• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Analisis Atribut Kritis Pengelolaan Air Baku DAS Babon

Penilaian atribut kritis pengelolaan air baku DAS Babon ditetapkan pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: Dimensi Ekologi, Dimensi Ekonomi, dan Dimensi Sosial dengan atribut dan nilai skoring hasil pendapat para pakar seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting DAS. Analisis-atribut kritis dari masing-masing dimensi dapat dijelaskan sebagai berikut.

5.1.1. Atribut Kritis Dimensi Ekologi

Atribut yang diprakirakan memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dari dimensi ekologi terdiri atas 9 (sembilan) atribut, yaitu: (1) Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terkahir; (2) Debit air pada musim penghujan selama lima tahun terkahir; (3) Tingkat kekeruhan air; (4) Kadar BOD; (5) Kadar COD; (6) Kandungan logam berat; (7) Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon Semarang; (8) Kondisi daerah resapan air di DAS bagian hulu; dan (9) Tingkat pemanfaatan lahan di sekitar badan sungai Babon.

Untuk mengetahui atribut-atribut kritis yang mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekologi tersebut, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh lima (5) atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) Kadar COD; (2) Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terkahir; (3) Kandungan logam berat; (4) Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon Semarang; dan (5) Kadar BOD. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 20.

(2)

Gambar 20 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

5.1.1.1. Kadar COD

Chemical oxygen demand (COD) merupakan total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut Kadar COD memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 4.47. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Kadar COD terkait dengan kualitas air sungai di DAS Babon telah ”jauh di atas ambang batas”, dimana rata-rata besaran konsentrasi beban pencemar (kadar COD) yang masuk ke Sungai Babon adalah sebesar 426 143.71 kg/tahun, sedangkan besaran konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) adalah sebesar 167 167.5 kg/tahun (Bappedalda Semarang 1996/1997).

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Bappedalda Semarang pada tahun 2005 terhadap 14 (empat belas) titik sampel menunjukkan bahwa sebagian besar

4.11 3.31 3.35 3.54 4.47 3.79 3.62 1.84 0.99 0 1 2 3 4 5

Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir

Debit air pada musim hujan selama lima tahun terakhir

Tingkat kekeruhan air kadar BOD kadar COD Kandungan logam berat Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Kondisi daerah resapan air DAS bagian hulu Tingkat pemanfaatan lahan disekitar badan

sungai A tt ri bu te

(3)

nilai COD melebihi ambang batas yang diijinkan. Tingginya nilai COD berasal dari buangan limbah cair industri dan rumah tangga mengandung berbagai senyawa yang sulit terurai sehingga akan menyebabkan nilai COD lebih tinggi dari BOD (Kristanto 2005). Penggunaan desinfektan dalam rumah tangga saat ini cukup banyak digunakan antara lain penggunaan pembersih lantai, sabun mandi, dan sabun cuci yang di dalamnya terdapat desinfektan.

Besarnya konsentrasi beban pencemar (polutan COD) yang masuk ke Sungai Babon sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri yang terdapat di wilayah DAS Babon, seperti industri penyamak kulit, tekstil, pulp, kertas, serta cold and storage yang merupakan sumber potensi sebagai pencemaran di Sungai Babon. Selain kondisi tersebut, peruntukan air sungai di wilayah DAS Babon juga dipengaruhi oleh aktivitas kegiatan penduduk seperti (MCK), pertanian (penggunaan pupuk/pestisida/insektisida), penambangan, perikanan, dan industri.

5.1.1.2. Debit Air pada Musim Kemarau Selama Lima Tahun Terkahir Debit air sungai adalah, tinggi permukaan air sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan pengertian yang lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Debit air merupakan komponen yang penting dalam pengelolaan suatu DAS. Debit air sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Intensitas hujan, (2) Pengundulan hutan, (3) Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian, (4) Intersepsi, dan (5) Evaporasi dan transpirasi.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 4.11. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa debit air badan sungai di DAS Babon telah ” terjadi penurunan lebih dari 50%”.

Perubahan fungsi lahan di sekitar DAS babon yang tidak sesuai dengan peruntukannya seperti pembangunan perumahan menyebabkan dampak terhadap fungsi dari ekologi DAS berupa penyempitan lebar sungai dan pendangkalan. Permasalahan yang menonjol di DAS Babon pada musim kemarau adalah debit air. Pada musim kemarau debit sungai mengecil, sehingga akan berdampak pada

(4)

akumulasi berbagai bahan polutan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas air. Kegiatan pembangunan di dalam DAS akan berdampak pada komponen hidrologi, seperti koefisien aliran permukaan, koefisien regim sungai, nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah (Wibawa 2010). Bangunan rumah, industri, dan kurangnya hutan di sekitar sungai menyebabkan pendangkalan dan menurunnya debit air sungai. Fluktuasi debit juga mengalami peningkatan yang besar, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau merupakan bukti rusaknya kondisi wilayah hulu seperti yang terjadi pada DAS Citarum (Tampubolon 2007).

5.1.1.3. Kandungan Logam Berat

Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Dampak logam berat secara langsung sangat merugikan organisme perairan dan secara tidak langsung berbahaya terhadap kesehatan masyarakat.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut kandungan logam berat memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 3.79. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pencemaran dan atau kandungan terhadap kualitas air badan sungai di DAS Babon telah ” jauh di atas ambang batas”, dimana rata-rata besaran konsentrasi beban pencemar (kandungan logam berat) yang masuk ke Sungai Babon adalah berkisar antara 448.32 - 63 874.46 kg/tahun, sedangkan besaran konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) adalah berkisar antara 20.195 - 3 001.25 kg/tahun (Bappedalda Semarang, Tahun 1996/1997).

Besarnya kandungan logam berat yang masuk ke Sungai Babon sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri yang terdapat di wilayah DAS Babon, seperti: industri penyamak kulit, tekstil, pulp dan kertas, serta cold and storage yang merupakan sumber potensi sebagai pencemaran di Sungai Babon.

Aktivitas pertambangan, peleburan, penyulingan minyak, dan penggunaan bahan bakar dapat menimbulkan pencemaran logam berat yang masuk ke lingkungan perairan. Penggunaan pembasmi hama dan pembuangan limbah

(5)

pabrik dan rumah tangga yang banyak menggunakan logam dapat pula menyebabkan pencemaran lingkungan.

5.1.1.4. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan DAS Babon Semarang

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di sekitar DAS Babon memberikan pengaruh terhadap perubahan tataguna lahan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sistem hidrologi yang ada terkait dengan ketersediaan air di DAS Babon.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut kesesuaian pemanfaatan lahan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 3.62. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kesesuaian pemanfaatan lahan di wilayah Das Babon tidak sesuai.

Kondisi lahan di sekitar DAS Babon pada umumnya berupa lahan tegalan atau lahan kering, hutan negara, dan sawah irigasi. Namun demikian seiring dengan bertambahnya waktu dan jumlah penduduk, lahan tersebut banyak beralih fungsi menjadi perumahan, pemukiman, dan industri. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan yang besar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar DAS Babon terutama terhadap perubahan lahan dan konversi hutan di daerah hulu.

5.1.1.5. Kadar BOD

BOD sering digunakan untuk menentukan karakteristik zat polutan dalam limbah cair, maka BOD bisa digunakan untuk mengetahui kekuatan suatu pencemar dan secara tidak langsung juga datanya dapat menentukan perkiraan kadar bahan organik yang terdapat pada suatu limbah.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut Kadar BOD memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi dengan nilai sebesar 3.54. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kadar BOD terkait dengan kualitas air sungai di DAS Babon telah ”jauh di atas ambang batas”, dimana rata-rata besaran konsentrasi beban pencemar (kadar BOD) yang masuk ke Sungai Babon adalah sebesar 140 502.21 kg/tahun, sedangkan besaran konsentrasi beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke

(6)

Sungai Babon (kg/tahun) adalah sebesar 76 923.75 kg/tahun (Bappedalda Semarang, Tahun 1996/1997).

