• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdulgani Fabanyo: Pembawa Pesan Perdamaian

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 132-138)

“...Saya mau melihat saudara-saudara saya di Tial.”

Zakiyah Samal

Bekerja sebagai aktivis perdamaian bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Selain keselamatan pribadi bisa terancam setiap saat, ide-ide tentang perdamaian yang ditawarkan juga selalu mendapat tanggapan yang bermacam-macam dari masyarakat. Ada yang mencemooh, mensikapinya dengan kemarahan, dan ada juga yang mengatakan bahwa Abdulgani Fabanyo sebagai orang gila. Orang seringkali terkejut jika diajak bicara soal damai. Buat mereka perdamaian sudah terkubur bersama jasad korban- korban konflik kekerasan yang terjadi. Bahkan salah satu kelompok Muslim garis keras di Ambon menuduh Abdulgani dan teman-temannya telah dibayar mahal untuk sebuah konspirasi untuk menghancurkan umat Islam. Sebenarnya sejak awal konflik Ambon tahun 1999, Abdulgani Fabanyo sudah mengabarkan pesan perdamaian pada masyarakat. Dan untuk itu ia tak ragu keluar masuk di kedua wilayah komunitas yang terpisah berdasarkan garis agama, Islam–Kristen. Bahkan ketika konflik mencapai puncaknya pada tahun 2000-2002, di mana kehidupan masyarakat

benar-benar telah tersegregasi secara total, Abdulgani tetap melanjutkan kegiatan perdamaiannya.

Salah satu lokasi kegiatan Abdulgani adalah wilayah Kecamatan Salahutu, khususnya Desa Tial dan Suli. Sebelum konflik kekerasan antar kelompok masyarakat pecah di Maluku, penduduk Desa Tial terdiri dari dua komunitas, Islam dan Kristen. Setelah konflik, komunitas Kristen yang memang merupakan kelompok minoritas di desa tersebut, memilih mengungsi di daerah militer Rindam Suli. Di wilayah ini Abdulgani membawa pesan perdamaian melalui program pendidikan. Pada awal tahun 2000, tepatnya di bulan Januari, Abdulgani membuka SMP Jarak Jauh (sekolah alternatif) di Desa Suli yang SMP induknya ada di desa lain, Sula. Di SMP pemekaran ini dilakukan konseling bagi siswa yang mengalami trauma.. Setiap Senin, para siswa dibawa ke SMP Induk di Sula untuk mengikuti upacara bendera. Upacara bendera merupakan satu-satunya kegiatan yang dilakukan secara bersama antara murid Islam dan Kristen. Awalnya upacara diikuti dengan rasa was-was oleh murid-murid. Hal ini terjadi beberapa kali di awal-awal kegiatan sampai akhirnya rasa takut itu hilang dan berganti rasa saling percaya yang terus tumbuh di antara murid-murid tersebut. Hal lain yang diupayakan SMP ini untuk menumbuhkan rasa saling percaya adalah bermain sepakbola bersama. Olahraga yang satu ini memang sudah menjadi aktivitas yang sulit dilepaskan dari masyarakat pada umumnya. Pertandingan dilakukan di lapangan

Abdulgani Fabanyo: Pembawa Pesan Perdamaian 123

Rindam Suli. Pertandingan awalnya hanya ditonton segelintir orang. Tapi pada pertandingan-pertandingan selanjutnya lapangan ramai dipenuhi penonton dan suporter. Permainan sepakbola bersama ini akhirnya melahirkan keakraban yang cukup manis yang terus terpelihara. Hal ini dibuktikan dengan adanya undangan kepada masyarakat Islam Tial untuk menghadiri perayaan Natal oleh pengungsi Kristen Tial di Desa Suli pada tanggal 27 Desember 2000. Pada saat yang sama, Abdulgani Fabanyo juga terus berusaha melakukan pendekatan dengan tokoh- tokoh kunci, seperti kepala Desa Tial dan Suli, camat Salahutu, tokoh pemuda, dan lain-lainnya. Satu hal yang menggembirakan Abdulgani dan kawan- kawannya adalah adanya dukungan positif dari kepala Desa Suli yang beragama Kristen serta adanya harapan untuk perdamaian dari pengungsi Kristen yang berasal dari Tial.

