• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ustadz Iwan dan Diplomasi Sepakbola

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 142-148)

“Kalau terjadi kerusuhan di sini, Kamilah yang jadi korban, bukan kalian”

Zakiyah Samal

Sepanjang tahun 2003 sampai 2004 kondisi Kota Ambon mulai terlihat normal kembali. Warga terlihat sudah saling berinteraksi melampaui sekat- sekat suku dan agama. Pergaulan itu tidak hanya sebatas pada transaksi perdagangan, tetapi juga sudah tampak saling membuka diri satu sama lain. Mereka saling mengunjungi mengingat sebelumnya mereka adalah teman, tetangga, bahkan masih ada hubungan keluarga. Semangat basudara yang dimiliki orang Maluku mulai tumbuh bersemi.

Namun hubungan yang indah itu tiba-tiba ternodai oleh peristiwa penaikan bendera Benang Raja oleh simpatisan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Peristiwa yang terjadi tepat tanggal 25 April 2004 itu memicu konflik kekerasan baru dan menggoyahkan tatanan kehidupan yang baru saja dimulai.

Adalah seorang laki-laki berusia 38 tahun bernama Irwan Taher Manggala. Laki-laki asal Sulawesi yang sudah memiki dua putra ini berprofesi sebagai guru. Dia juga salah satu aktivis pecinta anak. Saat itu, beliau baru saja diangkat menjadi ketua RT di kampong Jalan-baru, Kelurahan Waehaong, Kota

Ambon. Jalan-baru adalah sebuah kampong Islam yang berbatasan langsung dengan daerah Pohon- puleh yang dihuni oleh komunitas Kristen.

Saat kekerasan pecah pada tanggal 25 April 2004, terjadi aksi saling melempar batu antar kelompok Islam dan Kristen di Tugu Trikora, beberapa ratus meter dari kawasan perkampungan Jalan-baru. Warga Jalan-baru panik, apalagi gedung kantor PBB yang terletak di seberang kampung terbakar. Mereka lari mengungsi ke Mesjid Raya Al-Fatah.

Namun Ustadz Iwan, demikian Irwan Taher biasa dipanggil warga setempat, memilih untuk tetap bertahan di rumahnya yang terletak paling ujung dari deretan rumah warga Jalan-baru yang berhadapan langsung dengan daerah Pohon-puleh. “Saya adalah ketua RT. Bisa dibilang saya adalah tokoh di sini. Saya harus memberi contoh kepada warga saya untuk tidak ikut-ikutan mengungsi. Kalau saya juga ikut-ikutan mengungsi maka daerah ini akan kosong dan akan menjadi medan konflik yang baru. Karena itu, saya harus tetap bertahan di sini. Meskipun rumah saya sering menjadi sasaran penembak gelap, saya bisa berlindung di bagian yang tidak mungkin ditembus peluru,” ujar Ustadz Iwan menjelaskan.

Suasana di sekitar kampong Jalan-baru pun mencekam. Apalagi saat lampu-lampu penerang jalan padam setelah terjadi ledakan yang menyebabkan listrik di Kota Ambon mati total. Pada malam hari, kampung Jalan-baru menjadi wilayah perbatasan pertahanan bagi kedua kelompok yang berkonflik sementara kedua komunitas bersiaga di areanya

Ustadz Iwan dan Diplomasi Sepakbola 133

masing-masing. Kekerasan bisa saja meledak jika salah satu pihak mulai memicu kekerasan. Karena itulah maka pihak militer mendirikan dua pos keamanan di kampung Jalan-baru. Satu pos ditempatkan di belakang Gereja Silo dan satunya lagi di depan jembatan Pohon-puleh.

Kondisi demikian berlangsung sekitar dua bulan. Selama itulah Ustadz Iwan bertahan untuk tetap tinggal di rumahnya. Ia mencatat bahwa tidak ada keributan maupun kekerasan di sekitar kampong Jalan-baru yang dilakukan oleh dua komunitas yang hidup bertetangga tersebut. Keributan dan kekerasan lebih banyak dilakukan oleh orang luar yang tidak jelas identitasnya.

Menurut Ustadz Iwan, cara terbaik untuk menjaga keamanan wilayah ini adalah apabila dua komunitas saling terbuka, saling percaya, dan membuat perta- hanan bersama. Secara diam-diam ia mencari akal untuk membuka komunikasi lintas komunitas. Ketika dirasanya situasi cukup aman, ustadz Iwan berjalan menyeberang ke arah pemukiman komunitas Kristen dan mampir ke sebuah kios kecil yang berada tidak jauh dari jalan raya. Ustadz Iwan membeli sesuatu sebagai alasan untuk bisa berbicara dengan pemilik kios tersebut. Setelah itu ia pulang. Tidak terjadi apa- apa pada dirinya maupun si pemailik kios. Ustadz Iwan tidak merasa takut meskipun wilayah yang ia lewati merupakan wilayah terbuka yang memungkin- kan dirinya menjadi target suatu serangan. Ia tidak takut karena ada pos militer di sekitar tempat itu. Dan aparat keamanan pun mengenalnya dengan baik. Ia

yakin bahwa warga Kristen yang ada di area tersebut pasti memiliki perasaan was-was, takut, dan curiga yang sama yang dirasakan oleh warga Jalan-baru.

