• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PENGALAMAN DALAM MEMILIH STRATEGI COPING TERHADAP EMOSI MALU DAN EMOSI BERSALAH ANTARA GENERASI TUA DAN GENERASI MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN PENGALAMAN DALAM MEMILIH STRATEGI COPING TERHADAP EMOSI MALU DAN EMOSI BERSALAH ANTARA GENERASI TUA DAN GENERASI MUDA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PENGALAMAN DALAM MEMILIH STRATEGI COPING

TERHADAP EMOSI MALU DAN EMOSI BERSALAH ANTARA GENERASI

TUA DAN GENERASI MUDA

Azza Maulydia Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan pemilihan strategi coping pada generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi malu dan emosi bersalah. Dalam mengukur coping, digunakan alat ukur The Brief COPE oleh Carver (1997). Jumlah sampel penelitian berjumlah 126 orang dengan rincian 63 generasi tua dan 63 generasi muda. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan pengalaman dalam memilih strategi coping yang signifikan antara generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi malu dan emosi bersalah. Adapun berdasarkan analisis rata-rata jenis coping, generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi malu maupun bersalah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan problem-focused coping dibandingkan emotion-focused coping. Pada coping emosi malu, terdapat perbedaan yang signifikan pada subskala self-distraction. Pada coping emosi bersalah, terdapat perbedaan yang signifikan pada subskala seeking of instrumental support, self-distraction, humor dan religion.

Kata kunci : Emosi Malu, Emosi Bersalah, Coping, Problem-focused, Emotion-focused, Generasi Tua, Generasi Muda.

Pendahuluan

Indonesia kini telah masuk ke dalam millenium ketiga, dimana era globalisasi telah berlangsung. Semakin majunya zaman membuat budaya luar masuk dan membawa pengaruh besar bagi masyarakat Indonesia, sehingga budaya Indonesia sudah bercampur dengan budaya-budaya dari luar. Teknologi yang canggih dan didukung oleh kuatnya pengaruh media massa seperti adanya internet yang dapat diakses dengan mudah menjadi salah satu contoh majunya zaman. Namun, majunya zaman ini diikuti dengan

(2)

merosotnya nilai-nilai moral. Semenjak akhir tahun 90-an Indonesia dihadapkan dengan peningkatan kasus-kasus pelanggaran moral yang dilakukan oleh masyarakat, mulai dari korupsi, persceraian, kehamilan tak diinginkan dan lain-lain. Di artikel kompas, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli menyatakan bahwa pada periode 2011, Polri telah menangani 766 kasus korupsi dan sebanyak 885 kasus hingga bulan September 2012 (Kompas, 2013). Kasus lainnya adalah peningkatan angka perceraian, dimana menurut data yang didapat dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 285.184 kasus perceraian, yang mengalami peningkatan hingga lebih dari 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya (Ekspos news, 2012). Kasus pelanggaran moral lainnya yang meningkat adalah kehamilan tak diinginkan. Di Pulau Dewata terjadi 500 kasus selama September 2008 hingga September 2009, atau rata-rata 41 kasus dalam satu bulan. Jika dilihat dari segi umur, remaja yang mengalami hamil tak diinginkan paling rendah 16 tahun dan maksimal 20 tahun (Kompas, 2009).

Majunya zaman juga telah merubah respon emosi individu. Tindakan korupsi, perceraian, dan kehamilan diluar nikah tidak lagi memicu emosi malu maupun bersalah, justru tindakan tersebut semakin meningkat. Masyarakat sekitar pun tidak lagi memberikan sanksi pada individu yang melakukan tindakan pelanggaran. Menurut presiden Susilo Bambang Yudoyono pada pidatonya saat perayaan imlek (dalam Sekertariat kabinet RI, 2013), rasa malu masyarakat Indonesia terasa memudar digantikan oleh nilai-nilai yang materialistik, kepentingan sesaat, dan jalan pintas. Masih terjadinya kasus korupsi, aksi kekerasan, fitnah, caci maki, dan berbagai pemberitaan yang menunjukkan keburukan, adalah tanda merosotnya rasa malu dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Menurunnya rasa malu pada masyarakat Indonesia, bertentangan dengan pernyataan Su (2011) dimana Indonesia dinyatakan sebagai negara yang memiliki budaya malu (shame culture). Budaya malu adalah budaya dimana “hormat”, “reputasi”, “nama baik”, “status”, dan “gengsi” sangat ditekankan (Bertens, 2007). Su (2011), mengatakan bahwa emosi malu lebih banyak muncul di negara-negara timur yang masyarakatnya bersifat kolektif. Indonesia merupakan salah satu negara yang masyarakatnya bersifat kolektif, seperti negara Cina, India dan Jepang. Salah satu ciri dari masyarakat kolektif adalah individu mendefinisikan diri dalam kelompok (Kim, 1994). Budaya kolektif membuat individu lebih mementingkan tujuan kelompok dibandingkan tujuan diri sendiri dan tingkah

