• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Oral Antikoagulan Pada Pasien Atrial Fibrilasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Oral Antikoagulan Pada Pasien Atrial Fibrilasi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN ORAL ANTIKOAGULAN PADA PASIEN

Atrial Fibrilasi (AF) adalah supraventrikuler takiaritmia yang ditandai dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi dengan penurunan fungsi mekanik. AF adalah gangguan irama jantung yang paling umum, peningkatan prevalensi berhubungan dengan usia.1 Lebih dari 6 juta

orang Eropa menderita aritmia ini, dan prevalensinya diperkirakan setidaknya dua kali lipat dalam 50 tahun ke depan.2 AF sering dikaitkan dengan penyakit jantung struktural meskipun

sebagian besar pasien dengan AF tidak punya penyakit jantung yang terdeteksi. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli pada AF meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya yang signifikan.1

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi AF meningkat dengan usia, dari < 0,5% pada 40 - 50 tahun, 5 - 15% pada 80 tahun. Pria lebih sering terkena daripada wanita. Resiko memiliki AF seumur hidup adalah 25% pada mereka yang telah mencapai usia 40.2

ETIOLOGI

AF mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan structural akibat penyakit jantung. AF juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non-kardiak. Tetapi, sekitar 3% pasien yang menderita AF tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone AF. Lone AF ini dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian AF dibagi berdasarkan :3

(2)

- Kardiomiopati dilatasi - Kardiomiopati hipertropik

- Penyakit katup jantung : reumatik maupun non-reumatik

- Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atril, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome

- Perikarditis

Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF : - Hipertensi sistemik

- Diabetes mellitus

- Hipertiroidisme

- Penyakit paru : PPOK, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut

- Neurogenik : system saraf autonom yang mencetuskan AF pada pasien yang sensitive melalui peninggian tonus vagal atau adrenergic

KLASIFIKASI ATRIAL FIBRILASI

Secara klinis , untuk membedakan lima jenis AF berdasarkan presentasi dan durasi aritmia : pertama kali didiagnosis, paroksismal, persistent, long-standing presistent, dan permanen AF.

(1) Setiap pasien yang datang dengan AF untuk pertama kalinya dianggap pasien yang didiagnosis AF pertama, terlepas dari durasi dari aritmia dan tingkat keparahan gejala AF terkait.

(3)

(3) AF persisten hadir ketika sebuah episode AF baik berlangsung lebih dari 7 hari atau membutuhkan kardioversi, baik dengan obat-obatan atau kardioversi arus searah.

(4) AF long-standing persistent jika AF telah berlangsung selama ≥ 1 tahun sehingga diputuskan untuk strategi kontrol ritme .

(5) Permanen AF dikatakan ada apabila kehadiran aritmia diterima oleh pasien (dan dokter). Oleh karena itu, intervensi pengendalian irama yang, menurut definisi, tidak dikejar pada pasien dengan AF permanen. Strategi kontrol ritme harus diadopsi, aritmia yang kembali sebagai 'AF persistent yang lama'.2

Lone AF berlaku untuk individu berusia di bawah 60 tahun tanpa bukti klinis atau echocardiographic penyakit cardiopulmonary, termasuk hipertensi. Pasien-pasien ini memiliki prognosis yang menguntungkan sehubungan dengan tromboemboli dan kematian. Seiring waktu, pasien pindah dari kategori lone AF karena penuaan atau pengembangan kelainan jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan risiko thrombo-emboli dan meningkatkan kematian. Istilah nonvalvular AF mengacu pada kasus tanpa penyakit katup mitral rematik, jantung prostetik katup atau perbaikan katup.1

(4)

MEKANISME ATRIAL FIBRILASI

Perubahan patofisiologi sebelum terjadi atrial fibrilasi

Setiap jenis penyakit jantung struktural dapat memicu proses yang lambat namun progresif pada remodeling struktur di kedua ventrikel dan atrium. Di atrium, proliferasi dan diferensiasi fibroblas ke myofibroblasts dan deposisi jaringan ikat ditingkatkan dan fibrosis adalah hasil dari proses ini. Substrat electroanatomical memungkinkan yang dapat menyebabkan aritmia.2

Aktivasi Fokal

Karena periode refraktori lebih pendek serta tiba-tiba perubahan orientasi serat miosit, pembuluh darah paru (PV) memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melestarikan atrium takiaritmia.2 Fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis.3

