• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atrial Fibrilasi referat ane

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Atrial Fibrilasi referat ane"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG

Jantung dilengkapi dengan suatu sistem khusus (1) untuk membangkitkan impuls-impuls ritmis yang menyebabkan timbulnya kontraksi ritmis otot jantung, dan (2) untuk mengkonduksikan impuls ini dengan cepat ke seluruh jantung. Bila sistem konduksi berfungsi normal, atrium akan berkontraksi kira-kira seperenam detik lebih awal dari kontrkasi ventrikel, sehingga memungkinkan pengisian tambahan pada ventrikel sebelum ventrikel memompa darah ke sirkulasi paru-paru dan perifer. Namun sistem ritmis dan konduksi dalam jantung ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat penyakit jantung, terutama akibat iskemia jaringan jantung karena kurangnya aliran darah koroner. Akibatnya sering berupa irama jantung yang sangat ganjil, atau serentetan kontraksi yang abnormal dari ruang-ruang jantung, dan efektivitas daya pompa jantung sering sangat terpengaruh, bahkan dapat

menyebabkan kematian.2

Impuls listrik dimulai di sebuah daerah yang disebut sinus node, yang terletak di bagian atas atrium kanan. Ketika sinus node kebakaran, dorongan dari aktivitas listrik menyebar melalui atrium kiri dan kanan, menyebabkan berkontraksi, memaksa darah ke ventrikel. Kemudian perjalanan impuls listrik secara tertib ke daerah lain yang disebut atrioventrikular (AV) node dan jaringan HIS-Purkinje. Nodus AV adalah jembatan listrik yang memungkinkan dorongan untuk pergi dari atrium ke ventrikel. HIS-jaringan Purkinje membawa dorongan seluruh ventrikel. Impuls kemudian bergerak melalui dinding ventrikel, menyebabkan mereka kontrak. Hal ini akan memaksa darah keluar dari jantung ke paru-paru dan tubuh. Kosong vena paru-paru-paru-paru darah yang mengandung oksigen dari paru-paru ke atrium kiri. Jantung normal berdetak dalam irama yang konstan - sekitar 60 sampai 100 kali per menit saat istirahat. 2

(2)

Atrial fibrilasi ( AF ) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.1

Secara klinis fibrilasi atrial praktis tidak dapat dideteksi. Fibrilasi atrium diketahui dari gambaran elektrokardiogram ( EKG ). Pemeriksaan EKG dapat dilakukan pada saat menjalani general check-up maupun pada saat sakit tertentu yang prosedur pemeriksaannya memerlukan pemeriksaan EKG. Pada setiap penderita fibrilasi atrial perlu diberitahukan tentang kondisi jantungnya sekaligus program pengobatan dan tujuan program tadi.2

(3)

BAB I

ILUSTRASI KASUS

ANAMNESIS Identitas Nama : Tn.S Usia : 93 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Medan Status : Menikah Suku : Batak Agama : Kristen Pendidikan : SD Pekerjaan : -Tgl masuk : 28 Februari 2011 Keluhan Utama

Sakit perut sejak 3 hari SMRS

Keluhan Tambahan

Sesak nafas, mual, muntah, nafsu makan berkurang, batuk berdahak.

Riwayat penyakit sekarang

• Pasien masuk UGD RSAL dengan keluhan sakit perut sejak 3 hari SMRS. Sakit perut dirasakan di daerah ulu hati sampai ke tengah. Sakit perut awalnya dirasakan pasien sejak 2 minggu SMRS dan hilang timbul, namun 3 hari terakhir ini sakit perut terasa semakin berat dan terasa terus menerus. Selain sakit perut, pasien juga mengeluh adanya sesak nafas yang semakin berat sejak 2 minggu SMRS. Sesak nafas dijelaskan pasien berupa rasa berat saat pasien bernapas. Sesak datang biasanya bila pasien

(4)

sedang sakit perut. Sesak nafas tidak dipengaruhi kegiatan karena sehari-hari kegiatan pasien hanya di rumah, makan, nonton TV, dan berbaring di tempat tidur. Sesak nafas juga tidak dipengaruhi cuaca. Pasien tidak pernah terbangun saat malam karena sesak, dan pasien juga hanya menggunakan 1 bantal saat pasien tidur. Bersamaan dengan itu pasien juga mengeluh mual yang mengakibatkan pasien tidak nafsu makan sejak 2 minggu SMRS. Bahkan 1 hari SMRS pasien sempat muntah 2x berisi cairan yang terasa asam. Pasien juga mengaku batuk dengan dahak berwarna putih kental sejak 1 minggu SMRS, namun dahak sulit untuk dikeluarkan oleh pasien. Sejak 1 tahun terakhir ini pasien terkadang merasa berdebar-debar secara tiba-tiba. Pasien tidak demam, pasien juga mengaku tidak pernah bengkak pada kaki.

• Selama 2 minggu keluhan, pasien tidak berobat ke dokter. Tidak ada penurunan berat badan beberapa waktu terakhir ini.

