“Ia hanyalah orang biasa yang ingin mencari nafkah…”
Leo Fransiscus
Pak Dian, 30 tahun, warga Desa Silanca, Keca- matan Lage, adalah sosok yang cukup dikenal di kam- pungnya. Dengan potongan tubuh sedang, kumis tipis, dan senyum yang terus tersungging, ia terlihat ramah dan menyenangkan. Kulitnya berwarna coklat kegelapan karena sengatan matahari. Dibalik raut wajahnya yang ramah, tampak guratan-guratan yang menunjukkan ketegaran hati dan keteguhan pendirian dalam hidupnya. Sehari-hari ia bertani dan berkebun seperti umumnya penduduk di sana. Pekerjaan ini menjadi andalannya untuk menghidupi keluarga, seorang istri dan dua orang anak. Istrinya, perempuan yang sederhana, membantunya bekerja di ladang dan kebun. Keluarga kecil ini hidup tenteram dalam satu rumah panggung berpapan sederhana yang terdiri dari dua bilik kamar tidur, satu ruang dapur, dan ruang makan. Di tempat inilah mereka menghabiskan waktu bersama di tengah-tengah rasa was-was yang terus meliputi masyarakat Desa Silanca.
Desa Silanca, sebuah desa Kristen, merupakan salah satu desa yang seringkali mendapatkan ancaman penyerangan khususnya dari desa-desa tetangga
80 Perlawanan Tanpa-Kekerasan
mereka yang Muslim. Ancaman-ancaman itu membuat warganya selalu diliputi ketegangan dan terus berjaga- jaga baik siang maupun malam.
Bulan April 2002, terjadi pertempuran di daerah Poso Kota. Peristiwa ini menyebabkan meningkatnya ketegangan antar desa yang penduduknya berbeda agama. Ini membuat masyarakat Desa Silanca semakin waspada dengan mewajibkan setiap laki-laki untuk berjaga secara bergiliran di pos penjagaan kampung. Hari itu Bapak Dian sedang bertugas berjaga bersama beberapa orang yang telah ditunjuk. Sekitar pukul delapan pagi, seorang penjual ikan, yang dikenali berasal dari kampung Muslim tetangga, melintas di desa Silanca. Ia hendak memasarkan ikannya di desa-desa sekitar. Seketika penjual ikan tersebut dihadang orang-orang yang berada di pos jaga. Dengan cepat mereka mengerumuni si penjual ikan. Melihat kerumunan orang yang semakin banyak, Bapak Dian mengingatkan mereka untuk tidak melukainya. Ia kemudian mendekati penjual ikan itu dan memintanya untuk segera pulang. Bapak Dian menjelaskan bahwa situasi sedang tidak menentu sehingga akan lebih baik jika dia tidak melintasi desa- desa sekitar untuk sementara waktu. Ia menambahkan bahwa terjadinya penyerangan terhadap desa-desa Kristen dengan mudah memicu keinginan membalas dendam oleh orang-orang Kristen pada warga Muslim yang lain. Kemudian kepada warga Kristen Silanca Bapak Dian menjelaskan bahwa penjual ikan tersebut
hanyalah orang biasa yang ingin mencari nafkah dan sama sekali tidak urusannya dengan kerusuhan yang terjadi di Poso.
Masih dalam bulan itu juga, pada pukul sebelas malam, seseorang yang dikenali sebagai seorang Muslim masuk ke Desa Silanca dengan mengendarai mobil terbuka. Karena tiba tengah malam, maka warga Silanca merasa curiga dan kemudian menahan- nya. Beberapa orang langsung menanyakan maksud kedatangannya. Kerumunan banyak orang itu mem- buat orang itu gugup. Ia menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk bertemu dengan keluarganya yang ada di Desa Silanca. Namun warga meragukan jawaban tersebut dan kembali menanyakan siapa sebenarnya keluarga yang ingin dia temui. Lelaki pengendara mobil menjelaskan lebih lanjut bahwa ia ingin bertemu dengan Ngkai1 nya, yang adalah ayah dari Bapak
Dian. Karena warga belum begitu percaya, maka diantarlah sang tamu tengah malam ini oleh tiga orang warga Silanca menuju rumah Ngkai.
Saking tegang dan panik, si pengendara mobil akhirnya menangis. Ia khawatir, jangan-jangan dirinya akan dibunuh di tengah jalan. Begitu mendekati rumah Ngkai, ia berteriak minta tolong kepada Ngkai agar ia diselamatkan dan tidak diapa-apakan. Saat
1 Ngkai adalah bahasa Baree yang merupakan bahasa asli suku
Pamona. Kata ini dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang sama dengan Kakek. Namun sebutan Ngkai biasanya ditujukan kepada mereka yang sudah berumur, karena bagi orang Pamona adalah tabu untuk menyebutkan secara langsung nama orang tua mereka.
