• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anwar: Dari Pengemudi Bis Menjadi Penggiat Perdamaian

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 152-160)

“Selama saya ada di sini, tidak ada orang yang bisa melukai gadis ini”

Andri WP

Anwar adalah sosok orang kecil warga Singkawang, Kalimantan Barat, dari etnis Madura. Ia lahir di Pulau Bawean, Jawa Timur. Lelaki berusia 67 tahun ini, sudah puluhan tahun menetap di Sing- kawang. Anwar mulai dikenal di wilayah Kabupaten Sambas pada tahun 1992/1993, ketika muncul pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah kabupaten Sambas mengenai pemindahan lokasi terminal ke kota Singkawang. Sejak itu Anwar harus melalui perjalanan panjang dan melelahkan di antara konflik dan politik etnis yang dilakukan orang-orang besar di kabupaten Sambas yang kemudian dimekarkan1.

Anwar dihormati karena kesederhanaan, keluguan dan kejujurannya. Ia dianggap tidak memiliki pretensi dan tendensi politik, karena itu diterima semua pihak yang sedang bertikai. Anwar memiliki harapan dan cita-cita perdamaian yang menembus batas-batas kepentingan yang mungkin tidak pernah

1 Pada tahun 2000, Sambas dimekarkan menjadi dua kabupaten,

yaitu Sambas dan Bengkayang. Selanjutnya, tahun 2001 Kabupaten Bengkayang kembali dimekarkan menjadi wilayah Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang

disadarinya sendiri. Dalam perjalanannya, Anwar berusaha mewujudkan harapan untuk rekonsiliasi dan perdamaian pasca konflik etnis di Sanggau Ledo pada tahun 1996/1997 dan Sambas pada tahun 1998/1999.

Sejak tahun 1980-an, Anwar berprofesi sebagai sopir angkutan umum antar kota di wilayah kabupaten Sambas. Tahun 1992/1993, Bupati S. Djamil, me- mindahkan dua lokasi terminal ke satu terminal induk yang dikelola swasta di Singkawang. Kebijakan ini dipandang memberatkan masyarakat dan merugi- kan para sopir angkutan umum yang beroperasi di wilayah Sambas dan Singkawang saat itu. Penolakan pun terjadi. Anwar kemudian dikenal luas di antara mereka yang melakukan aksi-aksi penolakan.

Ia diangkat menjadi pemimpin sopir oplet dan angkutan becak di Singkawang. Kearifan, ketegasan, dan juga kemampuannya menjadikan dirinya panutan bagi rekan-rekannya. Pengaruhnya dari hari ke hari semakin besar karena ia mampu melakukan peng- organisasian masyarakat kelas bawah. Namanya selalu disebut oleh setiap orang atau lembaga pemerintah dan swasta yang mengikuti polemik kebijakan pemin- dahan terminal di Singkawang.

Antara 1995-1996 kelompok Pemuda Panca Marga, sebuah organisasi massa di bawah naungan Golkar dan militer, merekrutnya. Tidak tanggung- tangung, Anwar langsung menduduki jabatan sebagai komandan provost. Jabatan ini diperoleh melalui sebuah Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh

Anwar: Dari Pengemudi Bis Menjadi Penggiat Perdamaian 143

Komandan Kodim. Dengan jabatan itu maka Anwar bertanggung-jawab “mengamankan” kota Singkawang, khususnya dari gejolak aksi-aksi penolakan oleh pemilik/pengendara angkutan umum yang saat itu semakin sulit dikendalikan.

Maraknya penolakan menyebabkan pemerintah mengoperasikan kembali dua terminal lama. Perubahan itu terjadi setelah Anwar menjadi komandan Provost PPM. Namun, tak lama sesudah itu konflik etnik di Sanggau Ledo mulai merambah Singkawang. Melalui PPM Anwar terlibat aktif membantu aparat dalam menjaga keamanan. Bersama anggotanya Anwar melakukan apa yang disebutnya sebagai “operasi di jalan-jalan”. Siang dan malam Anwar berpatroli, menghimbau dan meminta warga Madura untuk berhenti berperang. Tak jarang, Anwar turun ke jalan sendirian hingga larut malam, menggunakan mobil miliknya yang diberi nama sandi macan tutul.