Riwayat penyakit dahulu

• Pasien sudah menderita darah tinggi (hipertensi) sejak tahun 1991 dan tidak rutin berobat ke dokter,bila pasien berobat biasanya mendapatkan obat yang pasien tidak ingat jenisnya.

• Riwayat DM (-), Asma (-), Alergi (-), Batuk lama / sakit paru (-)

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat Hipertensi (?), DM (-), penyakit jantung (-), asma (-)

Riwayat Kebiasaan

• Pasien mengaku memang sedikit makan beberapa tahun terakhir.

• Pasien mengaku saat muda merokok sampai 5 tahun terakhir. Pasien biasanya merokok sebanyak 2 bungkus per hari.

• Pasien juga mengaku saat muda suka mengkonsumsi minuman beralkohol. • Pasien tidak pernah berolahraga, sehari-hari pasien hanya di rumah saja.

(5)

III.PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 1/3/2011 pada jam 08.00 WIB di P. Sangeang

Keadaan umum

Kesadaran : compos mentis (GCS=15) Kesan sakit : sakit sedang

Cara berbaring:: aktif

Pasien tampak : tenang, menggigil (-), kejang (-), sesak (+), oedem (-) Habitus : piknikus

Status gizi : BB/TB2 = kg/( m)2 = kg/m2

Gizi kurang

Kulit : warna coklat, tidak anemis, tidak sianosis, tidak ikterik

Kelembaban cukup, suhu hangat, turgor baik, efluoresensi tidak terlihat

Tanda vital

Tekanan darah: 130/80 mmHg

Nadi : 98 kali per menit, isi cukup, iregular, equal

Pernapasan : 24 kali per menit, simetris kanan dan kiri, tipe abdominothorakal

Suhu : 36,4 OC

Pemeriksaan fisik

KEPALA : bentuk kepala normocephali, tidak ada deformitas, simetris Rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

MATA :

- Alis : warna hitam, distribusi merata, simetris

- Palpebra : tdak oedem, tidak cekung, tidak exoftalmus atau enoftalmus, tidak ektropion atau entropion, tidak ada hordeolum, tidak ada kalazion

- Bulu mata : tidak trikiasis atau distrikiasis

- Tekanan bola mata : normal

(6)

- Sklera : tidak ikterik, tidak ada pinguekula, pterigium (+), tidak ada bercak bitot

- Lensa : tidak keruh

- Pupil : bulat, tepi rata, isokor - Refleks cahaya langsung +/+, tak langsung +/+

HIDUNG :

- Bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum; lubang hidung simetris, tidak keluar secret ataupun darah dari hidung

- Tidak ada deviasi septum, mukosa hidung tidak pucat dan tidak hiperemi, concha tidak hiperemi dan tidak oedem dan tidak hipertrofi, tidak terdapat darah atau bekuan darah dalam lubang hidung

- Tidak ada nyeri tekan pada sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus maksilaris dan sinus sfenoidalis

MULUT

- Bibir : tidak ada deformitas, warna tidak pucat dan tidak sianosis, tidak tampak kering, pecah-pecah, sariawan, keilitis dan keilosis

- Gigi : ada karies M2 bawah kanan.

- Gusi : warna merah muda, tidak hiperemi

- Lidah : bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi, simetris, tidak tremor, bersih, pinggir lidah tidak hiperemi,

papil lidah tidak kasar dan tidak atrofi

- Palatum : tidak ada cleft, tidak ada benjolan, tidak ada tumor - Uvula : letak di tengah, tidak hiperemi, tidak membesar - Tonsil : T1/T1 tenang, tidak membesar, tidak hiperemi

- Faring : tidak hiperemi

- Produksi saliva cukup

TELINGA

- Bentuk normal, tidak ada deformitas, simetris, tidak ada benjolan atau tophi atau oedem

(7)

- Tidak ada nyeri tekan tragus, nyeri tekan mastoid, nyeri tarik aurikuler, tidak teraba benjolan

- Serumen sedikit, membran timpani intak

LEHER

- Bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi, tidak tampak benjolan, tidak tampak efluoresensi

- Trakea lurus ditengah; kelenjar tiroid tidak membesar; KGB tidak teraba membesar dan tidak ada nyeri tekan, tidak teraba benjolan; tidak ada kaku kuduk,

JVP 5-1 cmH2O TORAKS

- INSPEKSI : bentuk dada simetris saat statis dan dinamis; gerak pernapasan simetris kanan dan kiri, tidak ada retraksi sela iga; iktus kordis terlihat di 2 cm lateral ics V garis midclavicular sinistra; tidak terlihat benjolan, tidak tampak spider nevi, pelebaran atau penojolan vena kulit, tidak tampak efluoresensi; buah dada letaknya simetris, pada papila mammae tidak tampak keluar sekret, tidak tampak benjolan, tidak tampak pengerutan kulit, tidak ada ginekomastia

