• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iskandar Lamuka: Menolak Jihad dengan Kekerasan

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 47-56)

“…Kami memilih

mengurusi pengungsi. Ini juga jihad.” Agustanti Ruagadi

Selama bulan Juni 2000, banyak rumah warga Muslim di sekitar Poso, terbakar. Berbondong-bondong para pengungsi Muslim, kurang lebih dua puluh lima ribu jiwa, bergegas meninggalkan kampung mereka di daerah Kristen menuju Kota Poso. Kobaran api menyatu dengan ketakutan akan diserang. Dalam bahaya, mereka tidak punya pilihan lagi selain mempertebal keberanian untuk mempertahan hidup. Ketakutan bercampur keberanian kemudian menjadi aksi bela diri yang beringas. “Semua laki-laki dan pemuda, diorganisir untuk berjihad. Mereka yang tak ikut perang, dianggap lari dari tanggungjawab,” ujar Iskandar Lamuka, salah seorang pemuda.

Suasana semakin tegang, dan pemaksaan untuk berperang bagi semua laki-laki kecuali yang lanjut usia dan cacat fisik semakin tak terbendung. Pengung- sian menuju Poso semakin sulit dan berbahaya, dan akhirnya jalan darat pun tak bisa dilewati sama sekali. Korban jatuh semakin banyak. Para pengungsi harus melewati jalur laut untuk sampai ke Poso. “Pada situasi seperti itu, sulit untuk meminta agar jangan berperang,” kenang Iskandar.

42 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Yang disesalkan Iskandar dan kawan-kawan adalah peran tentara. Saat itu, pembakaran rumah- rumah sudah terjadi dan orang-orang pun sudah siap untuk menyerang balik, tentara tidak berbuat banyak untuk mencegah pembakaran dan mengendalikan mereka yang sudah kalap karena marah itu. Pada saat itu juga, ribuan pengungsi berangkat menuju Parigi. Di tengah suasana yang demikian kacau, sekelompok pemuda berpikiran lain. Bagi mereka, kekerasan yang terjadi sebenarnya bukanlah perang agama tetapi lebih karena kesalahpahaman dan karena adanya provokasi. Terhadap keadaan seperti ini, aparat keamanan bukannya mencegah efek menjalar dari kekerasan, tetapi malah terkesan membiarkan orang-orang berkelahi sampai mampus. Melihat massa sudah terprovokasi dan korban jiwa berjatuhan sementara rumah, masjid, dan harta benda habis dimakan api, Iskandar Lamuka merasa betapa sulitnya meyakinkan kembali banyak orang untuk tidak berjihad dengan kekerasan. Banyak pertempuran sudah terjadi antara kelompok Muslim dan Kristen. Semakin banyak pula manusia yang terbunuh, termasuk anak-anak, perempuan dan orangtua. Perang ini adalah perang saudara. Korban tewas mencapai seribuan orang. Sekitar lima belas ribu rumah terbakar. Tiga puluh dua ribu kepala keluarga menjadi pengungsi. Pengungsi Kristen di Tentena mencapai 30.000 orang dan 30.000 orang lagi di Parigi. Sementara pengungsi Muslim yang berkumpul di Palu mencapai 40.000 orang.

Iskandar dan lima puluh orang pemuda lain, ber- tahan untuk tidak ikut perang. “Saya bilang ke kawan- kawan yang berjihad, supaya menghargai pilihan kami mengurusi para pengungsi. Ini juga jihad,” kata Iskandar.

Iskandar meyakinkan orang-orang yang mencoba memaksanya ikut perang dengan memaparkan bagaimana nasib anak-anak sedemikian mengenaskan di tempat pengungsian. Siapa yang akan mengurusi para istri, lansia, dan juga anak-anak yang harus tetap diurus pendidikannya. Begitulah, setelah akhirnya memperoleh “ijin” untuk mengurusi para pengungsi, ia mengorganisir lima puluh relawan yang seluruhnya adalah para mahasiswa Poso yang kuliah di Palu.

Barak-barak pengungsi kemudian dibangun. Komunikasi dilakukan secara lebih intensif, tidak hanya dengan para tokoh saja tapi juga dengan pihak- pihak lain yang terlibat di lapangan untuk mengetahui situasi yang berkembang.

