• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson dan Valium

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 56-64)

“Tolong jangan diganggu. Ini rumah saudara saya.”

Agustanti Ruagadi

Ibu Ruaedah adalah salah seorang anggota Kelompok Kerja Deklarasi Malino (Pokja Deklama). Konflik Poso membuatnya nekat untuk menjadi agen perdamaian. Ibu berjilbab yang penuh semangat dan murah senyum ini mengatakan bahwa perasaan sena- sib dan sepenanggungan tanpa membedakan saudara yang Kristen dan Islam, yang sama-sama menderita karena konflik, menjadi latar belakang pilihannya itu. Ruaedah lahir dalam keluarga Muslim yang taat sekaligus sangat demokratis. Beliau dididik untuk menghargai perbedaan dalam keluarga dan masyarakat. Sejak kecil Ruaedah merasakan hidup bersama satu keluarga Kristen asal Lore Selatan, yang tinggal bersama dengan keluarga orangtuanya. Keluarga tersebut tinggal bersama mereka sejak ia masih di sekolah dasar sampai menjadi sarjana. “So seperti sodara sendiri,” ujarnya.

Masih segar dalam ingatannya, jika Natal tiba mereka merayakannya secara bersama-sama. Demikian juga ketika bulan puasa datang, keluarga Kristen tersebut ikut sahur, bahkan kadang ikut berpuasa. Begitu dekatnya mereka sehingga ketika kerusuhan

terjadi mereka sangat sedih karena harus berpisah. Keluarga Kristen tersebut diungsikan ke Napu (Lore Utara) dibekali obat-obatan dan bahan makanan. Bahkan saat Natal, ibu Ruaedah tak lupa mengirimkan hadiah, uang, dan kue-kue.

“Mengapa ini harus terjadi? Selama kami serumah tidak pernah ada konflik, begitu rukun. Kami harus berpisah karena ulah setan-setan yang tidak bertanggung-jawab. Abah juga ikut sedih, karena ia sendirilah yang mengajarkan pada kami untuk menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan. Abah seorang pedagang kopra yang berdagang hingga ke desa-desa Kristen dan beliau selalu diterima dengan baik,” ujar Ruaedah.

Kerusuhan Poso memasuki Jilid Ketiga. Tanggal 3 Juni 2000, situasi amat genting. Kota Poso telah dikuasai oleh komunitas Muslim. Ruaedah sangat khawatir dengan saudara-saudaranya yang Nasrani, terutama Pendeta Bagau, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Bagian Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen Departemen Agama Poso.

Pendeta Bagau tinggal di Kelurahan Lombogia. Ruaedah segera menuju ke sana. Tetapi ia tidak menemukan Pendeta Bagau dan keluarganya. Yang dilihatnya adalah sekumpulan orang yang sedang membakar rumah-rumah penduduk Kristen. “Saya mengambil salah satu bendera putih yang pada waktu itu dipakai sebagai tanda bahwa rumah itu tidak boleh dibakar. Bendera tanda menyerah itu saya letakkan di depan rumah pendeta Bagau dan mengatakan kepada orang-orang yang melihatnya, “Tolong jangan diganggu. Ini rumah saudara saya.”

Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson dan Valium 47

Setibanya di rumah, Ruaedah segera menelpon untuk mencari tahu keberadaan Pendeta Bagau. Jaringan telepon sulit sekali tersambung. Ruaedah teringat istri Pendeta Bagau adalah guru SMA, tanpa pikir panjang lagi ia segera menghubungi tempat itu. Akhirnya Ruaedah bisa mengontak Pendeta Bagau yang kebetulan sedang berada di SMA I. “Saya katakan pada pak Bagau, bahwa ia dan keluarganya harus keluar dari kota Poso. Kami berjanji bertemu di jalan Kartini, di rumah keluarga Andipatau. Saya ke sana, menemuinya dan memintanya tetap tenang dan kalau bisa jangan dulu ke mana-mana sampai situasi cukup aman untuk dibawa keluar kota Poso. Saya juga mengingatkan agar selalu waspada jangan sampai ada penyusupan. Setelah dua hari Keluarga Bagau saya antar keluar kota Poso dengan memakai mobil yang di bagian depannya ditutup sajadah agar tidak dicurigai warga Muslim yang berjaga-jaga di sekeliling kota Poso. Setiba di tempat yang cukup aman, kami meninggalkan Pak Bagau dan keluarganya dan mereka pun meneruskan perjalanan,”.