Anwar mengakui bahwa apa yang dilakukannya kadang membahayakan keselamatan jiwanya. Seorang aparat keamanan pun belum tentu sanggup untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Anwar saat itu. Tapi, ia selalu teringat pada amanah yang dibebankan padanya oleh banyak orang untuk “menjaga keamanan Kota Singkawang”. Kadang ia ditegur oleh aparat dari Koramil agar tidak berjalan sendirian. Namun, tetap saja dia sering berpatroli sendirian untuk menghimbau dan meminta warga Madura agar berhenti berperang.

terminal. Anwar sedang berada disana waktu itu, lengkap dengan seragamnya yang mirip seragam militer, siap berjaga dari segala kemungkinan buruk. Ketika sebuah oplet angkutan umum pindah dari lokasi parkirnya, bergerak menghindari keributan, tiba-tiba Anwar melihat seorang gadis Dayak berusia 18 tahun, berusaha bersembunyi. Si gadis ketakutan. Dengan hati-hati Anwar mendekati gadis itu dan bertanya, “Kenapa kamu harus sembunyi?”.

“Saya mau selamat pak,” ujar gadis itu pelan, dengan nada penuh ketakutan.

Gadis ini tentulah gadis Dayak. Dalam beberapa hal ciri fisik orang Dayak, mirip dengan Tionghoa, mudah dibedakan dari orang Madura. Lokasi kejadian yang berdekatan dengan terminal itu merupakan basis kelompok Madura. Belum lagi Anwar melanjutkan pertanyaannya, massa Madura sudah banyak berkerumun di sekitarnya. Beberapa di antaranya dengan suara keras bertanya, “Ada apa pak?”

Mereka melihat gadis Dayak itu. Suara-suara yang keras berulang, ditambah kerumunan massa yang semakin banyak lengkap dengan senjata terhunus membuat si gadis semakin ketakutan dan menangis. Kondisi tegang hampir tanpa kendali. Namun, Anwar lebih cepat mendekati gadis sebelum massa mendapatkannya. Dengan keras Anwar berkata, “Selama ada saya di sini, tidak ada orang yang bisa berbuat macam-macam terhadap gadis ini,”.

Terus menerus Anwar mengulangi kata-katanya, sembari terus menjaga posisi berdiri hingga si gadis

Anwar: Dari Pengemudi Bis Menjadi Penggiat Perdamaian 145

betul-betul terlindungi. Tidak ada satu orang pun yang berani mendekati Anwar dan si gadis Dayak itu. Massa bahkan kemudian mengambil jarak. Mereka kalah wibawa dari seorang Anwar2. Anwar kemudian

menuntun si gadis secara perlahan-lahan. Dan berjalan menuju lokasi yang aman. Dalam pikiran Anwar, arah yang dimaksud adalah pos kepolisian atau pos tentara yang paling dekat.

Sepanjang penjalanan Anwar harus melewati beberapa kerumunan massa yang berdiri di pinggir jalan dengan senjata-senjata yang terhunus. Ada di antara kerumunan itu orang-orang yang dikenalnya, tapi banyak pula yang tidak dikenalnya. Ia terus berjalan hingga akhirnya bertemu sesama rekan. Mereka membawa gadis itu ke Polresta Singkawang. Keesokan harinya, barulah si gadis diantar ke wilayah batas demarkasi massa antara Dayak dan Madura, suatu kawasan sebelum Nyarumkop3.

Penyelamatan gadis Dayak itu adalah salah satu penyelamatan paling dramatis yang dilakukan Anwar. Ia merasa saat itu nyawanya sendiri menjadi taruhan. Dalam mobilisasi massa Madura saat eskalasi konflik sampai di Singkawang pada 1996/1997, Anwar dan kelompoknya juga menyelamatkan puluhan warga Dayak yang terjebak.

2 Anwar dengan jujur mengakui ia sendiri tidak tahu bagaimana

ia bisa memiliki kewibawaan yang membuat massa bisa seringkali dikendalikan.

