• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antikoagulan pada Atrial Fibrilasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Antikoagulan pada Atrial Fibrilasi"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ANTIKOAGULAN PADA

ATRIAL FIBRILASI

Rahmad Isnanta, Zainal Safri, Refli Hasan, Firman Sakti W Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan

Antikoagulan adalah obat untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat

pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan/ koagulasi. Heparin

merupakan obat yang paling sering dihubungkan dengan anti koagulan. Efek anti koagulan

heparin ditemukan oleh McLean pada tahun 1915, saat ia sedang mencari prokoagulan di

hati anjing. Ekstrak hirudin dari lintah obat yang pertama kali digunakan untuk antikoagulasi

parenteral di klinik pada tahun 1909, tetapi penggunaannya terbatas karena efek samping

dan kesulitan dalam mencapai ekstrak sangat murni.

Heparin dan kumarin (misalnya: warfarin, phenprocoumon, acenocoumarol) telah menjadi

andalan terapi antikoagulan selama lebih dari 60 tahun. Selama dekade terakhir, paradigma

penemuan obat telah bergeser ke arah desain rasional mengikuti pendekatan berbasis

target, di mana protein tertentu, atau "target", yang dipilih berdasarkan pemahaman

patofisiologi saat ini. Beberapa obat baru yang ditemukan berupa trombin inhibitor (DTIs)

(yaitu : argatroban, hirudins rekombinan, bivalirudin), oral DTIs (yaitu: etexilate) dan oral

langsung faktor Xa inhibitor (yaitu: rivaroxaban, apixaban).

Pada tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa obat antikoagulan dan penggunaannya

pada pasien dengan atrial fibrilasi, namun sebelumnya perlu juga dipahami mengenai

faktor-faktor pembekuan atau koagulasi .

(2)

Faktor-faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan diproduksi dihepar

dan disekresi ke sirkulasi darah. Tabel berikut ini menunjukan daftar faktor-faktor

pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya.

Tabel 1. Faktor pembekuan/koaguasi3

faktor-faktor pembekuan darah disintesis di hati, faktor II, VII, IX dan X, begitu juga faktor

XI, XII, XIII, dan faktor V. Sebagian besar faktor-faktor pembekuan darah ada dalam plasma,

pada keadaan normal ada dalam bentuk inaktif dan nantinya akan dirubah menjadi bentuk

enzim yang aktif atau bentuk kofaktor selama koagulasi.1,2,3

Faktor-faktor pembekuan darah diklasifikasikan ke dalam beberapa group berdasarkan

fungsinya. Faktor XII, faktor XI, prekallikrein, faktor X, faktor IX, faktor VII, dan protrombin

merupakan zimogen dari serine protease akan dirubah menjadi enzim yang aktif selama

pembekuan darah. Sedangkan faktor V, faktor VIII, highmolecular Beberapa -weight

(3)

dengan darah untuk berfungsi, bukan merupakan proenzim tetapi berfungsi sebagai

kofaktor. Faktor V, faktor VIII, dan HMWK harus diaktifasi agar berfungsi sebagai kofaktor.

Faktor X, faktor IX, faktor VII, dan protrombin disebut faktor-faktor yang tergantung vitamin

K ( vitamin K-dependent factor), karena untuk pembentukannya yang sempurna

merupakan kofaktor penting yang diperlukan untuk menyelesaika n post-translational dari

sintesis faktor-faktor pembekuan yangtergantung vitamin K, yaitu untuk reaksi karboksilasi

dari asam glutamat menjadi residu g-carboxyglutamic acid. Residu Gla adalah tempat ikatan

ke protein-protein ini dan diperlukan untuk interaksinya dengan fosfolipid membran.

Kegagalan dalam karboksilasi yang terjadi pada defesiensi vitamin K atau pada beberapa

kelainan hati ( cirrhosis, hepatocelluler carcinoma), terjadi penumpukan faktor-faktor

pembekuan dengan tidak ada atau penurunan gamma-carboxylation sites. No n- atau

des-carboxylated protein ini juga disebut protein-induced in vitamin K absence (PIVKA).

Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi untuk

menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari soluble fibrinogen,

memperkuat plak trombosit primer.

Koagulasi dimulai dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi kontak dan

kerja dari tissue factor. Aktifasi kontak mengawali suatu rangkaian dari reaksi-reaksi yang

melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, prekalikrein, High Molecular Weight

Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF-3). Reaksi-reaksi ini berperan untuk

pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi faktor X, dimana reaksi-reaksi tersebut

(4)

Gambar 1. Kaskade koagulasi 3

Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan tissue factor, dimana suatu interaksi antara tissue fcktor ini dengan faktor VII, akan menghasilkan suatu enzim yang juga mengaktifasi faktor X. Ini dinamakan jalur ekstrinsik ( extrinsic pathway). Langkah selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan faktor X dan V, PF-3, protrombin, dan fibrinogen. Reaksi-reaksi ini dinamakan jalur bersama ( common pathway).

Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan darah ke jaringan yang luka. Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan ( tissue factor) berasal dari luar darah. Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk skrining jalur ini.

(5)

monitor yang baik untuk jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama -sama mengaktifasi faktor X, dan disebut jalur bersama. 1,2,3

Anti Koagulan

Anti koagulan adalah golongan obat yang kerjanya menghambat pembekuan darah. Terdapat banyak obat yang bekerja sebagai anti koagulan. Anti koagulan semakin lama semakin berkembang, berikut ini diagram yang menjelaskan perkembangan anti koagulan :

(6)

Anti koagulan dapat dikelompokkan berdasarakan tempat kerja obat, adapun klasifikasi tersebut seperti pada diagram berikit :

Gambar 3. Diagram klasifikasi anti koagulan4

Untuk memperjelas mekanisme kerja obat-obat tersebut dalam sistem koagulasi dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4. Mekanisme kerja anti koagulan4 Heparin

(7)

antitroombin III, akan tetapi dapat juga bekerja dengan melepaskan plasmimogen aktifator jaringan dan tissuefactor fatway inhibitor (TPFI) dari end otel. TPFI ini dapat menekan /menetralisir pembentukan faktor Xa, sehingga tidak terjadi pembekuan. Heparin dibagi atas dua golongan yaitu : unfractioned heparin (UH) dan low molekuler weight heparin (LMWH).

Unfractioned Heparin (UH)

Dosis pemberian UH diberikan dengan dosis inisial 5000 U bolus IV , kemudian dilanjutkan dengan drip 1000 U/jam, dosis ini harus selalu dievaluasi dan disesuaikan untuk mendapatkan nilai aPTT 1,5-2,5 kontrol, aPTT diperiksa setiap 4-6 jam. Lama pemerian heparin biasanya 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan antikoagulan oral. Penyesuaian dosis UH :2

Nilai aPTT Dosis Heparin Tabel 2. Penyesuaian dosis heparin terhadap nilai aPTT

Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)

LMWH berasal dari degradasi UH, dibandingkan UH, LMWH memiliki beberapa keuntungan, yaitu: - LMWH merupakan polisakarida dengan berat molekul 4000-6000 dalton, dibandingkan

dengan UH 12.000-14.000 dalton, ukuran yang kecil ini menyebabkan LMWH memiliki aktivitas anti Xa dan Iia yang lebih tinggi.

(8)

Dari berbagai laporan, dilaporkan bahwa LMWh lebih aman, efektif dan memiliki efek yang lebih baik terhadap regresi trombus dibandingkan dengan UH.

LMWH diberikan secara subkutan, 1-2 kali sehari dengan dosis :

- Enoksaparin (lovenox) : 100 U/KgBB, sekali sehari atau 40 mg setiap 12 jam. - Nadroparine (fraksiparin) : 4000 U subkutan , diberikan setiap 12 jam - Dalteparin (Fragmin) 120 U/KgBBsubkurtan setiap 12 jam .

Fondaparinux

Fondaparinux berkerja sebaai inhibitor faktor Xa dengan berikatan dengan anti trombin III (AT III). Fondaparinux memiliki potensi 300 kali menetralisis faktor Xadengan berikan dengan AT III sehingga menghambat kaskasde koagulasi. Fondapatinux tidak menginhibisi trombin (faktor IIa) dan fungsi trombosit, sehingga pada dosis yang direkomendasikan tidak akan berefek terhadap aktivitas fibrinolitik atau pritrombin time (PT).

Fondapatinux diberikan secara subkutan dengan bioavaibilitas 100 % dan mencapai kadar puncak 3 jam setelah penyuntikan. Eliminasi melalui urine dalam bentuk tidak diubah pada yang memiliki fungsi ginjal normal dengan waktu paruh eliminasi 17-21 jam. 5

Dosis fondapatinux untuk profilaksis DVT 2,5 mg seklai sehari, sedangkan untuk terapi DVT dan emboli paru 5 mg (BB<50k) dan 7,5 mg (BB 50-100 kg) dan 10 mg (BB > 100kg) subkutan sekali sehari diberikan umumnya minimal 5 hari sampai INR dari walfari 2-3. 5

(9)

Golongan obat ini bekerja tidak langsung dengan menghambat vitamin K, sehingga akan mengganggu pembentukan faktor koagulasi II,VII,IX dan X. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah walfarin dan coumarin.

