• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMUDA: Organisasi Perdamaian

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 194-200)

Mereka membutuhkan sebuah organisasi multi-etnis demi kerukunan

hidup dalam komunitas

Andri WP

Cerita ini mengisahkan tentang sekelompok anak muda yang berusaha mewujudkan perdamaian dengan membentuk organisasi lintas etnik bernama Persatuan Elemen Masyarakat Untuk Perdamaian (disingkat PEMUDA). Organisasi ini dibentuk pasca konflik Sambas di Kalimantan barat, yang telah merembet sampai ke kota mereka, Pontianak.

Anak-anak muda ini adalah korban sekaligus pelaku tindak kekerasan selama berlangsungnya kon- flik etnis di Pontianak. Mereka risau dengan keadaan yang memaksa mereka harus menjadi korban, bahkan juga mengkondisikan mereka menjadi pelaku tindak kekerasan antar etnis. Mereka melawan keadaan dengan membentuk organisasi penjaga perdamaian. Apa yang mereka lakukan dengan membentuk organi- sasi antar etnis ini berbeda dengan kecenderungan umum pembentukan organisasi di Pontianak, pasca kerusuhan antar etnis Sambas, yang sebagian besar berorientasi agama dan suku. Sejak awal PEMUDA dibentuk dengan semangat multi etnis.

Ide pembentukan organisasi ini lahir dari perbincangan antara empat pemuda dari kampung Beting, Kota Potianak. Mereka, yakni Eka, Rudi, Firman dan Udin, risau melihat semakin maraknya proses identifikasi suku yang terjadi di Pontianak.

Mereka tidak sedang membayangkan bagaimana caranya meminimalisir polarisasi etnis yang ada. Mereka juga tidak membayangkan bagaimana idealnya identitas etnis itu harus ditempatkan dalam kehidupan sosial yang baru pasca konflik kekerasan. Juga tak terbayangkan oleh mereka sendiri bagaimana mena- ngani dampak sosial dari peristiwa eskalasi konflik yang pernah terjadi. Yang mereka lakukan hanyalah mendiskusikan kerisauan yang dirasakan dan berbagi kekhawatiran atas rentannya perdamaian di Pontianak. Kerisauan itu lebih karena bangkitnya simbol- simbol identitas kesukuan yang jelas semakin mempersempit pergaulan para pemuda yang sudah terpecah belah. Mereka membutuhkan wadah berkumpul bagi sesama kaum muda yang tak setuju dengan kecenderungan itu. Awalnya mereka bingung untuk memulai. Akan tetapi, mereka tidak berhenti melakukan pertemuan. Akhirnya mereka membuat sejumlah kesepakatan dan dilanjutkan dengan kegiatan praktis yang memungkinkan mereka bisa saling bertemu dan berbagi pengalaman.

Dukungan pun muncul dari berbagai kalangan muda yang dibuktikan dengan semakin tingginya tingkat kehadiran dan partisipasi mereka dalam

PEMUDA: Organisasi Perdamaian 185

setiap pertemuan yang dilakukan. Meskipun organisasi belum dibentuk, wacana tentang perdamaian tetap berkembang. Eka, Rudi, Firman, Udin dan orang- orang muda yang lain berhasil melibatkan hampir semua kelompok pemuda di Pontianak dalam rangka pendirian organisasi tersebut.

Selain melibatkan berbagai kelompok, rencana pendirian organisasi tersebut juga melibatkan para aktivis sosial. Para mantan milisi yang terlibat dalam konflik antar etnis turut pula memenuhi undangan. Kelompok-kelompok preman yang bermunculan pasca eskalasi konflik Sambas juga diajak bicara. Orang- orang muda yang cukup berpengaruh dalam kelompok- kelompok kecil, serta individu-individu yang punya peranan, juga dilibatkan.

Seiring dengan tingginya intensitas pertemuan yang mencapai belasan kali, beberapa elit peme- rintahan atau tokoh masyarakat berhasil dirangkul untuk dijadikan penasehat organisasi. Di antara para hadirin terdapat pula tokoh dari kalangan Madura. Beberapa pejabat teras di lingkungan Pemda Kalbar, ketua PWI Kalbar, Walikota Pontianak bersedia menjadi penasehat organisasi. Seorang pimpinan perguruan tinggi negeri Islam yang juga merupakan tokoh kalangan Melayu dilibatkan. Demikian juga seorang pengusaha Cafe terkenal di Pontianak ikut bergabung.