(3)

laku individu diarahkan untuk mencapai tujuan kelompok (Triandis, 1988). Oleh karena itu, individu bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Berbeda dengan negara timur, di Negara bagian barat emosi bersalah lebih dikembangkan. Negara barat yang mengembangkan emosi bersalah merupakan negara yang bersifat individualis. Pada negara individualis, kebebasan menjadi hal penting, individu cenderung mengutamakan kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan sosial dan mendahulukan tujuan individu dibandingkan tujuan kelompok. Adapun negara individualis seperti Kanada dan Amerika Serikat masyarakanya menekankan pada budaya bersalah (guilt culture) (Su, 2011). Budaya bersalah adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti “dosa”, “kebersalahan”, dan sebagainya sangat dipentingkan (Bertens, 2007). Sanksi yang didapatkan individu yang melanggar moral tidak datang dari luar, melainkan dari diri sendiri.

Menurut Wakil Sekjen PB Nadhlatul Ulama, Abdul Mun’im, (dalam Yahoo! News Indonesia, 2012), Indonesia kini sudah mengadopsi budaya individualis. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, masyarakat dengan budaya individualis cenderung menunjukkan emosi bersalah dibandingkan emosi malu. Menurunnya rasa malu dan budaya malu di Indonesia menjadi salah satu pertanyaan. Apakah rasa malu sudah mulai hilang ataukah akan berganti menjadi rasa bersalah seperti pada masyarakat berbudaya individualis. Menurut Velayutham (2003), krisis kepemimpinan di Asia yang terjadi sebelum tahun 200 disebabkan oleh belum berkembangnya emosi bersalah, sedangkan emosi malu telah menurun. Emosi bersalah adalah emosi negatif yang dialami individu saat ia gagal memenuhi aturan sosial (Tangney, 1999; Tilghman-Osborne, Cole, & Felton, 2010; Tracy & Robins, 2004). Emosi bersalah memunculkan keinginan untuk menebus kesalahan, meminta maaf dan menghukum diri sendiri (Fessler, 2004). Adapun emosi malu adalah emosi negatif yang individu alami saat ia gagal untuk memenuhi aturan sosial yang ia internalisasi, termasuk aturan moral, kemampuan atau estetika (Tangney, 1999; Tracy & Robins, 2004). Individu yang mengalami emosi malu cenderung berharap untuk tidak lihat oleh orang lain, menghindari tatapan, menghindar dan bersembunyi (Fessler, 2004).

Emosi malu dan bersalah dibentuk secara sosial. Sosialisasi dan orang lain (perceived others) saling berhubungan dalam mempengaruhi berkembangnya dan juga dipengaruhi oleh emosi ini. Penelitian McDaniel (2007) dan Nan (2007) membuktikan

(4)

bahwa faktor lingkungan, yaitu kehidupan psikologis dalam keluarga dan tokoh yang signifikan seperti guru, tokoh agama berperan dalam pembentukan emosi moral, terutama emosi malu dan bersalah. Oleh karena itu, akan terdapat perbedaan situasi dan hal yang mempengaruhi perbedaan munculnya emosi malu dan bersalah yang dialami antar individu. Misalnya di Jepang, emosi bersalah muncul saat individu gagal menjalankan tanggung jawab atau gagal mencapai tujuan (De Vos, 1974; Lebra, 1988, dalam Su, 2011). Berbeda dengan di Indonesia, setiap daerahnya memiliki lingkungan dan norma yang berbeda-beda. Pada budaya Jawa, emosi malu lebih ditekankan dalam hubungan interpersonal, misalnya emosi malu akan muncul saat individu salah berbicara di depan umum dan saat individu menyakiti perasaan orang lain (Breugelmans, 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa budaya sangat mempengaruhi pengalaman emosi malu dan bersalah. Peningkatan kasus kejahatan yang telah dipaparkan sebelumnya juga menjadi bukti bahwa terdapat perbedaan budaya zaman dahulu dan zaman kini. Perbedaan budaya tersebut akan menyebabkan pengalaman emosi malu dan emosi bersalah yang dirasakan masyarakat zaman dahulu dan zaman kini akan berbeda. Oleh karena itu, peneliti meyakini bahwa terdapat perbedaan pengalaman emosi malu dan bersalah pada generasi tua dan muda.