Hari-hari selanjutnya jika situasi tetap aman, Ustadz Iwan mencoba menyeberang jalan mendatangi kios yang sama untuk membeli keperluan yang lain. Hal tersebut terus ia lakukan selain untuk memantau situasi, juga untuk memulai membangun kepercayaan antara dirinya dan pemilik kios. Meskipun memeluk agama yang berbeda, mereka adalah tetangga yang hanya dipisahkan oleh sebuah jalan raya. Biasanya saat sedang membeli barang kebutuhan sehari-hari, ia selalu membuka obrolan-obrolan singkat. Awalnya pemilik kios dan beberapa warga Kristen yang ada di wilayah itu menaruh curiga kepadanya. Ada yang mengira ia memata-matai mereka. Sikap pemilik warung awalnya takut dan kurang bersahabat. Namun semua itu tidak diindahkannya. Ia melihat sikap demikian sebagai kewajaran mengingat trauma dan pengalaman kekerasan yang pernah dialami tidak akan mudah hilang begitu saja.

Lambat laun pemilik kios dan warga Kristen yang lain pun tidak lagi menemukan alasan untuk terus bersikap curiga. Mereka melihat ketulusan yang ditawarkan oleh bapak RT ini. Sejak saat itu, di antara mereka mulai muncul keterbukaan dan keinginan untuk berbagi rasa. Jika terjadi keributan di malam hari, besoknya mereka akan saling berkomunikasi tentang kekhawatairan mereka dan mencoba mencari tahu siapa pelaku dan dalangnya. Mereka sepakat untuk tetap berkomunikasi terutama jika ada informasi

Ustadz Iwan dan Diplomasi Sepakbola 135

penting tentang situasi keamanan. Secara diam-diam mereka sepakat untuk saling menjaga dan terbuka serta menutup celah bagi masuknya provokator.

Masyarakat muslim di Jalan-baru awalnya diliputi rasa takut. Tetapi setelah melihat Ustadz Iwan tetap bertahan di rumahnya yang persis berada di perbatasan itu, mereka akhirnya memilih untuk kembali ke rumah masing-masing. Meskipun, sebagian masih kembali ke Masjid Al-Fatah jika malam tiba. Kepercayaan mereka atas hubungan Islam-Kristen pun tumbuh lagi ketika mereka menyaksikan Ustadz Iwan menyeberang jalan ke daerah Kristen dan berbincang-bincang akrab dengan warga Kristen. Kondisi saling percaya ini tercipta bukan tanpa ada rintangan sama sekali. Ustadz Iwan sering mendapat teror dari orang Muslim yang menginginkan konflik terus berlangsung.

Tidak berapa lama setelah peristiwa 25 April, beredar selebaran larangan serta ancaman bagi orang Islam untuk berhubungan dengan orang Kristen. Selebaran itu juga melarang transaksi jual-beli dengan pihak Kristen. Jika ada warga Muslim hendak mela- kukan transaksi dengan pihak Kristen, maka mereka harus minta ijin dan membayar uang sebesar Rp 250.000 kepada kelompok yang mengeluarkan surat izin itu. Selebaran yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan itu direkayasa seakan-akan dikeluarkan oleh MUI Maluku. Selebaran itu menjadi momok dan sempat mempengaruhi aktivitas masyarakat Muslim karena mereka merasa seakan-akan dimata-matai .

dengan ancaman itu. Ia pernah diperingatkan oleh seorang Muslim untuk mematuhi selebaran itu. Namun dengan santun, ia menjawab,”Kami hidup bertetangga dan hanya dibatasi oleh jalan raya. Kami berkomunikasi untuk membuat pertahanan bersama. Kalian tidak tinggal di daerah ini. Kamilah yang tinggal di sini. Kalau terjadi kerusuhan di sini kami yang jadi korban, bukan kalian. Kalian tidak pernah ada di sini untuk menolong kami. Apa salahnya jika kami melakukan sesuatu untuk menjamin keselamatan kami sendiri? Kalian jangan mengambil manfaat dari konflik ini. Pikir dong kesengsaraan orang lain.”

Jawaban tegas itu membuat si pengancam pergi. Tapi Ustadz Iwan yakin bahwa ia akan menghadapi ancaman yang lainnya. Jadi ia selalu waspada.

Di samping berusaha membangun kepercayaan antara dua komunitas yang hidup bertetangga, Ustadz Iwan juga mengajak warga, terutama pemuda dan anak-anak, untuk melakukan kegiatan yang bisa me- ramaikan daerah tersebut. Lapangan kecil yang bera- da tepat di belakang Gereja Silo dijadikan sebagai pu- sat kegiatan. Warga Jalan-baru sangat menyukai sepak bola, apalagi saat itu sedang pesta Piala Dunia yang bisa dinikmati langsung melalui siaran televisi. Ustadz Iwan mengajak warga untuk nonton bersama di depan rumahnya pada malam hari. Sementara sore harinya, ia mengajak warga bermain bola di lapangan kecil di belakang Ggereja Silo. Dengan suasana yang ramai dan akrab itu, interaksi dan saling pengertian di antara warga yang berbeda agama itu perlahan-lahan terajut kembali.

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 142-148)