• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Lahmudian Sabarotja

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 70-76)

“Kami tidak sampai hati tinggalkan mereka sendiri dalam ketakutan”

Zulfiah

Lahmudin Sabarotja adalah warga Muslim dari Kelurahan Mapane, Kecamatan Poso Pesisir. Ia telah menetap di kelurahan ini sejak lahir hingga memiliki beberapa cucu. Di usianya yang telah melewati 50 tahun, ia masih terlihat aktif dan penuh semangat meskipun telah pensiun sebagai sekretaris kelurahan Kasiguncu beberapa tahun silam. Lahmudin bertugas di kelurahan tersebut kurang lebih selama sepuluh tahun. Kelurahan Kasiguncu hanya berjarak ± 2 km dari Kelurahan Mapane, tempat tinggalnya saat ini. Penduduk Kasiguncu berjumlah sekitar 700 KK de- ngan jumlah komunitas Kristen 60% dan komunitas Muslim 40%.

Dalam masa tugasnya, Lahmudin memiliki banyak sahabat, baik yang berasal dari komunitas Muslim maupun komunitas Kristen. Salah satu sahabat dekat beliau adalah Purnama Tarima, warga Kristen yang saat itu menjabat sebagai sekretaris Kecamatan Poso Pesisir dan akan dipindahkan ke Kecamatan Lore Utara dalam proses pengangkatan menjadi camat baru di kecamatan tersebut.

Keluarga Purnama menetap di Kelurahan Kaya- manya, yang hanya berjarak 1 km dari Poso Kota. Dalam rangka mempersiapkan tugas baru tersebut, Purnama beserta istri pindah ke Lore Utara. Anak- anak beliau yang sedang melanjutkan sekolah di Kota Poso, tetap menempati rumah mereka yang berada di Kayamanya. Salah anak beliau sedang menyelesaikan pendidikannya di Akademi Perawat Poso dan dua lainnya duduk di kelas tiga SMU dan sedang mem- persiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir.

Pada pertengahan Mei 2000, suasana mulai terasa tegang dan memanas. Semua orang waspada dan bersiap-siap untuk mengungsi jika keadaan ka- cau. Dalam situasi tersebut, Purnama menemui Lah- mudin dan meminta agar anak-anaknya yang sedang melanjutkan sekolah itu bisa tinggal di rumah Lah- mudin untuk sementara waktu. Permintaan tersebut disetujui Lahmudin. Kebetulan, anak bungsunya satu kelas dengan salah satu anak Purnama.

Akhirnya anak-anak tersebut tinggal di rumah Lahmudin dan setiap hari berangkat ke sekolah me- reka masing-masing dengan menggunakan bus ang- kutan. Jarak dari Mapane ke Poso Kota ± 12 km. Kon- disi seperti ini berjalan baik sampai akhirnya, pada hari Jum‘at, 23 Mei 2000, tersiar kabar bahwa perang antar dua komunitas ini akan segera pecah. Semua orang menjadi panik dan dan bersiap untuk lari me- nyelamatkan diri. Sebagian masyarakat sudah mulai mengungsi. Keluarga besar dan tetangga Lahmudin mulai berkemas dan mengungsi ke Desa Tiwa‘a yang

Keluarga Lahmudian Sabarotja 61

bisa ditempuh selama setengah jam dengan meng- gunakan mobil. Ketiga anak Purnama pun ikut dibawa mengungsi. “Kami tidak sampai hati tinggalkan me- reka sendiri dalam ketakutan, maka kami pun mem- bawa mereka pergi. Lagipula mereka adalah tanggung- jawab saya. Ayah mereka menitipkan keselamatan anaknya pada keluarga kami,” kata Lahmudin. Beliau sendiri memilih untuk bertahan di Mapane.

Dalam perjalanan menuju Desa Tiwa‘a, saat melewati Desa Tokorondo (salah satu desa Muslim), iringan mobil yang mereka tumpangi dicegat oleh sekelompok orang dan para penumpang diminta untuk memperlihatkan kartu identitas diri. Mereka bermaksud menawan orang-orang yang bukan warga Muslim jika ada yang ikut mengungsi. Keluarga Lahmudin berusaha bersikap tenang, anak-anak Purnama pun diminta untuk tidak panik. Kebetulan, dalam mobil terdepan dari iringan-iringan kendaraan pengungsi, terdapat Haji Sabarotja yang yang duduk di samping sopir. Beliau adalah ayah dari Lahmudin dan salah satu tokoh masyarakat yang disegani di wilayah Poso Pesisir. Kelompok pencegat tersebut langsung mengenalinya. Beliau berkata “Seluruh penumpang dalam tiga iringan mobil selanjutnya adalah anggota keluarga saya, termasuk anak-anak dan cucu-cucu saya.” Orang-orang tersebut percaya dan memberi jalan agar iringan mobil tersebut meneruskan perjalanan. Alhasil, para penumpang tidak jadi memperlihatkan KTP dan anak-anak Purnama mulai tenang kembali.