82 Perlawanan Tanpa-Kekerasan
itu, penghuni rumah sudah tidur. Namun mendengar teriakan itu, dengan tergopoh-gopoh Ngkai yang sudah cukup tua itu bangun diikuti oleh Pak Dian. Mereka pun keluar menemui pengendara mobil tersebut bersama 3 orang yang mengawalnya. Sambil tersedu-tersedu menahan tangis, ia menceritakan maksud kedatangannya, bahwa tidak ada sedikitpun maksud jahat dalam hatinya. Ngkai dan Bapak Dian kemudian mengajak si pengendara mobil masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kopi dihidangkan, biar suasana menjadi lebih santai. Sementara itu, warga yang dikejutkan oleh suara-suara keributan mulai berkumpul di muka rumah Bapak Dian.
Setelah tamunya merasa tenang, Bapak Dian ke- luar menemui warga dan menjelaskan kepada mereka bahwa pengendara mobil tersebut benar adalah kera- batnya. Ia menambahkan bahwa keluarganya ada yang beragama Islam. Setelah suasana tenang, warga kembali ke rumah masing-masing, dan kopi yang disu- guhkan telah habis diminum, Bapak Dian mengantar tamunya kembali ke mobil. Si tamu pun meninggalkan rumah Bapak Dian menuju desanya. Setelah kejadian itu si lelaki keluar masuk Desa Silanca dengan bebas karena warga sudah tahu kalau ia adalah bagian dari keluarga Bapak Dian.
Cerita ini mengisahkan perjuangan Opa Sonce dalam menghadapi kekerasan dan ketidakpastian selama konflik. Penduduk Desa Betania sebelum konflik terdiri atas komunitas Kristen (95%) dan Muslim (5%). Sebagian besar komunitas Muslim mendiami salah satu sudut desa dimana terletak perbukitan tempat mereka berkebun coklat. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun hingga kemudian konflik kekerasan terjadi di kecamatan Poso Pesisir. Pada bulan Mei 2000, demikian Opa mulai bercerita, orang-orang Kristen yang sering disebut “Kelompok Merah” bermaksud mengadakan pertemuan di Kota Posa guna membahas beberapa agenda tentang situasi dan kondisi keamanan Kota Poso dan sekitarnya. Peserta pertemuan berasal dari berbagai desa dan mereka datang dengan berjalan kaki melintasi beberapa desa/kelurahan. Saat itu Opa dan beberapa orang lainnya bermaksud untuk menyaksikan rombongan yang akan melintas tersebut. Opa menunggu rombongan di Markas Koramil Poso Pesisir bersama Camat Poso Pesisir, Kapolsek Poso Pesisir serta beberapa orang lainnya. Tanpa disangka, di tengah jalan rombongan tersebut dihadang oleh sekelompok warga Muslim yang seringkali disebut
bersekolah di situ. Seringkali Opa berusaha meyakinkan mereka untuk berani masuk ke STM. dengan logat Posonya yang kental, Opa berkata, “Kalo kamu orang tako mo sekolah di situ, kita yang mo jadi depe jaminan. Kalo terjadi apa-apa, kita yang duluan kamu gere.” (Artinya kurang lebih, “Kalau kamu mau masuk sekolah di situ, Opa yang akan jadi jaminnanya. Kalau terjadi apa-apa, Opa duluan yang akan kena.”
Opa Sontje Karepoan dan Pesta Padungku 75
“Kelompok Putih”, di desa Tabalu. Pertikaian antar dua kelompok itu pun tidak dapat dihindarkan lagi. Kepanikan kemudian menjalar ke seluruh desa/ kelurahan yang berada di sepanjang jalan menuju Kota Poso. Dari arah Desa Tabalu terdengar bunyi tembakan senjata api dan kabut asap terlihat mem- bumbung tinggi dari rumah-rumah penduduk yang terbakar. Masing-masing orang bergegas lari menye- lamatkan diri, tidak terkecuali Opa yang saat itu bera- da di markas Koramil. Keadaan menjadi kacau dan genting. Jalan-jalan pun mulai dijejali orang-orang yang hilir mudik mencari tempat berlindung ditingkahi teriakan-teriakan panik serta himbauan-himbauan untuk menyelamatkan diri dan keluar dari desa ma- sing-masing. Hampir semua laki-laki dewasa membawa senjata tajam di tangan. Hal ini dilakukan untuk ber- jaga-jaga dari kemungkinan diserang kelompok lain. Dengan perasaan tidak menentu dan memikirkan nasib keluarganya, Opa bergegas pulang ke rumah. Sayang, karena kondisi fisiknya yang menua Opa hanya mampu berjalan tertatih-tatih. Tiba-tiba melun- cur sebuah sepeda motor dan berhenti tepat di depan Opa. Laki-laki pengendara motor menawarkan tum- pangan dan berjanji mengantarnya sampai ke rumah. Tanpa pikir panjang, Opa langsung mengiyakan karena ia mengenalinya sebagai seorang Muslim yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bengkel.
