• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eni Dewi Kurniawati: Guru Perdamaian

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 164-170)

“Bantu saya persatukan bangsa ini”

Pahrian Ganawira Siregar

Kerusuhan berlatar belakang etnis yang terjadi di Kabupaten Sambas beberapa tahun silam masih membekas dalam ingatan Eni Dewi Kurniawati. Saat itu, ia mengajar di satu-satunya SMU Negeri di Kota Sambas1. Setelah konflik yang berlangsung hampir

selama 2 bulan itu, ibu tiga anak ini kehilangan belasan orang muridnya. Mereka tidak lagi menjadi murid asuhnya karena harus mengungsi bersama orang tua masing-masing. Hal ini tak lain karena adanya pengusiran terhadap komunitas Madura, sekaligus sebagai dampak dari kerusuhan tersebut. Perempuan kelahiran Tambelan2, 16 Desember

1964 , ini sangat menyesalkan munculnya kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban nyawa dan harta benda. Kesedihan bercampur keprihatian membuat hatinya tergerak untuk berbuat sesuatu. Menurutnya, kerusuhan terjadi karena rendahnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai kemanusiaan dan

1 Saat ini, beliau telah menjadi Kepala Sekolah SMU Negeri 2

Sambas, yang pada saat didirikan tahun 2003, ia menjadi Ketua Tim Persiapan

2 Pulau Tambelan terletak di Propinisi Kepulauan Riau, yang

secara geografis letaknya berdekatan dengan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

terkikisnya rasa persatuan di antara anak bangsa negeri ini. Dengan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, ibu Eni mulai melakukan upaya penyadaran akan pluralisme pada murid-muridnya. Berbagai metode ia kembangkan, baik melalui pengajaran di dalam kelas maupun kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Terobosan ini ia lakukan mengingat korban utama dari kerusuhan adalah anak-anak dari berbagai etnis yang telah menyaksikan peristiwa kekerasan tanpa mengetahui alasan dan latar belakang konflik komunal tersebut. Metode pengajaran yang dikembangkan Bu Eni adalah diskusi dan mengarang. Bagi Bu Eni, kegiatan mengarang bukanlah hal baru bagi dirinya. Maklum, ia sangat menggemari dunia sastra, dan saat masih kanak-kanak ia pernah bercita-cita menjadi seorang pujangga. Keseluruhan tema yang diangkat dalam kegiatan karang-mengarang murid-muridnya berfokus pada arti penting penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan permasalahan sehari-hari yang dihadapi anak-anak itu sendiri. Dukungan yang ia berikan tidak hanya sebatas itu. Beberapa karya muridnya ia fasilitasi untuk dimuat di media massa. Salah satunya adalah Majalah Horison, salah satu kiblat sastra Indonesia. Dalam edisi Novembar 2000, majalah kondang ini memuat tujuh karya murid Bu Eni dan secara khusus dibahas oleh Jamal D. Rahman, seorang penyair dan kritikus sastra ternama di Indonesia. Pujian dan penghargaan yang besar disampaikan kritikus ini terhadap karya murid-murid Bu Eni.

Eni Dewi Kurniawati: Guru Perdamaian 155

Berikut adalah salah satu karya murid bu Eni yang sangat kuat menyampaikan pesan perdamaian, sebagaimana termuat dalam majalah Horison:

Perang3

oleh: Jamilah tiga suku bangsa terebut tanah leluhur tertempur di bumi Sambas beribu kepala melayang

beribu ibu kehilangan keluarga beribu rumah terbakar

beribu anak putus sekolah kami tak punya siapa-siapa

ketakutan ini akan kami ceritakan pada siapa kami kaum muda

hanya bisa mendengar tak mampu menghindar

Bu Eni berpindah tugas ke SMU Negeri 1 Sambas setelah sembilan tahun mengabdikan dirinya di SMU Negeri Tebas. Di sekolah yang baru ini bu Eni membuat sebuah sanggar seni yang diberinya nama Muara Ulakan. Setiap tahun sanggar seni ini menyelenggarakan sebuah pementasan. Dalam setiap pementasan ia selalu mendorong murid-muridnya untuk membawakan karya-karya dengan tema yang menggambarkan kondisi aktual masyarakat. Demikianlah, pada tahun 2000 pertunjukan yang

digelar membawakan tema tentang dampak dari kerusuhan yang terjadi.