Warfarin umumnya diberikan mengikuti heparin. Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah heparin, dengan dosis 5-10 mg peroral, kemudian dosis disesuaikan dengan nilai INR. Setelah INR tercapai 2-3 selama 2 hari berturut-turut (biasanya memerlukan 4-5 hari), heparin dapat dihentikan, pemberian warfarin diteruskan mengikuti protokol yang digunakan. Tabel penyesuaian dosis warfarin sebagai berikut: 1

Nilai INR Penyesuaian Dosis

1,1-1,4 Naikkan dosis 10-20%. Kontrol 1 minggu 1,5-1,9 Naikkan dosis 5-10%. Kontrol 2 minggu 2,0-3,0 Dosis tetap. Kontrol 1 minggu

3,0-4,0 Turunkan dosis 5-10 %. Kontrol 2 minggu 4,0-5,0 Turunkan dosis 10-20 %. Kontrol 1 minggu >5,0 Stop pemerian. Dipantau samapi INR menjadi < 3

Tabel 3. Penyesuaian dosis walfarin dengan nilai INR Dabigatran etexilate

Debigatran merupakan inhibitor trombin baik yang bentuk bebas dan terikat. Debigataran etexilate (suatu produrg) yang cepat dikonversi menjadi debigatran setelah dikonsumsi dan diproses dihati. Puncak konsentrasi plasma debigataran 1,5 jam dengan waktu paruh 14-17 jam, bioavaibilitas 7,2% dengan ekskresi utama melalui feses, namum eleminasi setelah diaktifkan terjadi di ginjal sekitar 80%.

(10)

. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal CrCl 15-30 mL/min diberikan 75 mg dua kali sehari. Sedangkan jika CrCl < 15 mL/min belum diketahui. Untuk menukar menjadi debigatran dari walfarin tidak terdapat penyesuaian dosis, dapat langsung diberikan setelah walfarin dihentikan ketika INR<2. Sedangkan pemberian lanjutan dari parenteral antikoagulan, debigatran diberikan 0-2 jam sebelum pemberian selanjutnya dari parenteral anti koagulan tersebut. Untuk sebaliknya jika akan menggunakan parenteral anti koagulan pada pasien yang sebelumnya mendapat debigatran, ditunggu 12 jam (CrCl .30 mL/min) atau 24 jam (CrCl < 30 mL/min) setelah pemberian debigataran baru diberikan parenteral anti koagulan.6,9

Rivaroxaban

Rivaroxaban merupakan inhibitor faktor Xa. Rivaroxaban mencapai kadar puncak 3 jam setelah di konsumsi, dengan waktu paruh 4-9 jam. Bioavaibilitas mencapai 80% dan absorbsinya tidak terpengaruh obat dan makanan lain. Obat ini diekskresikan 66% melalui ginjal, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan creatinin clerence < 30 mL/min. 7,8

Salah satu nama dagang dari rivaroxaban adalah xarelto. Untuk pasien dengan atrial fibrilasi non-valvular diberikan 20 mg sekali sehari, sedangkan jika mengalami gangguan ginjal dengan CrCl , 49 mL/min diberikan 15 mg dan tidak direkomendasikan jika CrCl <15 mL/min. pada psien denan deep vein trombosis (DVT) diberikan 15 mg dua kali sehari selama 3 mingu pertama dan selanjutnya 20 mg sekali sehari. 7

Adapun perbandingan beberapa anti koagulan yang diberikan secara oral diatas dapat dilihat pada tabel berikut :

(11)

Pengertian Atrial Fibrilasi

Atrial Fibrilasi adalah supraventrikuler takiaritmia yang ditandai dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi dengan penurunan fungsi mekanik. AF adalah gangguan irama jantung yang paling umum, peningkatan prevalensi berhubungan dengan usia.15 Lebih

dari 6 juta orang Eropa menderita aritmia ini, dan prevalensinya diperkirakan setidaknya dua kali lipat dalam 50 tahun ke depan.16AF sering dikaitkan dengan penyakit jantung struktural

meskipun sebagian besar pasien dengan AF tidak punya penyakit jantung yang terdeteksi. Adanya gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli pada AF meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya yang bermakna.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi AF meningkat dengan usia, dari < 0,5% pada 40 - 50 tahun, 5 - 15% pada 80 tahun. Pria lebih sering terkena daripada wanita. Resiko memiliki AF seumur hidup adalah 25% pada mereka yang telah mencapai usia 40.16

ETIOLOGI

AF mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan structural akibat penyakit jantung. AF juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non-kardiak. Tetapi, sekitar 3% pasien yang menderita AF tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone AF. Lone AF ini dikatakan tidak berhubungan dengan risiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut risiko ini tetap akan meningkat.:17

Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan AF : - Penyakit jantung koroner

- Kardiomiopati dilatasi - Kardiomiopati hipertropik

(12)

- Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atril, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome

- Perikarditis

Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF : - Hipertensi sistemik

- Diabetes mellitus - Hipertiroidisme

- Penyakit paru : PPOK, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut

- Neurogenik : system saraf autonom yang mencetuskan AF pada pasien yang sensitive melalui peninggian tonus vagal atau adrenergic

KLASIFIKASI ATRIAL FIBRILASI

Secara klinis , untuk membedakan lima jenis AF berdasarkan presentasi dan durasi aritmia : pertama kali didiagnosis, paroksismal, persistent, long-standing presistent, dan permanen AF.