Besarnya konsentrasi beban pencemar (polutan BOD) yang masuk ke Sungai Babon sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktivitas industri yang terdapat di wilayah DAS Babon, seperti industri penyamak kulit, tekstil, pulp dan kertas, serta cold and storage yang merupakan sumber potensi sebagai pencemaran di Sungai Babon. Selain kondisi tersebut, tingginya nilai BOD diduga berasal dari buangan limbah cair rumah tangga di sepanjang bantaran sungai dan aktivitas pertanian di daerah hulu.

5.1.2. Atribut Kritis Dimensi Ekonomi

Atribut yang diprakirakan memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri atas 10 (sepuluh) atribut, yaitu: (1) Biaya produksi pengolahan air minun; (2) Tingkat keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); (3) Tingkat pemenuhan permintaan konsumen; (4) Subsidi yang diterima; (5) Pangsa pasar (demand); (6) Teknologi pengolahan air minum; (7) Tingkat efisiensi pengolahan air minum; (8) Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum; (9) Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan; (10) Transfer cost untuk biaya pengelolaan lingkungan antar stakeholders.

Untuk mengetahui kondisi yang mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekonomi tersebut, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: (1) Pangsa pasar (demand); (2) Tingkat keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); (3) Subsidi yang diterima; (4) Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum; dan (5) Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 21.

(7)

Gambar 21 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

5.1.2.1. Pangsa Pasar

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut pangsa pasar memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 5.74. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pangsa pasar terkait dengan jumlah pelanggan (konsumen) dan atau tingkat permintaan (demand) air di wilayah DAS Babon masuk dalam peringkat ”besar”. Kondisi tersebut dapat dilihat dari jumlah pelanggan sebanyak 136 634 sambungan rumah dengan tingkat cakupan pelayanan 55.46%, dan dalam sehari air dapat mengalir mencapai 160 099 m3. Angka itu sebenarnya melebihi kebutuhan warga kota yang mencapai 117 083 m3 per harinya. Sedangkan jumlah pelanggan layanan swasta, seperti sektor usaha yang meliputi hotel dan industri mencapai 80%.

Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aspek pangsa pasar. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa para pelanggan sering mengeluhkan pelayanan PDAM yang kurang profesional misalnya air selalu macet, air kotor, pipa sering bocor tidak segera diperbaiki sehingga sering macet, air sering mati, air sering tidak mengalir dan sistem yang buruk dalam pengelolaan air. 0.03 3.14 0.65 2.67 5.74 1.50 0.51 2.45 1.84 0.87 0 1 2 3 4 5 6 7

Biaya produksi pengolahan air minum Tingkat keuntungan PDAM Tingkat pemenuhan permintaan konsumen Subsidi yang diterima Permintaan air minum Teknologi pengolahan air minum Tingkat efisiensi pengolahan air minum kebutuhan modal untuk pengembangan

perusahaan air miunum Ketersediaan dana untuk pelestarian

lingkungan

Transfer cost untuk biaya pengelolaan lingkungan A tt ri bu te

(8)

5.1.2.2. Tingkat Keuntungan Perusahaan Daerah Air Minum

Secara umum PDAM berbeda dengan perusahaan swasta murni yang selalu berorientasi pada keuntungan. Namun demikian dalam menjalankan fungsinya PDAM harus mampu membiayai sendiri dan harus berusaha mengembangkan tingkat pelayanannya disamping mampu memberikan sumbangan pembangunan kepada Pemda.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut tingkat keuntungan perusahaan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 3.14. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tingkat keuntungan perusahaan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih telah ”jauh di atas titik impas”.

Kondisi tingkat keuntungan yang diperoleh tersebut dapat dilihat dari Jumlah pemakaian air melalui PDAM Kota Semarang dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2008, yaitu sebesar 7.17% atau sebanyak 8 484 pelanggan dari jumlah keseluruhan pelanggan yang ada sebanyak 126 749 dengan nilai penjualan air sebesar Rp 78 270 539 090,- pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 100 171 115 760,- pada tahun 2008, atau sebesar 27.98% (BPS Kota Semarang 2009).

Mengingat tidak adanya subsidi, dan beban produksi yang sangat besar serta kewajiban membayar hutang menyebabkan keuntungan yang diperoleh menjadi lebih kecil sehingga sumbangan PAD tidak signifikan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Subsidi yang diterima perusahaan terkait dengan usaha kondisi tersebut di atas disebabkan biaya produksi yang terus mengalami kenaikan setiap tahun. Setiap bulan PDAM selalu mendistribusikan air sebesar 708 900 m3 (10.57%) atau Rp 815 juta dari biaya produksi langsung kepada berbagai institusi sosial dan umum. Selanjutnya tingkat kebocoran setiap bulan mencapai 46-49% atau Rp 3.3 miliar – Rp 3.5 miliar. Dengan demikian subsidi yang ditanggung PDAM Kota Semarang setiap bulan 43%. Beban tersebut sangat membebani keuangan PDAM sehingga menyebabkan pemanfaatan sumber air baku bersih ”sangat tinggi” PDAM terus merugi (Radar Semarang 2010).

(9)

5.1.2.3. Subsidi yang Diterima

Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut subsidi yang diterima perusahaan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 2.67. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa subsidi yang diterima perusahaan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih ”sangat tinggi”.

Kondisi tersebut di atas disebabkan biaya produksi yang terus mengalami kenaikan setiap tahun. Setiap bulan PDAM selalu mendistribusikan air sebesar 708 900 m3 (10.57%) atau Rp 815 juta dari biaya produksi langsung kepada berbagai institusi sosial dan umum. Selanjutnya tingkat kebocoran setiap bulan mencapai 46-49% atau Rp 3.3 milyar – Rp 3.5 milyar. Dengan demikian subsidi yang ditanggung PDAM Kota Semarang setiap bulan 43%. Beban tersebut sangat membebani keuangan PDAM sehingga menyebabkan PDAM terus merugi (Radar Semarang 2010).

5.1.2.4. Kebutuhan Modal untuk Pengembangan Perusahaan Air Minum Modal adalah sebagai hasil produksi yang digunakan untuk memproduksi lebih lanjut. Modal biasanya menunjuk kepada kekayaan finansial, terutama dalam penggunaan awal atau menjaga kelanjutan bisnis. Kebutuhan modal dalam pengembangan usaha perusahaan air minum mutlak dibutuhkan.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 2.45. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”tersedia”.

Kebutuhan modal menjalankan kegiatan usaha pemanfaatan sumber air baku telah tersedia, akan tetapi yang dibutuhkan saat ini sangat besar yang digunakan untuk analisis laboratorium, perawatan instalasi, bendungan, meter air, dan biaya

(10)

operasional lainnya. Pencemaran air sungai (sumber air baku) akan meningkatkan kebutuhan bahan kimia, kebutuhan akan peralatan pengolahan (water treatment plant) yang lebih canggih akan menimbulkan biaya yang besar. Kondisi ini akan menaikkan harga jual sehingga menurunkan margin keuntungan dan di sisi lain menurunkan pangsa pasar (market share) konsumen air. Oleh karena itu diperlukan alternatif lain untuk menambah modal guna mengembangkan usaha perusahaan air minum.

5.1.2.5. Ketersediaan Dana untuk Kegiatan Pelestarian Lingkungan

Pemasokan air dengan kualitas dan kuantitas yang baik terutama bagi orang di daerah hilir, terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam teknik budidaya dan pola pengelolaan lahan, dan aktivitas masyarakat lainnya diduga sebagai pendorong terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas air sungai sebagai sumber air baku. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk menyelamatkan DAS melalui rehabilitasi dan konservasi terutama di daerah hulu. Untuk melakukan kegiatan tersebut diperlukan suatu dana yang besar dan waktu yang dibutuhkan cukup lama.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai sebesar 1.84. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan terkait dengan usaha pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”kurang tersedia”.

Keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan laju degradasi kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan lingkungan yang selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum memadai sehingga perlu dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa lingkungan (users pay principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan lingkungan merupakan tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders). Pelibatan pengguna jasa lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga, industri, dan pertanian dalam menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah hulu) merupakan alternatif yang sangat konstruktif dalam pembiayaan pengelolaan DAS (Agus et al. 2004).

