan, sebagaimana diingat oleh beberapa kawannya.

(55)

bersaudara lagi,” katanya menjawab rasa ingin tahu orang-orang di sekitarnya.

(56)

Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson dan Valium 45

Ibu Ruaedah: Kisah

Sirup Orson dan Valium

“Tolong jangan diganggu. Ini rumah saudara saya.”

Agustanti Ruagadi

Ibu Ruaedah adalah salah seorang anggota Kelompok Kerja Deklarasi Malino (Pokja Deklama). Konflik Poso membuatnya nekat untuk menjadi agen perdamaian. Ibu berjilbab yang penuh semangat dan murah senyum ini mengatakan bahwa perasaan sena-sib dan sepenanggungan tanpa membedakan saudara yang Kristen dan Islam, yang sama-sama menderita karena konflik, menjadi latar belakang pilihannya itu. Ruaedah lahir dalam keluarga Muslim yang taat sekaligus sangat demokratis. Beliau dididik untuk menghargai perbedaan dalam keluarga dan masyarakat. Sejak kecil Ruaedah merasakan hidup bersama satu keluarga Kristen asal Lore Selatan, yang tinggal bersama dengan keluarga orangtuanya. Keluarga tersebut tinggal bersama mereka sejak ia masih di sekolah dasar sampai menjadi sarjana. “So seperti sodara sendiri,” ujarnya.

(57)

terjadi mereka sangat sedih karena harus berpisah. Keluarga Kristen tersebut diungsikan ke Napu (Lore Utara) dibekali obat-obatan dan bahan makanan. Bahkan saat Natal, ibu Ruaedah tak lupa mengirimkan hadiah, uang, dan kue-kue.

“Mengapa ini harus terjadi? Selama kami serumah tidak pernah ada konflik, begitu rukun. Kami harus berpisah karena ulah setan-setan yang tidak bertanggung-jawab. Abah juga ikut sedih, karena ia sendirilah yang mengajarkan pada kami untuk menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan. Abah seorang pedagang kopra yang berdagang hingga ke desa-desa Kristen dan beliau selalu diterima dengan baik,” ujar Ruaedah.

Kerusuhan Poso memasuki Jilid Ketiga. Tanggal 3 Juni 2000, situasi amat genting. Kota Poso telah dikuasai oleh komunitas Muslim. Ruaedah sangat khawatir dengan saudara-saudaranya yang Nasrani, terutama Pendeta Bagau, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Bagian Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen Departemen Agama Poso.

(58)

Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson dan Valium 47

Setibanya di rumah, Ruaedah segera menelpon untuk mencari tahu keberadaan Pendeta Bagau. Jaringan telepon sulit sekali tersambung. Ruaedah teringat istri Pendeta Bagau adalah guru SMA, tanpa pikir panjang lagi ia segera menghubungi tempat itu. Akhirnya Ruaedah bisa mengontak Pendeta Bagau yang kebetulan sedang berada di SMA I. “Saya katakan pada pak Bagau, bahwa ia dan keluarganya harus keluar dari kota Poso. Kami berjanji bertemu di jalan Kartini, di rumah keluarga Andipatau. Saya ke sana, menemuinya dan memintanya tetap tenang dan kalau bisa jangan dulu ke mana-mana sampai situasi cukup aman untuk dibawa keluar kota Poso. Saya juga mengingatkan agar selalu waspada jangan sampai ada penyusupan. Setelah dua hari Keluarga Bagau saya antar keluar kota Poso dengan memakai mobil yang di bagian depannya ditutup sajadah agar tidak dicurigai warga Muslim yang berjaga-jaga di sekeliling kota Poso. Setiba di tempat yang cukup aman, kami meninggalkan Pak Bagau dan keluarganya dan mereka pun meneruskan perjalanan,”.

(59)

Tetapi Ruaedah tidak pernah berhenti berpikir untuk meredam konflik dan menghentikan pertikaian ini. Ia tidak tinggal diam. Selain itu, sebagai kepala sekolah ia bertanggungjawab mengosongkan sekolah selama ketegangan masih terjadi. Ketika situasi semakin memanas datang seorang ibu dari pengajian yang mengatakan bahwa pemuda-pemuda Muslim yang bertahan/menjaga Poso sudah tidak mau mundur, bahkan akan menyerang walaupun harus berhadapan dengan aparat yang juga sudah siaga.