Ablasi situs dengan frekuensi dominan tinggi, sebagian besar berada pada atau dekat dengan persimpangan antara PV dan atrium kiri, menghasilkan perpanjangan progresif dari siklus AF yang panjang dan konversi ke irama sinus pada pasien dengan paroxysmal AF, sedangkan pada AF persisten, situs dengan frekuensi dominan tinggi tersebar di seluruh atrium, dan ablasi atau konversi ke sinus ritme lebih sulit.2

Multiple Wavelet Hypothesa

Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari focus yang tercetus secara cepat.3

DIAGNOSA

Diagnosis AF membutuhkan konfirmasi dengan EKG, kadang-kadang di bentuk telemetri samping tempat tidur atau ambulatory Holter.1 AF didefinisikan sebagai aritmia jantung dengan

berikut karakteristik :2

(5)

(2) Tidak ada gelombang P yang berbeda pada permukaan EKG. Beberapa aktivitas listrik atrium teratur dapat dilihat pada beberapa EKG, paling sering di lead V1.

(3) Panjang siklus atrium (bila terlihat), yaitu interval antara dua aktivasi atrium, biasanya bervariasi dan < 200 ms (>300 bpm).

Gambar 1 : EKG AF RVR

PENATALAKSANAAN ATRIAL FIBRILASI

Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan AF adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli.

Dalam penatalaksanaan AF perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada AF permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternative pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.3

Kardioversi

(6)

mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan kardioversi elektrik. Risiko tromboemboli atau stroke emboli tidak berbeda antara kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan sama pada keduanya.3

(7)

Banyak episode AF berakhir secara spontan dalam jam atau hari pertama. Jika indikasi medis (misalnya keadaan pasien yang terancam), pada pasien dengan gejala yang menetap meskipun dengan terapi kontrol rate yang memadai, kardioversi farmakologis AF dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia secara bolus.2 beberapa obat yang digunakan

sebagai kardioversi farmakologis :

Flecainide diberikan i.v. untuk pasien dengan AF durasi pendek (khususnya, 24 jam) memiliki efek (67 - 92% pada 6 jam) dalam mengembalikan irama sinus. Dosis yang diberikan adalah 2 mg/kgBB selama lebih dari 10 menit. Sebagian besar pasien mengkonversi dalam satu jam pertama setelah pemberian intravena (IV). Hal ini jarang efektif untuk penghentian atrial flutter atau AF persisten. Oral flecainide mungkin efektif untuk AF yang baru terjadi. Dosis yang dianjurkan adalah 200 - 400 mg. Flecainide harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya yang melibatkan normal fungsi LV dan iskemia.2

Beberapa studi placebo-kontrol random telah menunjukkan keefektifan propafenone dalam mengkonversi AF yang baru terjadi ke irama sinus. Dalam beberapa jam, konversi yang diharapkan adalah antara 41 dan 91% setelah i.v. gunakan (2 mg/kg lebih dari 10 - 20 menit). Angka konversi awal pada pasien yang diberi placebo adalah 10 - 29%. Propafenone hanya memiliki manfaat terbatas untuk konversi AF persisten dan atrial flutter. Mirip dengan flecainide, propafenone harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya yang melibatkan fungsi LV yang abnormal dan iskemia. Selain itu, karena sifatnya yang lemah beta-blocking, propafenone harus dihindari pada penyakit paru obstruktif yang parah. Waktu konversi bervariasi dari 30 menit sampai 2 jam. Propafenone juga efektif jika diberikan secara oral (konversi antara 2 dan 6 jam).3

Kardioversi dengan amiodaron terjadi lebih lama dibandingkan dengan flecainide atau propafenone. Perkiraan konversi tingkat pada 24 jam pada pasien yang diobati dengan plasebo adalah 40 - 60%, dan meningkat menjadi 80 - 90% setelah pemberian amiodaron. Dalam jangka pendek dan jangka menengah, amiodaron tidak mencapai kardioversi. Dalam 24 jam, obat ini menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol dalam beberapa tapi tidak semua penelitian secara random.3

(8)
(9)
(10)

Kardioversi Elektrik

(11)