Saat seseorang merasa malu maupun bersalah dan emosi tersebut dinilai menjadi tekanan atau masalah bagi mereka, maka orang tersebut akan melakukan sesuatu sebagai reaksi. Reaksi saat menghadapi emosi malu dan bersalah tersebut menjadi bentuk coping. Coping merupakan tingkah laku dan usaha kognitif yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan eksternal dan/atau internal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya dari seseorang (Lazarus dan Folkman , 1984). Pada situasi ini, emosi malu atau emosi bersalah yang dirasakan dianggap memberikan beban pada individu sehingga memicu munculnya coping. Pada individu yang mengalami emosi malu, strategi coping yang umum dimunculkan adalah avoidance coping (Lozinski, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Shepherd & Dickerson (2001) dan Yi & Kanetkar (2010) yang dilakukan pada penjudi menunjukkan emosi malu yang ditimbulkan dari kekalahan saat berjudi cenderung memunculkan avoidance coping, seperti wishful thinking, denial, mental disclosure of loss dan non-disclosure. Selain itu, teknik coping dengan cara mencari dukungan sosial akan efektif saat mengalami emosi malu jika masalah yang dihadapi menyangkut well being orang lain (Lazarus, 1991 ; Yi & Kanetkar, 2012). Jika

(5)

masalah yang dihadapi menyangkut tujuan individu sendiri, maka coping dengan mencari dukungan sosial akan dihindari (Lazarus, 1991). Berbeda dengan emosi malu, emosi bersalah berkaitan dengan problem focused strategy jika diiringi dengan tingkah laku action tendency yang benar seperti berusaha meminta maaf dan memperbaiki kesalahan (Lozinski, 2011). Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya, Lazarus (1991) berpendapat bahwa emotion focused coping baik untuk mengatasi emosi bersalah. Misalnya dengan menghindari pikiran mengenai pihak yang dirugikan. Teknik coping lainnya adalah dengan cara menyangkal bahwa individu bertanggung jawab atas kejadian yang dialami dan dengan memproyeksikan kesalahan kepada orang lain (Lazarus, 1991).

Faktor budaya seperti kepercayaan, norma sosial, dan nilai tidak hanya mempengaruhi pengalaman emosi malu dan emosi bersalah, tetapi juga mempengaruhi respon individu terhadap pengalaman tersebut (Su, 2011), sehingga perbedaan juga muncul dalam pemilihan strategi coping yang digunakan antara generasi tua dan generasi muda terhadap emosi malu dan emosi bersalah. Generasi tua merupakan sekelompok orang yang memiliki usia 65 tahun ke atas. Generasi muda merupakan sekelompok orang yang memiliki usia 18 hingga 40 tahun (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Vaillant (1997; dalam Aldwin & Levenson, 2001) menyatakan bahwa coping membaik seiring bertambahnya usia. Dewasa muda cenderung menggunakan coping yang tidak dewasa dan defensif, kemudian jika ia sudah memasuki dewasa pertengahan maka coping-nya menjadi lebih dewasa dan adaptif. McCrae (1982; dalam Aldwin & Levenson, 2001) menemukan dewasa tua lebih jarang menggunakan strategi coping menghindar dari masalah dan kekerasan. Dewasa tua cenderung menggunakan strategi problem focused coping, akan tetapi mereka lebih baik saat menggunakan emotion focused coping saat ia merasa penggunaan problem focused coping akan berujung sia-sia (Papalia, Olds & Feldman, 2009).

Penelitian mengenai emosi malu dan bersalah di Indonesia sudah ada, akan tetapi tidak ada yang mengaitkannya dengan coping. Penelitian dalam ranah coping terhadap emosi malu dan bersalah lebih banyak terpusat pada subjek yang mengalami mengalami eating disorder, adiksi judi dan adiksi lainnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, dalam penelitian ini akan diteliti mengenai perbedaan pengalaman dalam memilih strategi coping terhadap emosi malu dan emosi bersalah antara generasi tua dan generasi muda yang bertempat tinggal di wilayah Jabodetabek. Generasi tua yang menjadi sampel

(6)

berusia antara 65 hingga 75 tahun dan generasi muda berusia antara 25 hingga 30 tahun. Peneliti akan melakukan pengukuran secara kuantitatif menggunakan alat ukur The Brief COPE oleh Carver (1997).

Metode Penelitian Variabel Penelitian, Partisipan Penelitian, dan Prosedur

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini coping, generasi tua dan generasi muda. Sampel dalam penelitian ini sejumlah 63 generasi tua dan 63 generasi muda yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling, dimana peneliti memilih sampel berdasarkan kenyamanan dalam menjangkau populasi (Kumar, 2005), dan snowball sampling, dimana peneliti memilih sampel dengan menggunakan jaringan relasi yang dimiliki oleh peneliti (Kumar, 2005). Partisipan selanjutnya diminta untuk mengisi kuesioner penelitian dalam bentuk kuesioner tertulis dan e-mail.

