• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerukunan Umat Beragama ( Peran Tokoh Agama Dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Aceh Singkil )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerukunan Umat Beragama ( Peran Tokoh Agama Dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Aceh Singkil )"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Kabupaten Aceh Singkil adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh,Indonesia. Kabupaten Aceh Singkil merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dan sebagian wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kabupaten ini juga terdiri dari dua wilayah, yakni daratan dan kepulauan. Kepulauan yang menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil adalah Kepulauan Banyak. Ibu kota Kabupaten Aceh Singkil disebut Singkil.

Singkil sendiri berada di jalur barat Sumatera yang menghubungkan Banda Aceh, Medan dan Sibolga. Namun, jalurnya lebih bergunung-gunung dan perlu dilakukan banyak perbaikan akses jalan agar keterpencilan wilayah dapat diatasi. Fasilitas yang layak dan yang bermutu seperti yang di harapkan pada umumnya masyarakat perkotaan. Aceh Singkil itu terditi dari 11 kecamatan yaitu :

(2)

9) Kecamatan Singkil Utara 10)Kecamatan Singkohor, dan 11)Kecamatan Suro Baru

Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee,Singkil, Alas Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar,Meulaboh, serta Matang. Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut. Dilihat dari segi bahasa kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan. Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi. Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade". Jadi Propinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu:

(3)

2. Bahasa Gayo = Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Tenggara.

3. Bahasa Aneuk Jamee = Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya Pada umumnya di Kab. Aceh Selatan, Kec. Susoh dan Kec. Manggeng.

4. Bahasa Singkil = Kota Subulussalam dan Aceh Singkil Simpang kiri 5. Bahasa Alas = Aceh Tenggara Sebahagian Daerah Aceh Tenggara

6. Bahasa Tamiang = Kab. Aceh Tamiang dan Aceh Timur Sebahagian Kab. Aceh Timur Bahasa Kluet = Aceh Selatan Daerah Kluet

8. Bahasa Devayan = di kec. Simeulue Tengah dan Kec. Teluk

9. Bahasa Sigulai = Kec. Simeulue Barat, Kec. Salang dan Kec. Alafan 10.Bahasa Pakpak = Aceh Singkil Sebagian besar masyarakat Singkil 11.Bahasa Haloban =Aceh Singkil Di pulau Haloban Kec. Pulau banyak 12.Bahasa Lekon = Simeulue Desa Langi dan desa Lafakta Kec. Alafan

13.Bahasa Nias = Aceh Singkil Daerah Sialut kec. Alafan (sumber www.acehprov.go.id 27 september 2016, 20:00 )

Kabupaten Aceh Singkil terbentuk pada tanggal 20 April 1999 hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang memliki beragam corak dan gaya hidup serta sempat tercatat dalam sejarah sebagai salah satu kota peradaban Islam dibawah kekuasaan Aceh Darussalam. Abad 16 sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, Syaikh Abdurrauf Assingkili,seorang Ulama dari Singkil pernah dijadikan sebagai tempat rujukan

agama atau hukum syara‟. Tidak diragukan lagi, Islam menjadi satu acuan penting dalam

membentuk kehidupan masyarakat Singkil yang kompleks.

(4)

perbatasan. Kristen pertama sekali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada tahun 1930 melalui seorang penginjil yang berasal dari Salak, Pakpak Bharat, pendeta itu bernama evangelist I.W Banurea. Hingga pada tahun 1932 si pendeta Evangelist tersebut bekerjasama dengan perkebunan Socfindo untuk mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai dengan saat ini, sudah ada 15 ribu jiwa yang memeluk agama Kristen. Mencengangkan, karena pemeluk pemeluk Kristen ini tidak hanya warga Singkil, tapi satu-persatu dimasukkan dari daerahnya.

Sepeti dalam laporan yang diuraikan secara detail, kronologis kejadian awal konflik di Kabupaten Aceh Singkil, mulai dari tahun 1979 hingga bentrokan yang terjadi pada Selasa, 13 Oktober 2015. Dimulai dari tanggal 11 Juli 1979 lampau di Lipat Kajang, sebuah perjanjian yang ditandatangani secara bersama sama oleh 8 ulama perwakilan umat Islam dan 8 pengurus gereja/perwakilan umat Kristen. Mereka sepakat untuk tidak melaksanakan ataupun membangun kembali (rehab) gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II. ( www. singkil dalam berita 20 agt 2016, 16.00)

Pada 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan menaati perjanjian yang telah dibuat 11 Juli 1979. Ikrar bersama ini ditandatangani 11 Pemuka Agama Islam dan 11 Pemuka Agama Kristen disaksikan dan ditandatangi oleh Muspida Kabupaten Aceh Selatan (saat itu belum menjadi Aceh Singkil),Kabupaten Dairi-Sumut, Kabupaten Tapteng Sumut, juga disaksikan oleh unsur Muspika Kecamatan Simpang Kanan. ( www. Hidayatullah.com 20 Agt 2016, 15.45 )

(5)

Kristen Indonesia). Perihal hubungan umat beragama di Kampong Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Roka menjelaskan hubungan umat Islam dan Kristiani selama ini baik-baik saja. Meski peristiwa serupa pernah terjadi sebelumnya. “Yang jelas rumah ibadah ini sudah ada sejak tahun 1962. Saat ini, kami selalu dikunjungi oleh Bapak Pendeta dari luar Aceh Singkil tiga bulan sekali. Kami ingin mendengar firman Tuhan. Karenanya kami minta pendeta mengunjungi

kami,” klaim Roka. Dikatakannya, jumlah jemaat yang beribadah di gereja ini sekitar 200-300

orang. Setiap kali ada kegiatan Natal dan Tahun Baru, Wafat dan Kebangkitan Yesus, gereja ini selalu membludak. (www.hidayatullah.com/. tgl, 26 agt 2016, 20:00).

Sejauh ini, seperti dikatakan Roka, pihak gereja telah berulang kali mengajukan permohonan izin, namun mereka mengaku tidak direspon oleh Pemerintah Daerah. Ia tak menjelaskan apa yang menjadi alasan kenapa gereja sulit mendapat izin untuk mendirikan rumah ibadah. Senada dengan Laher Manik,warga Katolik di Kampong Suka Makmur mengatakan, hubungan umat beragama di Singkil sebenarnya berlangsung baik. Hanya saja persoalan izin pendirian rumah ibadah Nasrani tidak pernah selesai sejak 1979. Sehingga jika tidak ada izinnya

harus dibongkar.“Itu urusan pemerintah. Yang jelas, aku lahir di sini sejak tahun 1980-an ketika

mengungsi dari wilayah lain dengan kasus yang sama. “ (www.hidayatullah.com/ 26 agt 2016

20.00.)

(6)

mereka legowo,dan hubungan kami tetap baik dan bisa ngopi bareng,” kata Rusli. Jadi siapa ingin memecah Aceh? (www.hidayatullah.com/ 26 agt 2016 20.00.)