(11)

5.1.3. Atribut Kritis Dimensi Sosial

Atribut-atribut yang memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial terdiri atas 11 (sebelas) atribut, yaitu: (1) Tingkat keluhan (masyarakat) pelanggan terhadap PDAM; (2) Tingkat keluhan masyarakat terhadap ketersediaan air baku; (3) Frekuensi konflik pemanfaatan sumber air baku; (4) Ketersediaan kelompok masyarakat dalam pengelolaan air; (5) Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan; (6) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kebutuhan air minum; (7) Ketersediaan aturan hukum/adat/agama; (8) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan non domestik; (9) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan air minum (domestik); (10) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM; dan (11) Pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA.

Untuk mengetahui kondisi yang mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi sosial tersebut, selanjutnya dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: (1) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM; (2) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku dari DAS Babon untuk kebutuhan non domestik; (3) Pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA; (4) Tingkat keluhan masyarakat terhadap ketersediaan air baku dan (5) Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 22.

(12)

Gambar 22 Peran masing-masing atribut aspek sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

5.1.3.1. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumber Air Minum dari PDAM

Kebutuhan ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan tingkat penambahan jumlah penduduk. Air menjadi kebutuhan primer yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, masak, mandi sampai kebutuhan pengolahan industri, sehingga fungsi air tidak hanya terbatas untuk menjalankan fungsi ekonomi saja, namun juga sebagai fungsi sosial.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.46. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”rendah”.

Rendahnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM sangat dipengaruhi oleh jangkauan dan distribusi jumlah penduduk yang ada di wilayah DAS Babon. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum dari PDAM sebagian besar terdapat pada daerah hilir,

0.02 0.57 0.20 0.29 0.46 0.08 0.29 0.59 0.81 0.32 0.58 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Tingkat keluhan pelanggan terhadap PDAM Frekuensi konflik Pemanfaatan air baku Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh

panutan

Ketersediaan hukum/adat/agama Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap air baku

untuk air minum

Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian SDA A ttr ib u te

(13)

khususnya penduduk yang bertempat tinggal di kota. Bila melihat dari distribusi kepadatan penduduk, maka persentase jumlah penduduk pada wilayah hulu sebesar 32.53% atau sebesar atau 132 236 jiwa, dimana jangkauan dan atau pelayanan sambungan air bersih PDAM dapat dikatakan tidak terjangkau.

Tingkat ketergantungan sumber air bersih dari PDAM untuk wilayah hilir dapat dilihat dari jumlah pelanggan PDAM Kota Semarang, yaitu mencapai 136 634 sambungan rumah dengan tingkat cakupan pelayanan sebesar 55.46%, dan dalam sehari air dapat mengalir mencapai 160 099 m3. Angka itu sebenarnya melebihi kebutuhan warga kota yang mencapai 117 083 m3 per harinya (Wulandari 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan sumber air bersih dari PDAM untuk wilayah hilir, khususnya Kota Semarang sangat tinggi.

5.1.3.2. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumber Air Baku dari DAS Babon untuk Kebutuhan Non Domestik

Menurut Bappedal Provinsi Jawa Tengah (2005) tipe tata guna lahan di sekitar DAS Babon terdiri atas sawah, tegalan/lahan kering, hutan negara, dan pemukiman yang meliputi: pemukiman, industri, dan daerah urban. Penggunaan air di DAS Babon selain digunakan untuk air baku PDAM Kota Semarang juga digunakan untuk pengairan/irigasi.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku untuk kebutuhan non domestik memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.81. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air baku untuk kebutuhan non domestik terkait dengan pemanfaatan sumber air baku air minum adalah ”rendah”. Penggunaan air untuk irigasi berasal dari Bendung Puncang Gading dengan kapasitas 50-800 l/detik dan Bendung Karang Roto dengan kapasitas 100 l/detik. Tingkat ketergantungan masyarakat di sekitar DAS Babon untuk pengairan cukup tinggi. Namun demikian seiring dengan pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan perubahan lahan persawahan menjadi permukiman dan industri yang berakibat pada pencemaran perairan dan terjadinya sedimentasi sehingga menyebabkan tingkat penggunaan air DAS Babon untuk irigasi menjadi lebih kecil.

(14)

5.1.3.3. Pemahaman dan Keperdulian Masyarakat terhadap Kelestarian Sumberdaya Alam (SDA)

Peran DAS Kali Babon terhadap Kota Semarang dan sekitarnya antara lain adalah sebagai sumber air untuk keperluan pertanian, sumber air baku untuk air minum, daerah tangkapan air, dan pengendali banjir. Peran tersebut saat ini terancam oleh mulai menurunnya kualitas DAS Kali Babon akibat kegiatan-kegiatan penduduk yang cenderung merusak lingkungan DAS Kali Babon.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.58. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih adalah cukup perduli.

Pembuangan limbah industri dan limbah domestik menimbulkan pencemaran air sungai; Kegiatan penggalian bahan galian golongan C yang cenderung merusak badan Kali Babon dan memicu terjadinya tanah longsor; Penebangan pohon-pohon di hulu Kali Babon turut memberikan andil dalam menyumbangkan banjir ke Kota Semarang; dan pengelolaan bantaran sungai atau daerah sempadan sungai yang tidak sesuai dengan ketentuannya dan berbagai aktivitas manusia yang merusak lainnya merupakan gambaran bahwa masih rendahnya tingkat pemahaman dan keperdulian masyarakat terhadap kelestarian SDA.

5.1.3.4. Tingkat Keluhan Pelanggan Air Minum

Sistem pelayanan yang baik terhadap para pelanggan akan memberikan citra produk yang baik yang pada akhirnya sangat mempengaruhi tingkat permintaan atas produk atau jasa yang ditawarkan.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut tingkat keluhan pelanggan air minum memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.02. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tingkat keluhan pelanggan air minum terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih adalah ”rendah”

(15)

Air sering macet berhari-hari tanpa pemberitahuan jelas, air kotor, dan keluhan yang “tidak segera ditangani” merupakan fenomena permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan PDAM. Berdasarkan pada hasil opname di lapang diperoleh gambaran bahwa rata-rata keluhan pelanggan di antaranya adalah: meteran belum dicatat sehingga tidak ada pedoman yang jelas untuk bayar tagihan rekening air, pipa bocor tidak segera diperbaiki sehingga sering macet, air sering mati, air sering tidak mengalir, dan sistem yang buruk dalam pengelolaan air.

Kurang berkualitasnya layanan PDAM pada pelanggan dapat dilihat dari tekanan air yang rendah, aliran tidak kontinyu, tingginya angka kebocoran dalam system perpipaan (unaccounted for water), dan tidak digarapnya pasar potensial (Suhandjaja 2006).

5.1.3.5. Ketergantungan Kelompok Masyarakat terhadap Tokoh Panutan Perwujudkan kearifan lokal masyarakat terhadap lingkungan dapat dialami dalam nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan, pola penataan ruang tradisional, serta peralatan dan teknologi sederhana ramah lingkungan yang diterapkan.

Dari hasil analisis penilaian atribut dalam skala ordinal menunjukkan bahwa atribut ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan memberikan pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi sosial dengan nilai sebesar 0.46. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan terkait dengan pemanfaatan sumber air baku bersih tidak tinggi. Ini menunjukkan tingkat kemandirian mereka cukup tinggi

Dari opname di lapang diperoleh gambaran bahwa upaya untuk mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pengelolaan lingkungan di sekitar DAS Babon membutuhkan kesabaran karena proses mengikutsertakan masyarakat secara aktif membutuhkan waktu lama, yang menggunakan metode yang berpusat pada peserta/masyarakat akan menggali penyadaran, pengetahuan dan keterampilan. Ketergantugan masyarakat di sekitar DAS Babon terhadap tokoh masyarakat untuk melakukan pengelolaan lingkungan masih cukup tinggi. Hal tersebut terbukti dengan turut andilnya tokoh masyarakat terkait beberapa kegiatan yang ada di sekitar DAS.