Pengukuran

Pengukuran coping pada penelitian ini menggunakan alat ukur The Brief COPE oleh Carver (1997). Alat ukur ini merupakan adaptasi dari alat ukur COPE yang dibuat oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989). Tujuan alat ukur ini adalah untuk melihat cara individu dalam mengatasi masalah, mengukur respon coping yang penting dan potensial dengan cepat. Alat ukur ini terdiri dari 28 item yang mengukur 14 konsep reaksi coping yang berbeda. Setiap item dalam kuesioner dikur melalui lima pilihan jawaban yaitu “tidak pernah” yang memiliki nilai 0, “jarang” yang memiliki skor 1, “kadang-kadang” yang memiliki skor 2, “sering” yang memiliki skor 3, dan “selalu” yang memiliki skor 4.

Metode Analisis Data

Data-data dari kuesioner yang kembali kemudian diskor sesuai dengan teknik skoring yang sudah ditentukan. Setelah itu, data diolah dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan teknik-teknik: 1) statistika deskriptif, untuk melihat gambaran umum karakteristik sampel penelitian berdasarkan frekuensi, mean, dan persentase skor yang didapatkan oleh individu. 2) Independent Sample t-test Teknik

(7)

digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean emosi malu, emosi bersalah, dan coping ditinjau dari usia.

Hasil Penelitian

Analisis ditinjau berdasarkan perbedaan coping, strategi coping, dan subskala coping antara generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi malu dan juga emosi bersalah.

Tabel 4.10 Perbedaan Coping antara Generasi Tua dan Generasi Muda yang Mengalami Emosi Malu

Generasi N Mean SD Mean

Difference t df Sig

Tua 63 28.71 6.546 0.571

0.564 124 0.574 Muda 63 29.29 4.682 0.571

Perhitungan menggunakan independent sample t-test dilakukan untuk melihat perbedaan pengalaman pemilihan strategi coping pada generasi tua dan muda yang mengalami emosi malu. Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat dilihat nilai signifikansi sebesar 0,574. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada antara generasi tua dan generasi muda dalam pengalaman pemilihan strategi coping saat mengalami emosi malu.

Tabel 4.11 Perbedaan Jenis Coping antara Generasi Tua dan Generasi Muda yang Mengalami Emosi Malu

Generasi Jenis Coping Mean SD t df Sig Problem Focused Tua 11.68 2.299 .577 124 .565 Muda 11.92 2.330 Emotion Focused Tua 17.03 4.977 .444 124 .658 Muda 17.37 3.269

Berdasarkan tabel 4.11 di atas dapat dilihat nilai signifikansi sebesar 0,565 dalam pemilihan strategi problem-focused coping dan nilai signifikansi sebesar 0,658 dalam pemilihan strategi emotion-focused coping saat mengalami emosi malu. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada generasi tua dan

(8)

generasi muda dalam pemilihan strategi problem-focused coping dan emotion-focused coping saat mengalami emosi malu.

Tabel 4.12 Perbedaan Subskala Coping Emosi Malu pada Generasi Tua dan Muda

**Sig. LoS <0,05

Berdasarkan tabel 4.12 di atas, jika nilai coping ditinjau berdasarkan subskala, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara subskala self-distraction pada generasi tua dan generasi muda dalam pemilihan coping saat mengalami emosi malu dengan nilai signifikansi 0,004.

Jenis

Coping Subskala Generasi Mean SD t df Sig

Problem- Focused Coping

Active Coping Tua 3.13 .852 1.198 124 .233

Muda 2.94 .931 Seeking of instrumental support Tua 2.35 1.166 .693 124 .490 Muda 2.49 1.148 Behavioral disengagement Tua 2.17 1.397 1.365 115.620 .175 Muda 2.48 1.060 Positive reframing Tua .97 1.015 .617 124 .538 Muda 1.08 1.005 Planning Tua 3.06 .914 .788 124 .432 Muda 2.94 .896 Emotion- Focused Coping Venting Tua 1.86 1.176 .260 113.488 .796 Muda 1.81 .859 Self-distraction Tua 1.95 1.156 2.907 124 .004** Muda 2.49 .914 Denial Tua 1.33 1.205 .948 121.573 .345 Muda 1.52 1.045 Use of emotional support Tua 2.37 1.286 .532 124 .596 Muda 2.25 1.047 Humor Tua 1.62 1.263 1.940 124 .055 Muda 2.03 1.121 Acceptance Tua 3.03 .897 .419 124 .676 Muda 2.97 .803 Religion Tua 2.11 1.309 1.565 119.254 .120 Muda 1.78 1.069 Self-blame Tua 2.76 1.073 1.375 124 .171 Muda 2.51 .998

(9)

Tabel 4.13 Perbedaan Coping antara Generasi Tua dan Generasi Muda yang Mengalami Emosi Bersalah

Generasi N Mean SD Difference Mean t df Sig Tua 63 28.97 6.375 1.413

1.387 124 0.168 Muda 63 30.38 4.969 1.413

Pada perhitungan untuk melihat perbedaan antara generasi tua dan generasi muda dalam pengalaman coping saat mengalami emosi bersalah, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,168. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada generasi tua dan generasi muda dalam pemilihan strategi coping saat mengalami emosi bersalah.