Ruaedah berpikir, apa yang bisa dilakukan? Ia lalu menyuruh ibu itu pergi ke rumah sakit mencari dokter Ori dan meminta valium dalam dosis yang akan menidurkan cukup lama. Setelah itu Ruaedah membeli sirup Orson dan es batu, kemudian dicampurkan valium ke dalam Orson tersebut. Dan minuman itu disajikan kepada para para pemuda yang hendak melakukan penyerangan. Karena kebetulan siang itu matahari sangat terik, mereka pun segera meminumnya. Akhirnya para pemuda tersebut tertidur. Saat itulah mereka diangkut oleh keluarga mereka ke rumah masing-masing.

(60)

Ibu Tati 49

Ibu Tati

“Tentena adalah tempat saya, dan saya tidak takut lagi tinggal di sini”

Agustanti Ruagadi

Pagi itu, 26 Desember 2004. Kegembiraan melingkupi warga Tentena. Bagi yang beragama Kris-ten, bulan Desember, khususnya sejak tanggal 24 De-sember sampai dengan tanggal 2 Januari, adalah hari-hari yang dipenuhi kebahagiaan. Kebanyakan orang tidak pergi bekerja karena persiapan untuk menyambut Natal dan Tahun Baru di rumah masing-masing. Jalanan pun meriah dipasangi lampu warna-warni. Seorang muslimah, Ibu Tati, datang berkunjung ke salah satu rumah warga Kristen. Belum lagi masuk ke rumah yang dituju, ia berpapasan dengan sekelom-pok ibu yang hendak ke pasar. Sambil tersenyum ia menyapa ramah, mengucap salam jumpa dan selamat Natal. Canda dan tawa yang tertahan terdengar dari kelompok ibu-ibu itu. Mereka saling melepaskan rin-du bersama ibu Tati karena sekian lama tak berjumpa bahkan ada yang tak sempat bertemu beberapa tahun belakangan.

(61)

banyak pertanyaan, namun terlihat ekspresi rasa senang di wajah Ibu Tati. Sambil memberikan jawaban yang diselingi dengan canda, ibu Tati terus bercerita keadaannya sekarang dan juga menanyakan keadaan mereka. Percakapan ramai itu terhenti, ketika para ibu berpamitan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju pasar. Pertemuan tak disengaja ini diakhiri dengan dengan lambaian dan janjian untuk bertemu lagi. Ibu Tati melanjutkan kunjungan ke rumah warga Kristen. Dan dalam kunjungannya ini, suasana bahagia begitu kuat terasa lantaran lama tidak saling bertemu. Sepertinya tak ada yang istimewa, kecuali bahwa kejadian ini berlangsung di Tentena, kota Kristen yang masih dipandang berbahaya oleh warga Muslim Poso. Dan, Ibu Tati, adalah seorang Muslim yang minoritas di antara sedemikian banyak tetangganya yang Kristen.

(62)

Ibu Tati 51

berkali-kali dan bahkan menetap kembali di Tentena. Ibu Tati adalah salah satu di antara mereka yang nekat itu.

Ibu Tati adalah warga asli Tentena. Ia lahir dan besar di Tentena. Masa sekolah sampai dewasanya dihabiskan di kota ini. Itu sebabnya, ia dan keluarganya cukup dikenal banyak orang. Konflik Poso menye-babkan ia dan keluarganya sempat mengungsi ke Palu, karena ada ancaman pembunuhan terhadap warga yang beragama Islam. Beberapa tahun yang lalu, suami ibu Tati meninggal dunia. Sekarang ia tinggal bersama seorang anak dan anggota keluarganya yang lain di rumah kontrakan. Kehidupan mereka di sana cukup baik. Sementara rumahnya di Tentena sekarang dikontrakkan kepada seorang teman. Ia tidak ingin menjual rumah itu karena masih ada keinginan yang kuat untuk kembali ke Tentena.

Ibu Tati berwiraswasta dengan berjualan pakaian dan kue. Karena masih kekurangan modal, ia belum bisa membangun toko sendiri. Pakaian dan kue di-tawarkan dari pintu ke pintu. Kebanyakan pelang-gannya melakukan pembelian melalui pemesanan. Usaha ini tidak hanya di Palu saja, tetapi juga di Tentena. Menurutnya, kalau di Palu agak sepi, maka ia akan ke Tentena untuk berdagang.