(16)

5.2. Strategi Peningkatan Pengelolaan Air Baku DAS Babon

Strategi pengelolaan air baku DAS Babon dilakukan menggunakan analisis prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu meningkatkan pengelolaan DAS Babon. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya.

Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis diambil dari faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 15 faktor (atribut) yang sensitif dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan selanjutnya dianalisis prospektif. Hasil analisis prospektif diperoleh 5 (lima) faktor kunci seperti tertera pada Tabel 22.

Tabel 22 Atribut-atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan air baku DAS Babon

No. Faktor Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi (5 Faktor Kunci) 1. Kadar COD.

2. Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir. 3. Kandungan logam berat.

4. Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon . 5. Kadar BOD.

Dimensi Ekonomi (5 Faktor Kunci) 6. Pangsa pasar.

7. Tingkat keuntungan PDAM. 8. Subsidi yang diterima.

9. Kebutuhan modal untuk pengembangan perusahaan air minum. 10. Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan.

Dimensi Sosial Budaya (5 Faktor Kunci)

11. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum PDAM.

12. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air DAS Babon untuk kebutuhan non domestik.

13. Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian SDA. 14. Tingkat keluhan masyarakat terhadap ketersediaan air baku. 15. Ketergantungan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan.

(17)

Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar faktor diperoleh 5 (lima) faktor kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tidak terlalu kuat seperti terlihat pada Gambar 23, yaitu:

1) Kadar COD.

2) Debit air pada musim kemarau selama lima tahun terakhir. 3) Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS Babon.

4) Kadar BOD.

5) Ketersediaan dana untuk kegiatan pelestarian lingkungan.

Dengan demikian kelima faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa yang akan datang agar terwujud pengelolaan air baku DAS Babon secara berkelanjutan.

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

Ketergantuangan kelompok masyarakat terhadap tokoh panutan Tingkat keluhan masyarakat

terhadap ketersediaan air baku Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian

SDA

Tingkat ketergantuan masyarakat terhadap sumber air dari DAS untuk non domestik

Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air minum PDAM Ketersediaan dana untuk pelestarian

lingkungan

kebutuhan modal untuk pengembangan PDAM

Subsidi yang diterima Tingkat keuntungan PDAM Pangsa pasar

Kadar BOD Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS

Kandungan Logam Berat Debit Air Kadar COD -0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 Ketergantungan P e ngar uh

Gambar 23 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji.

5.2.1. Penyusunan Skenario

Berdasarkan analisis prospektif ada lima atribut kritis yang harus dikelola agar keberlanjutan DAS Babon terjamin. Oleh sebab itu perlu dirumuskan skenario strategi pengelolaan air baku kedepan. Berdasarkan hasil analisis terhadap pengaruh antar faktor, maka faktor kunci yang berpengaruh dan saling ketergantungan tersebut selanjutnya didefinisikan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Pada Tabel 23 disajikan hasil prospektif faktor kunci pengelolaan

X Y

Variable Penentu (input)

Variabel penghubung (stakes)

Variabel autonomous (unused))

Variable terkait (output)

(18)

air baku dengan berbagai keadaan untuk setiap faktor. Dari hasil tersebut dirumuskan berbagai skenario strategi pengelolaan air baku, yaitu: (1) Skenario Konservatif-Pesimistik (bertahan pada kondisi yang ada sambil mengadakan perbaikan seadanya); (2) Skenario Moderat-Optimistik (melakukan perbaikan tapi tidak maksimal) dan (3) Skenario Progresif-Optimistik (melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu).

Berdasarkan analisis prospektif ada lima atribut kritis yang harus dikelola agar keberlanjutan DAS Babon terjamin. Kelima atribut kunci tersebut akan dijadikan variabel-variabel dalam membangun model dengan pendekatan sistem dinamis. Dengan mempertimbangkan kelima atribut kunci tersebut, akan dirumuskan skenario pengelolaan DAS ke depan. Berdasarkan hasil analisis terhadap pengaruh antar faktor, maka faktor kunci yang berpengaruh dan saling ketergantungan tersebut selanjutnya didefinisikan kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan. Pada Tabel 23 disajikan hasil prospektif faktor kunci pengelolaan air baku dengan berbagai keadaan untuk setiap faktor. Dari hasil tersebut dirumuskan berbagai skenario strategi pengelolaan air baku, yaitu: (1) Skenario Konservatif-Pesimistik (bertahan pada kondisi yang ada sambil mengadakan perbaikan seadanya); (2) Skenario Moderat-Optimistik (melakukan perbaikan tapi tidak maksimal) dan (3) Skenario Progresif-Optimistik (melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu).

Tabel 23 Keadaan masing-masing faktor kunci pengelolaan air baku

No. Faktor Keadaan di Masa Depan

1A 1B 1C 1D

1. Kadar COD Jauh diatas Sedikit diatas sama dibawah

2A 2B 2C 2D

2. Debit pada musim kemarau selama 5 tahun Lebih dari 50% Terjadi Penurunan 25%-50% Terjadi Penurunan 10%-25% Terjadi Penurunan 10% 3A 3B 3C 3D 3. Kesesuaian pemanfaatan lahan DAS

Tidak sesuai sesuai Sangat sesuai

4A 4B 4C 4D

4. Kadar BOD Jauh diatas Sedikit diatas sama dibawah

5A 5B 5C 5D 5. Ketersediaan dana untuk pelestarian lingkungan Tidak tersedia Kurang tersedia Tersedia Tersedia tak terbatas

(19)

Berdasarkan Tabel 23 di atas, terdapat keadaan yang peluangnya kecil atau tidak mungkin untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible). Ini ditandai oleh garis yang menghubungkan antara satu keadaan dengan keadaan lainnya seperti kesesuian pemanfaatan lahan DAS tidak mungkin terjadi secara bersamaan dengan debit air pada musim kemarau. Demikian pula dengan hubungan keadaan lainnya, namun karena faktor kunci yang diskenariokan banyak sehingga hubungan yang tidak mungkin dapat terjadi bersamaan tidak bisa ditampilkan pada lembaran yang sama, tetapi dalam penyusunan skenario, hubungan ini tetap diperhatikan.

Dari berbagai kemungkinan yang terjadi seperti tersebut di atas, dapat dirumuskan tiga kelompok skenario pengelolaan air baku DAS Babon secara berkelanjutan yang berpeluang besar terjadi di masa yang akan datang, yaitu : (1) Konservatif-Pesimistik dengan melakukan perbaikan seadanya terhadap

atribut-atribut (faktor) kunci.

(2) Moderat-Optimistik dengan melakukan perbaikan sekitar 50 % atribut-atribut (faktor) kunci.

(3) Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan terhadap seluruh atribut-atribut (faktor) kunci. Adapun skenario yang dapat disusun seperti Tabel 24.

Tabel 24 Hasil analisis skenario strategi pengelolaan air baku DAS Babon

No. Skenario Strategi Susunan Faktor 0. Kondisi Eksisting 1A, 2A, 3A, 4A, 5A. 1. Konservatif-Pesimistik 1B, 2B, 3A, 4A, 5A. 2. Moderat-Optimistik 1C, 2C, 3B, 4C, 5C.

3. Ideal 1D, 2D, 3C, 4D, 5D.

5.2.1.1. Skenario Konservatif-Pesimitik

Skenario konservatif-pesimistik dibangun atas dasar kondisi saat ini dari sistem pengelolaan air baku dengan memperbaiki seadanya. Skenario ini mengandung pengertian bahwa strategi yang dirumuskan masih berdasarkan konsep pengembangan secara tradisional dan tidak memiliki prospek pengembangan sistem yang berpandangan jauh ke depan. Skenario konservatif-pesimitik dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi: (1) Tidak adanya monitoring terhadap limbah cair industri yang dibuang ke sungai dan belum adanya pemukiman memiliki IPAL secara komunal menyebabkan

(20)

limbah yang dibuang ke badan air penerima belum memenuhi baku mutu lingkungan, (2) Hilangnya vegetasi yang ada di daerah hulu akibat perambahan hutan sehingga tidak adanya daerah yang menampung air ketika hujan yang berdampak pada sistem tata air. Hal tersebut terlihat dari debit air yang semakin kecil pada musim kemarau, (3) Perubahan konversi lahan untuk perumahan dan industri menyebabkan peruntukan lahan tidak sesuai dengan fungsinya dan menyebabkan berbagai dampak ekologi terhadap kondisi DAS, (4) Tidak adanya monitoring terhadap limbah cair industri yang dibuang ke sungai dan belum adanya pemukiman memiliki IPAL secara komunal menyebabkan limbah organik yang dibuang kebadan air penerima belum memenuhi baku mutu lingkungan sehingga berpengaruh terhadap nilai BOD yang berada di atas BML, dan (5) Belum adanya kebijakan yang berpihak pada lingkungan menyebabkan belum tersedia dana untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan.

