• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polis

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 36-42)

“Kamu harus tabah.”

Melky Mailowa dan Agustanti Ruagadi

Bekerja sebagai evakuator pengungsi di daerah konflik bukanlah pekerjaan yang ringan Selain berbahaya juga mengancam nyawa. Ancaman penembakan dan peluru nyasar selalu menghantui para pekerja kemanusiaan ini. Ironisnya seorang evakuator pengungsi juga bisa disamakan dengan pelaku perang yang harus dilenyapkan. Inilah yang dialami Pendeta Rinaldy Damanik atau yang akrab di panggil Abang Didi oleh masyarakat Tentena. Abang adalah Sekretaris umum GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) dan juga Koordinator Crisis Centre GKST selama konflik Poso Jilid 3, bulan April 2000- Agustus 2001.

Sebagai Koordinator Crisis Centre GKST, Abang dan para relawan yang bekerja bersamanya harus selalu siap mengevakuasi pengungsi dari daerah yang rawan konflik. Daerah tersebut biasanya daerah yang sedang mengalami atau mendapatkan ancaman serangan. Para penduduk desa, umumnya anak-anak, perempuan dan manula harus segera diungsikan ke tempat-tempat aman. Bagi warga yang masih kuat biasanya mengungsi ke hutan-hutan atau kebun

sekitar desa karena biasanya kendaraan yang tersedia tidak mencukupi untuk mengangkut seluruh penduduk desa. Tentena dianggap sebagai salah satu tempat berlindung yang aman bagi warga Kristen. Sejak kejadian penyerangan, terdapat dua ribuan pengungsi Kristen yang diangkut untuk diselamatkan.

Pada tanggal 16 Agustus 2002 itu, Abang Didi beserta para relawan lainnya berangkat ke Desa Peleru untuk mengungsikan warga ke Desa Taliwan, Kecamatan Mori Atas yang lebih aman, sekitar 12 kilometer dari Peleru. Evakuasi berjalan aman. Esoknya para relawan kembali ke Desa Peleru untuk membawa harta benda pengungsi yang tersisa, dan akan diserahkan kembali pada para pengungsi di Taliwan.

Tapi, tak seperti hari sebelumnya, kali ini para relawan mendapat masalah. Aparat keamanan dari kepolisian sudah menunggu. Para relawan pimpinan Abang Didi digeledah. Polisi juga menggeledah kendaraan yang mereka bawa. Tiba-tiba saja aparat kepolisian mengklaim menemukan senjata dan amunisi di antara barang dalam mobil para relawan. Tentu saja ini mengejutkan para relawan. Bagaimana mungkin secara tiba-tiba ada senjata dan amunisi di mobil mereka. Para relawan pun balik menuduh polisi sengaja membuat trik untuk menangkap para relawan. Setelah berdebat cukup lama akhirnya polisi membolehkan para relawan mengangkuti barang- barang milik para pengungsi untuk dibawa ke Taliwan.

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 27

Tak ada surat penangkapan buat Abang Didi dan kawan-kawannya. Sepasukan TNI yang datang kemudian juga memberikan perlindungan pada para relawan karena jalanan sudah diblokir massa penyerang dari kelompok Muslim.

Namun, keesokan harinya, segera beredar kabar adanya senjata dan amunisi di mobil Abang Didi dan kawan-kawan, dan polisi akan melakukan penangkapan. Rencana penangkapan Abang oleh polisi itu, kemudian diketahui warga. Berita itu membuat warga menjadi geram dan situasi menjadi tidak tenang. Sebagian warga merasa Abang bukanlah seorang provokator, terutama warga masyarakat yang ketika pengungsi dievakuasi oleh Abang dan rekan-rekannya. Sejumlah pendeta yang ada diwilayah GKST membuat suatu peryataan sikap bersama yang berisikan penolakan atas rencana penangkapan Pendeta Rinaldy Damanik. Pada tengah hari pukul 22 Agustus 2002, warga Tentena dikejutkan oleh suara raungan helikopter polisi. Hampir semua warga dari orangtua hingga anak-anak, turun ke jalan-jalan. Kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah, dekat rumah Abang Didi, penuh sesak dengan manusia. Mereka dengan tegas menolak penangkapan Abang Didi. Beberapa di anta- ranya menyatakan siap mati untuk menyelamatkan pendeta mereka. Jalan-jalan menuju kantor GKST juga diblokir. Situasi mencekam. Sebagian warga mulai memukul tiang telepon berkali-kali sebagai isyarat kota dalam bahaya.