Setelah hampir satu tahun persiapan diisi dengan diskusi dan berbagai kegiatan lainnya, pada

tanggal 7 Maret 2004 PEMUDA dideklarasikan di Gedung Olah Raga (GOR) SSA Pontianak. Dengan misi “mewujudkan perdamaian antar suku, agama dan ras, khususnya pada kaum muda di Kota Pontianak”, keberadaan PEMUDA mendapat respon yang sangat baik dari kalangan muda di Pontianak. Deklarasi tersebut dihadiri lebih dari 700 peserta. Jumlah ini hanya bisa ditandingi oleh massa kampanye partai yang dilakukan dengan dukungan dana besar. Dideklarasikannya PEMUDA tidak berarti tantangan yang akan dihadapi menjadi ringan dan berkurang. Menurut para aktivis PEMUDA besarnya tantangan diakibatkan oleh kurangnya dukungan yang berarti dari para elit dan tokoh masyarakat yang ikut menjadi pengambil kebijakan terhadap program- program yang dilakukan PEMUDA. Di samping itu masih kentalnya polarisasi konflik pada tiap level kepentingan masyarakat dan lebih terakomodasinya identitas etnik pasca eskalasi konflik merupakan tantangan serius bagi keberadaan PEMUDA. Pada saat yang sama, tidak adanya arahan atau aktivitas pembinaan terhadap PEMUDA memperlemah kepercayan diri organisasi ini dalam melaksanakan program-programnya.

Terlepas dari berbagai keterbatasan tersebut, keberadaan PEMUDA secara langsung maupun tidak langsung telah membuat banyak perubahan berarti di Pontianak. Kasus-kasus kriminal lintas etnik yang terjadi tidak lagi mengarah pada bentuk-bentuk

PEMUDA: Organisasi Perdamaian 187

kekerasan kolektif.

Sebelum PEMUDA didirikan, kasus kriminal lintas etnik selalu menjadi pemicu terjadinya mobilisasi kekerasan etnik. Salah satu contoh adalah perkelahian lintas etnik yang pernah terjadi di Nipah Kuning. Kasus ini tidak berakhir seperti kasus-kasus sebelumnya. Para pemuda yang biasanya mudah terpancing dan mudah dimanfaatkan untuk melakukan aksi-aksi lanjutan memilih untuk berkumpul dan membahas agar kasus itu tidak melebar.

Pernah pula terjadi penusukan terhadap salah satu anggota PEMUDA yang dilakukan oleh salah satu anggota organisasi berbasis primordial. Walau sulit dilakukan, upaya pencegahan agar peristiwa tersebut tidak menyebar dan berimbas pada kerusuhan baru berhasil dilakukan. Dua peristiwa tersebut memberikan isyarat positif bagi keberlangsungan perdamaian di Pontianak.

Menurut Eka, Budi, Andi Robert, Bowo dan anggota PEMUDA lainnya yang kami temui, PEMUDA juga pernah mengadakan dialog tentang konflik dan kekerasan yang melibatkan unsur akademisi. PEMUDA pernah pula mengadakan dialog dalam rangka menyikapi kondisi menjelang pemilu dengan mengundang beberapa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Kegiatan lain yang pernah dilakukan PEMUDA ialah kegiatan atraktif, seperti lomba burung merpati yang diikuti oleh peserta dari Jawa, lomba ketrampilan

bersepeda bagi anak-anak, sunatan massal, dan kegiatan kerja bakti di kuburan umum. Kegiatan- kegiatan itu tampak kontras dengan keseharian sebagian anggota PEMUDA yang relatif masih berada di lingkungan yang penuh dengan pengalaman kekerasan.

Sejauh ini para aktivis itu merasa bahwa keberadaan mereka masih kurang mendapat respon yang memadai dari para elit, tokoh masyarakat, serta para pengambil keputusan di tingkat daerah. Kurangnya dukungan dari kalangan elit sempat membuat anggota PEMUDA ragu akan masa depan organisasi mereka.

Apakah PEMUDA, organisasi dengan misi dan harapan perdamaian yang jumlah anggota lintas etnisnya cukup banyak ini, dapat bertahan di tengah maraknya polarisasi konflik etnik di Kalimantan Barat? Waktu yang akan membuktikannya.

Sastra dan Tata: Pahlawan Para Pengungsi 189

Sastra dan Tata:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 194-200)