Penerapan Skenario Konservatif-Pesimistik ini akan berimplikasi pada: (1) Nilai kadar COD masih di atas baku mutu lingkungan, (2) Debit air setiap tahun pada musim kemarau akan semakin kecil, (3) Pemanfaatan lahan setiap tahun meningkat tidak sesuai peruntukannya, (4) Kadar BOD meningkat seiring dengan waktu dan berada di atas baku mutu lingkungan, dan (5) Kurangnya peran pemerintah dalam menyediakan dana untuk pelestarian lingkungan.

5.2.1.2. Skenario Moderat-Optimistik

Skenario Moderat-Optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki serta berkeyakinan bahwa usaha kegiatan pengelolaan DAS Babon dapat menjamin ketersediaan air baku dan menekan biaya produksi air minum, memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar DAS Babon dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Skenario ini dibangun berdasarkan keadaan dari faktor penentu dengan kondisi: (1) Melakukan pengolahan limbah cair sehingga kadar COD lebih tinggi sedikit atau sama dengan baku mutu dan turun secara bertahap, (2) Melakukan penghijauan di daerah hulu dan kesadaran penduduk meningkat untuk tidak membuang sampah di sungai, (3) Penataan kembali penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya terutama daerah tampungan air, (4) Mengolah limbah cair

(21)

industri dan permukiman secara intensif sebelum dibuang ke sungai, dan (5) Pemerintah daerah mulai peduli terhadap lingkungan dengan menyediakan dana untuk pelestarian meskipun masih terbatas.

Penerapan strategi Moderat-Optimistik secara terencana akan dapat meningkatkan kinerja dari sistem pengelolaan air baku di DAS Babon. Dukungan pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk rehabilitasi DAS Babon sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas air baku serta meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat di sekitar DAS untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan.

Penerapan Skenario Moderat-Optimistik akan memberikan implikasi berupa: (1) Kadar COD sama atau lebih kecil dari baku mutu lingkungan, (2) Debit air pada musim kemarau semakin naik, (3) penggunaan lahan turun sesuai dengan peruntukannya, (4) Kadar BOD sama atau lebih kecil dari baku mutu lingkungan, dan (5) tersedianya dana yang cukup untuk kegiatan pelestarian DAS Babon.

5.2.1.3. Skenario Progresif-Optimistik

Skenario Progresif-Optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi mendapat dukungan secara maksimal dari setiap faktor kunci dan para pelaku utama berkeyakinan bahwa kegiatan tersebut dapat memperbaiki DAS Babon dan kualitas air baku sehingga dapat memberikan manfaat pada penduduk yang ada disekitar DAS dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Skenario Progresif-Optimistik dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi: (1) Bahwa kadar COD akan turun atau di bawah baku mutu lingkungan jika dilakukan pengolahan limbah cair industri dan pemukiman secara terpadu serta melakukan monitoring limbah cair setiap sebulan sekali yang dilakukan oleh pemrakarsa dan dipantau oleh Bapedal Kabupaten/Kota, (2) Melakukan kegiatan penghijauan di daerah hulu dan pengerukan DAS yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang bekerjasama dengan masyarakat setempat; (3) Melakukan pengawasan terhadap penggunaan lahan disekitar DAS Babon terutama untuk pemukiman, industri dan pertambangan serta pemberian sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya, (4) Kadar BOD dibawah BML jika dilakukan

(22)

pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pertanian didaerah hulu, pembuatan septick tank secara komunal pada perumahan yang ada disekitar DAS, melakukan pengawasan limbah cair industri dan perumahan, dan (5) Kepedulian pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk pelestarian lingkungan dan pemberian insentif kepada masyarakat yang ada disekitar DAS dalam menjaga lingkungan.

Penerapan Skenario Progresif-Optimistik akan memberikan implikasi berupa: (1) kadar COD yang dibuang ke sungai jauh di bawah baku mutu lingkungan, (2) debit air meningkat pada musim kemarau, (3) penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya, (4) kadar BOD dari limbah cair industri dan pemukiman lebih rendah di bawah BML sebelum dibuang ke sungai, dan (5) Dana yang tersedia untuk peletarian DAS Babon agar diprioritaskan.

5.3. Pemodelan Sistem Dinamik A. Analisis Kebutuhan

Berdasarkan hasil diskusi dengan pemangku kepentingan yang terlibat dan kajian literatur, maka dilakukan analisis kebutuhan yaitu:

1. Masyarakat, yaitu masyarakat yang memanfaatkan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum di samping untuk kebutuhan lainnya seperti: pertanian, peternakan, perikanan, air bersih untuk keperluan domestik dan industri.

2. Dinas dan instansi terkait, yaitu semua dinas dan instansi pemerintah daerah yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku, antara lain: Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kota, BPSDA (Balai Pengelolaan Sumber Daya Air) Jratun (Jragung –Tuntang ).

3. Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

4. Perusahaan Daerah Air Minum Semarang (PDAM Tirta Moedal Semarang) sebagai perusahaan yang mengolah air baku menjadi air minum untuk kebutuhan masyarakat Semarang dan sekitarnya. Pada Tabel 25 disajikan kebutuhan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku permukaan untuk air minum.

(23)

Tabel 25 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Babon Semarang sebagai sumber air baku air minum

No. Pelaku Sistem Kebutuhan Pelaku Sistem

1. Masyarakat  Terpenuhinya kebutuhan air minum dengan harga yang terjangkau.

 Terpeliharanya fungsi DAS.

 Terpenuhinya kebutuhan air baku untuk berbagai kepentingan masyarakat.

2. Dinas dan Instansi terkait

 Tetap berfungsinya DAS Babon sesuai peruntukannya.

 DAS Babon memberikan manfaat yang optimal dalam menunjang pelaksanaan pembangunan Provinsi Jawa Tengah.

 Tidak terjadi kelangkaan air pada musim kemarau.

 Dapat memenuhi kebutuhan air baku air minum masyarakat.

 Terbentuknya kelembagaan dan mekanisme kerjasama antar lembaga yang terpadu dalam pengelolaan DAS babon. 3. Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

 Terjaganya kelestarian DAS.

 Tidak terjadi konflik kepentingan dalam pemanfaatan DAS Babon.

Terjaminnya kesetaraan (equity) dalam pemanfaatan air baku bagi masyarakat.

4. PDAM Semarang  Tercapainya kualitas air baku air minum agar biaya operasional pengolahan air baku menjadi air minum layak secara ekonomis.

 Dapat memenuhi permintaan konsumen dengan harga yang terjangkau.

 Keuntungan yang layak bagi perusahaan.

B. Formulasi Masalah

Menurut Eriyatno (2003), formulasi permasalahan disusun dengan cara mengevaluasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (limited of resources) dan atau adanya konflik atau perbedaan kepentingan (conflict of interest) diantara pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan sistem.

Berdasarkan analisis kebutuhan dan kondisi sumberdaya DAS Babon saat ini, permasalahannya diformulasikan sebagai berikut:

1. Kualitas air baku telah mengalami penurunan yang sangat signifikan, dimana indikator pencemaran seperti BOD, COD telah melebihi batas ambang, demikian juga dengan kuantitas air bakunya. Akibat perubahan tata guna lahan, menyebabkan ketersediaan air baku menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari pebedaan debit maksimum dan debit mínimum.