Di tengah perjalanan barulah ia sadar bahwa laki-laki tersebut membawa sebilah parang yang
diselempangkan di bahu belakang. Muncul rasa takut dan was-was karena Opa kurang mengenalnya secara pribadi, meski ia sering melewati bengkel tempat laki- laki itu bekerja. Ternyata kekhawatiran Opa tidak terbukti. Lelaki itu mengantarnya sampai di rumah dengan selamat. Sesampainya di rumah, Opa segera meminta seluruh keluarganya mengungsi ke kebun mereka yang terletak di bukit, kurang lebih dua kilo- meter dari rumah mereka. Laki-laki pengendara mo- tor itu ternyata masih menunggu. Malahan, ia mena- warkan diri untuk mengantarkan Opa dan keluarganya hingga keperbatasan desa. Kembali Opa pun menerima tawarannya. Laki-laki tersebut mengantar seluruh keluarga Opa ke perbatasan dengan selamat. Sampai saat ini, Opa belum berjumpa lagi dengan laki-laki tersebut. “Mungkin ia telah mengungsi ke tempat lain dan menetap di sana,” katanya berandai-andai.
Di tempat pengungsiannya di kebun, Opa bertemu dengan orang-orang Muslim yang saat itu juga sedang ketakutan sehingga tidak berani meninggalkan kebun. Mereka khawatir jika turun ke desa mereka akan dicegat karena jumlah mereka sangat sedikit. Opa meyakinkan mereka untuk tetap bertahan di kebun saja bersama-sama dengan keluarganya. Di antara keluarga Muslim tersebut terdapat lima sampai orang laki-laki. Mereka tinggal bersama keluarga Opa selama dua minggu di kebun. Dalam jangka waktu itu, mere- ka selalu bersama-sama, makan bersama dan meman- tau keadaan secara bersama-sama pula. Ketika situasi menjadi lebih tenang dan kemarahan massa mulai
Opa Sontje Karepoan dan Pesta Padungku 77
mereda, Opa meminta anggota TNI untuk membantu mengevakuasi orang-orang Muslim dan membawa mereka ke desa Muslim. Opa mengantarkan mereka hingga keperbatasan desa dan selanjutnya anggota TNI menjemput dan membawa mereka.
Pengalaman lain yang tidak kalah dramatisnya adalah ketika ia mencoba menyadarkan sekelompok orang Kristen yang akan melakukan penyerangan dan pembakaran rumah-rumah penduduk Muslim. Saat itu sekelompok massa Kristen yang kalap sedang melewati desa Betania. Mengetahui niat massa ini untuk melakukan penyerangan, Opa pun mengajak mereka untuk mempertimbangkan kembali niat tersebut. Ia juga mengingatkan mereka bahwa apapun tindak kekerasan yang mereka buat akan berdampak luas di masa yang akan datang. Tidak lupa ia memberi nasihat,”Apapun yang ingin kita lakukan, baik itu untuk membalas dendam ataupun memperjuangkan harga diri, tidak ada manfaatnya kalau diwujudkan dengan kekerasan. Seperti kata pepatah, kalah jadi abu, menang jadi arang.” Namun tindakannya ini ditantang keras oleh massa yang sudah beringas. Malah, salah seorang dari mereka menampar Opa dan meanggapnya sebagai pengkhianat. Ia tampak tidak bisa berbuat banyak lagi dan hanya bisa melarang seluruh anggota keluarganya untuk turut serta dalam penyerangan itu.
Saat ini, setelah kondisi keamanan Poso mulai membaik, Opa mencoba untuk tetap menjalin kembali
hubungan baik antara komunitas Kristen dan Muslim. Salah satu upaya yang beliau lakukan adalah dengan menghidupkan kembali budaya Padungku, sebuah kebiasaan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki yang telah diberikan dalam satu tahun. Rasa syukur ini diwujudkan dengan menjamu keluarga, teman, handai taulan, dan kenalan serta siapa saja yang ingin hadir dan mensyukuri nikmat Tuhan. Kebiasaan ini sudah dilakukan Opa sekeluarga sejak sebelum konflik. Opa tak pernah lupa mengundang kenalan dan keluarga yang beragama Islam.
Opa sengaja meminta kenalan beliau yang berasal dari keluarga Muslim untuk membantu menyiapkan dan menghidangkan makanan yang akan disuguhkan kepada para tamu. Pada awalnya kenalan-kenalannya masih merasa takut dan khawatir akan keselamatan diri mereka, terutama karena harus berada di Desa Betania yang penduduknya beragama Kristen. Opa kemudian berjanji, dirinya akan menjadi jaminan keselamatan mereka. Rasa hormatnya kepada para tamu selalu ia tunjukkan dengan hanya menghidangkan makanan yang halal. Opa sangat paham bahwa sebagian tamu-tamu Muslim sangat berhati-hati dalam hal makanan dan minuman, termasuk perkakas dapur dan meja makan. Hingga saat ini, Opa terus merayakan pesta Padungku di rumahnya dengan mengundang kenalan dan kerabat Muslim.
Pak Tabunggi: Sang Kepala Desa 83