- PALPASI : gerak nafas simetris, VF simetris; ictus cordis teraba di 2 cm lateral

ics V garis midclavicularis sinistra; suhu hangat, kelembaban cukup,

tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan

- PERKUSI :

Hemitoraks kanan : batas paru-hepar : ICS VI garis midclavicular dextra

Batas kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra Hemitoraks kiri : batas paru lambung : ICS VI linea axilaris anterior

Batas kiri jantung : ICS V 2cm lateral dari linea

midclavikular sinistra

Batas atas jantung : ICS III linea sternalis sinistra - AUSKULTASI

Paru : SN vesikuler. Ronkhi(-/-),Wheezing (-/-)

(8)

ABDOMEN

- INSPEKSI : bentuk abdomen cekung, gerak nafas simetris tidak ada bagian yang tertinggal dan tipe pernapasan abdominothorakal; warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak tampak efluoresensi; tidak tampak gerakan peristaltik; tidak tampak pelebaran vena, tidak tampak roseola spot atau caput medusa; tidak terlihat smiling umbilicus

- PALPASI : teraba supel, tidak teraba benjolan, tidak ada defense muscular, nyeri tekan epigastrium (+), tidak ada undulasi; hepar tidak teraba; lien dbn, ballotemen (-)

- PERKUSI : timpani di seluruh lapang abdomen, ada nyeri tekan, tidak ada shifting dullness

- AUSKULTASI : bising usus (+) normal

PUNGGUNG

- INSPEKSI : vertebra lurus ditengah, tidak ada lordosis, kifosis, skoliosis, gibbus; bentuk thoraks simetris, pada gerak nafas tidak ada bagian yang tertinggal; tidak tampak benjolan, tidak tampak efloresensi kulit

- PALPASI : gerak nafas simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba benjolan

- PERKUSI : tidak ada nyeri costovertebra; batas bawah paru kanan setinggi thorakal 10, batas bawah paru kiri setinggi thorakal 11

- AUSKULTASI : SN vesikuler.Rh(-/-),Wh(-/-)

EKSTREMITAS

- ATAS :

INSPEKSI: tidak eritem, tidak terlihat efluoresensi kulit, tidak tremor PALPASI: tidak teraba oedem, reflex fisiologis +/+, reflex patologis

-/-- BAWAH :

INSPEKSI: tidak eritem, tidak terlihat efluoresensi kulit, tidak tremor PALPASI: tidak teraba oedem, reflex fisiologis +/+, reflex patologis

(9)

-/-PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Lab GDS = 112 g/dL SGOT/SGPT = 22/13 Ureum = 68 ↑ Kreatinin = 1,2 Na = 139 mmol/L K = 3,2 mmol/L Cl = 108 mmol/L Leukosit = 6600/µL Eritrosit = 4,04 juta/mm3 ↓ Hb = 12,8 g/dL Ht = 39% Elektrokardiogram

(10)

Irama : aritmia, QRS rate : 160x/menit,

• Aksis : deviasi aksis kiri

• Gelombang P irregular dan cepat

• PR interval 0,12 detik

• Kompleks QRS : • < 0,12 detik

(11)

• gelombang RSR’ di V1, V2, V3 • T inverted : AVL, V1, V2, V3

• Kesan: Atrial Fibrilasi rapid response, IRBBB, iskemia di anteroseptal wall

Foto Roentgen ( 28 Februari 2011)

• Inspirasi cukup, simetris • CTR ratio 55%

• Aorta : elongasi (+), kalsifikasi (+), dilatasi (-),

• Apeks normal

• Trakea terletak di tengah • Diafragma licin

(12)

• Tulang dan jaringan lunak normal

PEMERIKSAAN FOLLOW UP Tanggal 1 Maret 2011

S : nyeri perut (+)↓ , sesak (-), mual (-), lemes (+), nafsu makan ↑ sedikit, batuk (+) ↓, BAK merah

O:

• Keadaan umum: Tampak sakit ringan • Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah: 120/80 mmHg

Heart rate : 100x / menit, irreguler

• Leher : JVP 5-1 cmH20

• Pernapasan : 20x / menit

• Suhu : afebris

• Mata : konj pucat , sklera ikterik

-/-• Jantung : BJ I -II ↓, murmur (-), gallop (-)

• Paru : Vesikuler, ronki -/-, wh -/-

• Ekstremitas : akral hangat, edema -/-/-/-EKG:

Irama : aritmia, QRS rate : 110x/menit,

• Aksis : deviasi aksis kiri

• Gelombang P irregular

• PR interval 0,20 detik

• Kompleks QRS : • < 0,12 detik

(13)

• T inverted : V1

• Kesan: Atrial Fibrilasi normoresponse, IRBBB

A: Sindroma dispepsia dengan Atrial Fibrilasi dan IRBBB, HHD P: • RL 8 tpm • Digoxin 2 x 1 • Aldacton 1 x 25 mg • Simarc 1 x 1 • Lasix 1 x 1 amp • Cendantron 3 x 1 amp • Panso 2 x 1 amp • KSR 2 x 1 • Cough syr 3 x C1 • Pro USG abdomen