(24)

2. Biaya operasional pengolahan air minum yang semakin meningkat karena penurunan kualitas air baku dan tidak terpenuhinya permintaan masyarakat karena penurunan debit dan kualitas air DAS Babon.

3. Pemanfaatan DAS yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan, dimana telah terjadi perubahan fungsi lahan yang cukup signifikan.

4. Belum terbentuk mekanisme kerjasama pemerintah daerah secara terpadu dalam pengelolaan DAS Babon dengan pendekatan sistem sehingga pengelolaan yang terjadi masih bersifat parsial yang berdampak terjadinya penurunan kualitas sumberdaya DAS Babon sebagai suatu ekosistem DAS.

C. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem dilakukan untuk melihat variabel-variabel penyusun sistem yang dikelompokkan menjadi jenis variabel, yaitu: (1) Varibel input yang tidak terkontrol, (2) Variabel input yang terkontrol, (3) Variabel input lingkungan, (4) Variabel output yang dikehendaki, dan (5) Variabel output yang tidak dikehendaki.

Formulasi masalah terkait dengan variabel penyusunan sistem dapat digambarkan dalam Diagram I-O (black box) dan causal loop seperti yang disajikan pada Gambar 24 dan Gambar 25.

Model pengelolaan air baku air minum di daerah aliran Sungai Babon merupakan ilustrasi dari sistem pengelolaan air baku yang dipengaruhi oleh variabel-variabel yang saling berkaitan. Model ini terdiri atas 3 (tiga) sub model yaitu: (1) sub model kebutuhan air baku, (2) sub model ketersediaan air baku, dan (3) sub model kualitas air baku.

5.3.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku

Sub model kebutuhan air baku ini mendeskripsikan kebutuhan air baku dari beberapa aspek kebutuhan yaitu kebutuhan domestik, kebutuhan industry, dan kebutuhan perhotelan. Kebutuhan domestik dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu populasi penduduk, laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan standar fasilitas umum, kebutuhan standar domestik, reduce dan reuse. Kebutuhan air baku kegiatan industri dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu jumlah industri, laju

(25)

pertumbuhan industri, kebutuhan standar industri, reduce, reuse, dan recycle. Kebutuhan air baku sektor perhotelan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan hotel, kebutuhan standar perhotelan, reduce, dan reuse. Dalam menghitung kebutuhan air baku masyarakat, industri, dan hotel menggunakan standar yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum. Keterkaitan antara variabel dapat dilihat pada Gambar 26 dan Gambar 27.

INPUT LINGKUNGAN

 Peranan/ Regulasi pemerintah

 Peranan Konsumen

INPUT TAK TERKENDALI

 Debit Andalan

 Jumlah Air Tanah

 Jumlah Penduduk

Luas Land Use

OUTPUT DIKEHENDAKI

 Terpenuhinya Kebutuhan Air Baku

 Kualitas Air Baku Meningkat

 Terpeliharanya Kelestarian DAS Babon

Model Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS di DAS Babon

INPUT TERKENDALI

 Persentase Pemakaian Air Tanah

Reduce, Reuse dan Recycle

 Persentase Konservasi

 Laju Pertumbuhan Penduduk

 Laju Pertumbuhan Industri

 Laju Pertumbuhan Hotel

OUTPUT TAK DIKEHENDAKI

 Meningkatnya Tarif Air Baku

 Penurunan Muka Air Tanah

 Kekurangan Air Baku

 Degradasi Fungsi DAS

Pengelolaan Air Baku Air Minum Berbasis DAS di DAS Babon

Gambar 24 Diagram input-output (I-O) sistem model pengelolaan air baku air minum berbasis DAS di DAS Babon.

(26)
(27)

Kebutuhan Domestik

Kebutuhan Standar Perhotelan

Kebutuhan Industri Kebutuhan Air Baku

Kebutuhan Perhotelan Hotel Melati Hotel Berbintang + + + + + + + + Jumlah Hotel + + Populasi Penduduk

Laju Pertumbuhan Hotel

+ + Kebutuhan Standar Indusri Laju Pertumbuhan Industri Industri Sedang dan Besar Indstri Kecil + + Jumlah Industri + + + Kebutuhan Standar Domestik Masyarakat Kelas Atas Masyarakat Kelas

Menengah Masyarakat Kelas Bawah + + Laju Pertumbuhan Populasi + + + +

Reduce dan Reuse

-Reduce Reuse dan Recycle

-Gambar 26 Causal loop sub model kebutuhan air baku.

1

(28)

Populas i

Pertum buhan Penduduk Laju Pertum buhan Penduduk

Kebutuhan Standar Total Keb Dom es tik

Total Kebutuhan

Indus tri

Pertum buhan Indus tri Laju Pertum buhan Indus tri

Kebutuhan Standar Indus tri

Total Keb Indus tri

kebutuhan s tandart Fas um Hotel

Pertum buhan Hotel Laju Pertum buhan Hotel

Kebutuhan Standar Perhotelan Total Keb Perhotelan

Kebutuhan Fas ilitas Um um

Reduce & Reus e

Reduce & Reus e

Reduce Reus e and Recycle

Gambar 27 Diagram alir sub model kebutuhan air baku.

(29)

Dari Gambar 26 dan Gambar 27 dapat dilihat bahwa kebutuhan sektor domestik dipengaruhi oleh variabel penentu yaitu populasi penduduk. Semakin tinggi laju pertumbuhan penduduk maka jumlah populasi penduduk juga semakin tinggi. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan air baku sektor domestik. Untuk menghitung total kebutuhan sektor domestik, jumlah penduduk dikalikan dengan kebutuhan standar per orang per hari. Dalam hal ini, kebutuhan standart menggunakan ketentuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum yaitu 150 liter/orang/hari. Dalam menghitung kebutuhan air baku sektor domestik, tidak dibedakan kebutuhan air baku untuk kelompok masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Di dalam sub model terdapat variabel reduce dan reuse yang merupakan variabel kebijakan dalam upaya peningkatan efisiensi penggunaan air.

Kebutuhan sektor industri dipengaruhi oleh variabel penentu yaitu jumlah industri. Jumlah industri dipengaruhi oleh laju pertumbuhan industri, jika laju pertumbuhan industri tinggi maka jumlah industri tiap tahunnya akan meningkat dimana kebutuhan air baku di sektor ini juga akan meningkat. Dalam menghitung Kebutuhan air baku sektor industri tidak dibedakan antara kebutuhan Industri besar, sedang dan kecil. Karena kebutuhan air industri yang dihitung bukan untuk proses produksi. Untuk industri terdapat variabel kebijakan untuk peningkatan efisiensi pemakaian air yaitu reduce, reuse, dan recycle. Dalam analisis penelitian ini penggunaan air bakunya tidak dibedakan antara industri besar/sedang dan industri kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku industri, kebutuhan air untuk industri besar/sedang adalah sebesar 222.5 m3/unit/tahun, sedangkan untuk industri kecil sebesar 180 m3/unit/tahun. Namun dalam analisis penelitian ini tidak dibedakan kebutuhan air antara industri besar/sedang dan industri kecil, karena air digunakan sebagai bahan proses industri, bukan sebagai bahan baku industri, sehingga kebutuhan akan air baku diasumsikan hampir sama. Kebutuhan air untuk industri ditentukan berdasarkan rata-rata timbang kebutuhan air antara kedua jenis industri tersebut dan berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku industri yaitu sebesar 201.25 m3/unit/tahun (Susanto 2010).

Untuk kebutuhan air baku di sektor perhotelan juga dipengaruhi oleh variabel penentu yaitu jumlah hotel. Jumlah hotel dipengaruhi oleh laju

(30)

pertumbuhan hotel yang juga mempengaruhi kebutuhan air baku pada sektor ini. Kebutuhan air baku sektor perhotelan tidak membedakan antara kebutuhan air baku hotel melati dan kebutuhan air baku hotel berbintang. Kebutuhan air baku masing-masing golongan dihitung dengan menggunakan persamaan yaitu perkalian antara jumlah kamar hotel dikali 2 orang per kamar dan diasumsikan tingkat huniannya 80%. Dalam hal ini kebutuhan air per orang per hari diasumsikan sama dengan penggunaan air baku per orang per hari berdasarkan Paraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18 Tahun 2007.