Aceh kembali dengan munculnya tindakan intoleransi penyerangan gereja gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Peristiwa ini mencuatkan keprihatinan yang amat mendalam dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Pascatsunami 2014, Aceh dibangun dalam semangat toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan. Oleh karenanya, Aceh bukan milik masyarakat Aceh saja, tetapi Aceh milik Indonesia dan juga dunia. Sehingga kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Aceh Singkil mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah tumbuh dalam masyarakat. Demikian ditegaskan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) melalui rilisnya kepada Beritasatu.com pada Rabu (14/10) terkait dengan kasus Aceh Singkil, Aceh.

Masyarakat Aceh pascatsunami 2004, jelas dia, adalah masyarakat cinta damai yang telah dibangun kembali dengan semangat toleransi, pluralisme, dan solidaritas yang menghargai dan menjunjung tinggi Kemanusiaan. “Semangat Aceh bukan hanya milik masyarakat Aceh saja, tetapi juga milik masyarakat Indonesia dan dunia. Maka kekerasan atas nama agama telah mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah tumbuh di Bumi

Rencong,”tandasnya. penyerangan terhadap rumah ibadat sejatinya merupakan penyerangan

(7)

Dari berbagai kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang terjadi, aktor-aktor non-negara dinilai memiliki peran dalam mempengaruhi merosotnya penghargaan atas kebebasan beragama. Penghargaan masyarakat, termasuk tokoh/elite agama, terhadap kebebasan beragama dinilai sangat rendah, sehinga perlu ditingkatkan. Dalam konteks ini penting kiranya membuat terobosan dalam rangka revitalisasi peran tokoh-tokoh lintas agama yang mewakili

seluruh elemen: mayoritas dan minoritas, yang berpaham „liberal‟, moderat sampai yang

berpaham radikal sekalipun, dan lintas generasi. Revitalisasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media atau kegiatan yang bisa mencakup edukasi untuk meningkatkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip umum hak kebebasan beragama, dan dialog lintas agama dan lintas generasi untuk menumbuhkan saling pengertian dalam tatanan masyarakat demokratis dan majemuk.

(8)

Dalam konteks posisi dan kedudukan seperti ini, tokoh agama dari berbagai agama dan aliran perlu didorong untuk menjalankan fungsi edukatif sebagai pendidik dan pencerah terhadap komunitas agamanya menyangkut pemahaman yang benar terhadap prinsip-prinsip ajaran agama

(Syari„ah) yang sejalan atau kompatibel dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya

hak kebebasan beragama. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan kapasitas dan pemahaman yang benar pula di kalangan elite dan tokoh agama mengenai prinsip prinsip dan dimensi-dimensi kebebasan beragama. Jika pemahaman yang dimiliki tidak benar atau bahkan menyesatkan,maka yang ter-transfer kekomunitas kegamaan sebagai pengetahuan justru akan kontraproduktif bagi penguatan pemahaman dan penghargaan terhadap hak kebebasan beragama.

Institusi keagamaan seperti Masjid atau Gereja dapat berfungsi sebagai lembaga edukatif bagi komunitas agama, bukan sebaliknya berfungsi provokatif dalam pengertian negatif. Dalam komunitas Muslim, lembaga pesantren -melalui peran para kyai- dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran keagamaan yang kompatibel dengan ide-ide modern tentang hak asasi manusia dan kebebasan beragama, tidak malah menjadi tempat menanamkan pemikiran radikal yang berujung kepada rendahnya penghargaan kepada kebebasan beragama.

(9)

ketidak harmonisan hubungan antar kelompok masyarakat dan kurang dapat berfungsinya peran antisipasi pencegahan kesalahpahaman antar kelompok, terutama di tingkat kecamatan dan pedesaan. Persoalan pendirian rumah ibadah yang kurang memenuhi prosedur, penyiaran agama, dan aliran aliran sempalan di lingkungan internal kelompok agama masih dirasakan sebagian masyarakat sebagai gangguan dalam membangun hubungan umat yang harmonis.

Eratnya relasi antarumat beragama menjadi benteng untuk mempererat persatuan, mencegah konflik agama, dan mencegah menyebarkan paham radikalisme yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, pertemuan dan deklarasi kerukunan umat beragama tersebut menjadi penting. Karena pentingnya makna pertemuan antartokoh dan umat antaragama, pertemuan serupa harus digelar pula di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan. Pertemuan juga melibatkan tokoh masyarakat dan jajaran pemerintah di level kecamatan dan desa.

Tokoh agama juga dapat berfungsi sebagai penyelesai konflik jika terjadi ketegangan atau konflik, baik di internal umat beragama, maupun antar umat beragama, yang diakibatkan oleh perwujudan hak kebebasan beragama. Sangat disayangkan jika yang terjadi malah sebaliknya, ketika tokoh agama malah menjadi pendorong terjadinya ketegangan dan konflik berbasis agama. (https://www.itsme.id/peran-tokoh-lintas agama-dalam-kebebasan-beragama)

(10)

menyelesaikan perselisihan. inilah pertemuan pertama yang berhasil mempertemukan komunitas Muslim dan Kristiani secara langsung. Selama ini pola komunikasi tidak pernah rata semeja. Apa yang selama ini disebut dialog hanya rekahan monolog karena dilakukan terpisah kamar. Efek pola komunikasi seperti itu hanya menyuburkan prasangka dan klaim kebenaran. Problem lain yang menyebabkan dialog damai tak kunjung hadir di Singkil adalah belum adanya mediator netral dan adil sehingga kedua pihak nyaman berbicara. Menyerahkan kepada pemerintah daerah sebagai wasit untuk mempertemukan dua kelompok jelas mustahil. Pemerintah lokal ikut ditabal sebagai pihak berkonflik.

Melalui dialog berketerusan, dapat dilihat ada peluang memperbaiki dinding toleransi yang retak itu melalui modal kultural. Contoh kasus, ketika dalam pertemuan itu peserta Muslim mengucapkan "assalamualaikum", kelompok Kristiani seakan pegal membalasnya. Mungkin takut dianggap lancang. Demikian pula ketika kaum Kristiani mengucapkan "salam sejahtera", kelompok Islam memilih bergumam. Namun, ketika diucapkan "njuah-njuah kita khatana", serempak peserta menyambutnya dengan sukacita. Arti kalimat bahasa Singkil (atau Pakpak) itu dalam bahasa Indonesia kira-kira 'sehat-sehatlah kita semua'. Kalimat njuah-njuah kita khatana menjadi pin pemersatu masyarakat Singkil. Secara semiotik, ia juga berfungsi doa kebaikan bagi siapa pun dan agama apa pun. ( http://www.acehkita.com/kasus-singkil-bukan-konflik-agama/.

tgl, 29 agt 2016, 15:40).

(11)

Kerukunan antar agama merupakan salah satu pilar utama dalam memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia. Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila.

Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Kerukunan antar umat beragama bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satutotalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan dengan keyakinan.(Lubis, 2005;)

Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama. Lalu, adakah pentingnya kerukunan umat beragama di Indonesia ? Jawabannya adalah iya.

(12)

yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Khatilik, Hindu, dan Budha adalah contoh agama yang juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita harus menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap menjadi satu kesatuan yang utuh.

Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan agama. Membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Dipungkiri atau tidak, perbedaan sangat beresiko pada kecenderungan konflik. Terutama dipacu oleh pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di masyarakat. Perbedaan atau kebhinekaan Nusantara tidaklah diciptakan dalam satu waktu saja. Proses perjalanan manusia di muka bumi Indonesia dengan wilayah yang luas menciptakan keberagaman suku dan etnis manusia. Maka lahir pula sekian puluh kepercayaan dan agama yang berkembang di setiap suku -suku di Indonesia.

(13)

menimbulkn korban jiwa, sehingga masyarakat takut dan resah. Aceh Singkil sendiri yang mana sebelumnya juga sudah pernah terjadi konflik pada tahun 1979 yaitu didasari dengan pembagunan gereja sehinga masyarakat Singkil yang beragama muslim keberatan dan tidak menerima pembagunan gereja itu, penulis penasaran dan bertanya-tanya apakah ada oknum atau kegiatan politik yang di dasarkan pada kerukunan umat beragama ?.. dan bagai mana tokoh agama dan adat menanggapi kejadian seperti ini dan apa peran took agama dan adat di aceh Singkil ini, apakah mereka hanya melihat dan menyaksikan konflik yang terus-terus terjadi bukankah peran mereka sangat penting bagi masyarakat yang ingin damai dan aman seperti

penjelasan sila kedua “kemanusian dan adil dan beradab dan sila kelima keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia. Dari hasil penulisan ini nantinya penulis berharap jagan ada lagi konflik yang seperti ini terjadi, sangat memalukan ketika konflik yang di dasar kan dengan pembagunan gereja yang tidak memiliki ijin. Alangkah baiknya kedua agam ini bersatu membagun dan menjaga perdamain Singkil jagan sampai mereka ( masyarakat ) terhasut dengan orang-orang yang ingin menghancurkan dan menceraibelaikan masyarakaat khususnya muslim dan Kristen yang ada di Aceh Singkil. Bukan kah kebebasan dalam memeluk agama itu ada,dalam penjelasan yang penulis ketahui TUHAN memang satu tapi cara penyampaian dan pendidikan agama yang di anut la berbeda. Apalagi Singkil dengan sebutan nagari batuah atau singkil yang bersih dan penuh dengan ajaran agama yang di pimping oleh syekh Abdurrauf jadi, alangkah merisnya kalo singkil terlibat konflik hanya dengan kesalah pahaman antara muslim dan Kristen.

(14)

sosialisasi peraturan perundang undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai Negara kesatuan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945, Indonesia telah memberikan tempat yang sanat tehormat akan keberagamaan suku, agama, ras, dan antargolongan warganya yang hidup berkembang. Sebagai organisasi kemasyarakatn yang berbasis pada pemulian nilai-nilai agama,

FKUB memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam membagun daerah,”FKUB

memiliki peran penting. Antara lain menjadi jembatan penghubung di internal umat masing-masing.

1.2.Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah. Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran tokoh agama dalam menjaga kerukunan umat beragama di kabupaten Aceh Singkil

2. Fakto-faktor yang mempengaruhi kerukunan umat beragama di kabupaten Aceh Singkil

1.3.Tujuan dan mamfaat penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu:

(15)

2. Untuk megetahui faktor yang mempengaruhi kerukunan umat beragama di kabupaten Aceh Singkil

Mamfaat penelitian yaitu:

1) Secara akademis penelitian agar dapat memperluas dan memperkaya bahan referensi,bahan penelitian sertasumber bacaan di lingkungan FISIP USU

2) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pegetahuan megenai peran pemuda dalam menjaga kerukunan umat beragama

3) Secara praktis, diharapkan dapan menjadi bahan masukan bagi pihak yang berkepentinggan baik itu institusi dan lembaga masyarakat

1.4.Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian penulis lakukan iyalah di kabupaten Aceh Singkil dan wilayah kerja yang netral . Alasan penulis melakukan penelitian di daerah tersebut ialah inggin melihat langsung bagai mana kerukunan masyarakat muslim dan Non-muslim yang terjadi di daerah Singkil. Selain itu jarak yang penulis tempuh ke lokasi tidak bagitu jauh sehingga mebudahkan penulis dalam mencari data dan keterangan dari masyarakat.

1.5.Tinjauan Pustaka

(16)

Beberapa tahun terakhir, isu agama begitu cepat menyebar keberbagai lapisan sehingga terciptakerentanan yang cukup menengakan dalam kehidupan beragama masyarakat. Sedikit saja tersentuh ego keagamaan atau etnis suatu kelompok, maka reaksi yang ditimbulkan sangat besar terkadang berlebihan. Dalam suasana seperti ini agama seringkali di jadikan titik singgung paling sensitif dan eksklsif dalam pergaulan pluralitas masyarakat.

Persoalan kemanusian harus di lihat sebagai persoalan seluruh agama. Kekerasan dan tragedi kemanusian yang terjadi atas nama agama telah mencoreng wajah agama yang sebenarnya ramah dan penug kedaimaan. Orang yang beragama semestinya orang yang mampu member bagi sesamanya. Karenanya tragedi kemanusian, seperti dianalisis T.H. Sumartana seharusnya menjadi sesuatu peringatan bahwa kesadaran agama tidak dapat lagi dijabarkan atau diekspresikan secara persial saja. Dengan kata lain, agama harus menyadari bahwa tugasnya menyelamatkan umat manusia tidak dapat lagi di lakukan secara sendri-sendri. ( T.H Sumartana,1985 hlm 166 ).

Sebagai agama dengan ajarannya yang bersifat universal, islam sangat menekankan nilai-nilai kemanusian. Kemanusian adalah satu. Manusia bukan saja berasal dari satu orang pertama, akan tetapi juga berasal dari suatu kehendak yang menciptakan, yakni kehendak tuhan.

(17)

Agama lain seperti kristen juga memiliki ajaran yang kurang lebih sama tentang kemanusian,sebagaimana yang disinyalir oleh Patricia Muhali Nabti, bahwa pada dasarnya antara islam dan Kristen memiliki sebuah titik temu, di mana dalam sistem kepercayaan dan pengalaman kedua agama ini menurut terbagunnya sebuah kemandirian kebutuhan kemanusian secara utuh , dan ini sangat tampak dalam doktrin teologis dan kebudayaan kedua agama. (Patricia Muhali Nabti )

Selanjutnya Paul.F. Knitter, menyatakan bahwa Kristen dan seluruh agama yang lain pada dimensi transendetal dan seluruh agama islam yang lain pada dimensi eskatologinya memiliki kesamaan pandangan, yaitu sebagai salah satu upaya untuk mengontrol moralitas kemanusian. (Paul.F. Knitter, 1947 hlm 122).