(63)

yang digambarkan orang selama ini. “Buktinya selama saya di Tentena, saya tidak di apa-apakan.” demikian katanya.

Bahkan ketika tahun 2001 sewaktu situasi Poso lagi panas-panasnya Ibu Tati datang ke Tentena untuk melihat rumahnya. Ia berani datang ke Tentena karena yakin bahwa ia tidak bakal dilukai, lagipula di sana ada banyak teman serta tetangga yang sangat dekat dengannya. Pernah pada tahun 2002 ia mengajak seorang teman menginap di Tentena. Temannya ini merasa sangat takut, tapi Ibu Tati meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Akhirnya Ibu Tati dan temannya menginap menginap di Tentena selama 2 malam.

(64)

John Tongku: Berperang Melawan Isu 53

John Tongku:

Berperang Melawan Isu

“Kami warga Muslim di Desa Malitu baik-baik saja”

Zulfiah

Pak Kepala, begitu biasanya laki-laki separuh baya bernama John Tongku ini disapa masyarakat Desa Malitu Kecamatan Poso Pesisir Selatan.1 Sosok

yang sangat bersahaja dan ramah ini pernah menjabat Kepala Desa Malitu sejak September tahun 1979 hingga Oktober 2001. Rentang waktu yang begitu lama dalam menjabat kepala pemerintahan di desanya membuatnya sering dipanggil “Pak Kepala” kendati jabatan itu tidak lagi disandangnya.

Saat ini beliau tinggal bersama keluarga tercinta di Desa Malitu, sebuah desa yang terletak kurang lebih 7 km dari Ibu Kota Kecamatan Poso Pesisir. Jalan menuju desa Malitu lumayan sulit. Selain karena kondisi jalan yang belum sepenuhnya beraspal, wilayahnya juga jauh menjorok ke dalam dari jalan Trans Sulawesi. Itulah mengapa desa Malitu sangat sedikit memiliki akses informasi. Sebagian besar masyarakat Malitu beragama Kristen (75%) dan sisanya (25%) beragama Islam dari etnis Bugis. Mata pencarian masyarakat pada umumnya adalah petani kakao dan pembuat gula merah.

1 Kecamatan Poso Pesisir Selatan adalah kecamatan baru yang

(65)

Pada awal Juli 2000, beredar isu bahwa ma-syarakat yang berada di Desa Malitu harus dipisahkan berdasar-kan agama masing-masing. Komunitas Mus-lim tidak boleh bergabung dengan komunitas Kristen, demikian pula sebaliknya. Pak Kepala kemudian mengumpulkan warga Muslim, berjumlah 34 kepala keluarga, yang saat itu sebagian besar tinggal di kebun masing-masing. Upaya pengumpulan dilakukan selama dua hari karena lokasi kebun warga saling berjauhan dan berada di daerah perbukitan. Setelah semua ter-kumpul, Pak Kepala meminta mereka untuk mengungsi ke desa-desa tetangga yang mayoritas penduduknya Muslim atau berlindung di Markas Koramil Poso Pesisir. Sebagian besar warga Muslim menyetujui permintaan tersebut namun ada 5 KK yang tidak mau meninggalkan Desa Malitu. Mereka bersikukuh untuk bertahan di desa. Mereka berkata dengan tegas, “Kami akan selalu bersama-sama dengan Pak Kepala. Kalau Pak Kepala mati, kami juga ikut mati.”

(66)

rumah-John Tongku: Berperang Melawan Isu 55

rumah penduduk. Kebetulan saat itu melintas sebuah truk yang biasanya mengangkut kayu hasil penebangan dalam hutan. Pak Kepala kemudian menyuruh seluruh rombongan tersebut menumpangi truk ini menuju desa.

