• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA ISLAM. Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA ISLAM. Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA ISLAM 2.1 Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadis (Ali 2011, 1). Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.

Hukum pidana Islam merupakan syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at Islam yang di maksud yaitu, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintahkan Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain (Ali 2011, 1).

Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan

(2)

20

manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.

2.2 Bentuk-Bentuk Jarimah Dalam Hukum Pidana Islam

Menurut bahasa jarimah diartikan sebagai usaha dan bekerja hanya saja pengertian usaha di sini khusus usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci oleh manusia (Zahrah tt, 22).

Artinya : Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan dan jalan yang lurus (agama)(Zahrah tt, 22).

Dari keterangan di atas sangat jelas sekali bahwa jarimah adalah melakukan perbuatan-perbuatan atau hal yang di pandang tidak baik, di benci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran dan jalan yang lurus (agama) (Muslich 2004, 9). pengertian Jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah

Artinya: Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir (Al Mawardi, 1973, 219).

Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Quran dan Al-hadits, atas dasar ini mereka membagi menjadi tiga macam, yaitu :

(3)

21 2.2.1 Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat) (Muslich 2004, 17). Jamaknya “had” arti menurut bahasa ialah Menahan (menghukum). Menurut istilah hudud berarti sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum. Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 2 :

                            

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah

(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh

sekumpulan orang-orang yang beriman(Ali 2011, 2).

Kemudian dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 33 yang berbunyi :

(4)

22                                     

Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Selanjutnya dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 38 :                Artinya : laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Adapun pembagian dari Jarimah Hudud ini terbagi atas tujuh macam yaitu:

1. Jarimah Zina,

2. Jarimah Qadzaf (menuduh berbuat zina),

3. Jarimah Syurb al-Khamr (Meminum minuman keras), 4. Jarimah Pencurian,

5. Jarimah Hirabah (Perampokan),

(5)

23

7. Jarimah Riddah (Murtad) (Hanafi 1990, 7). 2.2.2 Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah qishas dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’ (Muslich 2009 18). pelanggaran yang bersifat pengrusakan badan atau menghilangkan jiwa, qishas merupakan hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’ seperti dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah Ayat 45 :                                  

Artinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Kemudian dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 178 :                                          

(6)

24

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.

Diat adalah jama’ dari kata ad-diyah. Yang berarti harta yang harus diserahkan kepada orang yang menjadi korban kriminalitas atau kepada walinya karena suatu tindak kriminalitas (Al-Fauzan 2005, 1006). Diat adalah wajib atas setiap orang yang membuat kerusakan pada orang lain secara langsung, misalnya, memukul, menabrak dengan mobil, atau menjadikan orang mati karena sesuatu yang diperbuat. Misalnya, orang yang menggali sumur di jalan umum atau meletakkan batu didalammya sehingga perbuatannya itumenyebabkan kematian orang (Al-Fauzan 2005, 1006). Hal ini dijelaskan dalam Al-Quraan Surah An-Nisa’ Ayat 92 :

                                                                 

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah

(7)

25

(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Jarimah Qishash dan Diyat ini ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam, yaitu:

1. Pembunuhan sengaja.

2. Pembunuhan menyerupai sengaja. 3. Pembunuhan karena kesalahan. 4. Penganiayaan sengaja.

5. Penganiayaan tidak sengaja (Audah tt, 80). 2.2.3 Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zir adalah adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam Al-Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak dan mencegah (Muslich 2004, 19). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan

(8)

26

hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

Ta’zir ini dibagi menjadi empat bagian:

2.2.3.1 Jarimah Hudud atau Qishah dan Diyat yang Syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.

2.2.3.2 Jarimah Hudud atau Qishasul Diyat yang tidak memenuhi syarat akan di jatuhi hukuman ta’zir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, percobaan zina.

2.2.3.3 Jarimah-jarimah yang ditentukan Al-Quran dan Hadits, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan menghina agama.

2.2.3.4 Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemashlahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran Islam di jadikan pertimbangan penentuan kemashlahatan umum (Irfan 2013, 144). Persyartan kemaslahatan ini secara terinci diuraikan dalam bidang studi Ushul Fiqh, misalnya, pelanggaran atas peraturan lalu-lintas. Sedangkan jarimah

(9)

27

berdasarkan niat pelakunya dibagi menjadi menjadi dua, yaitu:

1. Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah).

2. Jarimah karena kesalahan (jarimah ghayr al-maqsudah/jarimah al-khatha’)

2.3 Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan (termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (al-qadzaf), meminum-minuman memabukkan (khamr), membunuh dan atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan geraka-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan (Ali 2012, 9). Hukum kepidanaan yang disebut dengan jarimah. Jarimah terbagi dua, yaitu jarimah hudud dan jarimah ta’zir.