Tabel 4.14 Perbedaan Jenis Coping antara Generasi Tua dan Generasi Muda yang Mengalami Emosi Bersalah

Generasi Jenis Coping Mean SD t df Sig Problem Focused Tua 11.65 2.713 .976 124 .331 Muda 12.08 2.187 Emotion Focused Tua 17.32 4.655 1.334 118.66 1 .185 Muda 18.30 3.554

Pada perhitungan untuk melihat perbedaan antara generasi tua dan generasi muda dalam pengalaman jenis coping saat mengalami emosi bersalah, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,33 pada jenis problem-focused coping dan 0,185 pada jenis emotion-focused coping. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada generasi tua dan generasi muda dalam pemilihan jenis problem-focused coping dan emotion-focused coping saat mengalami emosi bersalah.

(10)

Tabel 4.15 Perbedaan Dimensi Coping Emosi Bersalah pada Generasi Tua dan Muda

**Sig. LoS <0,05

Berdasarkan tabel 4.15 di atas, jika perbedaan coping dilihat berdasarkan subskala jenis problem-focused coping, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara subskala seeking of instrumental support antara generasi dan generasi muda dengan nilai signifikansi 0,003. Adapun berdasarkan perhitungan perbedaan subskala jenis emotion-focused coping, subskala self-distraction memiliki nilai signifikansi 0,015, subskala humor memiliki nilai signifikansi 0,024 dan subskala religion memiliki nilai signifikansi 0,001.

Jenis

Coping Subskala Generasi Mean SD t df Sig

Problem- Focused Coping

Active Coping Tua 3.38 .705 1.283 124 .202

Muda 3.22 .683 Seeking of instrumental support Tua 2.05 1.099 3.046 124 .003** Muda 2.60 .943 Behavioral disengagement Tua 2.03 1.356 1.375 124 .172 Muda 2.33 1.092 Positive reframing Tua 1.29 1.313 1.584 109.561 .116 Muda .97 .897 Planning Tua 2.90 1.103 .265 124 .792 Muda 2.95 .906 Emotion- Focused Coping Venting Tua 2.24 1.201 1.743 124 .084 Muda 2.57 .928 Self-distraction Tua 1.65 1.272 2.458 121.908 .015** Muda 2.17 1.115 Denial Tua 1.29 1.197 .836 124 .405 Muda 1.46 1.148 Use of emotional support Tua 2.19 1.306 .303 117.680 .763 Muda 2.25 1.031 Humor Tua .94 1.203 2.289 124 .024** Muda 1.41 1.131 Acceptance Tua 3.05 1.099 .754 124 .452 Muda 2.90 1.027 Religion Tua 3.68 .692 3.332 119.026 .001** Muda 3.22 .851 Self-blame Tua 2.29 1.069 .086 124 .932 Muda 2.30 1.010

(11)

Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pemilihan subskala coping self-distraction, humor, dan religion antara generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi bersalah.

Diskusi

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengalaman dalam memilih strategi coping terhadap emosi malu dan emosi bersalah antara generasi tua dan generasi muda. Hasil ini secara tidak langsung mendukung pandangan bahwa perubahan coping relatif stabil seiring bertambahnya usia (Aldwin, 2007). Tidak banyak penelitian yang menunjukan perbedaan jenis coping yang digunakan yang dihubungkan dengan usia, sama halnya dengan coping terhadap emosi malu dan bersalah. Meskipun begitu telah banyak penelitian yang menunjukan bahwa emosi malu dan bersalah dihayati berbeda sesuai dengan budaya yang dianut (Su, 2011). Meskipun budaya yang dianut masyarakat Indonesia telah berubah, tidak terlihat adanya perbedaan pemilihan strategi coping pada generasi tua dan muda. Hal tersebut bisa saja disebabkan karena generasi tua telah beradaptasi pada perubahan norma budaya yang dianut generasi muda saat ini dan mungkin memang tidak ada pengaruh langsung dari perbedaan budaya yang dianut generasi tua dan muda terhadap coping dari emosi malu dan bersalah.

Hal lain yang dapat menjelaskan tidak adanya perbedaan pemilihan coping antara generasi tua dan generasi muda adalah penurunan fungsi memori pada dewasa tua.. Diestimasi 1 dari 5 orang berumur di atas 70 tahun memiliki penurunan fungsi memori serupa dengan demensia (Plassman, 2008, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Hal yang biasanya terjadi karena penurunan fungsi memori adalah sulitnya menyebutkan kata, penyebutan nama benda, salah pengejaan, dan lain-lain. Adapun pengetahuan kata-kata dari dewasa tua tetap ada, yang mengalami penurunan adalah proses retrieval kata (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Penurunan fungsi memori ini dapat mempengaruhi dewasa tua saat mengisi alat ukur karena mereka tidak dapat membayangkan situasi yang menimbulkan emosi malu dan emosi bersalah bagi mereka.