Berangsur-angsur perang antar warga Muslim dan Kristen akhirnya berhenti. Tapi yang mengenaskan, hubungan sosial tak mudah dijalin kembali. Iskandar dan para relawan lain menemukan bukti bagaimana perang yang terjadi telah membuat kawan yang karib menjadi musuh yang amat dibenci. Di Kimaya, Kembangreco, juga Bonesompe, misalnya, yang berperang adalah para pemuda sebelumnya selalu bermain bersama. Konflik telah mengubah teman main menjadi lawan tanding yang kejam di jalan dan di bukit-bukit desa mereka sendiri.

44 Perlawanan Tanpa-Kekerasan

Bagaimana cara menyatukan dan menyembuhkan mereka dari ingatan kelam dan hati yang telah tercabik amarah dan dendam itu? Jaringan perdamian pun segera dibentuk oleh Iskandar dan para relawan. Pada April 2001, dikumpulkannya 36 orang pemuda Muslim dan Kristen Poso yang pernah berperang. Mereka dibawa ke Palu, yang sengaja dipilih karena berada di luar Poso. Para pemuda, Muslim maupun Kristen, ditempatkan dalam ruangan sama, termasuk tidur dalam kamar yang sama pula. Beberapa pemuda kemudian bercerita, bagaimana di malam hari selama dua hari itu, baik yang Muslim maupun yang Kristen sama-sama tidak tidur dengan pulas. Mereka takut jangan-jangan kalau lengah akan dibunuh oleh “musuh” sekamarnya itu. Barulah pada malam ke tiga, sesudah dialog siang hari untuk memulihkan kerukunan dan saling pengertian, mereka bisa tidur nyenyak.

“Bagaimanapun, mereka sama-sama kawan yang pernah berkumpul dan bermain bersama ketika damai. Dan menjadi musuh karena terpaksa. Mereka berharap perang tidak akan terjadi lagi,” ujar Iskandar Lamuka.

aparat yang berjaga-jaga malah makin mencekamkan situasi, apalagi dengan adanya penambahan pos-pos pemeriksaan. “Pada periode pasca konflik tahun 2000, aparat keamanan mungkin lebih banyak jum- lahnya daripada warga setempat,” kata Pak Aziz.

Hubungan antara warga Kristen dan warga Muslim kian memburuk justru ketika warga Kristen terkonsentrasi di Tentena dan di daerah-daerah Pesisir sementara kota Poso terkonsentrasi untuk warga Muslim. Sebagian besar pengungsi Kristen adalah para pegawai negeri yang dalam situasi dan kondisi yang ada saat itu tidak berani kembali ke Poso. Demikian pula warga Muslim yang ada di Poso dan sekitarnya tidak berani datang ke Tentena. Kedua komunitas ini tidak mau ambil risiko ditembak dan dibunuh. Di mana-mana terdengar kabar penembakan, pencegatan ataupun pembunuhan, sementara pelakunya tidak teridentifikasi, apalagi tertangkap. Aziz nyaris putus asa melihat situasi ini. Orang Tentena tak lagi berani ke Poso, demikian juga sebaliknya, orang Poso tak berani ke Tentena. “Mengapa orang beragama, bersaudara harus saling bunuh hanya karena ulah orang-orang tidak ber- tanggung jawab yang ingin mengadu domba?” keluh Aziz.

Aziz turut merasakan suasana kian mencekam ini. Beredar isu, bahwa Tentena tak aman buat kaum Muslim. Akan tetapi, karena kuatnya dorongan dalam hatinya untuk membuktikan sendiri kebenaran isu

Aziz Lapatoro: Rindu Silaturahmi yang Fitri 37

tersebut, ia akhirnya memutuskan berangkat seorang diri ke Tentena dengan mengendarai sepeda motor. Keluarga dan tetangganya sangat keberatan, tetapi Aziz tetap nekat. Tujuh belas kilometer dari Kota Poso, persisnya di desa Pandiri yang sudah termasuk wilayah Kristen, Aziz berhenti. Ia bertemu dengan satu keluarga Kristen tetangganya di Lawanga, yang mengungsi di Pandiri, kecamatan Lage. “Ternyata ada warga Muslim yang berani datang ke sini. Kami senang, dia tetap menganggap kami saudara,” ujar bapak Lampadeli, yang terkejut mendapat kunjungan Aziz. Namun, mereka juga khawatir akan keselamatan Aziz jika ia tetap meneruskan perjalanannya ke Tentena.

Menurut mereka, yang dikhawatirkan adalah pihak-pihak yang ingin mengadu domba orang Kristen dan Muslim. Apa jadinya kalau hal terburuk menimpa Aziz di daerah Kristen. Suasana pasti akan lebih keruh. Salah seorang anak dari keluarga Lampadeli, mengaku kaget mendapati Aziz sudah ada di rumahnya. “Apa yang dia buat di sini, nekat sekali dia,” kata pemuda ini keheranan.