Kata hudud (berasal dari bahasa arab) adalah jamak dari kata had. Had secara harfiah ada beberapa kemungkinan arti antara lain batasan atau defenisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had dalam pembahasan fiqh (hukum Islam) adalah ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral; sedangkan menurut syariat Islam, yaitu ketetapan Allah yang terdapat didalam al-qur’an, dan atau kenyataan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Tindakan kejahatan dimaksud, baik dilakukan oleh seseorang atau kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam istilah fiqh disebut dengan

(10)

28

jarimah. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih seseorang yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had. Jenis-jenis had yang terdapat di dalam syariat Islam, yaitu rajam, jilid atau dera, potong tangan, penjara atau kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan atau depotasi, dan salib.

Adapun jarimah, yaitu delik pidana yang pelakunya diancam sanksi had, yaitu zina (pelecehan seksual); qadzaf (tuduhan zina); sariqah (pencurian), (penodongan harabah, perampokan, teroris); khamr (minuman dan obat-obat terlarang); bughah (pemberontakan atau subversi); dan riddah atau murtad (beralih atau pindah agama). Selain jarimah hudud dalam hukum pidana Islam, ada juga jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir secara harfiah bermakna memuliakan atau menolong. Namun, ta’zir dalam pengertian istilah hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat.

Tindak pidana yang dikelompokkan atau yang menjadi objek pembahasan ta’zir adalah tindak pidana ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan perbuatan kejahatan selain zina, pencuria yang nilainya tidak sampai satu nisab harta, khamar dan perjudian (Ali 2012, 10). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 219, yang berbunyi :

(11)

29                               

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.

Dalam ayat di atas tidak diterangkan hukuman bagi pelaku peminum khamar dan perjudian akan tetapi dalam ayat di atas diterangkan tentang hukum bagi pelaku yang meminum khamar dan melakukan perjudian, yaitu diharamkan oleh Allah meskipun kegiatan tersebut mengandung hal yang bermanfaat akan tetapi lebih besar kemudharatannya. Maka untuk memberikan hukuman kepada pelaku yang meminum khamar dan pejudi tersebut diputuskan oleh hakim yang mana hukumannya tersebut merupakan hukuman ta’zir sebagaimana dijelaskan di atas.

Selanjutnya, jenis hukuman yang termasuk jarimah ta’zir antara lain hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan manusia. Menurut Imam Abu Hanifah, pelanggaran ringan

(12)

30

yang dilakukan oleh seseorang berulangkali dapat dilakukan atau dapat dijatuhi oleh hakim hukuman mati. Misalnya pencuri yang dimasukkan lembaga pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ketika ia sudah dikenai sanksi hukuman penjara, hakim berwenang menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Keputusan mengenai sanksi hukum dan pihak yang diberi kewenagan untuk menetapakan jenis hukuman dan pelaksanaan ta’zir adalah pihak pemerintah kecuali guru dalam rangka mendidik murid-muridnya, orang tua dalam rangka mendidik anak-anaknya, suami dalam rangka mendidik istrinya. Ketentuan dimaksud, perbuatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, suami, hakim, sebatas sesuai dengan kepatutan dan bersifat upaya mendidik, bukan sengaja untuk menyakiti atau menciderai (Ali 2012, 10).

Selain itu, perlu diungkapkan bahwa dalam hukum pidana Islam dikenal delik pidana qishash. Secara harfiah qishash artinya memotong atau membalas. Qishash yang dimaksud dalam hukum pidana Islam pembalasan setimpal yang dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya, lain halnya diat. Diat berarti denda dalam bentuk denda atau harta berdasarkan ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya.

Sanksi hukum bagi orang yang membunuh diserahkan kepada manusia, dalam arti manusia sebagai subjek hukum yang diberikan

(13)

31

kewenangan untuk memilih sanksi hukum dari dua alternatif, yaitu: (a) pembunuh itu diberikan hukuman yang setimpal, yaitu dibunuh bagi pembunuhan yang disengaja, dan (b) pembunuh membayar diat kepada keluarga korban bagi pembunuhan yang tidak disengaja.

Oleh karena itu, Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Arif Furqan mengelompokkan qishash menjadi dua, yaitu qishash an-nafs (pembunuhan) dan qishash ghairu an-nafs (bukan pembunuhan). Qishash an-nafs, yakni qishash yang membuat korbannya meninggal. Qishash ghairu an-nafs yaitu qishash yang berkaitan dengan pidana pencederaan atau melukai, namun korbannya tidak sampai meninggal. Kelompok pertama disebut qatlu (pembunuhan), dan kelompok kedua disebut al-jarhu (pencederaan).

