• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jusman dan Kuasa Pela Gandong

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 128-132)

“…Kita harus melindungi mereka.”

Zakiyah Samal

Pada tahun 1999, konflik kekerasan dengan isu SARA mulai menunjukkan eskalasi di kota Ambon. Kekerasan mulai menyebar ke daerah-daerah di luar Ambon dan menjalar hampir di seluruh daerah di Propinsi Maluku, terutama daerah yang komposisi penduduknya terdiri atas komunitas Islam dan Kristen. Di desa Iha-kulur, sebuah desa Islam di Kecamatan Piru Seram Barat, Pulau Seram, terdapat beberapa guru Kristen beserta keluarganya. Umumnya mereka berasal dari Pulau Saparua, di antaranya dari Desa Iha-mahu dan Nolod. Guru-guru ini tinggal di Iha- kulur karena tugas mendidik. Keberadaan mereka di Iha-kulur sudah cukup lama, bahkan ada yang sudah menetap dan memiliki perkebunan cengkih, meski ada juga sebagian yang masih tinggal di asrama guru yang berbatasan langsung dengan desa tetangga, Desa Luhu. Karena sudah begitu lama menetap di Iha-kulur, mereka lalu diterima sebagai bagian dari masyarakat negeri Iha-kulur sendiri. Lagi pula ada di antara mereka yang terikat hubungan gandong dengan Desa Iha-kulur. Gandong adalah hubungan persau- daraan yang dibangun antara dua desa. Melalui se- buah upacara adat, mereka dipersatukan oleh sumpah

untuk saling melindungi. Dengan ikrar ini hubungan mereka tidak beda dari hubungan saudara sekandung, termasuk larangan keras untuk saling menikah. Jika satu desa diserang, maka desa lain yang memiliki hubungan pela-gandong, harus membantu.

Konflik kekerasan dengan isu SARA yang awalnya hanya meledak di pulau Ambon akhirnya merembet juga ke wilayah Iha-kulur. Apalagi sebelumnya sudah ada sejarah perkelahian antara Desa Iha-kulur dan desa tetangga lainnya. Kadang pemicunya sederhana, seperti perkelahian remaja dan lain-lain. Akan tetapi kekerasan yang terjadi akibat imbas konflik Ambon berakibat lebih khusus pada guru-guru Kristen ini. Karena mereka tinggal di asrama yang terletak paling ujung dari Desa Iha-kulur, dan mereka berbeda agama, maka mereka menjadi sasaran empuk bagi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh negeri tetangga. Pada suatu sore, tiba-tiba terjadi penyerangan terhadap para guru. Mereka panik. Dalam kepanikan yang tak terkira inilah, para guru beserta keluarga akhirnya memutuskan berlari ke arah Desa Iha-kulur. Tempat tujuan tentu saja adalah rumah kenalan yang sudah dianggap keluarga sendiri. Beberapa di antara- nya lari menuju rumah pela-gandong mereka. Salah satu tujuan para guru adalah rumah Jusman.

Jusman, laki-laki yang berumur 43 tahun itu memang berhubungan baik dengan guru-guru Kristen pendatang itu. Bahkan dia dianggap sebagai keluarga kedua bagi mereka. Kehormatan laki-laki ini pun terusik begitu tahu keselamatan guru-guru terancam. Begitupun dengan masyarakat Iha-kulur pada

Jusman dan Kuasa Pela Gandong 119

umumnya. Ada rasa malu dan terhina bila tidak mam- pu melindungi para pendatang ini. Apalagi karena para guru ini berasal dari desa atau negeri Iha-mahu, gandong mereka sendiri. “Mereka datang jauh-jauh ke sini, meninggalkan kampung halaman dan kera- batnya untuk mengabdi, bukan untuk berperang. Kita harus melindungi mereka,” ujar Jusman.

Dalam waktu singkat masyarakat Desa Iha-kulur keluar dengan parang dan senjata lainnya, menuju perbatasan desa. Mereka angkat senjata untuk menjaga kehormatan negeri-nya. Kepada para penyerang Jus- man berteriak dengan lantang, “Kalau kalian hendak membunuh mereka, tidak apa-apa. Tetapi hadapi dan bunuh dulu kami baru kalian bisa membunuh mereka. Kami tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh mereka.” Maka terjadilah ketegangan antara dua warga kampung yang sama-sama Muslim itu. Yang satu bersikeras ingin membunuh dan satunya lagi melindungi para guru demi kehormatan negeri.

Malam harinya, bapak raja (kepala desa) negeri Iha-kulur mengajak semua laki-laki desa mengikuti “rapat negeri” di rumah raja. Dalam rapat ini dicoba dicarikan cara untuk menyelamatkan para guru Kristen itu. Dalam rapat disepakati bahwa mereka akan dipulangkan ke Iha-mahu. Setelah rapat selesai, salah-seorang peserta langsung menghubungi pemerin- tah desa Iha-mahu melalui radio panggil (HT). Pemerintah Iha-mahu pun sangat berterima kasih atas segala upaya yang sudah dilakukan negeri Iha- kulur untuk menyelamatkan warganya. Mereka berjanji akan menjemput guru-guru tersebut.

Enam hari setelahnya, sebuah speed boat besar yang diawaki 3 orang dan dikawal seorang tentara asal Iha-mahu merapat di tepi pantai. Mereka turun dari speed boat dan berjalan menuju ke rumah raja. Mereka melaporkan maksud kedatangan, sebagaimana sudah direncanakan bersama sebelumnya. Dalam waktu singkat, kabar kedatangan utusan penjemput dari Iha-mahu itu terdengar sampai ke sudut-sudut desa. Masyarakat datang berbondong-bondong untuk membantu mengangkat barang-barang yang hendak dibawa para guru, dan mengantar mereka sampai ke pantai. Kepergian para guru itu direlakan dengan linangan air mata. Suasana sangat mengharukan. Sungguh sebuah suasana yang sangat dramatis. Betapa tidak, saat itu suasana Kota Ambon mencekam dan tenggelam dalam kebuasan perang antar komu- nitas Islam dan Kristen. Sementara di salah satu sudut bumi Maluku yang lain, orang-orang Islam dan Kristen saling berpelukan dalam tangis dan janji bertemu lagi.

Para guru Kristen tersebut sangat berat mening- galkan anak didik dan para tetangga yang telah sekian lama menerima kehadiran mereka seperti keluarga sendiri. Desa ini telah menjadi bagian yang tak terpi- sahkan dari hidup mereka, juga dari anak-anak mere- ka yang lahir di tempat ini. Namun, demi rasa aman dan keselamatan diri, mereka mau tidak mau harus berangkat meninggalkan Desa Ika-hulur.

Abdulgani Fabanyo: Pembawa Pesan Perdamaian 121

Abdulgani Fabanyo:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 128-132)