Dengan tenang Aziz menceritakan maksud kedatangannya sebagai sebuah silaturahmi. Aziz lantas melanjutkan perjalanan ke Tentena dengan sepeda motornya. Jarak 45 kilometer dari Tentena ke Pandiri ditempuhnya tanpa ganguan sedikitpun. Setibanya di Tentena, warga Kristen sangat kaget. Ada warga yang senang, karena Aziz punya saudara

Kristen dari pihak istri, tetapi ada juga yang curiga jangan-jangan yang datang ke Tentena ini adalah se- orang mata-mata. Ia meyakinkan warga yang risau itu dengan kata-kata yang singkat saja, “Saya cuma pasiar (jalan-jalan) sorindu (kangen) sama kamu,” ujarnya setiap kali ditanya.

Saat kembali ke Poso, warga Poso Muslim bertanya-tanya padanya. “Kamu diapakan orang Tentena,” atau sebaliknya, ada yang mencurigainya sebagai mata-mata untuk komunitas Kristen. Ia menjelaskan bahwa Tentena aman, tak ada apa-apa, dan dia diterima dengan baik. Disampaikannya pula ajakan warga Kristen kepada warga Muslim Poso untuk ikut merayakan natal 2001 di Tentena. “Kita diundang ke Tentena untuk merayakan natal,” kata Aziz yang berperawakan sedikit pendek dan gemuk, namun murah senyum ini, seperti ditirukan sejumlah orang yang menyongsongnya ketika ia kembali dari Tentena. Terhadap kabar yang dibawanya, banyak warga yang percaya, meski tidak sedikit juga warga yang meragukan. Prasangka bahwa Aziz mata-mata Kristen masih juga ada di kalangan komunitasnya sendiri.

Lambat laun, warga yang percaya akhirnya membuktikan sendiri kebenaran kabar yang dicerita- kan Aziz. Kota kecil Tentena ternyata aman dan warganya menerima kedatangan kaum Muslim de- ngan tangan terbuka. Setelah itu, terbentuklah suatu ikatan kekeluargaan, MuslimTo Poso (Muslim warga

Aziz Lapatoro: Rindu Silaturahmi yang Fitri 39

Poso), yang dengan tegas menolak politik adu-domba terhadap kekerabatan umat Mmuslim dan Kristen di Poso.

Aziz sendiri bukannya tak dirundung masalah. Ada pihak yang menuduhnya berkhianat terhadap komunitas sendiri. Ia tidak peduli dengan tuduhan tersebut. Ia bahkan -membela seorang pejabat Kristen yang sudah direncanakan akan ditangkap dengan tuduhan melakukan provokasi.

Sebagian tokoh Muslim juga berencana menang- kap Aziz karena ia membongkar kasus penggelapan dana Kredit Usaha Tani (KUT), satu jenis bantuan kredit pada pemerintah untuk membantu para petani kecil pada masa krisis moneter. Ada sebagian dana KUT digunakan oleh sekelompok elit untuk memo- bilisasi massa Muslim dalam aksi pembakaran satu desa yang ditempati warga Kristen. Aziz dituduh ber- buat makar oleh salah seorang saudara penguasa se- tempat, hanya karena tekadnya untuk membongkar korupsi dana KUT tersebut. Tapi, Aziz tidak sendirian. Beberapa tokoh Muslim membelanya, meski kemudian mereka juga diteror. “Kita dibodohi. Ada penyele- wengan KUT dan digunakan untuk membuat kita saling berkelahi,” keluh Aziz di setiap kesempatan, sebagaimana diingat oleh beberapa kawannya.

Tapi, apa yang sebetulnya membuat Aziz berani melakukan langkah nekat mengunjungi Tentena, ketika orang justru takut datang? “Saya tidak sedang menggagas perdamaian. Saya cuma rindu kita bisa

bersaudara lagi,” katanya menjawab rasa ingin tahu orang-orang di sekitarnya.

Di hadapan orang-orang yang mudah naik pitam, Azis selalu berbicara dengan kata-kata yang jelas dan sederhana, tetapi diucapkannya dengan sungguh- sungguh. Demikianlah, dengan keberanian dan ke- sungguhannya menemui kenalan dan kerabat di Pandiri dan Tentena, dirinya telah berbuat banyak untuk perdamaian.

Ibu Ruaedah: Kisah Sirup Orson dan Valium 45

Ibu Ruaedah: Kisah

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 47-56)