• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mas Abdullah: Sang Negosiator

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 170-176)

Mas Abdullah: Sang Negosiator

Membuka dialog untuk menyatukan perbedaan Andri WP

Bagi kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Pontianak, Abdulah HS adalah seorang abang, guru, sahabat, dan sekaligus bapak. Mas Dullah, begitu ia disapa orang-orang dekatnya, lahir di Malang, Jawa Timur. Sekarang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Ia mengajar di Pesantren Darul Ulum, di daerah Kecamatan Sungai Raya, 17 km arah selatan kota Pontianak. Selain aktif di LSM, Abdullah juga menjabat ketua wilayah ormas Islam Nahdatul Ulama (NU) Kabupaten Pontianak. Dalam posisinya sebagai ketua NU inilah Abdullah dan kawan-kawannya terlibat aktif dalam upaya mencegah eskalasi konflik kekerasan di Pontianak.

Pada akhir tahun 1996 terjadi peristiwa penyerangan komunitas Madura di Sanggau Ledo oleh warga Dayak. Perkelahian antar pemuda menjadi faktor pemicunya. Informasi penyerangan atas warga Madura itu pun terdengar oleh masyarakat di kota Pontianak, meskipun jaraknya sekitar 300 sampai 400 Km dari lokasi kejadian. Suasana kota Pontianak menjadi mencekam. Warga Madura dan Dayak saling menjaga jarak dan tidak ada yang mengambil inisiatif melakukan komunikasi satu sama lain. Kelompok lain yang tak terlibat konflik juga memilih diam karena

menganggap sikap itu yang paling menguntungkan. Abdullah merasa, dalam ketegangan itu, sesuatu bisa terjadi. Lantas ia mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok etnis yang terlibat konflik di Pontianak.

Abdullah kemudian menemui Pius Alfred, seorang tokoh muda Dayak yang kebetulan tinggal di Pontianak. Pius saat itu adalah ketua Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Kalbar, sebuah lembaga pemberdayaan di bawah naungan keuskupan, dan juga merupakan salah satu anggota Majelis Adat Dayak. Pius sendiri berusaha memprakarsai komunikasi kelompok Dayak dan Madura di tengah- tengah ketegangan saat itu. Dari diskusi, Mereka berpendapat harus secepatnya meyakinkan kelompok etnis yang berkonflik untuk melakukan pertemuan. Abdullah bertugas meyakinkan kelompok Madura, sementara Pius Alfred dan kawan-kawannya, ke kelompok Dayak. Mereka harus bergerak cepat karena kedua kelompok sudah mulai saling menyalahkan, menyebabkan suasana semakin mencekam.

Melalui berbagai proses pendekatan yang panjang, maka disepakati adanya sebuah pertemuan bagi kedua kelompok etnis yang bertikai. Untuk menindaklanjuti rencana tersebut, Pondok Pesantren Darul Ulum di daerah Sungai Raya, Kabupaten Pontianak, dipilih sebagai tempat pertempuan karena dinilai netral.

Dalam pertemuan awal ini, proses dialog hanya difasilitasi oleh Abdulah dan Jueng secara bergantian. Pertemuan menghasilkan tiga poin utama. Pertama,

Mas Abdullah: Sang Negosiator 161

masing-masing pihak menyadari bahwa mereka adalah korban. Kedua, mereka sepakat bahwa eskalasi konflik di lapangan tidak perlu dihubungkan dengan isu agama dan kedua pihak harus mengembangkan komunikasi secara lebih intensif. Dan ketiga mereka akan berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan klarifikasi atas isu-isu yang telah berkembang di masyarakat.

Setelah dialog tersebut diselenggarakan, terlihat adanya perkembangan positif dalam masyarakat di Pontianak. Sebagian masyarakat Dayak yang tinggal di wilayah Pontianak mulai ambil bagian dalam memberikan bantuan kepada pengungsi Madura yang saat itu telah tiba di tempat-tempat pengungsian di Kota Pontianak.

Pertemuan kedua dilaksanakan di gedung Rektorat Lama Universitas Tanjungpura. Dalam pertemuan ini dilakukan penambahan unsur peserta yang terlibat, terutama kelompok pemuda. Awalnya pertemuan berjalan lancar. Akan tetapi, tanpa diduga sebelumnya suasana menjadi tegang ketika salah satu peserta memperlihatkan rekaman video kekerasan yang dilakukan kelompok Dayak. Dalam gambar video tersebut, terlihat beberapa oknum masyarakat Dayak sedang melakukan pembakaran tempat ibadah umat Islam dan kitab Al Qur’an.

Sebagian peserta dari kelompok Islam beranggapan bahwa konflik telah melibatkan simbol- simbol agama. Mereka meragukan pernyataan kelompok Dayak sebelumnya, bahwa mereka tidak akan melibatkan simbol-simbol agama dalam perang

antar etnik yang saat itu sedang berlangsung. Dalam kondisi ini pihak Dayak tentu merasa terpojok dan bersikeras membela diri dengan mengatakan bahwa peristiwa yang terekam video itu sangatlah kasuistik dan dilakukan oknum dari luar masyarakat Dayak.