Pada hari Jumat, saat masyarakat Muslim baru selesai menunaikan ibadah salat Jum‘at, datanglah salah seorang anggota polisi utusan Kapolsek Poso Pesisir. Polisi meminta Pak Kepala datang ke kantor polisi untuk memberikan klarifikasi sehubungan dengan adanya isu tentang pengejaran terhadap pengungsi Pandiri yang tiba di perbatasan desa Malitu. Pak Kepala pun menyatakan kesediaannya dan beliau mengajak Pak Marhali, salah seorang kepala dusun Muslim yang berasal dari etnis Bugis. Dengan berboncengan sepeda motor, mereka berdua menuju kantor Polsek. Namun baru saja sampai di perbatasan dengan desa Muslim lain, keduanya dicegat sekelompok warga Muslim yang termakan isu pengejaran terhadap pengungsi Pandiri. Suasana menjadi tegang karena sebagian warga membawa senjata tajam dan terlihat emosional. Tak lama kemudian beberapa warga Bugis mendatangi mereka berdua dan menanyakan kebenaran isu tersebut. Salah seorang pemuda dengan tidak sabar langsung menodongkan Peluncur (salah satu jenis senjata api rakitan) sambil mengancam, “Kalau terjadi sesuatu dengan saudara-saudara kami di sana, maka Pak Kepala sebagai jaminannya.”

(67)

meminta Pak Marhali untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada warga yang mencegat mereka. Pak Marhali pun mencoba meyakinkan warga dengan menggunakan bahasa Bugis, “Kami warga Muslim di desa Malitu baik-baik saja. Bahkan saya sendiri baru selesai melakukan sholat Jum`at. Sementara saat ini saudara-saudara Muslim kita dari Pandiri sedang menikmati makan siang yang disiapkan oleh warga desa Malitu.” Mendengar penjelasan tersebut, sebagian warga merasa puas. Meskipun masih ada yang pena-saran dan belum percaya sepenuhnya, massa akhirnya membubarkan diri.

Setiba di desanya, Pak Kepala langsung memberi-kan penjelasan kepada warganya agar memberimemberi-kan tumpangan menginap kepada para pengungsi Pandiri dan warga Muslim Malitu yang telah kembali dari ke-bun mereka. Ia kemudian mengatur pembagian ru-mah warga untuk dijadikan tempat pengungsian buat sementara waktu.

(68)

John Tongku: Berperang Melawan Isu 57

Koramil di Mapane. Warga Muslim ini akan diantar sampai di perbatasan Desa Malitu dan kemudian me-nempuh jalan setapak menembus Gunung Pancawa-ringi. Dari sana mereka bisa mencapai batas Desa Patirobajo dan selanjutnya berjalan menuju Kantor Koramil. Pak Kepala pun melepas warga Muslim dengan berpesan, “Kalau sudah dekat kantor Koramil, utuslah seorang laki-laki dan seorang ibu sambil menggendong anaknya untuk mengabarkan kehadiran kalian kepada petugas. Jangan membuat kericuhan yang akan membuat masyarakat Desa Patirobajo mengira kedatangan kalian bermaksud hendak menye-rang. Usahakan tiba sebelum malam.” Pesan ini ke-mudian dilaksanakan dengan baik dan rombongan ti-ba dengan selamat di kantor Koramil pada sore hari menjelang maghrib. Setelah mendapat laporan bahwa rombongan tersebut selamat sampai di Kantor Koramil, Pak Kepala pun merasa sangat lega.

(69)
(70)

Keluarga Lahmudian Sabarotja 59

Keluarga

Lahmudian Sabarotja

“Kami tidak sampai hati tinggalkan mereka sendiri dalam ketakutan”

Zulfiah

Lahmudin Sabarotja adalah warga Muslim dari Kelurahan Mapane, Kecamatan Poso Pesisir. Ia telah menetap di kelurahan ini sejak lahir hingga memiliki beberapa cucu. Di usianya yang telah melewati 50 tahun, ia masih terlihat aktif dan penuh semangat meskipun telah pensiun sebagai sekretaris kelurahan Kasiguncu beberapa tahun silam. Lahmudin bertugas di kelurahan tersebut kurang lebih selama sepuluh tahun. Kelurahan Kasiguncu hanya berjarak ± 2 km dari Kelurahan Mapane, tempat tinggalnya saat ini. Penduduk Kasiguncu berjumlah sekitar 700 KK de-ngan jumlah komunitas Kristen 60% dan komunitas Muslim 40%.