Kemajemukan agama (pluralism) dan budaya (multikulturalisme ) adalah tantangan yang di hadapi pemikiran dan kehidupan umat manusia dewasa ini. Namun masih ad ketakutan bahwa agama tetap memiliki potensi melahirkan kaum militant yang gampang merasa terganggu dan jadi penganjur ketidak toleran dan kekerasan.

Charles Taylor (1994) dalam Multiculturalism megatakan:

“ Masing – masing kelompok budaya dan agama menuntut ( dan berhak mendapatkan ) pegakuan dan penghargaaan. Namun bahyanya,mereka yang memiliki identitas tertentu menolak mengakui dan menghargai yang lain. Kurang toleran seperti ini berdampak serius, khsusnya bagi demokrasi dan keadilan. Sebabnya adalah kekakuan identitas komunal yang mempercayai dirinya sebagai otentik dan superior, atau kekakuan identitas universalis yang berusaha untuk mempengaruhi yang lain dengan cara memaksa”. ( muhamad Ali : 2008 , hl 71-72 ).

(18)

Konflik terbuka yang terjadi secara missal dengan mengunakan symbol-simbol agama di Maluku, tentu nya juga tidak serta merta terjadi. Meskipun ada provokator

yang“membakar”massa tujuan dan kepentingannya, namun tindakan tersebut hanya efektif jika

memang terdapat prakondisi yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya konflik tersebut. Dalam kaitanya dengan prakondisi konflik di maksud, Ted Robert Guur menganggap setiap kekerasan yang terjadi dalam masyarakat di golokannya sebagai kekerasan politik. Kekerasan politik terjadi karna muncul ketidaksesuaian antara ke inginan/ harapan dengan kemampuan, atau karena terjdinya kesengajaan (relative deprivation ) didalam masyarakat. Kesenjagan dan perampasan berkembangang dan menimbulkan frustasi dan ketidak pauasan kolektif. Frustasi dan ketidak puasan inilah yang merupakan faktor memungkinkan, dan jika sampai pada tingkat yang mencukupi, meledak dalam berbagai bentuk tindak kekerasan kolektif;misalnya: kekacauan, kerusuhan, konspirasi, terror, perang saudara, kudeta dan makar. Jika faktor frustasi dan ketidakpuasan kolektif merupakan kondisi yang memungkinkan konflik, maka faktor politasi selanjutnya merupakan faktor yang menciptakan kondisi yang mencukupi bagi terjadinya konflik. Dengan kondisi demikian maka peran aktor dan provokator menjadi signifikan sebagai pihak yang mematangkan prakondisi konflik.

Melengkapi pandangan Ted Gur tentang kekerasan politik, Charles Tilly menyatakan, “

Revolusi dan kekerasan politik lebih sering muncul secara langsung dari pusat terjadinya proses-proses politik dalam masyarakat, ketimbang mencerminkan ketidak puasan dalam

masyarkat”.(Ted Robert Gur, 2004 hlm 4-5).

(19)

dan frustasi kolektif saling terakumulasi, maka penulis menemukan bahwa frustasi ketidak puasan rakyat Maluku baik yang beragama islam maupun Kristen di sebabkan oleh saling interpenetasi antara faktor persaingan politik kekuasan, ekonomi budaya yang berskala nasional (pusat), yang berimplikasi pada aras lokal (daerah).

Dalam kehidupan beragama, keberagamaan orang Maluku memiliki cirri yang khas. Orang Maluku, baik yang beragama islam maupun Kristen, umumnya adalah orang yang taat beragama dan bertaqwa. Hal ini memiliki akar-akar sejarah yang panjang. Inilah cirri positif yang dapat di temukan orang Maluku. Namun, juga terdapat cirri lain dalam kehidupan beragama orang Maluku yang sifatnya negative. Umumnya orang Maluku memandang orang

yang tidak seagamanya “orang kafir” dan agama lain diaanggap bukan agama yang di

perkanalkan ALLAh yang di sembahnya.

Secara sosiologis- antropologis, meskipun lewat penelitian, Frank Cooley mengatakan bahwa kehidupan beragama orang Maluku adalah seperti “kue lapis”,di mana agama menepati lapisan luar dan adat menjadi lapisan dalamnya. Namun pendapatCooley tersebut perlu diuji kembali, yakni pertama masuknya arus migrasi dari luar, dan kedua melemahnya fungsi dan peran adat. (Frank Cooley, 1996 hlm 81).

(20)

Maraknya konflik antarumat beragama tersebut tidak dapat di lepaskan dari kontribusi Orde baru. Sebab memalalui politik SARA-nya penguasa telah menekan semua perbedaan yang berbau kesukuan, keagamaan, ras, dan antar golongan. Semua dimasukan dalam bingkai kesatuan, dan stabilitas politikdan keamanan demi pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijakan ini menjadikan konflik,baik laten maupaun manifest, harus ditekan dan celakanya tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Akibatnya masih sering muncul kasus konflik anatrumat beragama di berbagai dearah yang menjadi ganjalan kerukunan seperti di Bali, Situbondo, pasuruan, Yogyakarta, solo, Bandung, Tasikmalaya, Ambon dan lainya. Konflik yang memakan banyak korban harta maupun jiwa itu ada yang relatif ditemukan penyelesaiannya, namun ada yang sampe sekarang masih menggantung dan berlangsung. Konflik yang terjadi itu telah merusakan pertemanan, hubungan antarmanusia yang telah di jalin, dan tentu diperlukan waktu yang panjang untuk memulihkan trauma dan sakit hati. Jika proses pemulihan tida dilakukan dengan serius, tidak mustahil masalah kerukunan di Indonesia pada tahun tahun mendatang hanya sebuah nama ( suseno 1999 hlm 56).

(21)

Kerusuhan di Situbundo pada oktober 1996, pada penghujung desember 1996 muncul kerusakan seperti di Tasikmalaya. Sebelumnya 1990, kasus yang signifikan untuk dikemukakan di sini adalah ketika sensitivitas masa islam terkoyak oleh ulah arswendo Atmudiloto yang mengadakan kuis di Tabloid Monitor yang merangking nami, yang hasilnya melecehkan umat islam tahun 1996. Kemudain awal tahun 1997 konflik serupa pecah di Rengasdenklok. Tahun 1998 pecah insiden ketapang yang kemudian berlanjut pada tragedi ketapang. Pada tahun yang sama, bertetapan pada Hari Raya Idul Fitri insiden ambon pecah. Sebagai kelanjutan konflik ini terjadi pertikai antar agama di Halmamera dan Poso. Dalam demontrasi mahasiswa terjadi pelecehan ( membuang najis ) di mesjid DPR Tk-1 Provinsi Sumatera Utara Tahun1999, dan pada 28 Mei 2000 terjadi pegeboman terhadap rumah-rumah ibadah di Medan. Banyak lagi konflik konflik yang terjadi yang tidak dapat di beberkan semuanya. Sering kali kebayakan umat beragama, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh agama, kurang peka terhadap potensi dan gejala konflik. Baru setelah potensi itu menjadi golambang konflik yang multi di mensioanal, umat dan toko-tokoh agama merasa kebingungan dan kerepotan. ( Harahap, Syahrin 1994 hlm 85).