Berdasarkan analisis subskala self-distraction coping terhadap emosi malu, didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara generasi tua dan muda dimana generasi muda memiliki nilai yang lebih tinggi. Adapun pada subskala self-distraction, dan humor dalam coping terhadap emosi malu, terdapat perbedaan yang

(12)

signifikan antara generasi tua dan muda dimana denerasi muda memiliki nilai yang lebih tinggi. Kedua hasil ini mendukung pernyataan dimana dewasa muda lebih cenderung menggunakan coping yang “immature” (Vaillant, 1977 dalam Lachman, 2001). Seiring berjalannya usia maka dewasa muda akan menggunakan coping yang lebih baik.

Hasil menunjukan subskala seeking of instrumental support terhadap emosi bersalah pada generasi muda memiliki nilai yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan generasi tua. Hal ini dapat dijelaskan dengan pentingnya pertemanan pada generasi muda. Pada tingkatan dewasa muda, seseorang cenderung memiliki lebih banyak teman dan kerabat dibandingkan pada tingkatan perkembangan lainnya (Sherman, de Vries, & Lansford, 2000 dalam Kail & Cavanaugh, 2007). Pertemanan merupakan hal yang penting karena kepuasan hidup seseorang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas dari hubungan dengan teman. Oleh karena itu, saat menghadapi situasi yang menyulitkan dirinya, dewasa muda akan lebih cendrung untuk mencari dukungan dari orang lain.

Hasil juga menunjukan subskala religion terhadap emosi bersalah pada generasi tua memiliki nilai yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan generasi muda. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa coping religion menjadi penting di usia tua yang mungkin dikarenakan tingginya jumlah stressor yang meningkat seperti kematian keluarga, penyakit kronis dan menurunnya kemampuan sensoris. Penelitian mengenai hubungan coping religion dengan well-being dan kesehatan juga telah sering dilakukan pada dewasa tua (Papalia, Olds & Feldman, 2009).

Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan. Penelitian ini tentunya tidak terlepas dari keterbatasan. Salah satu keterbatasan terkait dengan teknik pemilihan sampel yang digunakan. Menurut Kumar (2005), teknik pemilihan sampel yang paling baik adalah teknik random. Dalam penelitian ini teknik pemilihan sampel yang digunakan adalah teknik non-random. Penggunaan teknik sampling non-random digunakan karena terbatasnya waktu pengambilan data. Sulit mengumpulkan sampel yang banyak jumlahnya dalam waktu terbatas, karena itu peneliti melakukan teknik non-random dan snowball. Karena menggunakan teknik pemilihan sampel non-random, setiap individu dalam populasi generasi tua maupun generasi muda tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari sampel.

(13)

Keterbatasan lain adalah terkait instrumen yang digunakan. Alat ukur The Brief COPE digunakan untuk mengukur coping secara umum, sehingga dalam penulisan alat ukur diberikan instruksi agar subjek membayangkan situasi yang menimbulkan emosi malu dan emosi bersalah bagi dirinya. Instruksi untuk membayangkan ini menjadi kesulitan untuk beberapa subjek, terutama generasi tua. Oleh karena itu, peneliti selalu mendampingi subjek generasi tua dalam pengerjaan alat ukur ini agar mereka dapat lebih mudah dalam pengerjaannya. Dalam kuesioner, peneliti menggabungkan tiga alat ukur sekaligus, yaitu TOSCA-3, The Brief COPE untuk emosi malu dan The Brief COPE untuk emosi bersalah. Adanya penggabungan alat ukur membuat jumlah item sangat banyak, mencapai 124 item. Dalam mengerjakan alat ukur, subjek menjadi tidak sabaran dan kelelahan. Hal ini kemudian dijadikan pertimbangan dengan mengurangi alat ukur setengahnya menjadi 60 item.

Alat ukur The Brief COPE yang digunakan hanya melalui adaptasi bahasa, belum melalui adaptasi budaya. Padahal, dalam penelitian yang baik, suatu alat ukur yang ingin digunakan dalam konteks budaya yang berbeda, item-item dalam alat ukur tersebut harus diterjemahkan tidak hanya bahasanya, namun harus diadaptasi lintas budaya untuk mempertahankan validitas alat ukur tersebut (Beaton, Bombardier, Guillemin & Ferraz, 2000). Karena tidak dilakukan adaptasi budaya pada alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, mungkin terdapat beberapa istilah dalam alat ukur yang kurang dimengerti oleh subjek karena adanya perbedaan budaya.

