BAB I
LAPORAN KASUS
I. KASUS A. IDENTITAS Nama : Tn. SW Tanggal Lahir : 12-11-1948 Alamat : Pangkajene Status : Kawin RM : 723604 Tanggal Masuk : 25-08-2015 B. ANAMNESISKeluhan Utama: Jantung berdebar-debar Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dikonsul dari bagian Interna dengan jantung berdebar-debar yang dialami 1 bulan terakhir. Riwayat berobat di dokter spesialis jantung 2 bulan terakhir, dengan terapi Nitrokaf R 2,5 mg 2x1, Candesartan 8 mg 1x1. Saat ini nyeri dada tidak ada. Riwayat nyeri dada hilang timbul dalam 2 tahun terakhir, nyeri dada kiri rasa ditekan, tidak menjalar, kadang disertai keringat dingin. Sesak napas tidak ada. Riwayat sesak sebelumnya ada jika beraktivitas, PND (-), Ortopnea (-) DOE (-). Batuk ada, dahak berwarna putih, riwayat batuk lama tidak ada. Demam tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, mual dan muntah tidak ada. Buang air besar biasa, buang air kecil lancar.
Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada. Riwayat hipertensi tidak ada.
Riwayat diabetes mellitus tidak ada. Riwayat merokok tidak ada.
Riwayat mengkonsumsi alkohol tidak ada.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada. C. PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan umum : Sakit Sedang/ Gizi Cukup/ Composmentis Tanda Vital (28 Agustus 2015)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg Nadi : 108 kali/ menit
Pernapasan : 20 kali/ menit Suhu : 36,9°C
Tinggi Badan : 163 cm Berat Badan : 60 kg
IMT : 22,5 kg/m2 Status Gizi : Cukup Kepala:
Ukuran : Normocephal Bentuk : Mesocephal Deformitas : Tidak ada
Simetris muka : Simetris kiri sama dengan kanan Rambut : Sukar dicabut
Mata:
Eksoftalmus : Tidak ada Enoptalmus : Tidak ada Konjungtiva : Tidak anemis Kornea : Refleks kornea ada Sklera : Ikterus tidak ada Pupil : Isokor 2.5 mm/2.5 mm Telinga:
Pendengaran : Pemeriksaan tidak dilakukan Otorrhea : Pemeriksaan tidak dilakukan Hidung:
Epistaksis : Tidak ada Rhinorrhea : Tidak ada Mulut:
Bibir : Tidak kering
Lidah : Tidak kotor
Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis
Faring : Tidak Hiperemis
Leher:
Tumor : Tidak ada
Deviasi Trakea : Tidak ada
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran Desakan Vena Sentral : R+2 cmH2O 30o (29 Agustus 2015)
Kaku kuduk : Tidak Ada
Chest:
Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan Buah dada : Dalam batas normal
Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan Pulmo:
Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dekstra Batas paru belakang kanan ICS IX Batas paru belakang kiri ICS X Auskultasi : Bunyi Pernapasan: Vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi (-) dan Wheezing (-) Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi : Ictus cordis tidak teraba Perkusi : Batas atas ICS III sinistra Batas bawah ICS VI sinistra
Batas kanan linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axillaris anterior sinistra
Aukultasi : Bunyi jantung I/II murni regular. Bising jantung tidak ada.
Abdomen:
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal Ekstremitas:
Edema Tidak Ada
Gambar EKG Pasien (28 Agustus 2015) Interpretasi: 1. Irama : Aritmia 2. Laju QRS : 110 kali/menit 3. Regularitas : Irreguler 4. Aksis : Normoaxis 5. Interval PR : (-) 6. QRS Rate : 0,08 detik 7. Segmen ST : perubahan (-) 8. Gelombang T : perubahan (-) Kesimpulan:
Asinus Rhythm, Irreguler, Heart Rate 110 bpm, Normoaxis, Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Respons.