(22)

kelompok sosial yang anggotanya muslim terperangkap dalam issu tersebut, sehinga konfliknyamenjadi antar kelompok islam dengan kelompok protestan dan kelompok sosial yang anggotanya beragama islam.

Dari lokasi yang ada, Pasuruan, Tasikmalaya, dan Solo sama-sama pernah memiliki sejarah konflik sosial khususnya antar umat beragama. Di ponorogo, dan Propinsi Derah Itimewa Yogyakarta, termasuk daerah yang selama ini dikenal tidak terjadi konflik terbuka meskipun konfliknya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di daerah lain. ( Ismail,Nawari 2004 hlm 175).

Fakta bahwa adanya sebuah tatanan hidup yang plural bukanlah sebuah fenomena baru yang datang dari dunia lain pada abad modern ini, melainkan sebuah warisan realita sosial yang telah terjadi berabad-abad. Hidup dalam zaman pluralis memungkinkan setiap kita untuk

bertemu ataupun berinteraksi langsung dengan “sesama” kita yang beragam, termasuk

keberagaman agama. Hal ini juga didukung dengan era-globalisasi yang memungkinkan bahwa setiap komunitas agama tersebut suka atau tidak, terima ataupun tidak, akan mengalami perjumpaan dengan komunitas agama yang lain. Perjumpaan-perjumpaan tersebut dengan sendirinya dapat membuka gerbang untuk terciptanya sebuah relasi atau hubungan yang unik di antara mereka. Keberadaan dalam tatanan dunia yang plural ini juga dialami oleh kedua “anak

anak” Abraham/Ibrahim yakni Kristen dan Islam.1 Hal ini tentu saja berarti bahwa pertemuan

mereka dengan agama yang lain adalah bukan perkara yang baru terjadi.(Sarapung,1995 75-79 )

1“arapu g, Pe ga tar: Me egaska , ii drew D. Clarke da Bru e Wi ter pe u ti g ,

Satu Allah Satu Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 75-97; Lht. juga A dreas Hi awa, “ikap Kriste Mula-mula Terhadap Agama

(23)

Setiap gerbang yang tercipta dalam hubungan antar agama memang menciptakan suatu

hubungan yang unik. Namun perlu diingat bahwa sepanjang sejarah agama memiliki “wajah

ganda”. Hal ini dipahami dalam artian bahwa agama-agama dapat menghidupkan suasana hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi sekaligus juga dapat merusak kehidupan itu sendiri. Wajah ganda agama ini di pihak lain sebagai sumber inspiratif dan spirit untuk kekuatan damai dan memperdamaikan, tetapi juga sekaligus sebagai insiprasi dan spirit untuk kekuatan perang dan mengacaubalaukan bahkan mematikan kehidupan.2 Dengan demikian setiap hubungan yang

spesial dan unik itu juga memiliki dua macam sifat dan karakter yakni “lembut” dan “keras”.

Berbicara mengenai kerukunan umat beragama memang merupakan suatu persoalan yang bersifat kompleks. Hal ini dikarenakan persoalan-persoalan yang ada tidak hanya melibatkan satu dimensi saja melainkan lebih. Tentu saja timbulnya berbagai dimensi atau faktor yang mempengaruhi hubungan anta-agama disebabkan karena agama tidak saja berurusan dengan dirinya sendiri tetapi juga berkaitan atau berurusan dengan “kawan bermainnya”. Hal ini yang dikatakan oleh Abdurrahman bahwa persoalan agama selain terkait dengan faham atau

keyakinan para pemeluknya tentang kebenaran mutlak “doktrin agama” masing-masing sebagai

bagian terdalam dari manusia, tetapi juga terkait dengan faktor-faktor sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.3 Hal yang senada juga ditegaskan bahwa agama bukan saja suatu

lembaga yang berhubungan dengan “Yang Mutlak” saja, tetapi juga adalah lembaga sosial. Dia

(agama) adalah bagian dari kebudayaan karena dia dihidupi dalam kehidupan manusia sehari-hari, sama seperti kehidupan lainnya. Berdasarkan contoh-contoh perjumpaan antar umat beragama beserta peluang dan kendala kerukunan dari para ahli di atas, teridentifikasi ada

2“arapu g, Pe ga tar: Me egaska , ii 3

35Haedar Nasir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 93 mengutip

(24)

beberapa dimensi atau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antar-agama, khususnya agama Kristen dan Islam, baik itu faktor internal (agama) ataupun faktor eksternal (non-agama). Berikut ini adalah factor faktor tersebut:

1. Faktor Agama

Faktor agama memiliki peran yang kuat dalam menentukan pola hubungan atau relasi antar agama. Peran faktor agama biasanya yang berkaitan dengan hubungan antar agama adalah ajaran agama, pemahaman umat terhadap ajaran, penyebaran agama, pendirian rumah ibadah dan sikap mental dari umat sendiri.

2. Faktor Politik

Faktor politik ini biasanya terjadi perihal kekuasaan mengenai siapakah yang dapat memberikan pengaruh dalam pemerintahan. Walaupun terkadang bukan persoalan agama tapi biasanya situasi-situasi politik secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi relasi kedua agama.Misalnya saja kita berkaca dari kasus di Poso pada tahun 1998, saat itu situasi politik (pemilihan bupati) memberikan pengaruh bagi hubungan kedua agama.4

3. Faktor Keadaan Sosial

Faktor ini berkaitan dengan adanya kesamaan pergumulan keadaan sosial yang dialami secara bersama, misalnya kemiskinan, ketidakadilan ataupun pergumulan-pergumulan sosial lainnya. Dari kesamaan pergumulan inilah yang memungkinkan terciptanya suatu hubungan antar agama.

4. Faktor Kebudayaan

(25)

Kebudayaan sendiri merupakan salah satu nilai atau dasar hakiki bagi masyarakat yang menganutnya. Di dalam kebudayaan kita dapat menemukan begitu banyak nilai-nilai serta falsafah-falsafah hidup yang sampai saat ini masih dipertahankan dan dipegang oleh masyarakat, terutama masyarakat tradisional. Nilai-nilai itu sendiri mengatur gaya hidup masyarakat tersebut. Aritonang menyebutnya sebagai ikatan kultural sosial yang sama.5 Contohnya seperti yang juga sudah disebutkan yakni adat Pela di Maluku, Mapulus di Minahasa, Rumah Betang di kalangan suku Dayak di Kalimantan Tengah.