3 Nyarumkop adalah salah satu wilayah paroki, terletak di arah

Pasca konflik Sanggau Ledo, lalu lintas angkutan Kota Singkawang menjadi tidak tertib. Kondisi keamanan belum pulih pasca kerusuhan yang melibatkan dua komunitas besar, Dayak dan Madura4.

Kondisi tak aman ini terus berlangsung hingga eskalasi konflik yang melibatkan Melayu Sambas dan Madura terjadi pada tahun 1999. Pada peristiwa ini, eskalasi konflik terbatas di wilayah yang didominasi oleh Melayu Sambas. Peristiwa ini terjadi pasca pemekaran wilayah kabupaten Sambas yang menempatkan Sambas menjadi satu wilayah tersendiri seperti sekarang.

Anwar tidak ikut turun ke lapangan. Tapi, pendapat dan pengalamannya dimanfaatkan banyak orang. Ia ditokohkan di kalangan komunitas angkutan umum dan terminal di Singkawang. Karena itulah, melalui perantaraan Abdullah, salah seorang anggota DPRD Sambas dari Singkawang, ia diajak ikut serta dalam pertemuan antar tokoh masyarakat di hotel Putra Kalbar Singkawang, untuk membahas upaya perdamaian antar etnis. Anwar heran karena tak ada satupun tokoh Madura dilibatkan, kecuali dirinya yang masih merasa sebagai orang biasa. Sementara ratusan tokoh lain yang hadir dianggap mewakili etnis Melayu dan Dayak.

Dalam pertemuan itu, Anwar diminta turut bertanggungjawab menjaga keamanan karena eskalasi

4 Eskalasi konflik Sanggau Ledo, menyebar di sebagian wilayah

Sambas (Sambas,Bengkayang dan Singkawang saat ini) sebagian wilayah Kabupaten Pontianak (Kab. Pontianak dan Landak) dan sebagian kecil wilayah Sanggau Kapuas.

Anwar: Dari Pengemudi Bis Menjadi Penggiat Perdamaian 147

konflik melebar. Dengan gayanya yang lugu, sederhana dan jujur, Anwar mengatakan bahwa terjadinya mobilisasi massa yang mengundang kekerasan di lapangan karena keberadaan para pemimpin massa itu sendiri. Tokoh-tokoh yang seharusnya meredam massa justru turut memicu massa di lapangan. Dengan jujur Anwar mengakui, beberapa orang yang dianggap tokoh Madura pun melakukan hal yang sama persis seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari etnis lain.

Pertemuan akhirnya memunculkan kesepakatan secara aklamasi untuk membuat forum lintas etnik. Mereka menugaskan Anwar untuk mengawal pelaksanaan kesepakatan itu. Anwar menyatakan kesediaannya karena ia sendiri menginginkan kehidupan damai antar etnis di Kalimantan Barat.

Tidak lama setelah pertemuan itu, Anwar dipanggil badan intelejen pusat untuk menjelaskan segala hal mengenai pertemuan antar tokoh etnis itu. Dengan didampingi Dandim, Anwar menjelaskan apa adanya. Sungguhpun begitu, Anwar sebenarnya merasa terganggu dengan kehadiran peran orang-orang besar dalam menyikapi konflik dan bentuk eskalasinya.

Beberapa tokoh masyarakat dari Melayu dan Dayak kemudian diundang Anwar. Forum lintas etnik ini diberi nama Forum Menuju Masyarakat Damai dan kemudian didaftarkan pada notaris. Sejak itu Anwar memimpin organisasi tersebut. Forum yang semula diniatkan lintas etnik ini memang lebih banyak beranggotakan orang Madura kelas bawah. Akan

tetapi, forum ini memiliki para penasehat yang berasal dari luar etnis Madura. Pada tahun 2001, atas intruksi Komandan Korem, Komandan Kodim mengi- jinkan kantor Kodim lama di Singkawang menjadi sekretariat FMMD, sekaligus menjadi tempat tinggal Anwar sampai sekarang.

Endang: Melindungi “Para Tamu” 149

Endang:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 152-160)