2.4 Unsur-Unsur Hukum Pidana Islam

Untuk menentukan suatu hukum terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral sebagai berikut: 2.4.1 Secara yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. (pencipta manusia).

2.4.2 Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat

(14)

32

dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut mukallaf. Mukallaf adalah orang islam yang sudah baligh dan barakal sehat (Ali 2012, 22).

Selain unsur-unsur hukum pidana yang telah disebutkan, perlu diungkapkan bahwa hukum pidana Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut :

1. Dari segi berat atau ringannya hukuman, maka hukum pidana Islam dapat dibedakan menjadi (a) jarimah hudud, (b) jarimah qishash, dan (c) jarimah ta’zir.

2. Dari segi unsur niat, ada dua jarimah, yaitu (a) yang disengaja, dan (b) tidak disengaja.

3. Dari segi cara mengerjakan, ada dua jarimah, yaitu (a) yang positif, dan (b) negatif.

4. Dari segi korban, jarimah itu ada dua, yaitu (a) perorangan, dan (b) kelompok.

2.5 Macam-Macam Hukuman Dalam Pidana Islam

Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi dalam beberapa bagian, dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam Hal ini ada lima penggolongan (Muslich 2004, 142).

2.5.1 Ditinjau dari pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, sebagai berikut:

(15)

33

2.5.1.1 Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.

2.5.1.2 Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.

2.5.1.3 Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarga. 2.5.1.4 Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.

2.5.2 Ditinjau dari segi kekuasaan kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian (Muslich 2004, 143).

(16)

34

2.5.2.1 Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali). 2.5.2.2 Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas

terendahnya, dimana hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir. 2.5.3 Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman

tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut.

2.5.3.1 Hukuman yang sudah ditentukan (‘Uqubah Muqaddarah) yaitu hukuman-hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh syara’ dan hakim berkewajiban untuk memutuskannya tanpa dikurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan (Uqubah Lazimah). Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak berhak untuk menggugurkannya atau memaa’fkannya.

2.5.3.2 Hukuman yang belum ditentukan (Uqubah Ghair Muqaddarah), yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ dan menentukan jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku dan

(17)

35

perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan (‘Uqubah Mukhayyarah) karena hakim dibolehkan untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut.

2.5.4 Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman maka hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

2.5.4.1 Hukuman badan, (‘Uqubah Badaniyah) yaitu hukuman yang dikenakan atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera), dan penjara.

2.5.4.2 Hukuman jiwa, (‘Uqubah Nafsiyah), yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa manusia, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan, atau teguran.

2.5.4.3 Hukuman harta, (Uqubah Maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.

2.5.5 Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut.

2.5.5.1 Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.

2.5.5.2 Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.

2.5.5.3 Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir.

(18)

36

2.5.5.4 Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir (Muslich 2004, 144).

Pembagian hukuman yang kelima ini merupakan pembagian yang sangat penting, karena sebenarnya inilah substansi dari hukuman pidana Islam.

2.6 Tujuan Hukuman Dalam Pidana Islam

Hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman pidana Islam berdasarkan syari’at Islam dijelaskan sebagai berikut:

2.6.1 Pencegahan ( )

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.

2.6.2 Perbaikan dan Pendidikan ( )

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap

(19)

37

diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha dari Allah SWT (Muslich 2004, 138).

2.6.3 Kemaslahatan Masyarakat

Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya (Rahmat 2007, 63-66).

2.7 Penganiayaan Binatang Menurut Hukum Pidana Islam

Islam yang merupakan agama rahmatan lil alamin memberikan cara-cara yang baik untuk menghormati sesama mahluk cipataan Allah. Islam mengajarkan bagaimana cara kita untuk menghormati dan melestarikan kehidupannya. Allah telah menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di dunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah 45 ayat 13 :

(20)

38                  

Artinya : Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan.

Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa sang pencipta telah menjadikan semua yang ada dialam ini (termasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga (Herlan 2010, 66-68). Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut :              

Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.

Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini,

(21)

39

Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis: Segala yang di muka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan, Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan, dan melestarikannya sebisa mungkin yang dengan demikian, mensyukuri nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata (Herlan 2010, 69).

