• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grace and Ibunya

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 122-128)

Grace and Ibunya

“…Kalian tidak berhak datang ke sini lalu main hakim sendiri terhadap warga kami”

Herlien Lainsamputty

Grace dan Ibunya, dua warga Kristen Maluku, merasa amat bersyukur. Nyawa mereka diselamatkan Haji Baeng, tetangga mereka di kampung Soabali, Kelurahan Silale. Haji Baeng dengan berani melawan keinginan sekumpulan warga Muslim yang ingin membalas kematian saudara-saudara mereka dengan membunuh setiap orang kristen yang ditemui.

Daerah Soabali, Kelurahan Silale, adalah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Grace, gadis berusia 20 tahun, tinggal di kampung itu ber- sama ibunya. Sang ibu bahkan sudah menetap di kampung itu sebelum Grace lahir. Orang tua Grace sudah lama bercerai.

Mereka memiliki seorang tetangga yang taat beragama dan pemurah, Haji Baeng namanya. Beliau adalah seorang juragan angkot, yang berasal dari Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Da- lam keseharian, Haji Baeng selalu bersikap ramah kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang orang yang dikenalnya. Sikap terpuji itulah yang melahirkan rasa hormat warga setempat kepadanya. Namun, tan- pa ada tanda-tanda sebelumnya, kehidupan yang

damai hancur dalam hitungan hari. Keselamatan Grace dan ibunya ikut terancam. Keduanya harus rela kehilangan kehidupan yang manis dengan para tetang- ga setelah pecah konflik pada bulan Januari 1999.

Di awal konflik Ibu dan anak ini mulai sering diteror orang-orang yang tidak jelas identitasnya. Se- bagai orang biasa yang sama sekali tidak tahu alasan di balik pertikaian yang tengah terjadi, keduanya masih percaya kalau keadaan akan pulih kembali dan kehidupan sehari-hari akan berjalan seperti biasanya. Sikap optimis ini lebih karena para tetangga mereka masih tetap bersikap seperti biasanya. Kalaupun me- reka mulai jarang ngobrol, itu karena situasi kerusuhan yang disertai pembunuhan dan penghancuran bangun- an-bangunan yang ada, telah menimbulkan rasa takut pada setiap orang yang tinggal di Ambon.

Puncak dari rangkaian aksi teror yang tidak per- nah ditanggapi serius oleh Grace dan ibunya, terjadi pada tanggal 7 Maret 1999. Pagi hari mereka dike- jutkan dengan aksi keributan sekelompok orang di de- pan pintu pagar rumah mereka. Beberapa di antaranya dikenali berasal dari daerah Waringin dan Talake. Orang-orang ini hendak menuntut balas atas banyaknya warga Muslim Waringin dan Talake yang telah men- jadi korban serta rumah-rumah mereka yang telah dibakar orang Kristen.

Grace dan ibunya sangat ketakutan. Mereka hanya bisa mengunci diri di dalam rumah dan berdoa memohon pertolongan Tuhan. Sementara itu, orang-

Grace and Ibunya 113

orang di depan rumah mereka terus berteriak-teriak disertai dengan berbagai cacian yang ditujukan kepada Grace dan ibunya. Mereka mulai marah dan melempari rumah dengan batu hingga sebagian kaca jendela pecah berantakan. Mereka bahkan memutuskan kabel telepon rumah. Keadaan menjadi sedikit tenang ketika ketua RT setempat berusaha menenangkan massa yang kemudian hanya berkumpul di depan rumah tanpa berbuat apa-apa. Namun kondisi tenang itu tidak membuat tenang hati dua orang ibu dan anak itu. Mereka tetap saja merasa tegang dan ketakutan. Tiba-tiba dari luar terdengar suara Haji Baeng yang sangat dikenali Grace dan ibunya. Haji Baeng mengetuk pintu dan meminta Grace membukanya. Dengan langkah yang ragu-ragu Grace pun membuka pintu. Begitu pintu dibuka, Haji Baeng masuk ke dalam. Kedua perempuan yang ketakutan itu langsung memeluk erat Haji Baeng. Sambil menangis mereka meminta Pak Haji untuk menolong.

“Tenanglah Ibu, saya akan menolong kalian”, jawab Haji Baeng.

“Apa yang harus kami lakukan bila kondisi tidak berubah?”tanya Ibu Grace.

Haji Baeng menjawab dengan pasti bahwa semua akan baik-baik saja. Haji Baeng pun menawarkan rumahnya sebagai tempat berlindung jika keadaan menjadi semakin buruk.