5. Faktor Keluarga atau Kekerabatan

Di dalam budaya Indonesia, nilai kekeluargaan memang sangat dijunjung tinggi, apalagi jika memiliki ikatan darah. Sehingga hal ini pun memungkin memiliki pengaruh bagi relasi antar-agama. Berkaitan dengan faktor ini, ada banyak sekali kehidupan keluarga atau kerabat di Indonesia menunjukan adanya pluralisme agama dalam keluarga, yakni dalam satu keluarga biasanya terdapat beberapa anggota keluarga yang memiliki agama yang berbeda.

6. Faktor Pemerintah

Sikap dan peran yang diambil oleh Pemerintah dalam memposisikan dirinya dalam

kebhinekaan sangatlah penting. Dalam posisinya sebagai “penguasa”, pemerintah diharapkan

dapat bertindak secara adil dan benar. Jika terdapat tindakan yang diskriminatif, maka dapat menciptakan kondisi yang disharmoni. Sehingga tindakan yang diambil pemerintah sangatlah menentukan relasi seperti apa yang akan tercipta. Sikap pemerintah sebagai fasilitator ini harus dipertahankan.

7. Faktor Kepemimpinan

5

(26)

Dukungan para pemimpin juga akan sangat mempengaruhi kerukunan umat beragama. Peran tokoh masyarakat atau pemuka agama sangat penting dalam mempengaruhi umatnya ke arah hidup berdampingan secara rukun dengan umat agama lain. 6 Secara sederhana dibutuhkannya tokoh yang berani dan dapat dijadikan teladan bagi pengikut mereka.7 Seperti

Karol Józef Wojtyła (Paus Yohanes Paulus II), Josef Ratzinger (Paus Benediktus XVI), Piere

Claverie (Uskup Oran 1981-1996) Abdullah bin Abdul Aziz (raja Arab Saudi), Muhammad Sayed Tantawi (Syeikh Agung Al-Azhar Mesir), Mohammad Chantami (Presiden Iran). Di Indonesia sendiri kita memiliki tokoh seperti Abdurrahman Wahid (presiden Indonesia ke-4), John A. Titaley (Rektor UKSW Salatiga), Ebenhaizer I Nuban Timo (Ketua Sinode GMIT 20072011), A.A Yewangoe (Ketua PGI), dan masih banyak tokoh yang lain.

8. Faktor Globalisasi

Gelombang Globalisasi yang terus meningkat dengan segala aksesnya seperti konsumerisme, hedonisme, promiskuitas dan sebagainya - mendorong banyak pengikut agama semakin otensitas, baik dalam agama yang mereka peluk maupun dalam penghadapan dengan agama-agama lain.8 Dengan demikian dapat kita lihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi relasi atau hubungan antar agama, khususnya agama Kristen dan Islam, adalah Faktor Agama, Faktor Politik,Faktor Keadaan Sosial, Faktor Kebudayaan, Faktor Keluarga atau Kekerabatan, Faktor Pemerintah, Faktor Kepemimpinan dan Faktor Globalisasi.

B. Status dan Peran

6La pira : Pe dapat U u te ta g Keruku a Beraga a, 997 dala Wei ata “airi pe u ti g ,

Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-butir Pemikiran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

, 55 a g dia gkat dari duku e rak at da keruku a eraga a .

7Ro ert B. Baowollo, Pe gatar Editor: “i Vis Pa e , Para Dialogu : )iarah

Bersama Agama-agama Abrahamik

(27)

Status adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.

Peran adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut.Peran sosial bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara mengambil bagian dalam kegiatan yang ada di masyarakat dalam berbagai sektor, baik sosial,politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengambilan peran ini tergantung pada tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta kepekaannya dalam melihat keadaan masyarakatnya.

C. Faktor pendorong dan penghambat

Faktor Pendorong dan Penghambat Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Semarang Memperhatikan jejak rekam para aktifis lintas agama yang duduk di kepengurusan forum lintas agama Kota Semarang, baik di Paguyuban Petamas,FKUB, Forkagama, maupun interfaith nampaknya mereka mayoritas terdiri dari orang-orang atau tokoh yang mempunyai berbagai macam kesibukan di luar forum lintas agamaBeberapa faktor pendorong kerukunan antar umat beragama di Kota Semarang, di antaranya adalah sebagai berikut:

(28)

2) Pemerintah daerah memfasilitasi berbagai kegiatan yang telah diprogramkan oleh wadah atau forum atau paguyuban lintas agama.

3) Adanya iktikad baik dari para pemimpin atau tokoh agama di Kota Semarang untuk hidup 4) rukun berdampingan saling menghormati dan menghargai.

5) Kematangan berfikir, keterbukaan sikap para penganut agama dan kebiasaan bersilaturahim atau berkunjung oleh tokoh agama tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah ketika perayaan hari besar keagamaan secara bergantian.

6) Ikut sertanya media massa dalam mendukung kehidupan keberagamaan melalui pemberitaan yang adil dan berimbang dalam setiap liputan berita kegiatan keagamaan tertentu.

7) Pelibatan generasi muda dalam setiap penyelenggaraan kegiatan lintas agama.

8) Adanya semangat gotong royong dan saling hormat menghormati kebebasan menjalankanibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

9) Kerjasama di kalangan intern maupun antarumat beragama.(Imron HS, 2016)

Beberapa faktor penghambat kerukunan antar umat beragama diKota Semarang, di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Kurang optimalnya kualitas dialog antar umat beragama. 2) Warisan politik imperialis peninggalan Kolonial.

3) Fanatisme dangkal oleh kelompok sekte-sekte agama tertentu.

4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.

5) Masih adanya kecurigaan dan ketidak percayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu.

(29)

7) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.

8) Pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara satu agama dengan agama lain maupun ketidak matangan dan ketertutupan penganut agama.

Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya],secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog,saling terbuka,menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.

Sedangkan kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati,saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.

(30)

saling pengertian, saling menghormati saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.

Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.

Kata kerukunan berasal dari bahasa arab ruknun (rukun) kata jamaknya adalah arkan yang berarti asas, dasar atau pondasi (arti generiknya). Dalam bahasa Indonesia arti rukun ialah:

1) Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya pekerjaan seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunya asas, yangberarti dasar atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya agama.

(31)

berdampingan bersama sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.( Syaukani, 2008 : 5)

Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi Kerukunan yaitu;

1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agamaIalah kerukunan di antara aliran-aliran paham-paham /mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.

2) Kerukunan di antara umat / komunitas agama yang berbeda-bedaIalah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.

3) Kerukunan antar umat / komunitas agama dengan pemerintah Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama.

Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semu masyarakat mempunyai cara-cara berfikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk

disebut “agama” (religius). Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai

suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.

Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakatluas umumnya.