Kontrol Laju Irama Ventrikel

Laju irama ventrikel yang iregular dapat menyebabkan gejala dan gangguan hemodinamik berat pada pasien AF. Pasien dengan respon ventrikel yang cepat biasanya memerlukan kontrol laju irama ventrikel yang cepat. Pada pasien yang stabil, hal ini dapat dicapai dengan pemberian oral beta-blocker atau antagonis calcium channel nondihydropyridine. Pada keadaan pasien yang tidak stabil, i.v. verapamil atau metoprolol dapat sangat berguna untuk memperlambat konduksi nodus atrioventrikular dengan cepat. Dalam keadaan akut, target laju irama ventrikel biasanya 80 - 100 bpm. Pada beberapa pasien, amiodaron dapat digunakan, terutama pada mereka dengan fungsi LV yang rendah. AF dengan laju ventrikel yang lambat mungkin respon terhadap pemberian atropin (0,5 - 2 mg iv), tapi banyak pasien dengan bradiaritmia yang simtomatik mungkin memerlukan baik kardioversi urgent atau penempatan alat pacu jantung sementara dalam ventrikel kanan.2

Obat-obatan yang biasa digunakan adalah b-blockers, kalsium channel antagonis

non-dihydropyridine dan digitalis.2,3 terapi kombinasi mungkin diperlukan. Dronedarone mungking

juga efektif untuk menurunkan denyut jantung selama terjadinya AF. Amiodarone mungkin

untuk beberapa pasien dinyatakan dengan refrakter terhadap kontrol rate. Kombinasi antara

b-blocker dan digitalis mungkin bermanfaat untuk pasien dengan gagal jantung. Obat-obatan untuk

kontrol laju irama termasuk :

- b-Blockers berguna jika adanya tonus adrenergic yang tinggi atau iskemia miocard yang

simtomatis terjadi yang berkaitan dengan AF. Selama pengobatan b-blockers yang lama

menunjukkan keefektifan dan keamanannya pada beberapa studi dibandingkan dengan

placebo dan digoxin.

- Antagonis kalsium channel Non-dihydropyridine (verapamil and diltiazem) efektif untuk

control laju irama pada saat akut maupun kronis. Obat-obat ini harus dihindari pada

pasien-pasien dengan gagal jantung sistolik karena efek inotropik negative

- Digoxin and digitoxin efektif untuk mengontrol denyut jantung pada saat istirahat, tetapi

tidak pada saat berolahraga. Kombinasi dengan b-blocker mungkin efektif pada pasien

dengan atau tanpa gagal jantung.

- Dronedarone efektif sebagai obat pengontrol laju irama untuk pengobatan yang lama,

menurunkan denyut jantung pada saat istirahat dan berolahraga secara signifikan. Juga

(12)

- Amiodarone merupakan obat pengontrol laju irama yang efektif. Intravenous amiodarone efektif dan ditoleransi dengan baik oleh hemodinamik pasien. Obat ini dapat

menyebabkan efek samping ekstracardiac yang parah termasuk disfungsi tiroid dan

(13)

Pencegahan Tromboemboli

Dua review sistematis terbaru telah membahas bukti dasar untuk faktor risiko stroke pada AF, dan menyimpulkan bahwa sebelum Stroke/TIA/thrombo-emboli, usia, hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung struktural merupakan faktor risiko penting. Adanya disfungsi sistolik LV sedang sampai berat pada dua dimensi echocardiography transthoracic adalah satu-satunya echocardiographic independen faktor risiko stroke pada analisis multivariabel.2

Pasien dengan paroxysmal AF harus dianggap sebagai memiliki risiko stroke sama seperti AF persisten atau permanen. Pasien berusia, 60 tahun, dengan 'lone AF', yaitu tidak memiliki riwayat klinis atau bukti echocardiographic penyakit kardiovaskular, dengan risiko stroke yang rendah, diperkirakan 1,3% lebih dari 15 tahun. Kemungkinan stroke pada pasien muda dengan lone AF meningkat dengan bertambahnya umur atau adanya hipertensi, menekankan pentingnya penilaian kembali faktor risiko stroke selama waktu.2

Risiko stroke pada AF mulai muncul dari usia > 65 tahun, meskipun jelas bahwa pasien AF berusia ≥ 75 tahun (bahkan tanpa faktor risiko lain yang terkait) memiliki risiko stroke yang signifikan dan memperoleh manfaat dari VKA daripada aspirin. Jika pasien dengan AF semakin tua, efektivitas relatif dari terapi antiplatelet menurun dalam mencegah stroke iskemik, sedangkan dengan menggunakan VKA tidak berubah. Dengan demikian, manfaat mutlak untuk VKA untuk mencegahan stroke meningkat jika pasien AF bertambah tua.2