Tanggal 2 Februari 2011

S : nyeri perut (+)↓ , sesak (-), mual (-), lemes (+), nafsu makan ↑ , batuk (+) ↓, BAK masih merah ↓

O:

• Keadaan umum: Tampak sakit ringan • Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah: 100/80 mmHg

Heart rate : 72x / menit

• Pernapasan : 20x / menit

• Suhu : afebris

• Mata : konj pucat , sklera ikterik

-/-• Jantung : BJ I -II ↓, murmur (-), gallop (-)

• Paru : Vesikuler, ronki -/-, wh -/-

• Ekstremitas : akral hangat, edema -/-/-/-EKG:

(14)

• Aksis : deviasi aksis kiri • Gelombang P irregular • PR interval 0,20 detik • Kompleks QRS : • < 0,12 detik • gelombang RSR’ di V1, V2 • T inverted : V1

• Kesan: Atrial Fibrilasi rapid response, IRBBB USG Abdomen :

• Kesan : hepatomegali dengan kalsifikasi nodul di hepar

• Cor membesar

A: Sindroma dispepsia dengan HHD, Atrial Fibrilasi dan IRBBB P: Tirah baring posisi setengah tidur

• RL 8 tpm • Digoxin 1 x 1 • Captopril 3 x 12,5 mg • Aldacton 1 x 25 mg • Lasix 1 x 1 amp • Inpepsa 3 x 1 RESUME

• Pasien Tn.S, 93 tahun masuk UGD RSAL dengan keluhan sakit perut sejak 3 hari SMRS. Sakit perut dirasakan di daerah ulu hati sampai ke tengah. Sakit perut awalnya dirasakan pasien sejak 2 minggu SMRS dan hilang timbul, namun 3 hari terakhir ini sakit perut terasa semakin berat dan terasa terus menerus. Selain sakit perut, pasien juga mengeluh adanya sesak nafas yang semakin berat sejak 2 minggu SMRS. Sesak nafas ( rasa berat saat pasien bernapas) datang biasanya bila pasien sedang sakit perut. Sesak nafas tidak dipengaruhi kegiatan dan tidak dipengaruhi cuaca. Pasien tidak pernah terbangun saat malam karena sesak, dan pasien juga hanya menggunakan 1

(15)

bantal saat pasien tidur. Bersamaan dengan itu pasien juga mengeluh mual yang mengakibatkan pasien tidak nafsu makan sejak 2 minggu SMRS. Bahkan 1 hari SMRS pasien sempat muntah 2x berisi cairan yang terasa asam.. Pasien juga mengaku batuk dengan dahak berwarna putih kental sejak 1 minggu SMRS, namun dahak sulit untuk dikeluarkan oleh pasien. Sejak 1 tahun terakhir ini pasien terkadang merasa berdebar-debar secara tiba-tiba

• Riwayat hipertensi sejak tahun 1991 dan tidak terkontrol

• Riwayat merokok (+) dari muda sampai 5 tahun terakhir, sebanyak 2 bungkus per hari. Riwayat mengkonsumsi minuman beralkohol (+).

• Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan

Ureum = 68

K = 3,2 mmol/L Eritrosit = 4,04 juta/mm3 ↓Hb = 12,8 g/dL

Ht = 39%

• Roentgen Thorax : kardiomegali disertai elongasi aorta + kalsifikasi

• EKG : Fibrilasi rapid response, IRBBB, iskemia di anteroseptal wall

DIAGNOSIS KERJA - Sindroma Dispepsia - HHD

- RBBB

- Atrial Fibrilasi rapid response

DIAGNOSIS BANDING

Sindroma Dispepsia disertai HHD dengan Atrial Fibrilasi rapid response

PENATALAKSANAAN

• O2 2-3 liter/menit kanul nasal • RL 8 tpm

• Omeprazol 1 ampul • Impepsa syrup 3 x CI • Panso 3 x 1 amp

(16)

• Digoxin 2 x 1 amp • Captopril 1 x 12,5 mg • Bisoprolol 1x 2,5 mg • Furosemide 1x40 mg tab • Lasix 1 x 1 • Aldacton 1 x 25 mg • Simarc 1 x 1 PEMERIKSAAN ANJURAN - Kolesterol darah - ECHO PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad bonam

(17)

BAB II ANALISA KASUS

Pada pasien ini yang menyebabkan sindroma dyspepsia yaitu karena pasien sering telat makan dengan jumlah makan yang sedikit atau dapat dikatakan pola makan yang tidak teratur, sehingga pemasukan makanan menjadi kurang lalu lambung akan kosong. Kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat adanya gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