(32)

terlarang kepercayaan-kepercayaaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja.

Agama sebagai suatu keyakinan yang dianuat oleh suatu kelompok atau masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, diimani sebagai sutu referensi, karena norma dan nilai itu mempunyai fungsi-fungsi tertentu.

Fungsi utama agama yakni pertama :

1) Menanamkan pola keyakinan yang disebut doktrin, yang menentukan sifat hubungan antar manusia, dan manusia dengan Tuhan

2) Ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia pada doktrin tersebut, dan

3) Seperangkat norma perilaku yang konsisten dengan doktrin tersebut. Fungsi kedua yaitu, fungsi latent adalah fungsi-fungsi yang tersembunyi dan bersifat tertutup. Fungsi ini dapat menciptakan konflik hubungan antar pribadi, baik dengan sesame anggotakelompok agama maupun dengan kelompok lain. Fungsi latent mempunyai kekuatan untuk menciptakan perasaan etnosentrisme dan superioritas yang pada gilirannya melahirkan fanatisme.( Scharf, 2004 :34-35)

Dengan demikian Agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini dan dipercaya. Agama diakui sebagai seperangkat aturan yang mengatur keberadaan manusia di dunia.

(33)

Kerukunan antar agama adalah suatu bentuk hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling menguatkan yang di ikat oleh sikap pengendalian hidup dalam wujud:

1) Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.

2) Saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab mmbangun bangsa dan Negara.

3) Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada orang lain. .

Kerukunan sebagai tugas setiap agama Jadi menjaga kerukunan Agama itu adalah sebagai tugas wajib setiap agama untuk menjaga kerukunan agama masing masing yang di anut oleh setiap manusia.

Menurut Alo liliweri ( 2001 : 225 ) ada beberapa pedoman yang digunakan untuk menjalin kerukunan di dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu:

1.Saling Menghormati

(34)

2.Kebebasan Beragama

Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukai serta situasi dan kondisi memberikan kesempatan yang sama terhadap semua agama. Dalam menjabarkan kebebasan perlu adanya pertimbangan sosiologis dalam arti bahwa secara kenyataan proses sosialisasi berdasarkan wilayah, keturunan dan pendidikan juga berpengaruh terhadap agama yang dianut seseorang.

3.Menerima orang lain apa adanya

Setiap umat beragama harus mampu menerima seseorang apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Melihat umat yang beragama lain tidak dengan persepsi agama yang dianut. Seorang agama Kristen menerima kehadiran orang Islam apa adanya begitu pula sebaliknya. Jika menerima orang Islam dengan persepsi orang Kristen

maka jadinya tidak kerukunan tapi justru mempertajam konflik.

4.Berfikir positif

Dalam pergaulan antar umat beragama harus dikembangkan berbaik sangka. Jika orang berburuk sangka maka akan menemui kesulitan dan kaku dalam bergaul apa lagi jika bergaul dengan orang yang berbeda agama.

(35)

ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur tata kehidupan beragama di Indonesia dengan jalan sebagai berikut:

Dialog Antar Umat Beragama Langkah awal dalam mencapai kerukunan antar umat

beragama, cara “dialog” merupakan salah satu cara yang diambil guna mendekatkan lebih

dahulu, agar umat beragama memahami dan berusaha saling mengenal antara pihak yang satu dengan yang lain. Tujuan dialog adalah sesuatu yang positif bukanlah hal yang negatif yaitu memberi informasi dan nilai-nilai yang dimiliki, lalu meminta pihak lain mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dialog antar umat beragama merupakan suatu temu wicara antara dua atau lebih pemeluk agama yang berbeda,dalam mana diadakan pertukaran niali dan informasi keagamaan pihak masing-masing untuk mencapai bentuk kerja sama dalam semangat kerukunan.( Tualcka Zn ; 2011 : 159 )

Dialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah yang dihadapi bersama-sama.

Menurut Ignas Kleden, dialog antar agama tampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbukaan ini dapat dilihat dari beberapa sisi:

Pertama, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadapagama yang lain. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain. Maka persoalan agama yang seringkali muncul ( Tualeka Hamzah 2011, hal. 159)

(36)

harus menjadi wacana sosiologis dengan mnenmpatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan

Menurut Magun ( 1994 ), dalam rangka pemikiran ini perlu sekali membedakan agam dan iman. Tentu saja keduanya menpunyai hubngan satu sama lain, tetapi tidak sama. Iman atau atau dapat juga di sebut religiositas, adalah sesuatu yang lebih inti, yang lebih esensial kalau di bandingkan dengan agama formal. Religiositas lebih megenal inti hubungan kita yang sangat dekat dengan tuhan serta sesame manusia maupun dengan alam semesta. Sedangkan di luarnya,hanya mengenai tatacaranya. Karena itu, kalau kita masih bersengketa megenai agama dalam soal tetek-begek lahirnya, maka hal itu merupakan suatu kemunduran.

Ada beberapa pandanggan ahli Kristen dan ahli islam tentang kerukunan umat beragama

a. Hendrik Kraemer

Kreamer berpendapat bahwa hubungan antar-agama mestilah di pahami dalam terang peryataan allah yang mencapai puncak penggenapannya dalam diri yesus kristus. Pandang tersebut tidak lepas dari pegikutnya Karl Barth, yang mengklaim bahwa ada perbedaan kualitatif

mutlak antara allah dan manusia, dank arena itu pula, ada perbedaan antara “ kebenaran yang di

nyatakan dalam kristus” dan “ kebenaran yang di temukan manusia”.

(37)

lahyang menampakan diri secara formal dan struktural dalam setiap agama. Dengan kata lain, setiap agama pada hakikatnya adalah pengungkapan darai kesadaran beragama. Pandangan ini memberikan kesan bahwa kreamer bersikap positif terhadap agama agama lain..

Lalu bagai mana dengan islam? Bagi kraemer tidak diragukan bahwa islam adalah juga agama penyataan. Secara historis, Islam adalah sala satu cabang yudaisme dan kekristenan yang bersifat profetis. Karena itu ada hubungan khusus islam dan kristenan. Tapi lebih dalam dari itu,dengan di ispirasikan oleh pandangan tentang realisme Alkitab tersebut, kraemer megatakan bahwa islam lahir dalam bayangan-bayangan realisme Alkitab. Islam mempunyai asal-usul protefis dan mempunyai relasi-relasi yang mesra dengan iklim yang realisme Alkitab. Nabi Muhammad menyampaikan amanah AIIAH yang rahmani dan rahimi sebagai penyataan allah secara langsung. Jadi, kraemer memang megakui islam sebagai agama penyataan, tetapi pada saat yang sama ia menempatkannya dibawah penghakiman realisme Alkitab.