(1) Setiap pasien yang datang dengan AF untuk pertama kalinya dianggap pasien yang didiagnosis AF pertama, terlepas dari durasi dari aritmia dan tingkat keparahan gejala AF terkait.

(2) Paroxysmal AF merupakan self-terminating AF, biasanya dalam waktu 48 jam. Meskipun AF paroxysmal dapat terus sampai 7 hari, yang 48 jam titik waktu yang penting secara klinis - setelah ini kemungkinan konversi spontan rendah dan antikoagulasi harus dipertimbangkan.

(3) AF persisten hadir ketika sebuah episode AF baik berlangsung lebih dari 7 hari atau membutuhkan kardioversi, baik dengan obat-obatan atau kardioversi arus searah. (4) AF long-standing persistent jika AF telah berlangsung selama ≥ 1 tahun sehingga

diputuskan untuk strategi kontrol ritme .

(13)

dikejar pada pasien dengan AF permanen. Strategi kontrol ritme harus diadopsi, aritmia yang kembali sebagai 'AF persistent yang lama'.16

DIAGNOSA

Diagnosis AF membutuhkan konfirmasi dengan EKG, AF didefinisikan sebagai aritmia jantung dengan berikut karakteristik :16

(1) Permukaan EKG menunjukkan interval RR yang irregular (Oleh karena itu AF kadang-kadang dikenal sebagai aritmia absoluta), yaitu RR interval yang tidak mengikuti pola yang berulang.

(2) Tidak ada gelombang P yang berbeda pada permukaan EKG. Beberapa aktivitas listrik atrium teratur dapat dilihat pada beberapa EKG, paling sering di lead V1. (3) Panjang siklus atrium (bila terlihat), yaitu interval antara dua aktivasi atrium, biasanya

(14)

Gambar 1 : EKG AF RVR

PENATALAKSANAAN ATRIAL FIBRILASI

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan AF adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli.

Pada penatalaksanaan AF perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada AF permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternative pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.17

Kardioversi

(15)

Kardioversi Farmakologis

Sebagian episode AF berakhir secara spontan dalam jam atau hari pertama. Jika indikasi medis (misalnya keadaan pasien yang terancam), pada pasien dengan gejala yang menetap meskipun dengan terapi kontrol rate yang memadai, kardioversi farmakologis AF dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia secara bolus.2 beberapa obat yang

digunakan sebagai kardioversi farmakologis :

Flecainide diberikan i.v. untuk pasien dengan AF durasi pendek (khususnya, 24 jam)

memiliki efek (67 - 92% pada 6 jam) dalam mengembalikan irama sinus. Dosis yang diberikan adalah 2 mg/kgBB selama lebih dari 10 menit. Sebagian besar pasien mengkonversi dalam satu jam pertama setelah pemberian intravena (IV). Hal ini jarang efektif untuk penghentian atrial flutter atau AF persisten. Oral flecainide mungkin efektif untuk AF yang baru terjadi. Dosis yang dianjurkan adalah 200 - 400 mg. Flecainide harus dihindari pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya yang melibatkan normal fungsi LV dan iskemia.16

(16)
(17)

Kardioversi Elektrik

Pasien AF dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.17

(18)

Laju irama ventrikel yang iregular dapat menyebabkan gejala dan gangguan hemodinamik berat pada pasien AF. Pasien dengan respon ventrikel yang cepat biasanya memerlukan kontrol laju irama ventrikel yang cepat. Pada pasien yang stabil, hal ini dapat dicapai dengan pemberian oral beta-blocker atau antagonis calcium channel nondihydropyridine. Pada keadaan pasien yang tidak stabil, i.v. verapamil atau metoprolol dapat sangat berguna untuk memperlambat konduksi nodus atrioventrikular dengan cepat. Dalam keadaan akut, target laju irama ventrikel biasanya 80 - 100 bpm. Pada beberapa pasien, amiodaron dapat digunakan, terutama pada mereka dengan fungsi LV yang rendah. AF dengan laju ventrikel yang lambat mungkin respon terhadap pemberian atropin (0,5 - 2 mg iv), tapi banyak pasien dengan bradiaritmia yang simtomatik mungkin memerlukan baik kardioversi urgent atau penempatan alat pacu jantung sementara dalam ventrikel kanan.16

Obat-obatan yang biasa digunakan adalah b-blockers, kalsium channel antagonis

non-dihydropyridine dan digitalis.2,3 terapi kombinasi mungkin diperlukan. Dronedarone

mungking juga efektif untuk menurunkan denyut jantung selama terjadinya AF. Amiodarone

mungkin untuk beberapa pasien dinyatakan dengan refrakter terhadap kontrol rate.

Kombinasi antara b-blocker dan digitalis mungkin bermanfaat untuk pasien dengan gagal

jantung. Obat-obatan untuk kontrol laju irama termasuk :

- b-Blockers berguna jika adanya tonus adrenergic yang tinggi atau iskemia miocard

yang simtomatis terjadi yang berkaitan dengan AF. Selama pengobatan b-blockers

yang lama menunjukkan keefektifan dan keamanannya pada beberapa studi

dibandingkan dengan placebo dan digoxin.