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 25 Agustus 2015
Hematologi Rutin RBC HGB HCT MCV MCH PLT WBC 4,19.106 13,0 37,7 90,0 31,0 671.103 20,15.103 4,00-10,0 12,0-16,0 37,0-48,0 80-97,0 26,5-33,5 150-400 .103 4,0-10,0 . 103 /mm3 g/dl % µm3 pg /mm3 /mm3 Fungsi Hati SGOT SGPT 31 135 <38 <41 U/L U/L Penanda Jantung CK CK-MB 38.00 19,5 L(<190);P(<167) <25 U/L U/L Kimia Lain Asam Urat 5,9 P(2,4-5,7); L(3,4-7,0) mg/dl 29 Agustus 2015
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Hematologi Rutin RBC HGB HCT MCV MCH PLT WBC 3,6.106 11,0 34,3 95 30,0 407.103 15,4 . 103 4,00-10,0 12,0-16,0 37,0-48,0 80-97,0 26,5-33,5 150-400 .103 4,0-10,0 . 103 /mm3 g/dl % µm3 pg /mm3 /mm3 Fungsi Hati SGOT SGPT 28 38 <38 <41 U/L U/L Elektrolit
Natium Kalium Klorida 133 4,1 103 136-145 3,5-5,1 97-111 mmol/l mmol/l mmol/l 30 Agustus 2015
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Hematologi Rutin RBC HGB HCT MCV MCH PLT WBC 3,17.106 10,0 30,4 96 31,6 408.103 13,8 . 103 4,00-10,0 12,0-16,0 37,0-48,0 80-97,0 26,5-33,5 150-400 .103 4,0-10,0 . 103 /mm3 g/dl % µm3 pg /mm3 /mm3 Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin 14 0,52 10-50 L(<1,3);P(<1,1) Mg/dl Mg/dl Fungsi Hati SGOT SGPT 25 35 <38 <41 U/L U/L Elektrolit Natium Kalium Klorida 136 3,8 107 136-145 3,5-5,1 97-111 mmol/l mmol/l mmol/l 3 September 2015
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Koagulasi PT INR APTT 11,0 1,06 25,0 10-14 --22,0-30,0 Detik Detik
F. FOTO THORAX
Foto Thorax AP
- Corakan brochovaskular dalam batas normal - Tidak tampak proses spesifik aktif pada kedua paru - Cor membesar, aorta dilatasi dan elongasi
- Kedua sinus dan diafragma baik. - Tulang-tulang Intak.
Kesan:
Cardiomegaly dengan dilatation et elongation aortae G. PEMERIKSAAN ECHOKARDIOGRAM
31 Agustus 2015 Interpretasi:
- Fungsi sistolik ventrikel kiri baik, Ejeksi Fraksi 57% - Dimensi ruang-ruang jantung : Baik
- (LVED 4,3 cm, LA mayor 5,1 cm, LA minor 3,6 cm, RA mayor 5,0 cm, RA minor 3,3 cm, RVDB 2,6 cm) Hipertropy Ventrikel Kiri : Negatif (LVMI 97 g/m2)
- Pergerakan miokard : Global normokinetik
- Fungsi sistolik ventrikel kanan baik, TAPSE 1,9 cm) - Katup-katup jantung :
Mitral : Fungsi dan pergerakan baik
Aorta : 3 cuspis, kalsifikasi negative, Fungsi dan pergerakan baik Trikuspid : TR trvial
Pulmonal : Fungsi dan pergerakan baik - E/A on AF
Kesimpulan: - On AF
- Fungsi sistolik ventrikel kiri baik H. ASSESSMENT
Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response
I. TATALAKSANA
1. Digoxin 0,25 mg/ 24 jam/ oral 2. Candesartan 8 mg/ 24 jam/ oral 3. Nitrokaf R 2,5 mg/ 12 jam/ oral 4. ISDN 5 mg/ SL  jika nyeri dada 5. Simarc 2 mg/ 24 jam/ oral
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Aktivitas atrium sangat cepat (kira-kira 350-650 x/menit), namun setiap rangsangan listrik itu hanya mampu mendepolarisasi sangat sedikit miokard atrium, sehingga sebenarnya tidak ada kontraksi atrium secara menyeluruh. Karena tidak ada depolarisasi yang uniform, tidak terbentuk gambaran gelombang P, melainkan defleksi yang disebut gelombang “f” yang bentuk dan iramanya sangat tidak teratur. Hantaran melalui nodus AV
berlangsung sangat acak dan sebagian tidak dapat melalui nodus AV sehingga irama QRS sangat tidak teratur.1,2,3
B. Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan durasinya, yaitu:1,4
1. FA yang pertama kali terdiagnosis
Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal
FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten
FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent)
FA yang bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen
FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Gambar 1. Klasifikasi FA menurut waktu presentasinya. Fibrilasi atrium dapat mengalami progresivitas dari paroksismal menjadi persisten, persisten lama atau permanen. Seluruh tipe
FA tersebut dapat merupakan presentasi awal atas dasar riwayat sebelumnya.1,4
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama
ditentukan oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri dari pasien:1
