• Tidak ada hasil yang ditemukan

John Tongku: Berperang Melawan Isu

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 64-70)

“Kami warga Muslim di Desa Malitu baik-baik saja”

Zulfiah

Pak Kepala, begitu biasanya laki-laki separuh baya bernama John Tongku ini disapa masyarakat Desa Malitu Kecamatan Poso Pesisir Selatan.1 Sosok

yang sangat bersahaja dan ramah ini pernah menjabat Kepala Desa Malitu sejak September tahun 1979 hingga Oktober 2001. Rentang waktu yang begitu lama dalam menjabat kepala pemerintahan di desanya membuatnya sering dipanggil “Pak Kepala” kendati jabatan itu tidak lagi disandangnya.

Saat ini beliau tinggal bersama keluarga tercinta di Desa Malitu, sebuah desa yang terletak kurang lebih 7 km dari Ibu Kota Kecamatan Poso Pesisir. Jalan menuju desa Malitu lumayan sulit. Selain karena kondisi jalan yang belum sepenuhnya beraspal, wilayahnya juga jauh menjorok ke dalam dari jalan Trans Sulawesi. Itulah mengapa desa Malitu sangat sedikit memiliki akses informasi. Sebagian besar masyarakat Malitu beragama Kristen (75%) dan sisanya (25%) beragama Islam dari etnis Bugis. Mata pencarian masyarakat pada umumnya adalah petani kakao dan pembuat gula merah.

1 Kecamatan Poso Pesisir Selatan adalah kecamatan baru yang

Pada awal Juli 2000, beredar isu bahwa ma- syarakat yang berada di Desa Malitu harus dipisahkan berdasar-kan agama masing-masing. Komunitas Mus- lim tidak boleh bergabung dengan komunitas Kristen, demikian pula sebaliknya. Pak Kepala kemudian mengumpulkan warga Muslim, berjumlah 34 kepala keluarga, yang saat itu sebagian besar tinggal di kebun masing-masing. Upaya pengumpulan dilakukan selama dua hari karena lokasi kebun warga saling berjauhan dan berada di daerah perbukitan. Setelah semua ter- kumpul, Pak Kepala meminta mereka untuk mengungsi ke desa-desa tetangga yang mayoritas penduduknya Muslim atau berlindung di Markas Koramil Poso Pesisir. Sebagian besar warga Muslim menyetujui permintaan tersebut namun ada 5 KK yang tidak mau meninggalkan Desa Malitu. Mereka bersikukuh untuk bertahan di desa. Mereka berkata dengan tegas, “Kami akan selalu bersama-sama dengan Pak Kepala. Kalau Pak Kepala mati, kami juga ikut mati.”

Ketika sedang merencanakan pengungsian warga Muslim, tiba-tiba muncul serombongan pengungsi Muslim dari Desa Pandiri Kecamatan Lage. Rombongan berjumlah sekitar 60 orang. Mereka telah berjalan kaki selama 2 hari melewati hutan dan gunung sampai akhirnya tiba di perbatasan Desa Malitu. Warga segera melaporkan hal ini kepada Pak Kepala, dan beliau mengutus salah satu perangkat desa untuk memastikan berita tersebut. Ketika kebenaran berita itu didapatkan, Pak Kepala meminta para pengungsi dibawa ke desa dan selanjutnya ditampung di rumah-

John Tongku: Berperang Melawan Isu 55

rumah penduduk. Kebetulan saat itu melintas sebuah truk yang biasanya mengangkut kayu hasil penebangan dalam hutan. Pak Kepala kemudian menyuruh seluruh rombongan tersebut menumpangi truk ini menuju desa.

Pada hari Jumat, saat masyarakat Muslim baru selesai menunaikan ibadah salat Jum‘at, datanglah salah seorang anggota polisi utusan Kapolsek Poso Pesisir. Polisi meminta Pak Kepala datang ke kantor polisi untuk memberikan klarifikasi sehubungan dengan adanya isu tentang pengejaran terhadap pengungsi Pandiri yang tiba di perbatasan desa Malitu. Pak Kepala pun menyatakan kesediaannya dan beliau mengajak Pak Marhali, salah seorang kepala dusun Muslim yang berasal dari etnis Bugis. Dengan berboncengan sepeda motor, mereka berdua menuju kantor Polsek. Namun baru saja sampai di perbatasan dengan desa Muslim lain, keduanya dicegat sekelompok warga Muslim yang termakan isu pengejaran terhadap pengungsi Pandiri. Suasana menjadi tegang karena sebagian warga membawa senjata tajam dan terlihat emosional. Tak lama kemudian beberapa warga Bugis mendatangi mereka berdua dan menanyakan kebenaran isu tersebut. Salah seorang pemuda dengan tidak sabar langsung menodongkan Peluncur (salah satu jenis senjata api rakitan) sambil mengancam, “Kalau terjadi sesuatu dengan saudara-saudara kami di sana, maka Pak Kepala sebagai jaminannya.”