(71)

Keluarga Purnama menetap di Kelurahan Kaya-manya, yang hanya berjarak 1 km dari Poso Kota. Dalam rangka mempersiapkan tugas baru tersebut, Purnama beserta istri pindah ke Lore Utara. Anak-anak beliau yang sedang melanjutkan sekolah di Kota Poso, tetap menempati rumah mereka yang berada di Kayamanya. Salah anak beliau sedang menyelesaikan pendidikannya di Akademi Perawat Poso dan dua lainnya duduk di kelas tiga SMU dan sedang mem-persiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir.

Pada pertengahan Mei 2000, suasana mulai terasa tegang dan memanas. Semua orang waspada dan bersiap-siap untuk mengungsi jika keadaan ka-cau. Dalam situasi tersebut, Purnama menemui Lah-mudin dan meminta agar anak-anaknya yang sedang melanjutkan sekolah itu bisa tinggal di rumah Lah-mudin untuk sementara waktu. Permintaan tersebut disetujui Lahmudin. Kebetulan, anak bungsunya satu kelas dengan salah satu anak Purnama.

(72)

Keluarga Lahmudian Sabarotja 61

bisa ditempuh selama setengah jam dengan meng-gunakan mobil. Ketiga anak Purnama pun ikut dibawa mengungsi. “Kami tidak sampai hati tinggalkan me-reka sendiri dalam ketakutan, maka kami pun mem-bawa mereka pergi. Lagipula mereka adalah tanggung-jawab saya. Ayah mereka menitipkan keselamatan anaknya pada keluarga kami,” kata Lahmudin. Beliau sendiri memilih untuk bertahan di Mapane.

(73)

Sampai di Desa Tiwa‘a, keluarga Lahmudin menginap di rumah salah satu kerabat dekat mereka. “Di Tiwa‘a pun kami tidak tenang, karena ada bisikan-bisikan, bahwa ada warga Tiwa‘a yang tahu kehadiran anak-anak Kristen yang ikut dengan kami,” kata istri Lahmudin. Di desa ini mereka hanya bertahan selama dua malam.

Pada tanggal 26 Mei 2000, Purnama menelpon Lahmudin di Mapane karena mendengar kabar bahwa seluruh kampung sudah kosong dan situasi semakin tidak pasti. Sekali lagi, Purnama memohon agar Lahmudin mengupayakan anak-anak beliau dapat keluar dari Mapane. Lahmudin kemudian berangkat ke Tiwa‘a dan menganjurkan keluarganya kembali ke Mapane, karena ternyata tidak terjadi hal-hal buruk sebagaimana kabar yang beredar beberapa hari lalu. Lahmudin berusaha mencarikan mobil untuk anak-anak Purnama. Pada saat itu, hampir tidak ada mobil atau bus yang kosong, semuanya penuh terisi oleh warga yang akan mengungsi ke Palu. Cara satu-satunya adalah dengan mencegat bis yang berangkat dari Makassar atau Tentena menuju Palu atau mobil carteran dengan biaya yang lebih mahal dari biasanya. Akhirnya Lahmudin mendapatkan mobil yang akan berangkat ke Palu. Anak-anak Purnama diberangkatkan ke Palu pada malam harinya.

(74)

Keluarga Lahmudian Sabarotja 63

itu beliau dipercayakan menjadi pejabat sementara menempati posisi lurah karena penempatan lurah yang baru masih dalam proses. Karena memikul tanggungjawab tersebut, malam itu beliau menginap di Kasiguncu.

Pada pagi harinya, 28 Mei 2000, orang-orang Kristen terlihat turun dan berjalan dari arah Desa Sangginora dengan jumlah yang besar. Menurut berita, rombongan tersebut akan berjalan kaki menuju Kota Poso. Mereka tidak akan menyerang desa-desa Muslim yang akan dilewati. Melihat rombongan tersebut, Lahmudin langsung menuju rumahnya, seraya memberitahukan hal tersebut kepada orang-orang yang ditemuinya sepanjang jalan agar mereka membuka palang dan rintangan yang dipasang di jalan-jalan. Maksud beliau, agar rombongan tersebut dapat lewat dan perjalanan mereka tidak terhambat. Lahmudin mengkhawatirkan, jika ada rintangan yang dipasang di jalan-jalan, maka akan mudah menyulut emosi massa yang akan melintas.