Malam hari, teror kembali terjadi. Begitu banyak cacian dan makian mengalir tak henti dari mulut

orang-orang yang saat itu berada di luar pagar. Ada yang melompat masuk melewati pagar dan menggedor pintu berkali-berkali. “Nyawa dibalas dengan nyawa. Mereka harus dibunuh sebagaimana apa yang sudah dialami saudara-saudara kami,” teriak histeris seorang di antaranya.

Untunglah di saat yang kritis itu, Haji Baeng datang. Dia menerobos kerumunan massa dan meng- hentikan seorang laki-laki yang sedang menggedor- gedor pintu. Dengan sikap yang berwibawa Pak Haji menatap orang yang seperti kesurupan itu. “Kalian dari mana? Kalian bukan warga di sini. Kalian tidak berhak datang ke sini dan mencoba main hakim sen- diri terhadap warga kami. Apapun alasannya, kalian sama sekali tidak menghormati kami penduduk daerah ini,“ ucap Haji Baeng.

“Tapi orang-orang kristen sudah membunuh saudara-saudara kami. Mengapa pula Pak Haji mau melindungi mereka?” timpal mereka.

Dengan suara tenang Pak Haji menjawab, “Saya turut bersedih atas musibah yang menimpa saudara- saudara kalian. Tetapi kami juga harus melindungi se- sama warga di daerah kami dan mereka yang dalam rumah ini adalah warga di sini. Mereka tidak melakukan apa-apa. Jika kalian ingin menuntut balas, cari orang yang membunuh saudara kalian. Tetapi jangan balas kepada warga kami. Mereka tidak bersalah.”

Dengan sikap tegasnya Haji Baeng lalu mengusir orang-orang yang bukan penduduk setempat itu.

Grace and Ibunya 115

Mereka itu pergi dengan hati yang jengkel karena tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika massa sudah agak jauh, Grace dan ibunya segera mengemasi beberapa potong pakaian dan bergegas pergi ke rumah Haji Baeng. Tindakan ini mereka lakukan karena kesela- matan diri mereka semakin tidak pasti, apalagi dengan adanya kejadian menakutkan yang sudah mereka alami dalam satu hari itu.

Pukul 02.00 dini hari, massa kembali datang. Saat itu Grace dan ibunya berada di rumah Haji Baeng dan rasa takut masih menghantui mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi pecahan kaca dan pintu roboh karena tendangan keras. Ternyata ada dua orang laki-laki menerobos masuk ke dalam rumah Grace. Karena tidak menemukan pemilik rumah, mereka makin beringas dan menjarah serta merusak isi rumah itu, termasuk membunuh tiga ekor kucing peliharaan Grace.

Kekhawatiran atas keselamatan Grace dan ibunya pun menyiksa batin Haji Baeng. Grace dan ibunya diminta untuk segera bersembunyi di loteng rumah sementara massa masih melampiaskan kemarahan di rumah mereka. Dua perempuan itu sudah tidak bisa berbicara sama sekali, selain mengikuti apa saja yang diperintahkan Pak Haji. Mereka sangat ketakutan hingga ibu Grace terserang tekanan darah tinggi.

Setelah para penjarah pergi, Pak Haji melihat keadaan dua perempuan itu. Dengan lirih, Pak Haji berkata, “Sejak kemarin sudah terjadi beberapa

kejadian tapi kalian selamat. Tapi saya tidak tahu bagaimana besok. Kondisi sudah tidak aman. Katakan di daerah mana ada saudara-saudara kalian yang lain. Saya akan cari jalan agar kalian bisa ke sana”.

Ibu Grace kemudian menceritakan bahwa mereka punya keluarga yang tinggal di daerah Poka-Rumah Tiga. Mendengar hal ini, Haji Baeng berjanji akan mengantar mereka berdua ke termpat tersebut. Pagi hari, pukul 05.00 WIT sebelum shalat subuh, Haji Baeng bersama sopirnya melarikan dua perempuan itu dengan mobil yang semua kacanya tertutup rapat menuju ruko Batu Merah. Di sana sudah ada sebuah speed boat yang menunggu dan siap mengantarkan Grace dan ibunya ke Rumah Tiga. Haji Baeng tetap menunggu sampai speed boat itu kembali dua puluh menit kemudian. Haji Baeng sangat bersyukur dan benar-benar lega karena sudah menjalankan sebuah tanggungjawab yang berat.

Jusman dan Kuasa Pela Gandong 117

Jusman dan

Dalam dokumen 2006 perlawanan tanpa kekerasan (Halaman 122-128)