Sampai di Desa Tiwa‘a, keluarga Lahmudin menginap di rumah salah satu kerabat dekat mereka. “Di Tiwa‘a pun kami tidak tenang, karena ada bisikan- bisikan, bahwa ada warga Tiwa‘a yang tahu kehadiran anak-anak Kristen yang ikut dengan kami,” kata istri Lahmudin. Di desa ini mereka hanya bertahan selama dua malam.

Pada tanggal 26 Mei 2000, Purnama menelpon Lahmudin di Mapane karena mendengar kabar bahwa seluruh kampung sudah kosong dan situasi semakin tidak pasti. Sekali lagi, Purnama memohon agar Lahmudin mengupayakan anak-anak beliau dapat keluar dari Mapane. Lahmudin kemudian berangkat ke Tiwa‘a dan menganjurkan keluarganya kembali ke Mapane, karena ternyata tidak terjadi hal-hal buruk sebagaimana kabar yang beredar beberapa hari lalu. Lahmudin berusaha mencarikan mobil untuk anak-anak Purnama. Pada saat itu, hampir tidak ada mobil atau bus yang kosong, semuanya penuh terisi oleh warga yang akan mengungsi ke Palu. Cara satu- satunya adalah dengan mencegat bis yang berangkat dari Makassar atau Tentena menuju Palu atau mobil carteran dengan biaya yang lebih mahal dari biasanya. Akhirnya Lahmudin mendapatkan mobil yang akan berangkat ke Palu. Anak-anak Purnama diberangkatkan ke Palu pada malam harinya.

Pada Sabtu malam, 27 Mei 2000, Lahmudin menyempatkan diri memantau wilayah Kasiguncu dan sekitarnya karena beredar kabar, pasukan Kristen akan turun dan menyerang desa-desa Muslim. Saat

Keluarga Lahmudian Sabarotja 63

itu beliau dipercayakan menjadi pejabat sementara menempati posisi lurah karena penempatan lurah yang baru masih dalam proses. Karena memikul tanggungjawab tersebut, malam itu beliau menginap di Kasiguncu.

Pada pagi harinya, 28 Mei 2000, orang-orang Kristen terlihat turun dan berjalan dari arah Desa Sangginora dengan jumlah yang besar. Menurut berita, rombongan tersebut akan berjalan kaki menuju Kota Poso. Mereka tidak akan menyerang desa-desa Muslim yang akan dilewati. Melihat rombongan tersebut, Lahmudin langsung menuju rumahnya, seraya memberitahukan hal tersebut kepada orang- orang yang ditemuinya sepanjang jalan agar mereka membuka palang dan rintangan yang dipasang di jalan-jalan. Maksud beliau, agar rombongan tersebut dapat lewat dan perjalanan mereka tidak terhambat. Lahmudin mengkhawatirkan, jika ada rintangan yang dipasang di jalan-jalan, maka akan mudah menyulut emosi massa yang akan melintas.

Hari itu juga, keadaan semakin mencekam. Sebagian warga yang tidak sempat mengungsi mencari perlindungan di kantor Koramil atau di kantor Polsek Poso Pesisir. Setelah mengetahui bahwa keluarga beliau telah mencari perlindungan, Lahmudin bergabung bersama warga sekitar di kantor Polsek. Begitu beliau sampai, salah seorang anggota polisi yang beragama Kristen memohon dengan sangat agar Lahmudin sudi menjemput istrinya yang berada di Desa Patirobajo, karena jalan menuju desa tersebut

telah dijaga oleh orang-orang Muslim. Lahmudin bersedia dan langsung menuju rumah yang dimaksud, walaupun beliau belum mengenal wanita tersebut.

Setibanya di sana, beliau langsung menyampai- kan maksud kedatangannya. Perempuan muda ter- sebut sangat berterimakasih, karena ia sudah cukup lama menunggu jemputan suaminya dan merasa sangat ketakutan. Menyadari bahwa warga Mapane dan sekitarnya dapat mengenali wajah perempuan ini, Lahmudin menyarankannya memakai topi supaya sebagian wajahnya tidak kelihatan. Dengan perasaan cemas, beliau memboncengnya melewati massa Muslim yang sudah memenuhi jalan-jalan raya. Keduanya pun tiba dengan selamat di kantor Polsek.

Akhirnya, pada tanggal 7 Juni 2000, setelah bertahan selama sepuluh hari di kantor Polsek sambil mendengar dentuman bom dan menyaksikan rumah- rumah yang dibakar, Lahmudin baru bisa mengungsi melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor yang disewakan. Beliau mengungsi ke Palu, di mana keluarganya telah menunggu di sana. Sesam- painya di Palu, istrinya menyampaikan, bahwa Pur- nama dan keluarganya telah datang menengok dan membantu mereka selama di pengungsian. Keluarga Kristen ini sangat berterimakasih atas apa yang telah dilakukan oleh keluarga Lahmudin. Kebaikan dan kebesaran hati yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup.

Ngkai Naromba: Sang Penjaga Kampung 65

Ngkai Naromba:

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 70-76)