(75)

telah dijaga oleh orang-orang Muslim. Lahmudin bersedia dan langsung menuju rumah yang dimaksud, walaupun beliau belum mengenal wanita tersebut.

Setibanya di sana, beliau langsung menyampai-kan maksud kedatangannya. Perempuan muda ter-sebut sangat berterimakasih, karena ia sudah cukup lama menunggu jemputan suaminya dan merasa sangat ketakutan. Menyadari bahwa warga Mapane dan sekitarnya dapat mengenali wajah perempuan ini, Lahmudin menyarankannya memakai topi supaya sebagian wajahnya tidak kelihatan. Dengan perasaan cemas, beliau memboncengnya melewati massa Muslim yang sudah memenuhi jalan-jalan raya. Keduanya pun tiba dengan selamat di kantor Polsek.

(76)

Ngkai Naromba: Sang Penjaga Kampung 65

Ngkai Naromba:

Sang Penjaga Kampung

“Jangan rusak ini Masjid. Masjid ini milik saudara kita”

Agustanti Ruagadi

Ketika kerusuhan Poso kedua terjadi pada tahun 2000, banyak warga Kristen mengungsi ke Tentena. Tentena adalah kota kecil di tepi danau Poso, dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Di sanalah para pengungsi Kristen dari daerah sekitar mencari perlindungan. Banyak pengungsi yang datang hanya dengan baju di badan. Rumah mereka dibakar, harta benda dijarah, dan sebagian dari keluarga mereka ada yang menjadi korban pembunuhan. Dengan kondisi fisik yang lelah dan mental yang tertekan, mereka harus mengungsi dan hidup dengan sarana yang serba terbatas di tempat pengungsian. Beberapa di antara mereka hanya bisa berkata, “Yang tersisa hanya nafas.”

(77)

lain terjadi pembakaran rumah-rumah Muslim yang dicurigai, dan kemudian terbukti, ikut terlibat dalam perakitan bom. Hal ini menimbulkan ketakutan yang amat sangat di kalangan warga Muslim Tentena dan sekitarnya. Mereka pun akhirnya memilih untuk me-ngungsi keluar dari Tentena, meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Tak terkecuali keluarga Zakaria, sebuah keluarga Muslim yang tinggal berte-tangga dengan Ngkai Naromba, seorang tetua adat Tentena. Keluarga ini mengungsi ke Palu meninggal-kan rumah dan seluruh harta bendanya, tanpa pesan apapun untuk para tetangga.

Situasi kota Tentena tidak menentu. Ketika terdengar kabar pembakaran gereja dan rumah-rumah orang Kristen, pembalasan pun segera dilakukan. Mesjid dan rumah-rumah Muslim Tentena dan sekitarnya dibakar dan dibuat porak-poranda.

(78)

Ngkai Naromba: Sang Penjaga Kampung 67

mereka. Memang benar, masjid tersebut dibangun oleh seluruh warga secara gotong royong tanpa membedakan agama.

Ngkai juga berusaha agar rumah tetangganya yang Muslim tidak dibakar warga. Setiap malam, ia melakukan ronda jaga kampung. Dan ketika kerusuhan mencapai puncaknya tahun 2001, ia selalu mengecek rumah keluarga Zakaria. Ketika waktunya untuk gan-ti jaga, Ngkai memilih untuk gan-tidak balik ke rumahnya, melainkan tidur di rumah Zakaria. Hal itu berlangsung selama dua bulan. Beberapa warga Kristen yang menjadi korban kerusuhan mencomoohnya, “Kenapa harus dijaga, biar saja terbakar,” tiru Ngkai.

Tetapi Ngkai tak peduli. Dan, terbukti tindakannya kemuidan diteladani warga Kristen yang lain dengan menjaga rumah-rumah warga Muslim tetangga mere-ka. Sebagaimana Ngkai, warga Kristen ini mau tidak mau harus berhadapan dengan massa yang marah dan kecewa atas penyerbuan kampung-kampung Kristen dan pembakaran-pembakaran gereja.

(79)
(80)

Pak Tua Mispar: Merayakan Idul Fitri Sendirian 69

Pak Tua Mispar:

Merayakan Idul Fitri Sedirian

“Buat apa saya lari dari Tentena. Ini tempat saya dari dulu.”