Dalam suasana yang semakin tegang dan memanas, fasilitator menjadi bingung dan tidak bisa mengendalikan jalannya pertemuan. Karena tidak tercapainya kesepahaman, beberapa pemuda Dayak kemudian melakukan walk out dari arena pertemuan. Pertemuan kedua itu berakhir tanpa menghasilkan kesepakatan apapun.

Abdullah dan kawan-kawan tak putus asa untuk merajut kembali jalinan komunikasi antara pihak Madura dan Majelis Adat Dayak. Pertempuan kembali digagas dengan mempertimbangkan tempat dan waktu yang lebih netral serta lebih kondusif. Agar tidak terjadi lagi kegagalan sebagaimana pertemuan sebelumnya, tim fasilitator dibentuk dengan jumlah personil yang merepresentasikan tiap-tiap kelompok. Pius Alfred dan Jueng mewakili Dayak, Rido’i dari Madura NU, Ali Nasrun mewakili Muhammadiyah sekaligus Melayu dan Abdullah sendiri pihak yang dianggap netral. Universitas Muhammadiyah dipilih sebagai tempat pertemuan. Dalam pertemuan ini, unsur-unsur agama dan kelompok yang tidak terlibat konflik juga diikutsertakan.

Pertemuan ketiga menghasilkan satu kesepakatan yang lebih progresif dibanding dua pertemuan sebe- lumnya, yaitu, membentuk sebuah wadah berhim- punnya berbagai kelompok etnis di Kalimantan Barat.

Mas Abdullah: Sang Negosiator 163

Juga disekapakti untuk membuka dompet peduli bencana yang digalang dari berbagai etnis di Kalimantan Barat, bekerjasama dengan media massa. Dalam hal ini Akcaya Post akan dipilih sebagai media penggalangan dana.

Keesokan harinya, peserta pertemuan datang ke kantor Akcaya Post (sekarang Pontianak Post) guna membuka list dompet peduli yang telah disepakati dan akan diterima Akcaya Post. Namun mereka kecewa karena ternyata Akcaya Post tidak dapat mengabulkan keinginan mereka, seperti kesepakatan sebelumnya. Alasannya karena partai Golkar telah melakukan hal yang sama terlebih dahulu. Padahal sebelumnya tidak pernah diinformasikan kalau Golkar akan melakukan hal serupa. Yang lebih mengecewakan lagi ialah bahwa penolakan itu hanya berselang satu hari dari kesepakatan peserta pertemuan dengan Akcaya Post.

Sementara itu, di tempat yang berbeda dan jauh dari Pontianak, eskalasi konflik terus saja meluas. Sebagian besar wilayah Kabupaten Pontianak dan sebagian wilayah Sanggau sudah menjadi medan konflik. Kedua kelompok etnis, Madura dan Dayak, saling berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan satu sama lain.

Abdullah dan timnya kembali melaksanakan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi penyebaran dan dampak kekerasan komunal tersebut. Ketika konflik sudah merambat ke daerah Peniraman, sebuah wilayah basis Madura di Kabupaten Pontianak, Abdullah dan kawan-kawan berencana mengundang

Gus Dur, tokoh nasional yang dianggap mempunyai pengaruh untuk menghentikan laju penyebaran es- kalasi konflik. Paling tidak perannya diharapkan mampu meminimalisir konflik etnis agar tidak mengarah kepada konflik agama.

Suasana mencekam di Pontianak, tidak hanya menakutkan warga Madura, tapi juga warga Dayak. Kompleks Asisi di Pontianak yang sebelumnya sudah dijaga ketat oleh militer ternyata diserang sekelompok orang yang kabarnya berasal dari pihak Madura. Asisi adalah kompleks sekolah yang menampung siswa dari masyarakat Dayak pedalaman, sementara Pancur Kasih adalah konsorsium lembaga swadaya masyarakat milik komunitas Dayak. Penyerangan ini kembali memicu konflik hingga ke sebagian wilayah Sanggau dan Kabupaten Pontianak.

Kembali pada rencana Abdullah mengundang Gus Dur ke Pontianak, pihak aparat keamanan me- nyiapkan diri dengan menghubungi kantor PW NU Pontianak. Tidak lama berselang, Gus Dur meng- hubungi Darul Ulum dan menyampaikan bahwa ia tidak bisa ke Pontianak karena dilarang oleh salah satu pimpinan militer di Jakarta. Untuk itu Gus Dur menunjuk tiga orang Kiai Madura yang akan menggan- tikannya. Akan tetapi ketiga Kiai pengganti Gus Dur ini tidak diperbolehkan masuk kota Pontianak meski- pun mereka sudah berada di bandara.

Seiring dengan suasana yang sudah tidak mungkin dikendalikan, Abdullah dan tim kemudian bersepakat untuk sekurang-kurangnya mengamankan lingkungan mereka masing-masing.

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 170-176)