Pendekatan berdasarkan factor resiko untuk pasien-pasien dengan non-valvular AF juga

dapat ditunjukkan dengan CHA2DS2-VASc [gagal jantung kongestif, hipertensi, usia ≥75

(doubled), diabetes, stroke (doubled), penyakit vaskular, usia 65–74, dan kategori jenis

kelamin(perempuan)]. Skema ini berdasarkan system poin dimana 2 poin diberikan untuk

riwayat stroke atau TIA sebelumnya, atau usia > 75 tahun; dan 1 poin masing-masing untuk usia

65-74 tahun, riwayat hipertensi, diabetes, gagal jantung yang baru terjadi, penyakit vascular

(infark miokard, kompleks aortic plaque, dan PAD, termasuk revaskularisasi, amputasi karena

(14)
(15)
(16)

Terapi Antitrombotik

Selama 2 dekade terakhir, banyak RCT telah menginvestigasi terapi antitrombotik untuk mengurangi risiko tromboemboli, terutama stroke iskemik, pada pasien dengan AF. Pada bagian ini, dirangkum bukti dan memberikan rekomendasi pengobatan untuk terapi VKA, monoterapi antiplatelet (misalnya, aspirin), terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan clopidogrel, dan antikoagulan oral baru (misalnya, dabigatran) pada pasien dengan AF.8

Obat Antiplatelet

Aspirin dan agen yang bertindak di jalur cyclo-oxygenase Aspirin menghambat

siklooksigenase secara ireversibel dengan asetilasi asam amino yang bersebelahan dengan situs aktif. Dalam trombosit, ini adalah membatasi langkah dalam sintesis tromboksan A2, dan menghambat terjadi pada megakaryocyte sehingga semua trombosit muda menjadi disfungsi. Karena trombosit tidak dapat meregenerasi siklooksigenase dengan cepat, efek aspirin tetap ada selama umur dari platelet (umumnya sekitar 10 hari). Kelemahan aspirin adalah bahwa kekhususan untuk siklooksigenase berarti memiliki efek yang sedikit pada jalur lain dari aktivasi platelet. Jadi aspirin gagal untuk mencegah agregasi disebabkan oleh trombin dan hanya sebagian menghambat yang disebabkan oleh ADP dan kolagen dosis tinggi.9

Clopidogrel dan Ticlopidine. Derivat thienopyridine menghambat agregasi platelet

yang disebabkan oleh agonis seperti faktor yang mengaktifkan trombosit dan kolagen, dan juga mengurangi pengikatan ADP ke permukaan purinoreceptor trombosit. Mekanisme ini penghambatan ini tampaknya terlepas dari cyclo-oxygenase. Ada juga penurunan dari respon platelet terhadap trombin, kolagen, fibrinogen, dan faktor von Willebrand. Puncaknya tindakan pada fungsi trombosit terjadi setelah beberapa hari dari dosis oral. Efek samping termasuk bukti penekanan sumsum tulang, leukopenia, terutama dengan tiklopidin.9

Obat Antikoagulan

Warfarin. Senyawa ini 4-hydroxycoumarin, menghambat sintesis faktor yang

(17)

Heparin. Merupakan antikoagulan glikosaminoglikan yang memiliki efek besar oleh

pentasaccharide dengan afinitas tinggi terhadap antitrombin III. Hasil dari pengikatan ini terjadi perubahan konformasi pada antitrombin III sehingga inaktivasi enzim koagulasi trombin (IIa), faktor IXa, dan faktor Xa yang nyata. Waktu paruh yang pendek berarti harus diberikan secara terus menerus, dan first pass metabolism yang ekstensif sehingga harus diberikan secara parenteral, sebaiknya dengan infus intravena terus menerus, dan Oleh karena itu tidak pantas untuk digunakan di rumah. Efek kaskade pembekuan intrinsik harus dipantau secara hati-hati dengan mengukur activated Partial Thromboplastin Time (APTT), umumnya nilai 1,5 sampai 2,5 kali dari kontrol9