5.3.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku

Sub model ketersediaan air baku merupakan deskripsi ketersediaan air baku di DAS Babon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel. Ketersediaan air dihitung dari sumber air yang tersedia yaitu air permukaan dan air tanah. Ketersediaan air permukaan dihitung berdasarkan debit andalan Sungai Babon yang digunakan oleh PDAM Tirta Moedal. Sedang ketersediaan air tanah dihitung berdasarkan kapastas CAT Semarang Demak. Ketersediaan air dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu luas DAS, land use, koefisien run off, debit andalan, konservasi, biaya konservasi, ketersediaan air tanah, persentase pemakaian air tanah dan populasi. Keterkaitan antara variabel dapat dilihat pada Gambar 28 dan Gambar 29. Berdasarkan Gambar 28 dan Gambar 29 dapat dijelaskan bahwa ketersediaan air akan meningkat dengan meningkatnya debit andalan. Debit andalan dapat ditingkatkan dengan melakukan upaya-upaya konservasi pada setiap land use. Untuk kawasan hutan dilakukan konservasi seperti reboisasi, kawasan pemukiman dilakukan konservasi berupa pembuatan sumur resapan, kawasan persawahan dilakukan konservasi dengan menerapkan metode System Rice Intensificasion dan untuk daerah tegalan dilakukan konservasi berupa terasering. Upaya konservasi bertujuan untuk meningkatkan debit andalan dengan penurunan koefisien run off masing-masing land use. Jadi semakin tinggi persentase konservasi maka koefisien run off akan semakin rendah sedangkan debit andalan akan semakin tinggi. Namun persentase konservasi ini harus memperhitungkan biaya yang dibutuhkan dengan dana yang tesedia. Pada sub model ini ketersediaan air tanah tidak dihitung lebih rinci, variabel ini hanya berupa nilai masukan (input).

(31)

Gambar 28 Causal loop sub model ketersediaan air baku.

Ketersediaan Air Baku Air Tanah + + + -Air Permukaan Persentase Pemakaian Air Tanah Debit Andalan

Koefisien Run Off + + Konservasi + + + -Terasering Reboisasi SRI Sumur Resapan 1 35

(32)

CRO Tegalan

Ketersediaan Air Tanah CRO Kumulatif

Debit Andalan CRO Tegalan

Persentase Debit Andalan CRO Hutan

Debit Model CRO sawah

CRO Eksisting Kumulatif C Pemukiman Existing C Tegalan Existing C Tegalan CRO Hutan luas Tegalan luas sawah luas hutan

luas DAS Babon

Persentase Pemakaian Air Tanah C Hutan Existing

C Tegalan Existing

C Sawah Existing

C Sawah Existing C Pemukiman

Total ketersediaan air Penurunan C Pemukiman CRO Permukiman C Hutan Penurunan C Hutan Luas Pemukiman Persentase Reboisasi Penurunan C Tegalan C Sawah Penurunan C Sawah CRO Permukiman Persentase SRI KK Populasi luas hutan

CRO Sawah Existing luas sawah

Total Volume Sumur Resapan

Persentase Jumlah Sumur Resapan C Pemukiman Existing

Biaya SRI per Ha

luas sawah

Total Biaya SRI

Biaya SRI per Tahun Persentase Terasering

Total Biaya Terasering

Biaya Terasering per Tahun luas Tegalan

Biaya Terasering per Ha C Hutan Existing

Total Biaya Reboisasi

Biaya Reboisasi per Tahun Biaya Reboisasi per Ha

luas hutan Total Biaya Sumur Resapan

Biaya Sumur Resapan per Tahun Biaya Sumur Resapan per Ha

Luas Pemukiman

CRO Tegalan Existing luas Tegalan

Luas Pemukiman

CRO Pemukiman Existing

CRO Hutan Existing

Gambar 29 Diagram alir sub model ketersediaan air baku.

3

(33)

Dalam sub model ini ketersediaan air tanah hanya difokuskan kepada persentase pemakaian dengan tujuan pemakaian air tanah dapat dikurangi dengan adanya konservasi terhadap ketersediaan air permukaan sehingga ketersediaan air tanah tetap tersedia secara berkelanjutan. Sub model ini berkaitan dengan sub model kebutuhan air melalui variabel populasi. Populasi merupakan variabel yang dipertimbangkan dalam konservasi pada daerah permukiman dengan pembuatan sumur resapan.

5.3.3. Sub Model Kualitas Air Baku

Sub model kualitas air baku merupakan salah satu bagian dari model pengelolaan air baku yang mendeskripsikan kualitas air baku yang tersedia. Sub model Kualitas air baku dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu parameter kualitas air, indeks kualitas air, biaya produksi, harga jual air, biaya konservasi, persentase peningkatan kualitas air, keuntungan PDAM dan debit andalan. Keterkaitan antara variabel dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31.

Dari Gambar 30 dan Gambar 31 dapat dilihat bahwa kategori kualitas air akan meningkat dengan meningkatnya persentase kualitas air. Persentase peningkatan kualitas air merupakan variabel kebijakan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas air melalui penurunan konsentrasi beberapa parameter kualitas air yaitu BOD, COD, DO dan kekeruhan. Jika konsentrasi parameter ini menurun maka indeks kualitas air akan semakin baik. Kualitas air juga mempengaruhi biaya produksi yang harus dikeluarkan PDAM. Semakin baik kualitas air maka biaya produksi akan semakin kecil. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB, kualitas air baku air minum yang buruk membuat biaya produksi meningkat antara 25% s/d 40%. Dengan demikian seharusnya biaya produksi PDAM dapat dikurangi sebesar 25% dari biaya produksi saat ini. Biaya produksi tidak hanya mempengaruhi keuntungan yang dapat diperoleh PDAM namun juga mempengaruhi biaya untuk konservasi karena berdasarkan peraturannya biaya konservasi adalah 15 % dari kentungan yang diperoleh. Sub model ini berkaitan dengan sub model ketersediaan air melalui variabel debit andalan. Pada sub model kualitas air, debit andalan digunakan untuk menghitung biaya produksi dan penjualan air.

(34)

Keuntungan

Ketersediaan Air

+

-+

Biaya Produksi

Biaya Konservasi

KualitasAir Baku

Indeks Kulaitas Air

-+

+

+

-COD

Kekeruhan

DO

BOD

Persentase Peningkatan

Kualitas Air

--

-+

Gambar 30 Causal loop sub model kualitas air.

3

(35)

Penurunan BOD BOD

DO

Biaya Produksi per m3

Benefit

Konservasi Hasil Penjualan Air

Penurunan DO

Harga jual air per m3

Persentase Alokasi Dana Reboisasi Kualitas Air Baku

Debit Model

Total Biaya Produksi Kekeruhan Maksimum

Penurunan Kekeruhan Max

Kekeruhan Penurunan Kekeruhan BOD Max Indeks DO Indeks Kekeruhan Indeks DO DO Maksimum Penurunan DO Max

Peningkatan Kualitas Air

Indeks Kekeruhan

Penurunan BOD Max

Peningkatan Kualitas Air Indeks BOD

Indeks BOD

COD Maksimum

Indeks COD

Pnurunan COD Max

COD

Penurunan COD Peningkatan Kualitas Air

Indeks COD

Gambar 31 Diagram alir sub model kualitas air.

1

3

(36)

5.4. Validasi Model Pengelolaan Air Baku DAS Babon

Validasi adalah proses untuk melihat seberapa jauh model dapat merepresentasikan sistem nyata. Teknik validasi yang utama dalam metode berfikir sistem adalah validasi struktur model, yaitu sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang berorientasi proses, keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauhmana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi sistem nyata. Sedangkan validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berfikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana “kinerja” model (compatible) dengan “kinerja” sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk sejauh mana perilaku “output” model sesuai dengan perilaku data empirik (Muhammadi et al. 2001).