Ruaedah tak habis pikir bagaimana mungkin warga Muslim dan Kristen yang dulu hidup rukun, harus bakalae (berkelahi). Ia berinisiatif mencari tokoh-tokoh Kristen dan adat yang masih bisa diajak bicara dan didengar suaranya. “Saya mencari turunan raja Talasa. Keluarga Talasa adalah salah satu tokoh di kota Poso. Saya ke rumah ibu Idris Podungge dan di sana bertemu bapak Herry Sarumpaet, sekarang wakil ketua DPRD. Ode ine, so teada samua yang ngana cari-cari ini di kota Poso! Saya lemas, ternyata usaha saya yang ini harus gagal juga,”.

Tetapi Ruaedah tidak pernah berhenti berpikir untuk meredam konflik dan menghentikan pertikaian ini. Ia tidak tinggal diam. Selain itu, sebagai kepala sekolah ia bertanggungjawab mengosongkan sekolah selama ketegangan masih terjadi. Ketika situasi semakin memanas datang seorang ibu dari pengajian yang mengatakan bahwa pemuda-pemuda Muslim yang bertahan/menjaga Poso sudah tidak mau mundur, bahkan akan menyerang walaupun harus berhadapan dengan aparat yang juga sudah siaga.

Ruaedah berpikir, apa yang bisa dilakukan? Ia lalu menyuruh ibu itu pergi ke rumah sakit mencari dokter Ori dan meminta valium dalam dosis yang akan menidurkan cukup lama. Setelah itu Ruaedah membeli sirup Orson dan es batu, kemudian dicampurkan valium ke dalam Orson tersebut. Dan minuman itu disajikan kepada para para pemuda yang hendak melakukan penyerangan. Karena kebetulan siang itu matahari sangat terik, mereka pun segera meminumnya. Akhirnya para pemuda tersebut tertidur. Saat itulah mereka diangkut oleh keluarga mereka ke rumah masing-masing.

Apapun dilakukannya agar tidak terjadi pertikaian terbuka. Kata Ruaedah, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab telah mengadu domba umat beragama. “Hal itu tidak membuat saya putus asa hingga akhirnya sekarang menjadi agen perdamaian tergabung di Pokja, kami memediasi pihak-pihak yang berkonflik, mengajak mereka untuk merawat rekonsiliasi dan perdamaian yang mulai terbangun di antara kita. Prinsip saya kebenaran pasti yang akan menang!” ujar Ruaedah dengan pasti.

Ibu Tati 49

Ibu Tati

“Tentena adalah tempat saya, dan saya tidak takut lagi tinggal di sini”

Agustanti Ruagadi

Pagi itu, 26 Desember 2004. Kegembiraan melingkupi warga Tentena. Bagi yang beragama Kris- ten, bulan Desember, khususnya sejak tanggal 24 De- sember sampai dengan tanggal 2 Januari, adalah hari- hari yang dipenuhi kebahagiaan. Kebanyakan orang tidak pergi bekerja karena persiapan untuk menyambut Natal dan Tahun Baru di rumah masing-masing. Jalanan pun meriah dipasangi lampu warna-warni. Seorang muslimah, Ibu Tati, datang berkunjung ke salah satu rumah warga Kristen. Belum lagi masuk ke rumah yang dituju, ia berpapasan dengan sekelom- pok ibu yang hendak ke pasar. Sambil tersenyum ia menyapa ramah, mengucap salam jumpa dan selamat Natal. Canda dan tawa yang tertahan terdengar dari kelompok ibu-ibu itu. Mereka saling melepaskan rin- du bersama ibu Tati karena sekian lama tak berjumpa bahkan ada yang tak sempat bertemu beberapa tahun belakangan.

Satu per satu pertanyaan dilontarkan sahabat- sahabat lamanya. Kapan datang, bagaimana kabarnya, sedang apa sekarang, bagaimana keluarga dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul. Walaupun

banyak pertanyaan, namun terlihat ekspresi rasa senang di wajah Ibu Tati. Sambil memberikan jawaban yang diselingi dengan canda, ibu Tati terus bercerita keadaannya sekarang dan juga menanyakan keadaan mereka. Percakapan ramai itu terhenti, ketika para ibu berpamitan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju pasar. Pertemuan tak disengaja ini diakhiri dengan dengan lambaian dan janjian untuk bertemu lagi. Ibu Tati melanjutkan kunjungan ke rumah warga Kristen. Dan dalam kunjungannya ini, suasana bahagia begitu kuat terasa lantaran lama tidak saling bertemu. Sepertinya tak ada yang istimewa, kecuali bahwa kejadian ini berlangsung di Tentena, kota Kristen yang masih dipandang berbahaya oleh warga Muslim Poso. Dan, Ibu Tati, adalah seorang Muslim yang minoritas di antara sedemikian banyak tetangganya yang Kristen.