Pendeta Rinaldy Damanik segera keluar menemui massa. Ia meminta warga tenang. Ia juga meminta pengertian warga, dan membolehkan dirinya dibawa polisi. “Terima kasih atas maksud baik bapak, ibu dan saudara sekalian. Saya tidak akan lari sebab saya tidak besalah. Jika mereka ingin menangkap saya, silakan mereka menangkap di ruang kerja saya,” ujar Abang Didi.

Pendeta ini lantas pulang ke rumah yang berjarak sekitar 50 meter dari kantor GKST. Ditemuinya putrinya yang masih duduk di bangku SMP. Dijelaskannya situasi sulit yang dihadapi dan kemungkinan yang akan terjadi. Di luar dugaan sang putri mengerti dan merelakan ayahnya memenuhi panggilan polisi untuk membuktikan dirinya tak bersalah. Sikap tegas massa akhirnya membatalkan rencana penangkapan Abang Didi pada hari itu. Demikian pula pada hari-hari berikutnya, tarik ulur terus terjadi. Polisi tetap ngotot melakukan penangkapan, sementara warga dan para pendeta mati-matian tak bersedia menyerahkan Abang Didi. Selang beberapa minggu kemudian, pada 8 September 2002, Rinaldy Damanik melakukan rapat lengkap tertutup yang dihadiri oleh Majelis Sinode dan tokoh-tokoh masyarakat. Dalam rapat itu, ia menyampaikan keputusannya memenuhi panggilan polisi dan akan didampingi oleh kuasa hukumnya, Jhonson Panjaitan SH dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta.

Abang Didi: Ihklas Menjadi Tahanan Polisi 29

Malam harinya pada pukul 22.00WITA, mobil polisi datang menjemput Abang Didi untuk dibawa ke Mabes Polri di Jakarta. Massa masih keberatan dan ketegangan antara polisi dan warga Kristen kembali terjadi. Tiang listrik kembali dipukul-pukul sebagai pemberitahuan akan adanya bahaya. Sebagian warga berpakaian hitam-hitam sebagai tanda kesiapan untuk berperang. Abang Didi menuju kumpulan massa yang marah dan berkata, “Tenang saudara-saudara. Tenang. Saya hanya akan diperiksa sebagai saksi bukan sebagai tersangka. Saya bukan penjahat yang takut diperiksa. Karena itu, saya minta saudara-saudara untuk tidak melakukan tindakan anarkis. Saya tidak menginginkan adanya korban,” demikian katanya.

Massa akhirnya bisa ditenangkan. Abang Didi lalu dibawa ke Jakarta. Di ibukota negara ini, Pendeta Rinaldy Damanik ternyata tidak hanya dijadikan saksi tapi menjadi tersangka dengan tuduhan kepemilikan atas sejumlah senjata api dan amunisi. Namun pada pemeriksaan pertama tersebut tidak terdapat cukup bukti. Pemeriksaan lanjutan akhirnya dilakukan di Palu. Abang pun diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara.

Bulan berganti bulan dilaluinya dalam penjara dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Pada tanggal 27 November 2004, akhirnya Abang bebas bersyarat atas jaminan organisasi Islam Palu, Al Khaerat, dengan salah satu sesepuhnya adalah Ustadz Idrus Al Habsyi (Almarhum).

Awalnya sang Ustadz tidak sependapat dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Sinode GKST. Tapi, setelah mengikuti perkembangan, ia me- nyimpulkan Abang adalah korban rekayasa. Guru Tua –demikian Idrus Al Habsyi biasa dipanggil- sering menjenguk pendeta Rinaldy Damanik di penjara, menjalin persahabatan akrab, dan mendukungnya dengan doa.

Ada satu peristiwa yang selalu membuatnya teringat pada almarhum Guru Tua. Saat dikembalikan ke Palu dan menjalani pemeriksaan, pendeta ini mengalami hari-hari yang berat. Dia sakit keras. Diantara orang-orang yang datang berkunjung, yang pertama kali muncul adalah wajah teduh Guru Tua. Abang masih ingat bagaimana guru tua ini memegangi tangannya sembari berdoa. “Kamu harus tabah,” ujar Abang menirukan suara teduh Guru Tua. Abang merasa mendapat tenaga untuk bangun dan meng- hadapi pengadilan atas tuduhan yang tak pernah dila- kukannya. “Guru Tua menguatkan hati saya, dan menjadikan saya tenang menghadapi pengadilan,” ujar pendeta Rinaldy Damanik, yang kini menjabat Ketua Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

Ahmad Yani: Menggadai Diri Demi Keamanan 31

Ahmad Yani:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 36-42)