“Kita tak boleh main hakim sendiri untuk menentukan yang salah dan benar”
Adjie Massadjie
Tidaklah mudah melupakan dendam atas kematian orangtua. Akan tetapi, Muhammad, 40 tahun, warga Madura dari desa Pancaroba, kecamatan Sungai Ambawang, kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, memilih tidak membalas dendam atas kematian orangtuanya, Muadin alias Su’in. Ayahnya tewas terbunuh dalam suatu penyerbuan mendadak yang dilakukan massa Dayak. Muhammad, bapak lima anak ini, merelakan kematian itu tak terbalaskan agar kerusuhan antar etnis Dayak-Madura di tempatnya tidak terjadi berlarut-larut.
Muhammad adalah generasi kedua orang Madura yang tinggal di desa Pancaroba. Delapan puluh persen warga Pancaroba adalah suku Dayak, sedang sisanya etnis Madura. Orang Madura mulai tinggal di Pancaroba sejak tahun 1950. Sara, warga Madura pertama, minta ijin pada Idrus, kepala desa setempat, untuk menetap. Ijin diberikan, bahkan suku Dayak menyediakan tanah hak garap bagi suku Madura. Muadin alis Su’in, orangtua Muhammad, adalah rombangan pertama yang datang dan menetap setelah permohonan Sara dipenuhi Idrus.
Para pendatang ini kemudian tinggal di daerah Parit Kidin, Parit Ahong dan beranak pinak serta membina hubungan baik dengan suku Dayak. Dua etnis ini saling menghargai. Mereka hidup ibarat sau- dara sendiri dengan kepercayaan yang berbeda. Mereka saling menghadiri pesta perkawinan. Suku Dayak ikut hadir pada acara atau perayaan Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara suku Madura ikut larut dalam kegembiraan Pesta Panen yang diadakan suku Dayak. Meskipun demikian, sampai saat ini belum pernah berlangsung perkawinan antar suku Dayak dan Madura di Pancaroba.
Muhammad dan ayahnya, Muadin, membina hubungan yang baik dengan sesama warga desa. Me- reka bekerja sebagai penggarap lahan pertanian, sering pula mengambil rotan di hutan. Muadin juga berdagang parang di pasar. Ia banyak melayani kebu- tuhan parang warga untuk kebutuhan kerja di hutan, dan Muadin ikhlas memberikan keringanan pembayar- an dalam transaksi barang dagangannya di pasar.
Hubungan Madura dan Dayak yang harmonis di Pancaroba segera berubah ketika terjadi konflik antar etnis di Sanggau Ledo pada 1997. Khawatir konflik kekerasan akan merembes ke desanya, Muhammad lantas menggagas pertemuan dengan komunitas Dayak. Gagasannya tersebut ditanggapi baik oleh F. Nursani dan Ahen, dua orang tokoh Dayak setempat. Pertemuan dilakukan untuk mengantisipasi agar peristiwa Sanggau Ledo tak berimbas ke Pancaroba.
Muhammad dari Pancaroba: Menghapus Dendam 171
F. Nursani dan Ahen kemudian meminta warga Dayak agar tidak terpengaruh dengan konflik kekerasan itu. Keduanya mengingatkan pentingnya musyawarah tidak hanya dibuat dengan sesama Dayak, tapi juga dengan warga Madura dalam upaya mencegah dampak kerusuhan etnis Sanggau Ledo. “Dari segi etnis kita memang berbeda tapi kita sama-sama manusia, tidak boleh saling menyakiti,” papar F. Nursani dan Ahen. Setelah ada kesepakatan di antara warga Dayak, mereka lantas menemui Muhammad dan Su’in, dua tokoh Madura. Muhammad mengusulkan agar dalam pertemuan ini tidak ada yang membawa senjata. Bagi warga Pancaroba, baik Madura maupun Dayak, membawa senjata adalah hal biasa berkaitan dengan pekerjaan mereka yang berhubungan dengan hutan. Namun, pertemuan yang bertempat di ruangan SD Pancaroba itu tidak berjalan mulus. Di luar dugaan kedua pihak, tiba-tiba datang sekelompok orang dengan membawa Mandau dan tombak. Mereka menuntut agar Muhammad dan warga Madura diserahkan pada mereka. Tentu keinginan itu tidak dipenuhi wakil warga Dayak. F. Nursani menemui kelompok massa Dayak di luar gedung SD. Dengan bahasa Dayaknya yang kental ia menjelaskan bahwa pertemuan itu untuk kepentingan warga Dayak sendiri. “Semua yang ada di sini adalah saudara kita. Kita tidak boleh main hakim sendiri untuk menentukan yang salah dan benar.”