Selain keterbatasan, penelitian ini memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan dari penelitian ini adalah ini merupakan penelitian baru yang topiknya belum pernah diteliti oleh pihak lain. Belum pernah ada yang meneliti mengenai perbedaan pemilihan strategi coping terhadap emosi malu dan bersalah pada generasi tua dan generasi muda. Penelitian dapat menjadi langkah awal untuk pihak-pihak terkait agar dapat membantu menemukan jenis coping yang cocok untuk generasi tua maupun muda yang mengalami emosi malu dan bersalah. Kekuatan lainnya adalah terkait pendekatan terhadap responden. Penelitian ini melakukan Focus Group Discussion (FGD) sebagai proses elisitasi, sehingga peneliti dapat berkenalan dan membangun hubungan dengan generasi tua yang menjadi subjek penelitian. Saat mengisi alat ukur, subjek juga bercerita mengenai kehidupan mereka, sehingga peneliti mendapatkan gambaran masalah yang biasanya menimbulkan emosi malu dan emosi bersalah bagi mereka dan coping yang

(14)

mereka lakukan. Data hasil FGD dan saat pengisian alat ukur juga digunakan sebagai data tambahan kualitatif dalam penelitian.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pemilihan strategi coping pada generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi malu dan emosi bersalah, atau Ho diterima. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa generasi tua dan generasi muda saat mengalami emosi malu maupun emosi bersalah memilih strategi coping yang kurang lebih sama. Adapun berdasarkan analisis rata-rata jenis coping, generasi tua dan generasi muda yang mengalami emosi malu maupun bersalah, keduanya sama-sama cenderung menggunakan problem-focused coping dibandingkan emotion-focused coping tetapi perbedaan yang ada tidak signifikan.

Berdasarkan hasil analisis pada 5 subskala problem-focused coping dan 8 subskala emotion-focused coping terhadap emosi malu didapatkan perbedaan signifikan pada subskala self-distraction, dimana nilai rata-rata lebih tinggi pada generasi muda dibandingkan generasi tua. Adapun analisis subskala coping terhadap emosi bersalah didapatkan perbedaan yang signifikan pada subskala seeking of instrumental support, self-distraction, dan humor dimana generasi muda memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi. Perbedaan yang signifikan juga ada pada subskala religion dimana generasi tua memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi.

Saran untuk penelitian selanjutnya terdiri dari beberapa bagian. Pertama, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan secara eksperimental dengan memunculkan pemicu yang menyebabkan munculnya emosi malu dan bersalah, kemudian pengukuran coping dilakukan setelah subjek telah mengalami emosi malu dan bersalah. Kedua, jumlah subjek penelitian dianggap belum cukup banyak. Semakin banyak jumlah subjek dalam suatu penelitian maka akan semakin baik generalisasi dari penelitian tersebut. Oleh karena itu, ada baiknya jika penelitian selanjutnya menambah jumlah subjek. Ketiga, memperluas cakupan penelitian. Penelitian ini hanya dilakukan pada subjek yang bertempat tinggal di Jabodetabek saja. Ada baiknya jika penelitian selanjutnya diperluas pada subjek yang bertempat tinggal di Indonesia. Keempat, sebaiknya dilakukan pengurangan item. Pengisian kuesioner dipengaruhi oleh alat ukur yang diberikan pada subjek. Pada penelitian ini, kuesioner The Brief COPE diberikan bersamaan dengan

(15)

kuesioner TOSCA-3, yang menyebabkan jumlah item lebih banyak. Kelelahan saat berfikir untuk pengisian kuesioner dapat menjadi sumber error pada hasil penelitian.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Aldwin, Carolyn M. (2007). Stress, coping, and development: an integrative perspective. New York: Guilford Publication

Aldwin, Carolyn., & Levenson, Michael. (2001). Stress, Coping, and Health at Mid-life: A developmental perspective. Dalam M.E.Lachman (Ed.), The Handbook of Midlife Development.New York: Wiley.

Bertens, K. (2002). Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Breugelmans, S., & Poortinga, Y. (2006). Emotion Without a Word: Shame and Guilt Among Rara´muri Indians and Rural Javanese. Journal of Personality and Social

Psychology, 91, 1111–1122 Carver, C. S. (1997). You want to measure coping but your protocol's too long: Consider

the Brief COPE. International Journal of Behavioral Medicine , 1, 92-100.

Carver, C. S., Scheier, M. F., & Weintraub, J. K. (1989). Assessing coping strategies: A theoretically based approach. Journal of Personality and Social Psychology , 56, 267-283.

Ekspos news. (16 Februari 2012). Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi. Diunduh dari : http://eksposnews.com/view/25/32168/Angka-Perceraian-di-Indonesia-Sangat-Tinggi.html#.UUqIrBew1ac.