Pada suatu siang di bulan Juli tahun 2000, Abdulgani memacu mobilnya bersama dua temannya, suami istri Jaap dan Meriam Timmer dari salah satu LSM International. Mereka ingin melihat kegiatan Abdulgani di Desa Tial. Perjalanan dari Ambon ke Tial dilakukan dengan melewati beberapa desa Islam dan Kristen. Perjalanan ini pun berhasil tanpa ada hambatan. Sesampai di Desa Suli mereka mampir sebentar melihat para pengungsi Tial Kristen. Ketika tengah berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Tial, Abdulgani melontarkan satu pertanyaan kepada

warga Tial kristen yang sedang beristirahat tersebut, “Siapa yang mau ikut saya ke Tial?”Pertanyaan itu selain menguji sejauh mana tingkat kepercayaan warga Tial Kristen pada Abdulgani, juga menguji kepercayaan mereka pada warga Tial yang Muslim. Jawaban spontan datang dari Onggo, seorang lelaki berusia 60 tahun. “Saya ikut. Saya mau melihat saudara-saudara saya di Tial. Saya juga mau melihat rumah saya,” ujar Onggo. Kemudian Abdulgani meneruskan tawarannya,”Siapa lagi yang mau menemani Bapak Onggo?” tanya Abdulgani.

Suasana mendadak hening. Tidak ada yang berani menawarkan diri. Setelah ditunggu beberapa lama tidak ada yang menjawab, Onggo pun menunjuk keponakannya, Obet, 26 tahun, untuk menemaninya. Maka berangkatlah mereka ke Tial. Perjalanan ke desa ini akan melewati dua desa Muslim, yaitu Tulehu dan Tenga-Tenga. Khawatir dikenali, Onggo pun menutup kaca belakang mobil tempat mereka duduk. Perjalanan ke Tial menempuh waktu 25 menit saja. Sesampai di tempat mereka pun turun dari mobil. Melihat Bapak Onggo dan keponakannya turun dari mobil, masyarakat Tial berhamburan ke luar rumah. Suasana menjadi agak gaduh. Onggo dan Obet merasa sangat cemas dan berpikir jangan-jangan nyawa mereka sedang terancam. Di luar perkiraan mereka warga Tial Muslim malah memeluk mereka secara bergantian. Mereka pun bertangis-tangisan karena terharu. Pada saat tenggelam dalam suasana

Abdulgani Fabanyo: Pembawa Pesan Perdamaian 125

haru itu, tiba-tiba terdengar seseorang memberi kabar bahwa sekelompok pemuda Muslim dari Desa Tenga-Tenga sedang menuju ke Tial untuk membunuh penyusup yang datang dari Suli. Ternyata kehadiran Onggo dan keponakannya dianggap sebagai penyusupan oleh sebagian orang. Segera saja Abdulgani menyuruh Onggo dan Obet untuk naik ke mobil. Sebelum berangkat, orang-orang Tial Muslim memberikan bekal makanan pada Onggo dan Obet. Abdulgani segera mengemudikan mobilnya dan kembali ke Suli dengan melewati Desa Tenga-Tenga dan Tulehu. Mereka sempat berpapasan dengan sebuah angkot yang mengangkut massa yang hendak mencari penyusup di Desa Tial. Tapi, massa tidak menyadari bahwa Onggo dan Obet baru saja melintas di depan mereka. Para pemberani ini kemudian tiba di Rindam Suli dengan selamat.

Hari sudah malam ketika Abdulgani dan dua teman bulenya sampai di Ambon. Mereka mampir sebentar di kantor Abdulgani di Kebun Cengkih untuk mengambil sejumlah data. Ketika tamunya sedang santai sebentar sambil minum kopi, dua anak muda masuk lewat pintu belakang menuju ruangan kantor. Keduanya mendekati Abdulgani dan berkata, “Abang, massa sudah banyak di luar karena Abang masuk bawa bule ke sini dan Abang pakai mobil asing.” Abdulgani pun keluar menemui massa. Setelah terjadi adu mulut sesaat, dengan tegas Abdulgani berkata, “Mereka adalah teman-teman saya. Kalian

tidak perlu mengatur saya karena saya tahu dengan siapa saya harus berteman.”

Terdengar suara teriakan yang mengajak untuk memukul Abdulgani. Tetapi Abdulgani tidak gentar sedikitpun. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Tiba-tiba seorang famili Abdulgani yang menjadi anggota DPRD bersuara,” Apa? Kalian mau pukul Abdulgani? Kalian pikir dia tidak punya siap- siapa di sini ya? Coba lihat di sini banyak orang Ternate. Kalau kalian sampai memukul dia maka kalian akan berhadapan dengan orang Ternate.”

Massa kemudian mengurungkan niatnya. Dengan bergegas Abdulgani mengantar tamunya, Jaap dan Meriam, kembali ke Ambon. Pasutri asing ini selamat sampai di hotel tanpa sempat tahu kalau nyawa mereka baru saja terancam.

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 132-138)