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, danreaksi obat.1
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat dibedakan menjadi:1
1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit 2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit 3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit
Gambar 2. Rekaman EKG FA. A. FA dengan respon ventrikel normal, B. FA dengan respon ventrikel cepat, C. FA dengan respon ventrikel lambat.1
C. Epidemiologi
AF adalah gangguan irama yang paling sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. AF dialami oleh 1-2% populasi dan meningkat dalam 50 tahun ke depan. Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta penduduk menderita AF dengan >10% berusia di atas 65 tahun dan diperkirakan akan terus bertambah menjadi 4,78 juta pada tahun 2035. Angka kejadian pada pria sedikit lebih tinggi daripada wanita. Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat, perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring diagnosis. AF digambarkan sebagai suatu epidemi kardiovaskular yang menyebabkan beban ekonomi pada negara berkembang.5,6
AF adalah faktor risiko kuat untuk kematian dengan peningkatan 1,5-1,9 kali dalam analisis Framingham. AF juga dihubungkan dengan peningkatan 5 kali kejadian stroke dan faktor penyebab dari 5% kejadian emboli di serebral. AF menyebabkan gagal jantung kongestif terutama pada pasien yang frekuensi ventrikelnya tidak dapat dikontrol. Adanya gagal jantung dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk. Studi terbaru menemukan adanya 10-30% AF pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dengan peningkatan kematian 34% bila dibandingkan dengan gagal jantung saja. Selain itu AF juga menurunkan status kesehatan, kapasitas jantung dan kualitas hidup seseorang. Dalam 2 dekade terakhir telah terjadi peningkatan angka rawat di rumah sakit akibat gangguan listrik jantung. Fungsi ventrikel kiri juga terganggu dengan adanya irama tidak teratur dan cepat, yang menyebabkan hilangnya fungsi kontraksi atrium dan meningkatnya tekanan pengisian pada saat akhir diastolik ventrikel kiri.5
D. Etiologi
Fibrilasi atrium (AF) sangat terkait dengan faktor-faktor risiko berikut:7  Stres hemodinamik
Peningkatan tekanan intraatrium dapat mengganggu elektrikal atrium dan remodelling dan predisposisi struktural pada AF. Penyebab
paling umum dari peningkatan tekanan atrium adalah penyakit katup mitral atau trikuspid dan disfungsi ventrikel kiri. Sistemik atau hipertensi pulmonum juga sering menjadi predisposisi overload tekanan atrium, dan tumor intracardiac atau trombus adalah penyebab langka.
 Iskemia atrium
Penyakit arteri koroner jarang langsung menyebabkan iskemia atrium dan AF. Lebih umum, iskemia ventrikel hebat menyebabkan peningkatan tekanan intra-atrium dan AF.
 Peradangan (Inflamasi)
Miokarditis dan perikarditis mungkin idiopatik atau dapat terjadi dalam hubungan dengan penyakit kolagen vaskular; infeksi virus atau bakteri; atau jantung, esofagus, atau operasi toraks.
 Penyebab respiratory noncardiovascular
Emboli paru, pneumonia, kanker paru-paru, dan hipotermia telah dikaitkan dengan AF
 Alkohol dan penggunaan narkoba
Stimulan, alkohol, dan kokain dapat memicu AF. Penggunaan alkohol akut ataupun kronis, dan penggunaan narkoba (yaitu, stimulan, metamfetamin, kokain) telah secara khusus ditemukan berhubungan dengan AF.
 Gangguan endokrin
Hipertiroidisme, diabetes, dan feokromositoma telah dikaitkan dengan AF.
 Gangguan neurologis
Proses intrakranial seperti perdarahan subarachnoid atau stroke dapat memicu AF.
 Faktor genetik
Riwayat orangtua AF akan muncul untuk memberikan peningkatan kemungkinan AF. Salah satu studi kohort menunjukkan bahwa keluarga AF dikaitkan dengan peningkatan risiko AF . Peningkatan ini tidak berkurang oleh penyesuaian untuk varian genetik dan faktor risiko AF lainnya.
 Usia lanjut
AF sangat tergantung usia, mempengaruhi 4% dari orang yang lebih tua dari 60 tahun dan 8% dari orang yang lebih tua dari 80 tahun.
E. Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung a. Fisologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot jantung, yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik (kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi.12,13,14
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi mekanik jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi. Ketiga proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada untuk memicu kontraksi otot jantung.12
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi pembukaan saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+
menyebabkan perubahan potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30 mv. Setelah mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan segera menutup yang kemudian diikuti
pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan saluran Ca2+ terjadi secara lambat,
yang menyebabkan proses plateau dan influks Ca2+ dari ekstraseluler ke
dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik. Setelah beberapa saat, saluran Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan saluran K+. Pembukaan saluran
K+ menyebabkan terjadinya proses repolarisasi, yang ditandai dengan
Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung.
Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses potensial aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan
saluran Ca2+ secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi
akibat influks Ca2+ atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada
dasarnya terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+ ekstraseluler berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan
saluran Ca2+ selama fase plateu pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang
dikeluarkan dari cadangan intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang berasal dari ekstraseluler.14,15
Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan
Ca2+ dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan
kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen tebal (miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek tiap sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan
troponin akan menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca2+ yang tidak berikatan dengan troponin akan disimpan kembali
di dalam sarcoplamic reticulum dan sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler.
Proses keluarnya Ca2+ ke ekstraseluler terjadi karena adanya pertukaran
dengan ion Na2+ yang berada di ekstraseluler. Kemudian ion Na+ yang telah
masuk kedalam intraseluler akan bertukaran secara aktif dengan ion K+
melalui proses Na+- K+-ATPase.14,15
Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung.
b. Sistem Konduksi Jantung
Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau rangsangan elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial, nodus atrio-ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di nodus sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan. Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium, baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan antara atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan elektrik melalui traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) tercepat bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain, yaitu sebesar 60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini
menyebabkan nodus SA sebagai pengontrol utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker) dan mengendalikan sistem konduksi jantung.8,10
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah:
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi ventrikel dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus atrio-ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui traktus internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV merupakan satu-satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus AV sebagai pengontrol dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya memiliki keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12 detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu dalam proses mengosongkan volume atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu pengisian ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi.9,10,11
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu
berkas cabang kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan (RBB/ right bundle branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB bercabang sebagai struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel kanan dan menuju bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri (LBB/ left bundle branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur percabangan LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masing-masing percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada percabangan RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri.8,10,15
Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung.
F. Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger); dan 2) faktor-faktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi
masih dapat konversi secara spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger) FA, sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan.1
1. Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu
remodelling yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses
remodelling atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi factor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini memfasilitasi terjadinya sirkuit reentri yang akan melanggengkan terjadinya aritmia.1
Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga memiliki peran yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal). Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan sebagai salah satu target ablasi. Namun, manfaat ablasi pleksus ganglionik sampai sekarang masih belum jelas.1
Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi melaporkan terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium pada hari-hari pertama terjadinya FA. Proses remodelling elektrikalmemberikan kontribusi terhadap peningkatan stabilitas FA selama hari-hari pertama setelah onset. Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan (down regulation) arus masuk kalsium
(melalui kanal tipe-L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali normal.1
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium, hambatan pelepasan kalsium intraselular dan perubahan pada energetika miofibril.1
2. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu (trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat. Meskipun demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.1
Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit.1
Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di
seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus.1
Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)
Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet
lain yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang, sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.1
Gambar 6. Mekanisme elektrofisiologis FA. A. Mekanisme fokal: fokus/pemicu (tanda bintang) sering ditemukan di vena pulmoner. B. Mekanisme reentri mikro: banyak wavelet independen yang secara kontinu menyebar melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. AKi: atrium kiri, AKa: atrium kanan, VP: vena pulmoner, VKI: vena kava inferior, VKS: vena
kava superior.1
G. Diagnosis 1. Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat.
Hampir >50% episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:1
• Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
• Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik • Presinkop atau sinkop
• Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.1
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan, seperti:1
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya. • Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya. • Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau
perkutan (dengan kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
2. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.1
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit
pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.1
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK, asma).1
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari
punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3)
mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.1
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.1
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang menurun.1
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks dapat ditemukan pada hipertiroidisme.1
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.1
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:1
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru) • Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas) • Uji toksikologi atau level etanol
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula.1
Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:1
• Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit.
• Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
• Preeksitasi
• Hipertrofi ventrikel kiri • Blok berkas cabang • Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.1
5. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).1
6. Uji latih atau uji berjalan enam-menit
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan 6-menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi FA yang dicetuskan oleh aktivitas fisik.1
7. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :1
• Evaluasi penyakit jantung katup
• Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding • Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel • Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal) • Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :1
• Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
• Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)
8. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti
CT scan atau MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium
bila direncanakan ablasi FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium kiri dan VP.1
9. Monitor Holter atau event recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan diagnosis FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau kendali irama.1
H. Tatalaksana
a. Mengembalikan irama AF ke irama sinus (rhythm control)
Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom. Strategi ini dipilih pada pasien yang masih mengalami simtom meskipun terapi kendali laju telah dilakukan secara optimal.1
Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah memakai obat antiaritmia. Pengubahan irama FA ke irama sinus (kardioversi) dengan menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada FA persisten.1
Tabel 1. Obat untuk mengembalikan irama AF ke irama sinus (rhythm control)2
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko tromboemboli, memperbaiki hemodinamik dengan mengembalikan ‘atrial kick’, mencegah terjadinya respon ventrikel cepat yang dapat menginduksi kardiomiopati akibat takikardia, serta mencegah
remodelling atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan
menyebabkan kardiomiopati atrium.1
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama. Keberhasilan tindakan ini pada FA persisten mencapai angka 80-96%, dan sebanyak 23% pasien tetap sinus dalam waktu setahun dan 16% dalam waktu dua tahun. Amiodaron adalah antiaritmia yang paling kuat
Kebanyakan rekurensi FA terjadi dalam 3 bulan pascakardioversi. Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi atau rekurensi FA adalah berat badan, durasi FA yang lebih lama (>1-2 tahun), gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium kiri, penyakit jantung rematik, dan tidak adanya pengobatan dengan antiaritmia.1
b. Kontrol laju ventrikel (rate control)
Kendali laju dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal (skor EHRA 1). Kendali irama direkomendasikan pada pasien yang masih simtomatik (skor EHRA ≥2) meskipun telah dilakukan kendali laju optimal. Beberapa indikasi pemilihan strategi terapi pada persisten FA dapat dilihat di tabel 1.1
Tabel 2. Indikasi kendali laju dan kendali irama pada persisten FA.1,5
Kendali laju yang optimal dapat menyebabkan keluhan berkurang dan memperbaiki hemodinamik dengan memperpanjang waktu pengisian ventrikel dan mencegah kardiomiopati akibat takikardia. Kendali laju dapat dilakukan secara longgar atau ketat. Studi RAte Control Efficacy in
permanent atrial fibrillation (RACE) II menunjukkan bahwa kendali laju
ketat tidak lebih baik dari kendali laju longgar.1,5
Pada kendali laju longgar, target terapi adalah respon ventrikel <110 kpm saat istirahat. Apabila dengan target ini pasien masih merasakan keluhan, dianjurkan untuk melakukan kendali laju ketat yaitu dengan
target laju saat istirahat < 80 kpm. Evaluasi monitor Holter dapat dilakukan untuk menilai terapi dan memantau ada tidaknya bradikardia.1
Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju. Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan sebaiknya hanya diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi. Hal ini disebabkan karena digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk kendali laju hanya diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk pasien.1
Tabel 3. Obat untuk kendali laju (rate control).2
c. Mencegah tromboembolisme
Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu berkisar 1,5% pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80 sampai 89 tahun. Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah 5% (berkisar 3-4%).40
Oleh karena itu, penting sekali mengidentifikasi pasien FA yang memiliki risiko tinggi stroke dan tromboemboli. Akan tetapi pada praktik sehari-hari yang lebih penting justru identifikasi pasien FA yang benar-benar risiko rendah mengalami stroke agar risiko yang tidak perlu akibat pemberian antikoagulan dapat dihindari. Terapi antitrombotik tidak direkomendasikan pada pasien FA yang berusia <65 tahun dan FA sorangan karena keduanya termasuk benar-benar risiko rendah dengan tingkat kejadian stroke yang sangat rendah. 1
Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien FA harus bersikap lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum sehingga akan mencakup seluruh spektrum pasien FA. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor risiko umum yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari.42-44 CHA2DS2-VASc masing-masing hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years,
Sex Category (female).1
Warfarin merupakan agen yang sangat efektif dalam pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium dengan mengurangi risiko relatif stroke sebesar 62%, dibandingkan dengan 22% oleh aspirin. Hal ini juga diperkuat dengan studi AFFIRM yang memaparkan bahwa kebanyakan stroke yang terjadi dalam studi tersebut dikarenakan INR (International Normalised Ratio) yang subterapeutik atau setelah penghentian terapi warfarin. Warfarin juga masih lebih superior dibandingkan klopidogrel 75 mg plus aspirin 75-100 mg pada pasien fibrilasi atrium dengan risiko tinggi stroke. Sementara itu, kombinasi antara antikoagulan dan antiplatelet tersebut tidak menunjukkan efektivitas yang lebih baik daripada terapi dengan antikoagulan semata, malah kombinasi demikian akan meningkatkan risiko perdarahan.6
Sebagai kontrol terapi antikoagulan, maka sebaiknya INR diperiksa rutin setiap minggunya di awal terapi dan setiap bulannya setelah terapi
antikoagulan stabil. Target INR yang direkomendasikan pada kasus fibrilasi atrium non-valvular adalah rentang 2.0-3.0. Pada pasien fibrilasi atrium dengan katup protesa membutuhkan terapi warfarin dengan INR lebih tinggi lagi (minimal 2.5), tergantung pada jenis protesanya. Terapi antikoagulan harus tetap dilanjutkan hingga minimal 1 bulan setelah irama sinus tercapai pada strategi rhythm control karena butuh waktu untuk menormalkan kembali fungsi mekanik dari atrium walaupun reversi telah tercapai.6
d. Ablasi atrium kiri
Strategi ablasi merupakan salah cara untuk menyembuhkan FA pada beberapa populasi pasien. Evaluasi jangka panjang pada pasien ini menunjukkan irama sinus bertahan lebih lama dibandingkan pemakaian obat antiaritmia. Ablasi frekuensi-radio mempunyai keberhasilan 85% dalam 1 tahun pertama dan 52% dalam 5 tahun. Secara umum, AFR direkomendasikan pada pasien FA yang masih simtomatik meskipun telah dilakukan terapi medikamentosa optimal atau pasien memilih strategi kendali irama karena menolak mengonsumsi obat antiaritmia seumur hidup.1
Ostium VP yang terletak di atrium kiri merupakan sumber fokus ektopik yang mempunyai peranan penting dalam inisiasi dan mekanisme terjadinya FA Ablasi frekuensi-radio pada fokus ektopik tersebut dapat mengeliminasi episode FA. Strategi AFR yang direkomendasikan adalah isolasi elektrik pada antrum VP dan AFR fokus ektopik.1,16
e. Ablasi dan modifikasi nodus atrioventikular (NAV)
Ablasi NAV dilanjutkan dengan pemasangan pacu jantung permanen merupakan terapi yang efektif untuk mengontrol respon ventrikel pada pasien FA. Ablasi NAV adalah prosedur yang ireversibel sehingga hanya dilakukan pada pasien dimana kombinasi terapi gagal
mengontrol denyut atau strategi kendali irama dengan obat atau ablasi atrium kiri tidak berhasil dilakukan.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Persatuan Dokter Spesialis Jantung Indonesia. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. PERKI. 2014.
2. January CT, Wann LS, et al. 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: Executive Summary. Journal of The American College of Cardiology. 2014; 64 (21): 2251-61.
3. Rilanto LI, Baraas F, Karo SK, et al. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 279.
4. Lilly LS. Patophysiology of Heart Disease. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p 287-88.
5. Yansen I, Yuniadi Y. Tata Laksana Fibrilasi Atrium: Kontrol Irama atau Laju Jantung. CDK-202. 2013; 40 (3): 171-74.
6. Dinarti LK, Suciadi LP. Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien dengan Fibrilasi Atrium. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009; 59 (6): 277-283.
7. Lawrence Rosenthal. Atrial Fibrillation. Diakses 8 September 2015. ( http://emedicine.medscape.com/article/151066-overview#a4)
8. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta. EGC; 2006. p. 1522-27.
9. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB. Increased atrial fibrillation mortality: United States, 1980-1998. Am.J. Epidemiol. 2002; 155 (9): 819–26.
10. Blackshear JL, Odell JA. Appendage obliteration to reduce stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation. Ann. Thorac.Surg. 1996; 61 (2): 755– 9.
11. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). Epidemiologic assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study. Neurology 28 (10): 973–7.
12. Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC; 1995. p. 287-305. 13. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC; 1999. p.
682-712.
14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-proses Penyakit) Buku 2. Edisi 4. EGC; 2000. p. 770-89, 813-93.
15. Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3. Edisi 13. EGC; 2000. p. 1418-87.
16. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 162-164.