Sonny Lempadely, Melky Mailowa, dan Ferdy Ebiet Kawani

Ketika kerusuhan terjadi pada pertengahan tahun 2000, hampir semua warga Muslim keluar dari Tentena. Kota kecil dengan mayoritas penduduk beragama Kristen ini, sebaliknya menjadi tempat tujuan yang aman bagi sekitar 30.000 pengungsi Kristen Poso dan daerah sekitar Tentena.

Akan tetapi, Mispar seorang warga muslim Tentena, tak mau pergi mengungsi. Ia tetap tinggal di Tentena bersama istri tercinta. Mispar tak bisa lagi bertemu dan melakukan salat berjamaah di masjid bersama sesama Muslim Tentena. Ia juga menolak tawaran tetangganya yang hendak membantu me-ngungsikannya. Warga Kristen asli Tentena khawatir akan keselamatannya kalau ia tetap nekat bertahan. Alasan Mispar sangat jelas, “Saya tak bersalah. Buat apa saya lari dari Tentena. Ini tempat tinggal saya dari dulu,” ujar Mispar setiap kali tetangga Kristennya menawarkan bantuan.

(81)

di kota ini. dan menjadi satu-satunya warga Muslim yang tidak beranjak dari Tentena, meskipun suasana Tentena begitu tegang. Pada saat yang bersamaan, para pengungsi Kristen dari Poso dan daerah sekitar yang tiba Tentena dengan membawa kemarahan dan kebencian karena terusir dari kampung halaman mereka. Akibatnya, rumah-rumah warga Muslim Tentena yang sudah tak berpenghuni itu diserbu dan dibuat porak-poranda. Warga Muslim pun banyak yang sudah angkat kaki mencari suaka di tempat-tempat yang lebih aman. Keberangkatan mereka dibantu kerabat dan tetangga Kristen Tentena.

Mispar tetap dengan pendiriannya meski para tetangga silih berganti datang mengajak dan menawarkan bantuan. Hal ini pun mereka lakukan karena suasana makin genting dan perilaku para pengungsi Kristen di Tentena hampir tak terkendali lagi. Pengrusakan terhadap mesjid terjadi untuk kedua kalinya, dan benar-benar membuat Mispar harus mendekam di rumah dan melupakan shalat subuh di masjid.

(82)

mem-Pak Tua Mispar: Merayakan Idul Fitri Sendirian 71

berikan perlindungan kepadanya dengan segala cara. Bahkan menariknya lagi, para pengungsi kristen yang benar-benar terpukul karena nasib yang tidak pasti, ikut bersikap hormat dan tidak melukainya. Mispar dengan seluruh kesederhanaannya menyadarkan warga yang lain, bahwa kerusuhan antar komunitas Muslim dan Kristen ini, adalah kejadian yang tidak mereka kehendaki sama sekali.

Hari-hari berlalu sampai tibalah saatnya mera-yakan Idul Fitri. Bagi Mispar, suasana hari raya ini begitu mengharukan. Tak habis-habisnya para tetangga Kristen datang mengucapkan selamat. Orang tua, pemuda baik laki maupun perempuan, bahkan anak-anak, silih berganti menjabat tangannya dengan sikap santun. Dalam suasana seperti ini, ia tidak merasa kesepian pada hari kemenangan umat Muslim kali ini. Dengan mata yang berkaca-kaca menahan keharuan dalam hatinya, ia hanya berkata singkat, “Kita ini bersaudara,” ucap Mispar, sebagaimana ditirukan seorang warga yang mengunjunginya.

(83)

warga Muslim yang bisa mengurusi pemakamannya secara Islam. Sementara, warga Kristen tetap menghendaki jenasahnya dimakamkan dengan tata cara agamanya sendiri. Bagaimanapun juga mereka merasa harus mendapatkan seorang imam Muslim untuk mengurusi dan mendoakannya sebelum dikuburkan.

Utusanpun dikirim ke Poso untuk mencari sang imam yang bersedia datang ke Tentena. Upaya para tetangga, juga tokoh adat dan tokoh agama ke Poso itu gagal, karena warga Muslim Poso tak yakin akan selamat jika datang ke Tentena. Para tetangga tak putus asa. Mereka mencari ke daerah lain. Akhirnya seorang imam Muslim daerah Morowali, bagian timur dari Tentena yang tidak terkena konflik, bersedia datang dan menjalankan perannya. Mispar pun dikuburkan menjelang siang hari, diiringi dukacita penduduk Kristen Tentena.