Terapi antikoagulasi dengan vitamin K antagonis vs kontrol2,8

Lima percobaan random yang diterbitkan antara tahun 1989 dan 1992 VKA dievaluasi terutama untuk pencegahan primer thrombo-emboli pada pasien dengan non-katup AF. Sebuah uji coba keenam difokuskan pada pencegahan sekunder antara pasien yang selamat dari stroke atau TIA.2

(18)

ini sama untuk kedua pencegahan primer dan sekunder stroke. Dari catatan, banyak stroke terjadi pada pasien dengan terapi VKA yang tidak memakai terapi atau yang menggunakan antikoagulan subterapeutik. Semua penyebab kematian berkurang secara signifikan (26%) dengan dosis VKA yang disesuaikan vs kontrol. Risiko perdarahan intrakranial kecil.2

Empat dari uji coba ini adalah plasebo kontrol, dua diantaranya adalah double blind berkaitan dengan antikoagulan, salah satunya dihentikan lebih awal karena bukti eksternal bahwa OAC dengan VKA lebih superior dibandingkan dengan plasebo, dan lainnya termasuk tidak ada subyek perempuan. Dalam tiga uji coba, dosis VKA telah diatur sesuai dengan rasio waktu protrombin, sementara dua percobaan yang digunakan Target INR 2,5-4,0 dan 2,0-3,0.2

Terapi antiplatelet vs Kontrol2,8

Ketika aspirin saja dibandingkan dengan plasebo dalam tujuh percobaan, pengobatan dengan aspirin dikaitkan dengan tidak signifikannya penurunan 19% (95% CI -1% sampai -35%) insiden stroke. Ada pengurangan risiko absolut dari 0,8% per tahun untuk uji coba pencegahan primer dan 2,5% per tahun untuk pencegahan sekunder dengan menggunakan aspirin. Aspirin juga dikaitkan dengan 13% (95% CI -18% sampai -36%) penurunan stroke yang mematikan dan 29% (95% CI -6% sampai -53%) penurunan stroke non-mematikan. Ketika stroke hanya diklasifikasikan sebagai iskemik, aspirin dapat menurunkan 21% (95% CI -1% sampai -38%) pada stroke. ketika data dari semua perbandingan agen antiplatelet dan plasebo atau kontrol kelompok dimasukkan dalam meta-analisis, terapi antiplatelet mengurangi stroke sebesar 22% (95% CI 6-35).2

Dosis aspirin berbeda bermakna antara beberapa studi, mulai 50 - 1300 mg sehari, dan tidak ada heterogenitas yang signifikan antara hasil uji individu. Sebagian besar efek menguntungkan dari aspirin dihasilkan oleh satu percobaan positif, SPAF-I, yang menunjukkan penurunan risiko stroke 42% dengan aspirin 325 mg vs plasebo.2

(19)

VKA vs Terapi Dual Antiplatelet dengan Aspirin dan Clopidogrel4,8

Pada Percobaan Atrial Fibrillation Clopidogrel Trial With Irbesartan for Prevention of Vascular Events (ACTIVE W) trial, terapi antikoagulasi lebih unggul jika dibandingkan dengan terapi kombinasi clopidogrel ditambah aspirin (RR pengurangan 40%, 95% CI 18-56), dengan tidak ada perbedaan dalam kejadian perdarahan. Kombinasi VKA (INR 2,0-3,0) dengan terapi antiplatelet telah dipelajari, tetapi tidak ada efek menguntungkan pada kejadian stroke iskemik atau kejadian vascular yang terlihat, sementara lebih perdarahan terbukti.

Obat Oral Antikoagulan Baru (NOAC) vs VKA

Beberapa obat antikoagulan baru - dibagi dalam dua kelas, obat oral direct thrombin inhibitor (misalnya dabigatran etexilate dan AZD0837) dan oral faktor Xa inhibitor (rivaroxaban, apixaban, edoxaban, betrixaban, dll).1 Tidak memerlukan pemantauan INR dan memiliki potensi

lebih baik untuk penggunaan jangka lama.4,8

(20)

konsumsi) masih melebihi dua kali batas atas normal, hal ini dapat dikaitkan dengan risiko tinggi perdarahan, dan harus berhati-hati terutama pada pasien dengan faktor risiko perdarahan.