- Antagonis kalsium channel Non-dihydropyridine (verapamil and diltiazem) efektif

untuk control laju irama pada saat akut maupun kronis. Obat-obat ini harus dihindari

pada pasien-pasien dengan gagal jantung sistolik karena efek inotropik negative

- Digoxin and digitoxin efektif untuk mengontrol denyut jantung pada saat istirahat,

tetapi tidak pada saat berolahraga. Kombinasi dengan b-blocker mungkin efektif pada

pasien dengan atau tanpa gagal jantung.

- Dronedarone efektif sebagai obat pengontrol laju irama untuk pengobatan yang lama,

menurunkan denyut jantung pada saat istirahat dan berolahraga secara signifikan.

Juga berhasil menurunkan denyut jantung selama AF relaps tetapi tidak untuk

permanen AF.

(19)

dapat menyebabkan efek samping ekstracardiac yang parah termasuk disfungsi tiroid

dan bradikardia.

(20)

muda dengan lone AF meningkat dengan bertambahnya umur atau adanya hipertensi, menekankan pentingnya penilaian kembali faktor risiko stroke selama waktu.16

Risiko stroke pada AF mulai muncul dari usia > 65 tahun, meskipun jelas bahwa pasien AF berusia ≥ 75 tahun (bahkan tanpa faktor risiko lain yang terkait) memiliki risiko stroke yang signifikan dan memperoleh manfaat dari VKA daripada aspirin. Jika pasien dengan AF semakin tua, efektivitas relatif dari terapi antiplatelet menurun dalam mencegah stroke iskemik, sedangkan dengan menggunakan VKA tidak berubah. Dengan demikian, manfaat mutlak untuk VKA untuk mencegahan stroke meningkat jika pasien AF bertambah tua.16

Pendekatan berdasarkan factor resiko untuk pasien-pasien dengan non-valvular AF

juga dapat ditunjukkan dengan CHA2DS2-VASc [gagal jantung kongestif, hipertensi, usia

≥75 (doubled), diabetes, stroke (doubled), penyakit vaskular, usia 65–74, dan kategori jenis

kelamin(perempuan)]. Skema ini berdasarkan system poin dimana 2 poin diberikan untuk

riwayat stroke atau TIA sebelumnya, atau usia > 75 tahun; dan 1 poin masing-masing untuk

usia 65-74 tahun, riwayat hipertensi, diabetes, gagal jantung yang baru terjadi, penyakit

vascular (infark miokard, kompleks aortic plaque, dan PAD, termasuk revaskularisasi,

(21)
(22)
(23)

Terapi Antitrombotik

Selama 2 dekade terakhir, banyak RCT telah menginvestigasi terapi antitrombotik untuk mengurangi risiko tromboemboli, terutama stroke iskemik, pada pasien dengan AF. Pada bagian ini, dirangkum bukti dan memberikan rekomendasi pengobatan untuk terapi VKA, monoterapi antiplatelet (misalnya, aspirin), terapi antiplatelet ganda dengan aspirin dan clopidogrel, dan antikoagulan oral baru (misalnya, dabigatran) pada pasien dengan AF.22

Obat Antiplatelet

Aspirin dan agen yang bertindak di jalur cyclo-oxygenase Aspirin menghambat

siklooksigenase secara ireversibel dengan asetilasi asam amino yang bersebelahan dengan situs aktif. Dalam trombosit, ini adalah membatasi langkah dalam sintesis tromboksan A2, dan menghambat terjadi pada megakaryocyte sehingga semua trombosit muda menjadi disfungsi. Karena trombosit tidak dapat meregenerasi siklooksigenase dengan cepat, efek aspirin tetap ada selama umur dari platelet (umumnya sekitar 10 hari). Kelemahan aspirin adalah bahwa kekhususan untuk siklooksigenase berarti memiliki efek yang sedikit pada jalur lain dari aktivasi platelet. Jadi aspirin gagal untuk mencegah agregasi disebabkan oleh trombin dan hanya sebagian menghambat yang disebabkan oleh ADP dan kolagen dosis tinggi.23

Clopidogrel dan Ticlopidine. Derivat thienopyridine menghambat agregasi platelet

yang disebabkan oleh agonis seperti faktor yang mengaktifkan trombosit dan kolagen, dan juga mengurangi pengikatan ADP ke permukaan purinoreceptor trombosit. Mekanisme ini penghambatan ini tampaknya terlepas dari cyclo-oxygenase. Ada juga penurunan dari respon platelet terhadap trombin, kolagen, fibrinogen, dan faktor von Willebrand. Puncaknya tindakan pada fungsi trombosit terjadi setelah beberapa hari dari dosis oral. Efek samping termasuk bukti penekanan sumsum tulang, leukopenia, terutama dengan tiklopidin.23