(84)

Opa Sontje Karepoan dan Pesta Padungku 73

Opa Sontje Karepoan

dan Pesta

Padungku

“Apapun yang ingin kita lakukan...tidak ada manfaatnya kalau diwujudkan dengan kekerasan”

Zulfiah

Bertemu dan berbincang-bincang dengan Opa, demikian Sontje Karepoan sering disapa, bisa betah sampai berjam-jam. Pembawaannya yang ramah ser-ta humoris membuat setiap orang asyik mendengar-kan kisah-kisah hidupnya. Beliau adalah pensiunan polisi yang telah bertugas sejak tahun 1963 hingga pensiun pada tahun 1990. Tidak heran kalau beliau sangat mengenal wilayah Poso, khususnya Kecamatan Poso Pesisir tempat beliau bertugas selama ini. Opa dan keluarganya adalah penganut Kristen Protestan yang taat. Saat ini beliau menghabiskan masa tuanya di Desa Betania, Kecamatan Poso Pesisir yang berjarak ±13 km dari Kota Poso. Selain menjabat ketua Persatuan Pensiunan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Opa juga aktif sebagai Bendahara Komite Sekolah Teknik Menengah1 yang

terletak di kelurahan Mapane yang penduduknya 99% beragama Islam.

1 Opa dengan senang hati menerima jabatan sebagai bendahara

(85)

Pak Dian

“Ia hanyalah orang biasa yang ingin mencari nafkah…”

Leo Fransiscus

Pak Dian, 30 tahun, warga Desa Silanca, Keca-matan Lage, adalah sosok yang cukup dikenal di kam-pungnya. Dengan potongan tubuh sedang, kumis tipis, dan senyum yang terus tersungging, ia terlihat ramah dan menyenangkan. Kulitnya berwarna coklat kegelapan karena sengatan matahari. Dibalik raut wajahnya yang ramah, tampak guratan-guratan yang menunjukkan ketegaran hati dan keteguhan pendirian dalam hidupnya. Sehari-hari ia bertani dan berkebun seperti umumnya penduduk di sana. Pekerjaan ini menjadi andalannya untuk menghidupi keluarga, seorang istri dan dua orang anak. Istrinya, perempuan yang sederhana, membantunya bekerja di ladang dan kebun. Keluarga kecil ini hidup tenteram dalam satu rumah panggung berpapan sederhana yang terdiri dari dua bilik kamar tidur, satu ruang dapur, dan ruang makan. Di tempat inilah mereka menghabiskan waktu bersama di tengah-tengah rasa was-was yang terus meliputi masyarakat Desa Silanca.

(86)

80 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

mereka yang Muslim. Ancaman-ancaman itu membuat warganya selalu diliputi ketegangan dan terus berjaga-jaga baik siang maupun malam.

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi Larung Sungai ini tidak bisa dihindari dari masyarakat bantaran sungai Surabaya, apabila masyarakat bantaran sungai tidak melaksanakan upacara atau melewati

Untuk perlakuan macam varietas, memberikan hasil yang berpengaruh nyata pada parameter saat tinggi tananaman, umur berbunga, jumlah bunga, persentase gugur bunga,

Jawab : Microfin Indonesia yang merupakan lembaga konsultan dalam hal ini hanya sebatas memberikan pembinaan BMT Mitra Usaha Ummat terkait hal-hal yang berhubungan

Hasil penelitian menunjukan faktor internal konsumen yang terbukti berpengaruh terhadap kepuasan adalah jenis kelamin, usia, dan pendidikan.. Sedangkan untuk

Culture imposition adalah kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam maupun terang-terangan memaksakan nilai budaya, keyakinan, dan kebiasaan/perilaku

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.. kontriktor superior, biasanya

Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat SPdORD, adalah surat yang dipergunakan oleh Wajib Retribusi untuk melaporkan data objek

penggunaan waktu, gerak, cara memotivasi siswa, teknik bertanya, teknik penguasaan kelas, penggunaan media, dan bentuk dan cara evalusi. Sedangkan perilaku siswa