Prothrombin time (PT) menunjukkan penilaian kualitatif dari faktor Xa inhibitor. Seperti aPTT untuk dabigatran, tes ini tidak sensitif untuk penilaian kuantitatif dari Efek NOAC. Tes kuantitatif untuk DTI dan FXA inhibitor ada (diluted thrombin-time and chromogenic assays), tetapi tes ini mungkin tidak (belum) secara rutin tersedia di kebanyakan rumah sakit.6

Dalam Randomized Evaluation of Long-term anticoagulant therapY dengan dabigatran etexilate (RE-LY), dabigatran 110 mg b.i.d. non-inferior dibandingkan dengan VKA untuk pencegahan stroke dan emboli sistemik dengan tingkat yang lebih rendah dari perdarahan masif, sementara dabigatran 150 mg b.i.d. dikaitkan dengan tingkat yang lebih rendah dari kejadian stroke dan emboli sistemik dengan tingkat yang sama pada perdarahan masif, dibandingkan dengan VKA. Apixaban VERSUS asam asetilsalisilat untuk mencegah stroke (Averroes) studi itu dihentikan lebih awal karena bukti yang jelas dari penurunan stroke dan emboli sistemik dengan apixaban 5 mg b.i.d. dibandingkan dengan aspirin 81-324 mg sekali sehari pada pasien tidak toleran atau tidak cocok untuk VKA, dengan profil keamanan yang dapat diterima.4

ROCKET-AF (Rivaroxaban Once Daily Oral direct Factor Xa inhibition Compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and Embolism Trial in Atrial Fibrillation) adalah double-blind RCT membandingkan rivaroxaban 20 mg sekali setiap hari untuk disesuaikan dosis warfarin (INR 2,0-3,0) di 14.264 pasien dengan AF pada peningkatan risiko stroke (rata-rata CHADS 2 skor 3,5). Rivaroxaban noninferior dibandingkan dengan warfarin untuk titik akhir primer stroke (iskemik atau hemoragik) atau emboli sistemik tapi tidak superior terhadap warfarin (rasio hazard, 0,88, 95% CI, 0,74-1,03). Percobaan ini tidak menemukan bukti adanya perbedaan dalam perdarahan besar antara rivaroxaban dan warfarin (rasio hazard, 1,04, 95% CI, 0,90-1,20). Perdarahan gastrointestinal lebih umum dengan penggunaan rivaroxaban dibandingkan dengan warfarin (3,2% dan 2,2%, masing-masing, P<0.001). Kematian tidak berbeda signifikan antara rivaroxaban dan warfarin.8

(21)

prostetik atau penyakit katup signifikan secara hemodinamik, gagal ginjal berat (kreatinin klirens < 15 mL/menit), atau dengan penyakit hati. American College of Chest Physicians (ACCP) 2012 pedoman praktek yang dirilis dan mereka merekomendasikan pemberian antikoagulan dibandingkan dengan tidak diberikan antikoagulan atau terapi antiplatelet untuk pasien dengan skor CHADS2 dari >1.5

Untuk pasien dengan AF, termasuk mereka yang paroksismal AF, yang beresiko rendah terhadap stroke (misalnya, CHADS 2 skor = 0), disarankan tidak diberikan terapi daripada diberikan terapi antitrombotik (Kelas 2B). Untuk pasien yang memilih terapi antitrombotik, disarankan pemberian aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) daripada antikoagulan oral (Kelas 2B) atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (kelas 2B).8

Untuk pasien dengan AF, termasuk dengan paroksismal AF, yang beresiko menengah untuk terjadinya stroke (misalnya, CHADS 2 skor = 1), disarankan pemberian antikoagulan oral daripada tidak diberikan terapi (1B Kelas). Disarankan antikoagulan oral daripada aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (Kelas 2B) atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (2B kelas). Untuk pasien yang tidak cocok untuk atau memilih untuk tidak mengkonsumsi oral antikoagulan (untuk alasan lain selain kekhawatiran tentang perdarahan besar), disarankan kombinasi terapi dengan aspirin dan clopidogrel daripada aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (2B kelas).8

Untuk pasien dengan AF, termasuk dengan paroxysmal AF, yang berisiko tinggi untuk terjadinya stroke (misalnya, CHADS 2 skor ≥ 2), disarankan pemberian antikoagulan oral daripada tidak diberikan terapi (Kelas 1A), aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (kelas 1B), atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (Kelas 1B). Untuk pasien yang tidak cocok atau memilih untuk tidak mengkonsumsi oral antikoagulan (untuk alasan lain selain masalah tentang perdarahan besar), disarankan terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel daripada aspirin saja (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (Kelas 1B).8