Fessler, Daniel. (2004). Shame in Two Cultures: Implications for Evolutionary Approaches. Journal of Cognition and Culture.

Kail, R., Cavanaugh, J. (2007). Human Development: A Life Span Perspective. 6th edition. USA : Wadsworth.

Kim, U., Yang, K., & Hwang, K. (2006). Contribution to indigenous and cultural psychology : Understanding people in context. In U. Kim, K. Yang, K & Hwang (Eds.), indigenous and cultural psychology : Understanding people in context.

Kompas. (21 Maret 2013). Polri Beberkan Kasus Korupsi 2011-2012. Diunduh dari :

http://nasional.kompas.com/read/2012/10/15/22112749/Polri.Beberkan.Kasus.Korupsi.201 1-2012.

Kumar, R. (2005). Research Methodology: a step by step guide for beginners (2nd edition). London : Sage Publication.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer. Lazarus, Richard. (1991). Emotion and Adaptation. New York : Oxford University Press. Lozinski, Elaina. (2011). Coping with shame and guilt following diet violation in restrained eaters. ProQuest Disertasi dan Tesis.

(17)

McDaniel, B. L. (2007). Predicting Moral Judgement Competence From Developmental Building Block and Moral Emotions : A structural Equation Model (Disertasi Doktoral). Diunduh dari ProQuest Dissertation and Theses. (UMI No. 3274623).

Nan, L. M. (2007). Moral, guilt, and shame : An investigation of their associations with personality values, spirituality, and religiosity (Disertasi Doktoral). Diunduh dari ProQuest Dissertation and Theses. (UMI No. 3301199).

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Sekertariat Kabinet Republik Indonesia. (19 Februari 2013). Presiden: Rasa Malu Terasa Memudar, Tergerus Kepentingan Sesaat. Diakses dari : http://setkab.go.id/berita-7491-presiden-rasa-malu-terasa-memudar-tergerus-kepentingan-sesaat.html

Su, Chang. (2011). A cross-cultural study on the experience and self-regulation of shame and guilt. ProQuest Disertasi dan Tesis.

Tangney, June., &Dearing, Ronda. (2002). Shame and Guilt. NY : The Guilford Press. Tangney, J., & Fischer, K. (1995). Self- Concious Emotions. NY : The Guilford Press. Tracy, J., & Robins, R. (2004). Putting the Self Into Self-Conscious Emotions: A Theoretical Model. Psychological Inquiry: An International Journal for the Advancement of Psychological Theory, 15, 2, 103-125

Triandis, H., Bontempo, R., Villareal, M. (1988). Individualism and Collectivism: Cross-Cultural Perspectives on Self-Ingroup Relationships, 54, 2, 323-338).

Velayutham, Sivakumar. (2003). No shame or guilt: The crisis of governance and accountability in Asian economies. Humanomics, 29.

Yi, Sunghwan. (2012). Shame-prone gamblers and their coping with gambling loss. Journal of Gambling Issues.

Yi, Sunghwan., & Kanetkar, Vinay. (2010). Coping with Guilt and Shame After Gambling Loss. Journal of Gambling Study, 27, 371–387

Gambar

Tabel 4.10 Perbedaan Coping antara Generasi Tua dan Generasi Muda yang Mengalami  Emosi Malu
Tabel 4.12 Perbedaan Subskala Coping Emosi Malu pada Generasi Tua dan Muda
Tabel 4.13 Perbedaan Coping antara Generasi Tua dan Generasi Muda yang Mengalami  Emosi Bersalah
Tabel 4.15 Perbedaan Dimensi Coping Emosi Bersalah pada Generasi Tua dan Muda

Referensi

Dokumen terkait

Celebrity Endorser (X1) Iklan (X2) Brand Image (Z) Minat Beli

Hasil penelitian menunjukkan model pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan anak autistic spectrum disorder dalam menggunakan uang saat berbelanja sesuai urutan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan ;(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa untuk proses-proses yang menggunakan query standar ADO mempunyai kinerja rata-rata 78,76% lebih baik dari ODBC, sedangkan untuk

Sehubungan dengan evaluasi Dokumen Penawaran Saudara untuk pekerjaan PENINGKATAN JALAN TLOGOANYAR - KEMENDUNG (BK-PROP), maka bersama ini diharap kehadirannya besok pada :.

Adapun hukum kepemilikan tanah dalam ekonomi Islam tidak sebagaimana teori hukum pertanahan dalam teori ekonomi mikro David Ricardo. Ekonomi Islam

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis mayor diterima, artinya ada hubungan antara persepsi terhadap perkawinan dan motivasi menikah

sustainable harvest, extraction of non-timber forest products (NTFPs) as well as other forest management activities. The guidelines for developing Working Plans are developed