Saat pagelaran seni tersebut digelar, selain civitas academica4 SMU Negeri 1 Sambas, acara

tersebut juga dihadiri oleh pejabat pemerintah, pemuka dan tokoh masyarakat di kota tersebut. Memang ada saja pihak yang mengkritisi dan tidak setuju dengan acara tersebut karena menggambarkan dampak dari kerusuhan yang terjadi. Namun banyak pula yang memberi pujian dan mendukung pesan- pesan moral dan etis di dalam karya seni tersebut. Tanggapan positif yang demikian semakin menguatkan pendiriannya untuk terus berjuang menegakkan perdamaian melalui terobosan-terobosan kesenian.

Pada awal 2003, ibu guru yang pernah menjadi guru berprestasi di Kabupaten Sambas dan runner up guru berprestasi di Kalimantan Barat 2002 ini, membaca pengumuman tentang lomba kreativitas guru nasional yang diselengarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia tertarik untuk ambil bagian dan kemudian mulai menyusun tulisannya sendiri. Tak sulit memang bagi dirinya untuk membuat tulisan tersebut. Karena apa yang dijabarkannya merupakan rangkaian pengalaman yang pernah diujicobakannya dalam pengajaran di kelas. Tulisan itu diberinya judul ‘Meminimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran Pluralisme pada Siswa SMUN 1 Sambas’. Selain sebagai media pengasah kemampuan menulis, ia juga

1 Keluarga besar sebuah lembaga pendidikan, yang meliputi

Eni Dewi Kurniawati: Guru Perdamaian 157

berharap kompetisi ilmiah ini dapat menjadi ajang baginya untuk diseminasi metode pengajaran yang telah dan sedang ia terapkan. Alhasil, tulisannya mendapat kesempatan masuk putaran final, sehingga ia pun harus berangkat ke Jakarta untuk diuji dan diwawancarai tim panelis yang terdiri dari beberapa pakar di bawah pimpinan Prof. Dr. Robert Napitupulu. Pertanyaan yang diajukan oleh para pakar, ia jawab secara memuaskan. Ada satu pertanyaan yang terasa asing baginya tapi kemudian ia jawab berdasarkan pengalamannya sendiri. Pertanyaan tersebut berkenaan dengan rasa ingin tahu para panelis tentang sumber ide pelajaran dan penerapan kurikulum berbasis kompetensi, yang baru akan diterapkan pada 2004. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui apa dan bagaimana kurikulum berbasis kompetensi itu. Wajar, karena hingga saat itu, ia belum pernah sama sekali mengikuti pelatihan menyangkut model pembelajaran tersebut. Padahal, menurut para pakar, metode yang dikembangkannya sangat selaras dan memenuhi prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi. Menjelang pengumuman hasil perlombaan, Bu Eni tak begitu berharap menjadi pemenang karena ia pun sudah puas dengan banyaknya pengalaman yang didapat selama rangkaian kegiatan tersebut. Waktu namanya disebut sebagai juara pertama, ia terkejut dan tak menyangka akan berkah tersebut. Di dalam hatinya, ia merasa apa yang dilakukannya selama ini akhirnya mendapatkan pengakuan dan dihargai.

Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya ketika menerima penghargaan bergengsi itu. Begitu pula tak banyak tutur kata yang ia sampaikan ketika diwawancarai para wartawan dari segenap media, baik cetak maupun elektronik. Hanya sepatah kata yang mampu terucap, “Bantu saya persatukan bangsa ini.”

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 164-170)