Saat itulah Kapolsek beserta beberapa anggotanya telah tiba di tempat kejadian. Pak Kepala kemudian

meminta Pak Marhali untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada warga yang mencegat mereka. Pak Marhali pun mencoba meyakinkan warga dengan menggunakan bahasa Bugis, “Kami warga Muslim di desa Malitu baik-baik saja. Bahkan saya sendiri baru selesai melakukan sholat Jum`at. Sementara saat ini saudara-saudara Muslim kita dari Pandiri sedang menikmati makan siang yang disiapkan oleh warga desa Malitu.” Mendengar penjelasan tersebut, sebagian warga merasa puas. Meskipun masih ada yang pena- saran dan belum percaya sepenuhnya, massa akhirnya membubarkan diri.

Setiba di desanya, Pak Kepala langsung memberi- kan penjelasan kepada warganya agar memberikan tumpangan menginap kepada para pengungsi Pandiri dan warga Muslim Malitu yang telah kembali dari ke- bun mereka. Ia kemudian mengatur pembagian ru- mah warga untuk dijadikan tempat pengungsian buat sementara waktu.

Keesokan harinya, beredar lagi isu lain yang isinya kurang lebih bahwa ada sekelompok orang yang memiliki ilmu tinggi yang bisa membedakan antara Muslim dan Kristen hanya dengan mencium aroma tubuh seseorang. Isu semakin santer sehingga masya- rakat gelisah dan panik. Mengetahui keadaan ini, Pak Kepala kemudian meminta perangkat desa untuk mengumpulkan semua warga Muslim yang masih tinggal di kebun supaya segera bergabung dengan warga Muslim lainnya yang ada di desa. Selanjutnya, Pak Kepala membujuk mereka mengungsi ke kantor

John Tongku: Berperang Melawan Isu 57

Koramil di Mapane. Warga Muslim ini akan diantar sampai di perbatasan Desa Malitu dan kemudian me- nempuh jalan setapak menembus Gunung Pancawa- ringi. Dari sana mereka bisa mencapai batas Desa Patirobajo dan selanjutnya berjalan menuju Kantor Koramil. Pak Kepala pun melepas warga Muslim dengan berpesan, “Kalau sudah dekat kantor Koramil, utuslah seorang laki-laki dan seorang ibu sambil menggendong anaknya untuk mengabarkan kehadiran kalian kepada petugas. Jangan membuat kericuhan yang akan membuat masyarakat Desa Patirobajo mengira kedatangan kalian bermaksud hendak menye- rang. Usahakan tiba sebelum malam.” Pesan ini ke- mudian dilaksanakan dengan baik dan rombongan ti- ba dengan selamat di kantor Koramil pada sore hari menjelang maghrib. Setelah mendapat laporan bahwa rombongan tersebut selamat sampai di Kantor Koramil, Pak Kepala pun merasa sangat lega.

Namun kelegaan beliau tidak berlangsung lama. Pada pertengahan Juli 2000, di seluruh wilayah Poso mulai terjadi ketegangan antara komunitas Muslim dan Kristen. Beberapa anggota masyarakat baik Muslim maupun Kristen, khususnya dari Kecamatan Poso Kota, Kelurahan Moengko dan Kayamanya, yang memiliki keluarga dan kerabat di Desa Malitu mulai mengungsi ke sana. Suasana di desa Malitu berubah tegang ketika terjadi pembakaran Gereja Katolik di Kelurahan Moengko Baru. Pak Kepala juga mendapat tekanan dari berbagai pihak karena telah melindungi warga Muslim. Pihak-pihak yang tidak

senang dengan apa yang dilakukan Pak Kepala kemudian menyebarkan isu baru bahwa lurah/kepala desa yang beragama Kristen yang ikut melindungi warga Muslim akan dibunuh. Rumah Pak Kepala mulai dilempari dengan batu. Setelah bermusya- warah dengan tokoh-tokoh masyarakat, ia kemudian memutuskan untuk mengungsi keluar dari Desa Malitu demi menjaga keselamatan diri dan keluarga- nya. Kembali 5 kepala keluarga Muslim menyatakan sikap mereka menolak mengungsi ke Kantor Koramil Mereka ingin ikut bersama warga Kristen yang lain mengungsi ke camp, sebuah bangunan di atas bukit bekas milik perusahaan penebangan kayu yang berjarak kurang lebih 3 km dari Desa Malitu. Sebelum me- mutuskan untuk mengungsi dan mempertimbang- kan situasi yang semakin tidak menentu, Pak Kepala membujuk warga Muslim untuk berlindung di Koramil saja. Ia tegaskan bahwa dirinya tidak dapat dijadikan jaminan keselamatan mereka, karena keselamatan diri dan keluarganya sendiri saja juga sedang terancam. Akhirnya, dengan berat hati lima kepala keluarga Muslim itu mengikuti jejak kerabat mereka yang sudah mengungsi ke kantor Koramil. Sementara itu, Pak Kepala meminta masyarakat, khususnya warga yang sakit, lanjut usia, dan perempuan, untuk segera mengamankan diri ke camp.

Keluarga Lahmudian Sabarotja 59

Keluarga

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 64-70)