Untuk pasien dengan AF, termasuk yang dengan paroxysmal AF, untuk rekomendasi dalam mendukung antikoagulan oral, disarankan dabigatran 150 mg dua kali sehari daripada terapi VKA dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2,0-3,0) (Kelas 2B).8

(22)

harus dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tidak ada interaksi makanan yang relevan untuk NOAC lain dan dapat dikonsumsi dengan atau tanpa makanan.6

(23)
(24)

Resiko Perdarahan

Penilaian risiko perdarahan harus menjadi bagian dari penilaian pasien sebelum memulai antikoagulasi. Antikoagulan yang diberikan pasien usia tua dengan AF, tingkat perdarahan intraserebral jauh lebih rendah daripada di masa lalu, biasanya antara 0,1 dan 0,6% dalam laporan kontemporer. Hal ini mungkin menunjukkan intensitas antikoagulasi rendah, regulasi dosis lebih hati-hati, atau kontrol hipertensi yang lebih baik. Meningkatnya perdarahan intrakranial dengan nilai INR 3.5-4.0, dan tidak ada peningkatan risiko perdarahan dengan INR nilai antara 2,0 dan 3,0 dibandingkan dengan tingkat INR rendah.2

Menggunakan kohort 'real-world' dari 3978 subyek di Eropa dengan AF dari Survei

(25)
(26)

DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. Management of Patients with Atrial Fibrillation. American College of Cardiology Foundation: 2011

2. European Society Cardiology. Guidelines for the Management of Atrial Fibrillation. European Heart Journal, (2010) 31, 2369–2429

3. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed IV Kardiologi hal 1522. Mei 2006

4. Capodanno D, Capranzano P, Giachhi G, et al. 2012. Novel oral anticoagulants versus warfarin in non-valvular atrial fibrillation: A meta-analysis of 50,578 patients. From : International Journal of Cardiology

5. Spinler S, Shafir V. 2012. American Heart Association : New Oral Anticoagulants for Atrial Fibrillation. From : http://circ.ahajournals.org/content/126/1/133

6. Heidbutchel H, et al. 2013. EHRA Practical Guide on the Use of New Oral Anticoagulants in Patients with Non-Valvular Atrial Fibrillation : executive Summary. From :European Heart Journal

7. Kosar L, Jin M, Kamrul R, Schucter B. 2012. Oral Anticoagulation in Atrial Fibrillation : Balancing the Risk of Stroke with The Risk of Bleed. From : www.cfp.ca

8. You J, et al. Antithrombotic Therapy for Atrial Fibrillation. Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed : ACCP Guidelines. Feb 2012. From :

www.chestspub.org

Gambar

Gambar 1 : EKG AF RVR

Referensi

Dokumen terkait

Rerata skor Mobiluncus dan jumlah skor kriteria Nugent sesudah pemberian terapi lebih rendah pada kelompok metronidazol, namun tidak terdapat perbedaan skor

dilakukan kembali pada tiap jeda dan setelah pasien stroke selesai melakukan terapi kayuh untuk memantau dan memastikan kondisi pasien stroke masih dalam kondisi aman untuk

Pasien dengan skor CHA 2 DS 2 -VASc 0 – 1 pada penelitian ini turut mendapatkan terapi antikoagulan karena mempunyai FA valvular yang dibutuhkan langsung pemberian

10 Pola terapi selain antihipertensi calcium channel blocker pada pasien stroke hemoragik di RSUD Sidoarjo.... 11 Riwayat penyakit pada pasien stroke hemoragik di RSUD Sidoarjo 71

Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien stroke non hemoragik dengan skor GCS saat masuk rumah sakit dalam rentang sedang-rendah beresiko 2.231 kali untuk mengalami

Total rata-rata skor periodontal pada pasien Diabetes melitus adalah 2,69 ± 0,93 dan termasuk status periodontal sedang dibandingkan dengan pa- sien non-Diabetes lebih

Penelitian ini menemukan adanya gangguan komunikasi pada pasien stroke non hemoragik sehingga disarankan pada perawat untuk memberikan perawatan serta terapi terapi mengeja huruf

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 68 pasien sirosis hati sebanyak 25 pasien 36,8% menggunakan terapi albumin oral dan sebanyak 43 pasien 63,2% menggunakan terapi albumin injeksi..