Obat Antikoagulan

Warfarin. Senyawa ini 4-hydroxycoumarin, menghambat sintesis faktor yang

(24)

Heparin. Merupakan antikoagulan glikosaminoglikan yang memiliki efek besar oleh

pentasaccharide dengan afinitas tinggi terhadap antitrombin III. Hasil dari pengikatan ini terjadi perubahan konformasi pada antitrombin III sehingga inaktivasi enzim koagulasi trombin (IIa), faktor IXa, dan faktor Xa yang nyata. Waktu paruh yang pendek berarti harus diberikan secara terus menerus, dan first pass metabolism yang ekstensif sehingga harus diberikan secara parenteral, sebaiknya dengan infus intravena terus menerus, dan Oleh karena itu tidak pantas untuk digunakan di rumah. Efek kaskade pembekuan intrinsik harus dipantau secara hati-hati dengan mengukur activated Partial Thromboplastin Time (APTT), umumnya nilai 1,5 sampai 2,5 kali dari kontrol23

Terapi antikoagulasi dengan vitamin K antagonis vs kontrol2,8

(25)

Empat dari uji coba ini adalah plasebo kontrol, dua diantaranya adalah double blind berkaitan dengan antikoagulan, salah satunya dihentikan lebih awal karena bukti eksternal bahwa OAC dengan VKA lebih superior dibandingkan dengan plasebo. Dalam tiga uji coba, dosis VKA telah diatur sesuai dengan rasio waktu protrombin, sementara dua percobaan yang digunakan Target INR 2,5-4,0 dan 2,0-3,0.16

Terapi antiplatelet vs Kontrol16,22

Ketika aspirin saja dibandingkan dengan plasebo dalam tujuh percobaan, pengobatan dengan aspirin dikaitkan dengan tidak signifikannya penurunan 19% (95% CI 1% sampai -35%) insiden stroke. Ada pengurangan risiko absolut dari 0,8% per tahun untuk uji coba pencegahan primer dan 2,5% per tahun untuk pencegahan sekunder dengan menggunakan aspirin. Aspirin juga dikaitkan dengan 13% (95% CI -18% sampai -36%) penurunan stroke yang mematikan dan 29% (95% CI -6% sampai -53%) penurunan stroke non-mematikan. Ketika stroke hanya diklasifikasikan sebagai iskemik, aspirin dapat menurunkan 21% (95% CI -1% sampai -38%) pada stroke. ketika data dari semua perbandingan agen antiplatelet dan plasebo atau kontrol kelompok dimasukkan dalam meta-analisis, terapi antiplatelet mengurangi stroke sebesar 22% (95% CI 6-35).16

Dosis aspirin berbeda bermakna antara beberapa studi, mulai 50 - 1300 mg sehari, dan tidak ada heterogenitas yang signifikan antara hasil uji individu. Sebagian besar efek menguntungkan dari aspirin dihasilkan oleh satu percobaan positif, SPAF-I, yang menunjukkan penurunan risiko stroke 42% dengan aspirin 325 mg vs plasebo.

(26)

VKA vs Terapi Dual Antiplatelet dengan Aspirin dan Clopidogrel18,22

Pada Percobaan Atrial Fibrillation Clopidogrel Trial With Irbesartan for Prevention of Vascular Events (ACTIVE W) trial, terapi antikoagulasi lebih unggul jika dibandingkan

dengan terapi kombinasi clopidogrel ditambah aspirin (RR pengurangan 40%, 95% CI 18-56), dengan tidak ada perbedaan dalam kejadian perdarahan.Kombinasi VKA (INR 2,0-3,0) dengan terapi antiplatelet telah dipelajari, tetapi tidak ada efek menguntungkan pada kejadian stroke iskemik atau kejadian vascular yang terlihat, sementara lebih perdarahan terbukti. Obat Oral Antikoagulan Baru (NOAC) vs VKA

Beberapa obat antikoagulan baru - dibagi dalam dua kelas, obat oral direct thrombin inhibitor (misalnya dabigatran etexilate dan AZD0837) dan oral faktor Xa inhibitor

(rivaroxaban, apixaban, edoxaban, betrixaban, dll).1 Tidak memerlukan pemantauan INR dan

memiliki potensi lebih baik untuk penggunaan jangka lama.