Sesak napas yang dirasakan pasien kemungkinan karena rasa begah akibat peningkatan produksi asam lambung yang berlebihan, namun bisa juga disebabkan oleh kardiomegali. Kardiomegali pada pasien ini disebabkan oleh hipertensi yang tidak terkontrol selama 10 tahun sehingga jantung dipaksa untuk memompa darah bertekanan tinggi. Jantung pun memberikan kompensasi berupa terjadinya hipertrofi dari ventrikel kiri. Hipertrofi dari ventrikel kiri serta hipertensi tidak terkontrol yang berkepanjangan ini lama kelamaan berpengaruh terhadap aorta (arcus aorta). Aorta pasien berkompensasi karena menerima darah dengan tekanan tinggi dari ventrikel kiri sehingga terjadi elongasi aorta. Semua hal ini tampak pada gambaran Roentgen pasien dimana ditemukan CTR yang > 50% yaitu 55%. Pada Roentgen juga didapatkan gambaran LVH serta elongasi aorta. Pada aorta tampak juga adanya sedikit kalsifikasi berupa gambaran radioopaque pada arcus aorta. Adanya perubahan struktur anatomi serta fisiologi dari jantung sebagai

(18)

Target Organ Damage ini menyimpulkan bahwa pasien menderita HHD (Hypertensive Heart Disease)

Mengenai keluhan rasa berdebar-debar yang sudah lama dirasakan pasien memperjelas adanya Atrial Fibrilasi pada hasil EKG pasien ini. Atrial Fibrilasi pada kasus ini disebabkan oleh hipertensis sistemik yang kronis sehingga terjadi fokus ektopik ganda atau daerah reentri multiple. Karena tidak ada depolarisasi uniform, tidak terbentuk gambaran gelombang P, melainkan defleksi yang disebut gelombang “f” yang bentuk dan iramanya sangat tidak teratur. Hantaran melalui nodus AV berlangsung sangat acak dan sebagian tidak dapat melalui nodus AV sehingga irama QRS tidak teratur pada gambaran EKG pasien.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA III.1 DEFINISI

Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “f” dengan frekuensi antara 350-650 permenit.3, 4, 5, 6, 7

Fibrilasi atrium dapat timbul dari fokus ektopik ganda atau daerah

reentri multiple. Aktivitas atrium sangat cepat, namun setiap rangsangan

listrik itu hanya mampu mendepolarisasi sangat sedikit miokardium atrium, sehingga sebenarnya tidak ada kontraksi atrium secara menyeluruh. Karena tidak ada depolarisasi uniform, tidak terbentuk gambaran gelombang P, melainkan defleksi yang disebut gelombang “f” yang bentuk dan iramanya sangat tidak teratur. Hantaran melalui nodus AV berlangsung sangat acak dan sebagian tidak dapat melalui nodus AV sehingga irama QRS tidak teratur. 5, 6

(19)

Prevalensi AF semakin meningkat bersamaan dengan peningkatan populasi usia lanjut dan insiden penyakit kardiovaskular. Pada umur dibawah 50 tahun prevalensi AF kurang dari 1% dan meningkat lebih dari 9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita. 1

AF merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap kejadian stroke emboli. Kejadian stroke iskemik pada pasien AF non valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibanding pasien tanpa AF. Pada studi Framingham resiko terjadinya stroke emboli 5,6 kali lebih banyak pada AF non valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada AF valvular dibandingkan dengan kontrol. 1

III.3 ETIOLOGI

AF mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien AF juga menderita penyakit jantung koroner. Walaupun hanya ±10% dari seluruh kejadian infark miokard akut yang mengalami AF, tetapi kejadian tersebut akan meningkatkan angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani operasi pintas koroner, sepertiganya mengalami episode AF terutama pada tiga hari pasca operasi. Walaupun sering menghilang secara spontan, AF pasca operatif tersebut akan memperpanjang lama tinggal di rumah sakit. 1,4

Sedangkan hubungan AF dengan penyakit kelainan katup sudah lama diketahui. Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya AF dan mempunyai resiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian AF ditemukan pada satu diantara lima pasien. AF juga dapat merupakan tampilan awal dari perikarditis akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain seperti sindroma Wolff Parkinson White dapat berhubungan dengan AF. Hal yang menguntungkan adalah apabila dilakukan tindakan ablasi pada jalur

(20)

aksesori ekstranodal yang menjadi penyebab pada sindroma ini, akan mengeliminasi AF pada 90% kasus. Aritmia lain yang berhubungan dengan AF misalnya takikardia atrial, AVNRT ( Atrio Ventricular Nodal

Reentrant Tachycardia ) dan bradiaritmia seperti sick sinus syndrome dan

gangguan fungsi sinus node lainnya. 1,4

AF juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik nonkardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik nonkardiak pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes melitus 10% dari pasien AF. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti penyakit paru obstruksif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3% pasien AF tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone AF. Lone AF ini dikatakan tidak berhubungan dengan resiko tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut resiko ini tetap akan meningkat. 1,4

Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan kejadian AF tersebut harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun kelainan diluar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan kejadian AF dibagi bersadarkan : 1,4

III.3.1 Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan AF :

♥ Penyakit Jantung Koroner

♥ Kardiomiopati Dilatasi

♥ Kardiomiopati Hipertrofik

♥ Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik

♥ Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome

(21)

♥ Perikarditis

III.3.2 Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF :

• Hipertensi sistemik

• Diabetes melitus

• Hipertiroidisme

• Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut

• Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien yang sensitive melalui peniggian tonus vagal atau adrenergik.