Kebiasaan saling mengunjungi antara warga Muslim pada warga Kristen selama hari-hari perayaan Natal, dan sebaliknya kunjungan warga Kristen pada warga Muslim selama hari raya Idul Fitri, telah menjadi sebuah tradisi yang kokoh dari generasi ke generasi. Tradisi ini sempat terhenti ketika berkecamuk perang antar warga. Hampir semua orang Muslim Tentena, terpaksa mengungsi ke daerah aman di Poso. Demikian juga kota kecil Tentena, yang mayoritas penghuninya orang kristen itu menjadi tempat pengungsian bagi warga kristen dari daerah lain. Hanya sedikit warga Muslim yang berani datang

Ibu Tati 51

berkali-kali dan bahkan menetap kembali di Tentena. Ibu Tati adalah salah satu di antara mereka yang nekat itu.

Ibu Tati adalah warga asli Tentena. Ia lahir dan besar di Tentena. Masa sekolah sampai dewasanya dihabiskan di kota ini. Itu sebabnya, ia dan keluarganya cukup dikenal banyak orang. Konflik Poso menye- babkan ia dan keluarganya sempat mengungsi ke Palu, karena ada ancaman pembunuhan terhadap warga yang beragama Islam. Beberapa tahun yang lalu, suami ibu Tati meninggal dunia. Sekarang ia tinggal bersama seorang anak dan anggota keluarganya yang lain di rumah kontrakan. Kehidupan mereka di sana cukup baik. Sementara rumahnya di Tentena sekarang dikontrakkan kepada seorang teman. Ia tidak ingin menjual rumah itu karena masih ada keinginan yang kuat untuk kembali ke Tentena.

Ibu Tati berwiraswasta dengan berjualan pakaian dan kue. Karena masih kekurangan modal, ia belum bisa membangun toko sendiri. Pakaian dan kue di- tawarkan dari pintu ke pintu. Kebanyakan pelang- gannya melakukan pembelian melalui pemesanan. Usaha ini tidak hanya di Palu saja, tetapi juga di Tentena. Menurutnya, kalau di Palu agak sepi, maka ia akan ke Tentena untuk berdagang.

Banyak anggota Keluarga dan kerabatnya tidak ingin melihatnya berdagang sampai ke Tentena. Bagi mereka, keadaan Tentena masih belum aman. Tetapi Tentena bagi ibu Tati terasa biasa saja. Tidak seperti

yang digambarkan orang selama ini. “Buktinya selama saya di Tentena, saya tidak di apa-apakan.” demikian katanya.

Bahkan ketika tahun 2001 sewaktu situasi Poso lagi panas-panasnya Ibu Tati datang ke Tentena untuk melihat rumahnya. Ia berani datang ke Tentena karena yakin bahwa ia tidak bakal dilukai, lagipula di sana ada banyak teman serta tetangga yang sangat dekat dengannya. Pernah pada tahun 2002 ia mengajak seorang teman menginap di Tentena. Temannya ini merasa sangat takut, tapi Ibu Tati meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Akhirnya Ibu Tati dan temannya menginap menginap di Tentena selama 2 malam.

Memang Ibu Tati pernah mengalami intimidasi. Ketika ia menyempatkan diri masuk ke Pasar Tentena. Saat tengah berkeliling dalam pasar, beberapa orang berkata “Ini dia satu warga Muslim”. Namun warga lain diam saja dan ia langsung pulang ke rumah. Hari itu ia begitu ketakutan, dan bergegas kembali ke Palu. Walaupun demikian, enam bulan sesudahnya dia datang lagi ke Tentena. Sejak saat itu, ia terus datang ke kota kecil ini tanpa rasa takut. Terakhir kali, ketika dia datang pada bulan Desember 2004, ia bermalam di Tentena selama dua minggu. Hari Natal dan Tahun Baru ikut dirayakannya di kota kelahirannya ini. “Tentena adalah tempat saya, dan saya tidak takut lagi tinggal di sini” demikian ujarnya.

John Tongku: Berperang Melawan Isu 53

John Tongku:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 56-64)