Muhammad mengaku ia begitu khawatir bahkan takut. Mereka tidak membawa sekep (pisau atau celurit yang bisa diselipkan dipinggang) yang bisa digunakan untuk membela diri. Meskipun begitu, Muhammad masih berusaha menenangkan kawan- kawannya.
Massa pun pergi setelah puas meluapkan kemarahan mereka. “Kami akan datang lagi kalau pertemuan seperti ini diadakan lagi “ ujar seorang pimpinan rombongan mengancam.
Setelah mereka pergi, Muhammad dan teman- temannya berpamitan untuk pulang. Warga Dayak yang ada di dalam ruangan tidak mampu berkata apa- apa kecuali minta maaf atas insiden tersebut. F. Nursani berpesan pada Muhammad dan teman- temannya agar berhati-hati. Bagaimanapun juga, Muhammad terlanjur kecewa dengan pertemuan tersebut. Di dalam perjalanan pulang, Muhammad berpikir bahkan sempat berkesimpulan bahwa dia dan teman-temannya dijebak. Kesimpulan yang diketahuinya terbukti keliru di kemudian hari.
Sejak insiden itu warga Madura diliputi kekhawatiran dan kecemasan. Tanpa diduga, beberapa hari kemudian terjadi penyerangan oleh sekelompok orang Dayak. Akibatnya dua rumah warga Madura hangus terbakar. Warga Madura merasa panik dan berusaha menghindar tanpa melakukan perlawanan. Muhammad berusaha mendatangi pihak keamanan yaang bertugas di desanya untuk mencegah
Muhammad dari Pancaroba: Menghapus Dendam 173
terulangnya peristiwa kekerasan tersebut. Tapi aparat keamanan dan koramil yang bertugas di desa tidak mampu memberi jaminan karena mereka sendiri diancam komunitas Dayak.
Pada hari minggu, sekitar pukul 07.50 WIB, serangan kembali terjadi, ketika warga Madura sedang membicarakan antisipasi terulangnya kejadian sebelumnya. Dari arah timur desa, sekelompok orang Dayak dengan mandau dan tombak, secara beringas melakukan pembakaran rumah orang Madura.
Muhammad dan warga lainnya segera menghin- dar ke hutan, sementara serombongan Dayak menge- jar. Sesampai di pantai mereka berpapasan dengan sekelompok orang Dayak berpakaian hitam dan wajah dicat hitam putih, sudah menyongsong. Karena takut, orang Madura berusaha menjauh. Orang-orang Dayak itu ternyata adalah Faus dan Ateng serta teman- temannya yang berniat menolong orang-orang Madura itu. “Jangan takut, kami akan menyelamatkan kalian. Kami disuruh Bapak Darus menghantar kalian ke Retok.” Retok adalah desa tetangga Pancaroba. Keduanya dibatasi sungai besar Kapuas. Retok terletak di ujung sungai Kapuas. Setiba di Retok, tetua desa Darus membawa orang-orang Madura itu beristirahat dan menyediakan makanan.
Kerusuhan di Pancaroba akhirnya berakhir. Tujuh belas rumah orang Madura hangus terbakar. Satu orang jadi korban, yaitu Muadin alias Su’in, ayah Muhammad yang tak bersedia mengungsi. Muadin
memilih menyongsong serangan warga Dayak yang datang ke Pancaroba seorang diri dengan senjata di tangan.
Usaha Muhammad untuk pengajak bapaknya pergi meninggalkan desa sia-sia. Mayat Muadin ditemui dalam kondisi mengenaskan. Sempat muncul keinginan yang kuat dalam dirinya untuk membalas dendam, tetapi pikiran warasnya menolak. Ia sadar kalau darah dibalas dengan darah, maka korban akan lebih banyak lagi.
Sekarang Muhammad mengungsi di daerah Parit Masigi. Kadang-kadang dia datang ke Pancaroba untuk melihat dan mengolah lahan garapan orangtuanya, juga tanahnya sendiri. Meskipun sem- bilan puluh persen warga Madura sudah kembali ke tempat tinggalnya di Pancaroba, Muhammad tetap memilih tinggal di Parit Masigi. Sesekali para tetangga Dayaknya datang berkunjung, menyampaikan bela- sungkawa, dan menghibur dirinya. Ada juga yang mengirimkannya uang tunggakan pembelian parang bapaknya.
Pasak Piang: Sebuah Desa Damai 175