III.4 KLASIFIKASI

♥ Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari 3 :

• Primer : Bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia

• Sekunder : Bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sitemik yang dapat menimbulkan aritmia

♥ Berdasarkan waktu timbulnya AF serta kemungkinan keberhasilan

usaha konversi ke irama sinus 3 :

• Paroksismal :

Bila AF berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun

(22)

• Persisten :

Bila AF menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan

• Permanen :

Bila AF berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan AF tetap tidak berubah

♥ Dapat pula dibagi sebagai 3 :

• Akut  bila timbul kurang dari 48 jam

• Kronik  bila timbul lebih dari 48 jam

III.5 PATOFISIOLOGI

 Aktivasi fokal  fokus diawali biasanya dari daerah vena

pulmonalis

Multiple wavelet reentry  timbulnya gelombang yang menetap

dari depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. 1, 4

Gambar 2. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan

(23)

bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.2

III.6 DIAGNOSIS

AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya AF, penyakti yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas, sesak npas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. AF dapat mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurangpada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. 1, 4 , 7, 8

Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi :

Anamnesis :1

 Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lamanya

timbulnya ( episode pertama, paroksismal, persisten, permanen )

 Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah, sesak nafas terutama saat beraktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif

(24)

 Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari AF misalnya hipertiroid.

Pemeriksaan Fisik :1

 Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah

 Tekanan vena jugularis

 Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif

 Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung

 Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan

 Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif

Laboratorium : hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ),

enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung. 1

Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi

AF ), hipertrofi ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ), identifikasi adanya iskemia. 1

Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK,

kor pulmonal. 1

Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran

dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri. 1

(25)

Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode

pertama bila laju irama ventrikel sulit dikontrol. 1

Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari

kontrol laju irama jantung. 1

• Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi elektrofisiolagi. 1

Gambar 3. Sumber : www.withrop.com. Tahun 2009

III.7 PENATALAKSAAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan AF adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan AF perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada AF permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan. 1

(26)

III.7.1 Kardioversi

Pengembalian ke irama sinus pada AF akan mengurangi gejala, memperbaiki hemodinamik, menigkatkan kemampuan latihan, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan kardioversi elektrik. Resiko tromboemboli atau stroke emboli tidak berbeda antar kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian antikoagulan sama pada keduanya. 1, 13

Tabel 4. Klasifikasi Vaughan Williams Kerja Obat Aritmia 1 Tipe IA Disopiramid, Prokainamid, Kuinidin

Tipe IB Lidokain, Meksiletin

Tipe IC Flekainid, Moricizin, Propafenon Tipe II Penyekat beta ( contoh : Propanolol )

Tipe III Amiodaron, Bretilium, Dofetilid, Ibutilid, Sotalol

Tipe IV Antagonis kalsium ( contoh : Verapamil dan Diltiazem ) Sumber : Buku Ajar Penyakit Dalam. 2006

Pasien AF dengan hemodinamik yang stabil akibat laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek. 1, 12

III.7.2 Terapi Ablasi

Kateter ablasi merupakan pilihan terapi bagi orang-orang yang tidak dapat mentolerir obat-obatan atau bila gagal mempertahankan irama jantung normal. 10

(27)

Sebuah alat pacu jantung adalah alat yang mengangkut impuls listrik ke otot jantung untuk memepertahankan denyut jantung yang adekuat. Alat pacu jantung yang ditanamkan pada pasien dengan AF yang memiliki detak jantung yang lambat. Pada alat pacu jantung tersebut memiliki generator denyut dan penyalur yang mengirimkan impuls dari generator denyut ke otot jantung serta merasakan aktivitas listrik jantung. 10

III.7.4 Terapi Pembedahan

Pasien dengan AF kronis tidak berkurang dengan pengobatan atau pasien yang memiliki kondisi lain yang memerlukan operasi jantung dapat menjadi kandidat untuk terapi pembedahan. Selama prosedur Maze serangkaian potongan tepat dibuat dikanan dan kiri atrium untuk membatasi impuls listrik ke jalur yang ditetapkan untuk mencapai nodus AV. 10, 12

Pembedahan vena pulmonalis merupakan modifikasi dari prosedur Maze dimana ahli bedah menggunakan sumber energi alternatif untuk menciptakan lesi. Sumber energy alternative yang digunakan selama operasi vena pulmonalis meliputi radio frekuensi, kriotermi, microwave, laser. Tujuan dari keempat sumber energi tersebut adalah utnuk mengahasilkan lesi dan akhirnya jaringan parut untuk memblokir impuls listrik yang abnormal dan untuk memicu konduksi yang normal dari impuls listrik melalui jalur yang seharusnya. 10