5.4.1. Validasi Struktur Model

Validasi struktur model dilakukan terhadap 3 sub model yaitu sub model kebutuhan air baku, ketersediaan air dan kualitas air. Interaksi antara variabel-variabel di dalam masing-masing sub model harus sesuai dengan sistem nyata atau tidak berlawanan dengan teori pengetahuan.

5.4.1.1. Sub Model Kebutuhan Air Baku

Sub model kebutuhan air baku adalah sub model yang menggambarkan kebutuhan air baku dalam tiga sektor yaitu domestik, industri dan perhotelan. Untuk melihat interaksi antara variabel di dalam sub model kebutuhan air baku maka dilakukan simulasi dengan menggunakan data Daerah Aliran Sungai Babon sebagai data input. Beberapa variabel yang digunakan untuk validasi struktur yaitu populasi, total kebutuhan air baku dan kebijakan reduce, reuse, dan recycle. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 32.

Berdasarkan Gambar 32 dapat diketahui bahwa dengan bertambahnya populasi tiap tahunnya, total kebutuhan air baku juga terus meningkat. Hal ini sesuai dengan keadaan sistem nyata yang dapat dibuktikan dengan data populasi dan total kebutuhan air baku di DAS Babon yang dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Berdasarkan simulasi model terlihat bahwa apa yang terjadi dalam

(37)

dunia model memiliki keserupaan dengan dunia nyata, karena secara logika bila jumlah penduduk bertambah maka kebutuhan air akan meningkat. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa model ini dapat dikatakan valid. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan penduduk dalam kurun waktu 50 tahun mencapai 3 029 528 jiwa dengan total kebutuhan air baku sebesar 137 000 000m3. Namun hasil simulasi ini adalah hasil simulasi dengan menggunakan nilai variabel reduce, reuse, dan recycle sebesar 0%. Variabel ini adalah salah satu kebijakan dalam rangka efisiensi penggunaan air. Hasil simulasi menggunakan variabel reduce, reuse, dan recycle dapat dilihat pada Gambar 33.

Gambar 32 Validasi struktur sub model kebutuhan air baku.

Gambar 33 Validasi struktur sub model kebutuhan air baku dengan kebijakan reduce,reuse dan recycle.

(38)

Berdasarkan hasil simulasi seiring bertambahnya jumlah penduduk, total kebutuhan air baku juga meningkat tiap tahunnya. Namun dengan adanya kebijakan reduse dan reuse dalam sektor domestik dan perhotelan sebesar 15% dan kebijakan reduce, reuse, dan recycle dalam sektor industri sebesar 15% maka total kebutuhan air baku akan berkurang. Pada Gambar 33 dapat dilihat bahwa dengan jumlah penduduk 3 029 528 jiwa dengan total kebutuhan air baku yang dibutuhkan adalah sebesar 137 000 000 m3/tahun. Namun dengan adanya kebijakan reduce, reuse, dan recycle maka total kebutuhan air berkurang menjadi 121 000 000 m3/tahun atau berkurang sebesar 16 000 000 m3/tahun.

Validasi struktur model tidak hanya dilakukan dengan cara melihat kesesuaian interaksi antara variabel model melalui simulasi. Tetapi validasi struktur juga dapat dilihat dari kesetaraan satuan antara variabel model. Kesetaraan ini dilihat dengan pengecekan terhadap persamaan yang digunakan dalam model. Untuk sub model kebutuhan air baku persamaan yang digunakan adalah:

Jumlah Penduduk x Kebutuhan standar (0.150 m/detik) x 365 hari = m3/tahun.

Total kebutuhan air sangat dipengaruhi dari laju pertumbuhan penduduk, laju pertumbuhan hotel dan laju pertumbuhan industri. Semakin besar laju pertumbuhan penduduk, hotel dan industri maka kebutuhan air akan semakin meningkat. Semakin tinggi kelas masyarakat dan hotel maka kebutuhan standarnya pun semakin meningkat. Begitu juga dengan industri, semakin besar skala industrinya maka kebutuhannya pun semakin besar. Salah satu upaya mengimbangi semakin meningkatnya jumlah penduduk, hotel dan industri adalah dengan menerapkan program reduce, reuse, dan recycle. Program ini diharapkan dapat mengurangi kebutuhan masing-masing sektor.

5.4.1.2. Sub Model Ketersediaan Air Baku

Validasi struktur pada sub model ketersediaan air dilakukan dengan melakukan simulasi untuk melihat pengaruh tindakan konservasi terhadap debit model dan total ketersediaan air. Ketersediaan air pada sub model ini berasal dari air permukaan dan air tanah. Pada model ini pemakaian air tanah diminimalisir agar keberlangsungannya tetap terjaga, maka dilakukan upaya konservasi agar air

(39)

permukaan tetap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Upaya konservasi dilakukan berdasarkan land use. Pada DAS Babon land use dibagi 4 yaitu pemukiman, tegalan, sawah dan hutan. Pada simulasi ini dilakukan konservasi seperti pada sumur resapan, terasering, System Rice Intensificasion sebesar 5% per tahun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 34.

Total ketersediaan air semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan menurunnya nilai koefisien run off. Nilai koefisien run off sangat mempengaruhi jumlah air permukaan yang tersedia. Semakin kecil nilai koefisien run off maka debit air permukaan akan semakin besar. Berdasarkan Gambar 34 total ketersediaan air meningkat dari tahun 2010 sampai tahun 2030 dan konstan untuk tahun > 2030. Hal ini disebabkan oleh target konservasi dalam kurun waktu 20 tahun dengan persentase konservasi 5% pertahun. Jadi persentase konservasi akan menjadi 100% pada tahun 2030. Koefisien run off dan debit model juga berada dalam kondisi maksimal pada tahun 2030. Kondisi ini akan konstan dari tahun ke tahun jika konservasi dilakukan secara berkelanjutan.

Gambar 34 Validasi struktur ketersediaan air baku.

5.4.1.3. Sub Model Kualitas Air Baku

Kualitas air baku dilihat dari sebuah indeks yang menggambarkan kualitas air yang dipengaruhi oleh parameter seperti COD, BOD, DO dan kekeruhan. Nilai masing-masing parameter dapat berubah dengan adanya upaya peningkatan

Gambar

Gambar    20  Peran  masing-masing  atribut  aspek  ekologi  yang  dinyatakan  dalam  bentuk nilai root mean square (RMS)
Gambar  21  Peran  masing-masing  atribut  aspek  ekonomi  yang  dinyatakan  dalam  bentuk nilai root mean square (RMS)
Gambar  22  Peran  masing-masing  atribut  aspek  sosial  yang  dinyatakan  dalam  bentuk nilai root mean square (RMS)
Tabel  22  Atribut-atribut  yang  berpengaruh  dalam  pengelolaan  air  baku  DAS  Babon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel ini memiliki nilai signifikansi yang memenuhi syarat untuk dianalisis lebih lanjut karena rencana revitalisasi transportasi sungai di kota Banjarmasin

Pembahasan mengenai kinerja guru mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa pada SMA Negeri Kota Sigli Kabupaten Pidie, secara psikologis

[r]

Kuadran I adalah posisi yang sangat bagus, dimana terdapat indikasi peluang yang begitu besar bagi Account officer dalam hal melakukan salah satu tugasnya yaitu

Orang yang sangat berperan dalam nengatur aktifitas proses belajar mengajar adalah kepala sekolah sebagai pemimpin serta bertanggungjawab terhadap pelaksanaan semua

Ketika ditanya pandangannya tentang bagaimana etnik Tionghoa dipahami oleh non- Tionghoa dewasa ini, beliau berpendapat bahwa ada atau tidaknya diskriminasi terhadap etnik

Formulir Pemesanan Pembelian Unit Penyertaan beserta bukti pembayaran yang diterima oleh Manajer Investasi atau Agen Penjual yang ditunjuk oleh Manajer Investasi sampai dengan

Untuk lebih memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kepada DPRD diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak terdapat di dalam perundang-undangan