Pandangan ini membawa kraermer pada ajakan untuk bersifat positif terhadap islam. Bagai manakah sikap positif itu diwujudkan? Disini ia mencoba menerjemahkan“ kehadiran

missioner”, dengan dua tugas, yaitu kesaksian dan pelayanan sebagai hubungan antar-pribadi

(interpersonal relationship) antara orang muslim dan Kristen. Menurut kraemer, orang muslim diperlukan bukan sebagai orang non-kristen tetapi sebagai sesame manusia dengan berbagai kebutuhan fundamental, aspirasi dan frustrasi yang sama.

b. Kenneth Cragg

Cragg adalah seorang ahli islam dan bahsa/sastra arab berkebangsaan inggris. Ia membela perlunya teologi pluralism agama yang di inspirasikan oleh salam, “Damai sejahtera

bagimu”,namun yang tidak di batasi hanya pada saudara sendiri atau lingkungan sendir. Sebab

(38)

dampaknya bagi orang Kristen adalah bahwa mereka mestinya selalu bersikap inklusif dan menjauhkan sikap-sikap diskriminatif.

c. Wilfred Cantwell Smith

Smith adalah seorang ahli sejarah agama yang mempetaruhkan hidup dan karir akademiknya demi penyelidikan dan pemahaman terhadap sejarah global kehidupan keagamaan manusia. Selanjutnya ia berpendapat bahwa hubungan antar-agama adalah hubungan yang terjadi di antara sesame participant dalam satu sejarah yang bersama, yaitu sejarah karya penyelamatan allah. Secara positif Smith menegaskan bahwa hubungan antara agama kristen dengan agama islam terjadi pada aras faith yang sama karena tertuju pada Allah yang sama. Yang membedakan keduanya adalah balief masing-masing. Pandangan serupa juga di kemukakan John Hick yang melihat relasi antara agama kristendengan agama agama lain sebagai hubungan antara “sesame” agama yang sah dihadapan allah.

d. Isma‟il Ragi A. al Faruki

(39)

e. Abdul Kalam Azad

Azad yakin bahwa semua agama mempunyai akar yang sama dan satu yaitu Allah. Menurutnya, inti dari semua agama adalah megusahakan kebaikan, menjauhi kejahatan dan percaya keesaan Allah, seperti yang dikatakan Faruqi. Yang membedakan agama yang satu dengan agama lain adalah hokum-hukum masing-masing agama itu. Hal ini tidak ada yang sama dan satu, meraka ( agama agama itu ) bertumbuh dan berkembang dalam ruang dan waktu yang berbeda beda.

f. Hasan Askari

Ia dinilai sebagai seorang yang megajukan alternatif progresif bagi hubungan agama agama. Ringkasan pandangan sebagai berikut:” berkunjung dengan bebas ke wilayah spiriualitas agama lain dan kembali membawa kekayaan baru bagi spirituslisme sendri, serta

menyajikannya pula untuk kebersamaan.” Hal ini di lakukan karna keyakinan bahwa setiap

agama mengandung aspek inter religie. Karena itu, agama-agama dapat megusahakan bersama apa yang di sebutnya teologi inter-religie. Ia megatakan bahwa Yesus Kristus dapat di pandang sebagai tokoh bersama kedua agama ini, yaitu Islam dan Kristen.

L.M.Joshi dari Univesitas Punjab-India menagatkan “Kerukunan antar umat beragama,

bila dan jika akan terrcapai, merupakan suatu anugerah bagi bumi ini”. Pengembangan

kerukunan beragama merupakan hal terpenting bagi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa serta untuk menjaga stabilitas nasional. Yang cukup menggembirakan saat ini adalah kerukunan beragama telah terwujud dan dirasakan berasama seluruh pelosok tanah air, para ahli dari luar negeri pun mengakui, seperti Prof. Muh. Ayub dari Universitas Toronto, Kanada menyatakan

“Indonesia adalah salah satu Negara yang umat beragamanya hidup rukun dan untuk

(40)

agama. Pengetahuan yang serupa penting artinya karena memungkinkan setiap umat beragama untuk saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dalam memciptakan kerukunan dan kesejahteraan berasama.(http://reformata.com/news/view/6285/mengevaluasi-ruu-kerukunan-umat

beragama )

1.6. Metode Penelitian

Untuk memepermudah dalam penulisan dan mendapatkan kesimpulan yang tepat, maka proses penulisan skipsi ini menggunakan metode sebagai berikut:

1) Jenis Penelitian Skripsi ini menggunakan metode penelitian lapangan field research yaitu penelitian lapangan yang dilakukan dalam kancah sebenarnya, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian di tempat yang diteliti penelitian ini pada hakekatnya merupakan metode untuk menemukan secara khusus dari realitas yang terjadi di masyarakat.

2) Sumber Data Untuk memperoleh data digunakan sumber sebagai berikut :

a) Sumber primer, yaitu data yang didapatkan langsung dari imforman yang terdiri dari tokoh agama, seperti : ustad,ulama, imam mesjid, pendeta, pegurus gereja.

b) Sumber sekunder, yaitu data yang didapatkan bukan dari informan. Misalnya dari buku buku,dokumen, majalah, jurnal, dan pustaka lain yang berkaitan dengan judul skripsi tersebut.

Metode Observasi

(41)

a.MetodeWawancara

Wawancara adalah tehnik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancarai. Pada tehnik ini peneliti datang berhadapan muka secara langsung dengan imporman atau subyek yang akan diteliti. Peneliti menanyakan suatu hal yang telah direncanakan kepada imporman. Impormal yang penulis akan wawancarai yaitu tokoh agama dan adat seperti: Ustad, Ustadzah, pendeta dan masyarakat umumnya yang ada di Aceh Singkil.

d.Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Orangtua yang menerapkan strength- based parenting cenderung memberikan saran dan motivasi kepada remaja untuk terus menemukan potensinya, lalu memberikan pujian

belum mematuhi standar operasional prosedur (SOP) yang dibuat untuk memperlancar penyelesaian pelayanan. selain itu badan Lingkungan Hidup Kota Semarang belum dalam

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentangPetunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan

Assalamualaikum, saya kembali menyusun sebuah buku gratis [free ebook] tentang software-software gratis atau freeware khusus untuk platform windows yang bisa dipakai sebagai

Berdasarkan studi pendahuluan di BKIA ‘Aisyiyah Karangkajen Yogyakarta, pada tanggal 15 Februari sampai 11 April, pasangan usia subur (PUS) yang menjadi akseptor

Motivasi yang mempengaruhi tenaga pengajar untuk melakukan tugas mengajar dari hasil penelitian ini secara garis besar digolongkan menjadi tiga, yaitu mengabdi

Pre-test akan dibandingkan dengan hasil Post- test sehingga dapat diketahui apakah kegiatan belajar mengajar berhasil baik atau tidak dan diharapkan pemahaman

Situasi kerja ini akan berpengaruh pada kinerja pelayanan, karena karyawan yang memiliki perilaku OCB memiliki sportivitas yang tinggi dalam bekerja, memiliki kesediaan