III.7.5 Pengobatan Profilaktik dengan Obat Antiaritmia Untuk Mencegah Rekurensi

AF yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah satu prediktor terjadinya rekurensi. Obat antiartimia yang sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus : 1

(28)

Tabel 6. Dosis Obat Untuk Mempertahankan Irama Sinus Pada FA

Obat Dosis

Harian Efek Samping

Amiodaron 100-400 mg Fotosensitivitas, toksikosis paru, polineuropati, kel GI, bradikardia, torsade de pointes (jarang)

Disopyrami de

400-750 mg Torsade de pointes, gagal jantung, glaucoma, retensi urin, mulut kering

Dofetilide 500-1000 mg Torsade de pointes

Flecainide 200-300 mg Takikardia ventricular, gagal jantung kongestif, konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial)

Procainami

de 1000-4000 mg Torsade de pointes, lupus like syndrome, gejala GI Propafenon 450-900 mg Takikardi ventricular, gagal jantung kongestif,

konduksi nodal AV berubah (konversi menjadi fluter atrial)

Quinidine 600-1500 mg Torsade de pointes, keluhan sal cerna, konduksi nodal AV berubah

Sotalol 240-320 mg Torsade de pointes, gagal jantung kongestif, bradikardia, penyakit paru bronkospastik yang merupakan eksaserbasi dari obstruksi kronik, bradikardia

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006

III.7.6 Pengontrolan Laju Irama Ventrikel

Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium ( verapamil, diltiazem ) dan penyekat beta. Laju irama yang dianggap terkontrol adalah di antara 60-80 x/menit pada saat istirahat dan 90-115 x/menit pada saat aktivitas. 1

III.8 ALGORITME PENATALAKSANAAN AF

Dalam penatalaksanaan AF perlu diketahui apakah AF tersebut paroksismal, persisten atau permanen. Hal tersebut penting untuk penatalaksanaan selanjutnya apakah perlu dilakukan kardioversi atau cukup dengan pengendalian laju irama ventrikel. 1

(29)

Gambar 6. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006

III.8.2 Paroksismal Rekuren

Gambar 7. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006

(30)

Gambar 8. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006

III.9 KOMPLIKASI

AF dapat mengakibatkan terjadi beberapa komplikasi yang dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi AF disertai pre-eksitasi ventrikular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak. Pada keadaan seperi ini ablasi dengan radiofrekuensi sangat dianjurkan. AF yang disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan keadaan obstruksi jalur keluar dari ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis. Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang cepat ini bila tidak terkontrol dapat menyebabkan kardiomiopati akibat takikardia persisten. Diantara komplikasi yang paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama stroke. 1,4

(31)

Tabel 7. Sumber : http://emedicine.medscape.com. 2009

Beberapa keadaan yang berhubungan dengan resiko tinggi terjadinya stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial adalah :

 Usia > 65 tahun  Hipertensi

 Penyakit Jantung Reumatik

 Riwayat stroke sebelumnya atau TIA ( Transient Ischemic Attack )  Diabetes melitus

 Gagal Jantung Kongestif  Karakteristik gambaran TEE :

 Terdapat gambaran kontras echo spontan di atrium kiri  Left atrial appendage vilowcity < 20 cm/dt

 Atheroma aortic kompleks

Risk Factors Relative

Risk

Prior stroke or TIA 2.5

History of hypertension 1.6

Heart failure and/or reduced left ventricular function 1.4

Advanced age 1.4

Diabetes 1.7

(32)

III.10 PROGNOSIS

Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuuan untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan antikoagulan.9

Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal jantung saat terjadi AF.

(33)

BAB IV KESIMPULAN

Fibrilasi atrial ( AF ) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.

Secara klinis fibrilasi atrial praktis tidak dapat dideteksi. Fibrilasi atrium diketahui dari gambaran elektrokardiogram ( EKG ). Pemeriksaan EKG dapat dilakukan pada saat menjalani general check-up maupun pada saat sakit tertentu yang prosedur pemeriksaannya memerlukan pemeriksaan EKG. Pada setiap penderita fibrilasi atrial perlu diberitahukan tentang kondisi jantungnya sekaligus program pengobatan dan tujuan program tadi.

Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan AF :

Penyakit Jantung Koroner, Kardiomiopati Dilatasi, Kardiomiopati Hipertrofik, Penyakit Katup Jantung, Aritmia jantung, Perikarditis

(34)

Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF :

Hipertensi sistemik, Diabetes mellitus, Hipertiroidisme, Penyakit paru, Neurogenik

Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Laboratorium, Pemeriksaan EKG , Foto Rontgen Toraks, Ekokardiografi , Pemeriksaan Fungsi Tiroid, Uji latih

PENATALAKSAAN

Setiap usaha dan cara harus dilakukan untuk mencapai efektifitas terapi, terutama pada pasien-pasien yang mengalami gejala yang berhubungan dengan fibrilasi atrium. Pemantauan holter selama 24 jam atau tes treatmil dapat menyokong evaluasi variabilitas jantung. Terapi terkontrol dapat dilihat dari hate rate 60-80 beat/menit pada saat istirahat dan 90-150 beat/menit pada latuhan sedang. Untuk cara mencapai ini dapat dilakukan upaya medikasi bloking AV node pada pasien-pasien dengan riwayat fibrilasi atrium. Beta blocker oral, kalsium channel blocker non dihiropiridin dan digoksin biasanya efektif. Digoksin efektif pada pasien terutama dengan gagal jantung namun dibutuhkan monitoring ketat dari kadar obat dan fungsi ginjal. Pada keberadaan kardiomiopati takikardi atau rate ventricular yang tidak adekuat selain obat, dapat dipertimbangkan pemasangan implant AV node dan pacemaker. Kombinasi dari pengobatan, contohnya beta blocker dan digoksin lebih baik dibandingkan dengan pengobatan obat tunggal pada beberapa pasien. Amilodaron dapat mengontrol rate ventrikel tapi disatu sisi obat antiaritmia dapat mencetuskan fibrilasi atrium dalam bentuk flutter atrial

(35)

lambat yang dapat tercetus 1:1 dari atrium ke ventrikel. Terapi dengan obat kelas IC dapat menjaga ke efektifan kontrol AV node sangat penting pada banyak pasien. 9

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al . 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FKUI. Jakarta, Hal 1537-42

2. Guyton, Arthur C and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta, Hal 151-202

3. Rani A. 2007. Panduan Pelayanan Medik Departemen Penyakit

Dalam. RSUP DR Cipto Mangunkusumo. Jakarta, Hal 64-5

4. Davey Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Erlangga. Jakarta. Hal 162-4

(36)

5. Ismudiati, Lily R. 1996. Buku Ajar Kardiologi. FKUI. Jakarta. Hal 277-9

6. Gray H. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Erlangga. Jakarta. Hal 169-171

7. Alpert, Joseph S. 1981. Manual Of Coronary Care. Second editions. HAL. USA. Hal 51-3

8. Mansjoer A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi ketiga. FKUI. Jakarta. Hal 459-71

9. Rosenthal, Lawrence, Mcmanus David D. Atrial fibrillation. Tersedia di http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 12 Desember 2009.

10.Stein David W, Shuman Tracy C. Atrial Fibrillation. Tersedia di

http://www.emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 1 Desember 2009

11.Sovari Ali A, Kocheril Abraham G. Fibrilasi Atrium, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Tersedia di http://www.prematuredoctor.com. Diakses tanggal 15 November 2009.

12. Syafei Hendarmin. Kardiovarsi Fibrilasi Atrium Pasca Bedah Katup Mitral dan Valvuloplasti Balon Mitral. Tersedia di

http://www.perki.com. Diakses tanggal 15 November 2009.

13. Gilang LYH. Amiodaron Harapan Penderita Fibrilasi Atrium. Tersedia di http://www.pdpersi.co.id. Diakses tanggal 15 November 2009.

(37)

14.Anonim. Atrial Fibrillation. Tersedia di http://www.winthrop.org. Diakses tanggal 15 November 2009.

15.Anonim. Cardiac Electrophysiology. Tersedia di

http://www.cardiology.htm. Diakses tanggal 15 November 2009.

16.Nattel Stanley. Diagram Of Electrical Activity During Atrial

Fibrillation. Tersedia di http://www.nature.com. Diakses tanggal 15 November 2009.

Gambar

Gambar 1. Sumber : http://www.nature.com. 2009
Foto Roentgen ( 28 Februari 2011)
Gambar 2. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006
Gambar 3. Sumber : www.withrop.com. Tahun 2009
+5

Referensi

Dokumen terkait

Atrial Fibrilasi sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung karena kedua penyakit tersebut memiliki patofisiologi dan faktor risiko yang mirip.. Gagal

Diuretik adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada gagal jantung berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga

Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi atau rekurensi FA adalah berat badan, durasi FA yang lebih lama (&gt;1-2 tahun), gagal jantung dengan penurunan

Analisis multivariat menunjukkan hubungan yang bermakna antara variabel hipertensi, diabetes, obesitas, gagal jantung kongestif, dilatasi atrium kiri, usia, dan skor mNHISS

Pada pasien usia lanjut, atau dengan riwayat kelainan jantung sebelumnya, timbulnya fibrilasi atrial seringkali mencetuskan gagal jantung2. 5,6,8

Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel

Penyakit jantung yang berisiko besar menyebabkan penderita stroke meninggal antara lain aritmia jantung seperti fibrasi atrium, infark miokard, gagal jantung Terbentuknya

Salah satu faktor risiko stroke non hemoragik adalah penyakit jantung, terutama penyakit yang disebut atrial fibrilasi, yakni penyakit jantung