• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maya Satrini: Sang Pelindung

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 176-180)

Maya Satrini: Sang Pelindung

“Aku ingin melihat nyalimu menembak seorang perempuan.”

Subro

Nama perempuan itu Maya dan biasanya dipanggil ibu Maya atau kak Maya. Pembawaan diri wanita yang bernama lengkap Maya Satrini ini, tampak biasa saja atau malah bisa dikatakan sederhana. Selain sebagai ibu rumah tangga, dia juga aktif sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), aktivis gender, dan anggota Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Singkawang. Kak Maya pernah berangkat ke Aceh menjadi relawan setelah terjadinya musibah gempa bumi dan tsunami. Ia selalu bersuara lantang dalam membela kaum tertindas. Dia melakukan advokasi melalui media mempersoalkan kebijakan yang tidak adil, seperti kebijakan SBKRI bagi saudara etnis Tionghoa yang sudah lahir, tumbuh dan berkembang serta sudah banyak berbuat untuk kemajuan Kota Singkawang. Di samping itu, ia tak henti-hentinya mengajak warga etnis Tionghoa untuk selalu membuka diri dalam pergaulan dengan semua orang.

Kak Maya dikenal masyarakat luas karena prestasinya di bidang kemanusiaan. Prestasinya di bidang ini banyak didukung oleh sifatnya yang ringan tangan dan bersedia menolong siapa saja yang membutuhkan. Ketika konflik etnis terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1999, ia ikut

menampung para pengungsi baik dari suku Madura, Melayu, Dayak, dan juga suku-suku lain di rumahnya. Kak Maya ikhlas memberi tumpangan karena mereka benar-benar panik dan takut.

Akan tetapi, dalam konteks masyarakat Kalimantan Barat di mana identitas etnis begitu kuat ditonjolkan, sifat ringan tangannya itu seringkali menempatkan dirinya dalam masalah serius terutama ketika orang dari kelompok tertentu menganggapnya berpihak pada kelompok tertentu yang lain. Pada suatu hari, seorang bapak tua yang sedang mencari rumput pakan ternak tidak sadar kalau ternyata kerusuhan tengah terjadi tidak jauh dari ladangnya. Ketika pulang melintasi jalan raya ia terkejut melihat banyak polisi dan tentara berjaga-jaga di jalan. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba ia dibentak salah seorang aparat militer. Saking terkejutnya, ia langsung berlari menjauh. Melihat seorang bapak tua yang berlari ketakutan, kak Maya menyuruhnya masuk ke dalam rumahnya. Tidak lama kemudian datang beberapa anggota polisi menggedor pintu dan berniat masuk untuk menggeledah rumah kak Maya. Dengan berani ia menghentikan ulah para polisi.

“Stop! Ini rumah saya. Kalian tidak berhak bertindak sembarangan di sini karena saya bukan penjahat”, kata kak Maya tegas.

“Ibu telah melindungi seorang perusuh”, kata salah seorang di antara mereka.

“Perusuh yang mana? Di dalam rumah saya banyak sekali orang yang berlindung karena mereka ketakutan”, kata kak Maya lebih lanjut.

Maya Satrini: Sang Pelindung 167

“Dia itu bapak tua yang tadi membawa senjata tajam dan masuk ke rumah Ibu. Cepat keluarkan kalau tidak nanti saya tembak!!” bentak polisi itu.

“Ayo tembak, silahkan tembak. Aku ingin melihat nyalimu menembak seorang perempuan. Aku ingin melihat nyawaku meregang di depan kalian, di depan polisi yang dipersenjatai dari uang pajak rakyat yang salah satunya kalian tuduh perusuh itu. Dia itu bapak tua yang sedang mencari rumput untuk pakan ternak- nya, untuk membiayai hidup keluarganya. Yang di- bawanya itu arit untuk memotong rumput, bukan senjata tajam untuk melukai orang, apalagi membuat kerusuhan. Saya anggota PMI, kalian polisi, tahu apa itu hukum perang, hukum kemanusiaan? Andaikan perang sekalipun, apa yang harus kalian lakukan ter- hadap mereka yang sudah tidak berdaya dan butuh perlindungan, seperti kaum lansia, perempuan dan anak-anak?” tantang kak Maya.

Di tengah ketegangan itu tiba-tiba seorang anak kak Maya berlari mendekat dan berteriak, “Ibuu...”. Si anak terlihat ketakutan melihat ibunya berdiri persis di depan moncong senjata laras panjang.

Melihat pemandangan tersebut, sang polisi pun bertanya, “Itu anak Ibu?”

“Iya, kenapa? Kamu masih mau menembakku bersama anakku?” jawab kak Maya. Mendengar jawaban itu maka polisi itu pun pergi meninggalkan rumahnya. Pada kesempatan yang lain, ia berperan sebagai mediator bagi persoalan pribadi seorang perempuan sebagai dampak dari konflik etnis yang terjadi di kota Sambas. Ita, yang bapaknya seorang Madura sementara

ibunya Melayu, mendapatkan kesulitan ketika akan menikah dengan kekasihnya Syaf, seorang laki-laki Melayu dari daerah Sambas. Persoalan muncul ketika bapak Ita tidak bisa datang menjadi wali pernikahan karena sejak kerusuhan ayahnya sebagai seorang Madura harus berpisah dari anak dan istri. Ita dan ibunya tetap tinggal di kampung Melayu lantaran rumah, sawah, dan mata pencariannya ada di kampung. Sementara ayah Ita, pak Rahmat seorang tuna netra, tinggal di Pasiran Singkawang yang merupakan daerah Madura. Beberapa orang menyarankan agar Ita meminta wali nikah lain sebagai ganti ayahnya. Tetapi Ita menolak karena ia bersikeras agar ayahnya hadir dalam momen kehidupannya yang penting itu. Mendengar permasalahan yang dihadapi Ita, kak Maya tergerak hatinya. Setelah tahu duduk persoalan, ia kemudian mendatangi beberapa tokoh masyarakat di wilayah Melayu untuk mendapatkan jaminan keamanan bagi pak Rahmat. Ketika para tokoh Melayu memberikan jaminan mereka berupa kata-kata persetujuan, giliran bapak Ita yang merasa cemas akan keselamatan jiwanya sendiri. Dengan berbagai alasan dan juga dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, kak Maya berusaha meyakinkan pak Rahmat bahwa tidak akan terjadi apa-apa karena semua itu dilakukan untuk kebahagiaan keluarga dan puteri kandungnya. Beberapa waktu kemudian, pernikahan Ita dan Syaf pun dilakukan dan pak Rahmat bertindak sebagai wali nikah. Acara pernikahan berjalan lancar serta aman.

Muhammad dari Pancaroba: Menghapus Dendam 169

Muhammad dari Pancaroba:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 176-180)