(27)

Pada ATLAS TIMI study, melibatkan 16.000 pasien dengan acute coronary syndrom, mendapatkan bahwa dosis rivaroxaban 2,5 mg dan 5 mg dua kali sehari dibandingkan dengan plasebo atau terapi standart diperoleh penurunan resiko kematian kardiovaskuler, miocardial infaction dan stroke. Diperoleh juga bahwa semakin tinggi dosis resiko perdarahan semakin besar. 10

Pada penelitian salim et al, yang membandingkan fondaparinux 2,5 mg sekali sehari dibandingkan dengan enoxaparin 1 mg/KgBB dua kali sehari pada pasien dengan acute coronary syndrom pada 20.078 pasien diperoleh bahwa fondaparinux sama dengan

enoxaparin dalam mengurangi resiko iskemik, dan secara significant lebih rendah resiko perdarahannya. 11

Penelitian sam Schulman et al, membandingkan debigatran dengan walfarin pada kasus DVT diperoleh bahwa debigatran sama efektifnya dengan walfarin dan tidak memerlukan monitoring labolatorium. 12

Penelitian ROCKET AF (rivoroxaban once daily oral direct factor Xa Inhibitor compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and Embolism Trial in Atrial Fibrilation), melakukan penelitian pada 14.264 pasien dengan atrial fibrilasi non valvular denan membandingkan rivaroxaban 20 mg sekali sehari dengan walfarin diperoleh rivaroxaban non-inferior terhadap walfarin dan tidak terdapat perbedaan dalam hal perdarahan mayor. 7

American College of Cardiology Foundation/American Heart Association/Heart Rhythm Society 2011 (ACCF/AHA/HRS) Pedoman Praktek merekomendasikan dabigatran sebagai antikoagulan alternatif yang berguna untuk pencegahan stroke dan tromboemboli sistemik dibandingkan dengan warfarin pada pasien dengan paroxysmal - permanen AF. Guideline menyatakan bahwa calon pasien yang akan diberikan dabigatran harus tanpa katup jantung prostetik atau penyakit katup signifikan secara hemodinamik, gagal ginjal berat (kreatinin klirens < 15 mL/menit), atau dengan penyakit hati. American College of Chest Physicians (ACCP) 2012 pedoman praktek yang dirilis dan mereka merekomendasikan pemberian antikoagulan dibandingkan dengan tidak diberikan antikoagulan atau terapi antiplatelet untuk pasien dengan skor CHADS2 dari >1.19

(28)

antitrombotik, disarankan pemberian aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) daripada antikoagulan oral (Kelas 2B) atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (kelas 2B).22

Untuk pasien dengan AF, termasuk dengan paroksismal AF, yang beresiko menengah untuk terjadinya stroke (misalnya, CHADS 2 skor = 1), disarankan pemberian antikoagulan oral daripada tidak diberikan terapi (1B Kelas). Disarankan antikoagulan oral daripada aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (Kelas 2B) atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (2B kelas). Untuk pasien yang tidak cocok untuk atau memilih untuk tidak mengkonsumsi oral antikoagulan (untuk alasan lain selain kekhawatiran tentang perdarahan besar), disarankan kombinasi terapi dengan aspirin dan clopidogrel daripada aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (2B kelas).

Untuk pasien dengan AF, termasuk dengan paroxysmal AF, yang berisiko tinggi untuk terjadinya stroke (misalnya, CHADS 2 skor ≥ 2), disarankan pemberian antikoagulan oral daripada tidak diberikan terapi (Kelas 1A), aspirin (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (kelas 1B), atau terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel (Kelas 1B). Untuk pasien yang

tidak cocok atau memilih untuk tidak mengkonsumsi oral antikoagulan (untuk alasan lain selain masalah tentang perdarahan besar), disarankan terapi kombinasi dengan aspirin dan clopidogrel

daripada aspirin saja (75 mg sampai 325 mg sekali sehari) (Kelas 1B).22

Untuk pasien dengan AF, termasuk yang dengan paroxysmal AF, untuk rekomendasi dalam mendukung antikoagulan oral, disarankan dabigatran 150 mg dua kali sehari daripada terapi VKA dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2,0-3,0) (Kelas 2B).

Karena asupan makanan memiliki dampak pada penyerapan dan bioavailabilitas rivaroxaban (daerah di bawah kurva plasma konsentrasi meningkat sebesar 39%), rivaroxaban harus dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Tidak ada interaksi makanan yang relevan untuk NOAC lain dan dapat dikonsumsi dengan atau tanpa makanan.20

(29)
(30)
(31)

Resiko Perdarahan

Penilaian risiko perdarahan harus menjadi bagian dari penilaian pasien sebelum memulai antikoagulasi. Antikoagulan yang diberikan pasien usia tua dengan AF, tingkat perdarahan intraserebral jauh lebih rendah daripada di masa lalu, biasanya antara 0,1 dan 0,6% dalam laporan kontemporer. Hal ini mungkin menunjukkan intensitas antikoagulasi rendah, regulasi dosis lebih hati-hati, atau kontrol hipertensi yang lebih baik. Meningkatnya perdarahan intrakranial dengan nilai INR 3.5-4.0, dan tidak ada peningkatan risiko perdarahan dengan INR nilai antara 2,0 dan 3,0 dibandingkan dengan tingkat INR rendah.16

(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wilso JD, Brau wald E, Issel a ker KJ, et al. Eds. Hariso ’s Pri iples of i ter al edi i e. 12th ed.New York : McGraw-Hill, 1991 p: 502-7

2. Acang N, Pemakaian dan Pemantauan Obat-obta Antitrombosis, dalam Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, simadibrata M, Setiati S, Ilmu Penyakit Dalam ed IV, Jakarta, 2003, p: 795-7

3. Bombeli T, Spahn DR, Updates in perioperative coagulation: physiology and management of thromboembolism and haemorrhage, available at : Br J Anaesth. 2004 Aug;93(2):275-87 4. Eikelboom J, Weitz J, New Antocoagulants, American Heart Association, Circulation. 2010

p:1523-1532

5. Highlights Of Prescribing Information, glaxosmithkline, available at: www.glaxosmithkline.com

6. Highlights Of Prescribing Information, Boehringer ingelheim pharmaceuticals, inc, available

at: www. Boehringer.com

7. Patel et al, Rivaroxaban Versus Walfarin in Nonvalvular Atrial Fibrilation, N engl J Med2011, p:883-91

8. Ma Qing, Development of Oral Anticoagulants, Br J Clin Pharmacol 2007, p: 263–265 9. Weitz j, New oral anticoagulants in development, Thrombosis and Haemostasis 2010,

P;62-70

10. Garcia D, Libby E, Crowther M, The new oral anticoagulants, Blood, 2010, p: 15-20 11. Salim et al, Comparison of Fondaparinux and Enoxaparin in Acute Coronary Syndromes, N

engl J Med2006, p:1464-76

12. Sam ScHulman et al, Dabigatran versus Warfarin in the Treatment of Acute Venous Thromboembolism, N engl J Med2009, p:2342-52

13. Camm AJ, kirchhof P, Lip G, Schotten U, Savelieva I, Guidelines for the management of atrial fibrillation The Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC), available at : www.escardio.org/guidelines

14. King D, Dickerson L, Sack J, Acute Management of Atrial Fibrillation: Part II. Prevention of Thromboembolic Complications, Am Fam Physician 2002, P:271-2

15..American Heart Association. Management of Patients with Atrial Fibrillation. American College of Cardiology Foundation : 2011

16.European Society Cardiology. Guidelines for the Management of Atrial Fibrillation. European Heart Journal, (2010) 31, 2369–2429

17.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed IV Kardiologi hal 1522. Mei 2006

18.Capodanno D, Capranzano P, Giachhi G, et al. 2012. Novel oral anticoagulants versus warfarin in non-valvular atrial fibrillation: A meta-analysis of 50,578 patients. From : International Journal of Cardiology

19.Spinler S, Shafir V. 2012. American Heart Association : New Oral Anticoagulants for Atrial Fibrillation. From : http://circ.ahajournals.org/content/126/1/133

(33)

21.Kosar L, Jin M, Kamrul R, Schucter B. 2012. Oral Anticoagulation in Atrial Fibrillation : Balancing the Risk of Stroke with The Risk of Bleed. From :

www.cfp.ca

22.You J, et al. Antithrombotic Therapy for Atrial Fibrillation. Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed : ACCP Guidelines. Feb 2012. From :

www.chestspub.org

(34)
(35)
(36)
(37)

Gambar

Tabel 1. Faktor pembekuan/koaguasi3
Gambar 1. Kaskade koagulasi 3
Gambar 2. Perkembangan anti koagulan
Gambar 3. Diagram klasifikasi anti koagulan4
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hoffmann, dkk, 2012: Skor A2DS2 merupakan alat yang valid untuk memprediksi pneumonia post stroke dan mungkin sebagai petunjuk pengawasan pada penderita

Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk membuat agar darah, yaitu dengan menggunakan darah domba yang diberi zat antikoagulan agar tidak terjadi koagulasi sehingga

Tahap pengolahan data meliputi : sampel dibagi dalam 3 kelompok dosis warfarin yaitu dosis 2 mg, dosis (2 mg dan 4 mg) dan dosis 5 mg; monitoring dosis warfarin dan durasi

Belum ada g old standard untuk mendiagnosis stroke kardioemboli, namun adanya kelainan utama jantung yang dapat menjadi sumber emboli, tidak adanya patologis

Pasien dengan skor CHA 2 DS 2 -VASc 0 – 1 pada penelitian ini turut mendapatkan terapi antikoagulan karena mempunyai FA valvular yang dibutuhkan langsung pemberian

Hasil eritrosit dengan antikoagulan EDTA Konvensional dan EDTA Vacutainer pada 18 responden menunjukan hasil yaitu 2 responden memiliki hasil lebih dari 5.50 [10^6/µL]

Tahap pengolahan data meliputi : sampel dibagi dalam 3 kelompok dosis warfarin yaitu dosis 2 mg, dosis (2 mg dan 4 mg) dan dosis 5 mg; monitoring dosis warfarin dan durasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara fibrilasi atrium dengan terjadinya stroke iskemik pada pasien di RSUP dr. Dalam teori klasik dikatakan fibrilasi atrium