Islam pada dasarnya adalah agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah, manusia dan manusia, serta antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam mengajarkan dalam pemanfaatan satwa itu tidak diperbolehkan menyakiti binatang. Islam juga mengajarkan untuk menyayangi satwa. Ajaran Islam untuk menyayangi satwa itu bisa dilihat dari hadist :

Artinya : Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu menngelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut (al-'Aini, 1973, 219). Hadist ini menceritakan tentang kisah seorang wanita tuna susila dari keturunan Bani Israil. Suatu ketika dia berjalan menyusuri padang pasir yang luas, dia sangat kehausan. Maka dia mencari sumber mata air, padahal waktu itu matahari tengah teriknya dan dia berada di luasnya padang pasir. Karena kegigihannya dia akhirnya menemukan sumber mata air itu yang berupa sumur.

(22)

40

Maka ketika dia sampai pada sumur tersebut, Ia melihat seekor anjing yang terengah-engah sambil terus menjulurkan lidahnya. Tampaknya anjing itu sangat kehausan sekali. Tergerak hatinya karena merasa kasihan dan tidak tega pada anjing tersebut. Di lepasnya sepatunya lalu di ikatnya dengan kerudungnya untuk menimba air sumur itu, lalu diberinya anjing itu minum. Padahal dia sendiri belum sempat minum air dari sumur itu. Setelah anjing itu minum, wanita itu meninggal dunia di panggil oleh Rabb Nya (Nafi, 2010, 7).

Penganiayaan, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah setiap perbuatan menyakiti mahkluk lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan yang melawan hukum atas mahkluk, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu (Muslich 2005, 179).

Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa seperti yang dikemukakan dalam definisi di atas adalah perbuatan menyakiti, setiap jenis pelanggaran yang bersifat menyakiti atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan. Oleh karena itu sasaran tindak pidana ini adalah badan atau jasmani manusia maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk dalam definisi di atas, karena perasaan bukan jasmani dan

(23)

41

sifatnya abstrak, tidak konkrit. Perbuatan yang menyakiti perasaan dapat dimasukkan kedalam tindak pidana penghinaan atau tindak pidana lain (Muslich 2005, 179).

Kita patut mencermati bahwa umat Nabi Muhammad saw itu tidak hanya terbatas pada manusia saja, namun juga seluruh semesta alam. Dengan demikian, semua binatang, tumbuhan dan benda-benda tak hidup juga termasuk sebagai umat Nabi Muhammad. FirmanAllah dalam suratAl-An'am ayat 38 menyebutkan :

                        

Artinya : Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. Manusia tidak bisa menyombongkan diri sebagai makhluk yang memiliki derajat paling tinggi karena derajat itu bergantung pada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa bukan hanya manusia tetapi seluruh makhluk di muka bumi ini beribadah menurut caranya masing-masing seperti yang disunnahkan oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya :

                       

Artinya : Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan

(24)

42

mengembangkan sayapnya. masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Dari kedua ayat di atas, jelaslah bahwa tidak ada alasan lagi bagi kita (manusia) untuk bertindak semena-mena, melakukan pengerusakan terhadap alam dan mendzalimi mahluk hidup lainnya. Dua ayat di atas bisa sebagai awal untuk mengkaji pandangan Islam terhadap satwa atau binatang. Dan bentuk kepedulian Islam terhadap alam dan binatang tidak terbatas dengan kedua ayat tersebut.

Ada banyak FirmanNya dan sunnah-sunnah Rasul sebagai landasan kita untuk menunjukkan kepedulian dan kasih sayang kita terhadap semua makhluk, baik itu makhluk tidak bernyawa seperti air, tanah, bebatuan,gunung-gunung juga kepada makhluk hidup seperti sesama manusia, pohon-pohon dan tanaman serta hewan-hewan baik jinak maupun liar.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis telah berhasil menyelesaikan penelitian yang berjudul “Efek Anti

Apabila Pelayanan parkir yang ada di Jalan Soekarno – Hatta masih dapat memenuhi jumlah permintaan kendaraan parkir, akan tetapi kinerja ruas jalan pada jalan tersebut

 Mahasiswa memahami dan mengetahui tentang gaya-gaya dalam dari struktur balok terletak diatas dua perletakan dengan beban-beban terpusat, beban terbagi rata dan segitiga, dan

Bagaimanakah seharusnya kita menghadapi penderitaan saat kita mengetahui bahwa Yesus datang untuk memberikan kepada kita hidup yang berkelimpahan dan

Sehingga dapat disimpulkan dari penelitian responden bahwa sebagian responden memiliki loyalitas tinggi terhadap jasa perbaikan/servis yang ditawarkan bengkel Astra

Jika hasil belajar rendah disebabkan karena mengalami masalah keluarga atau yang lain, agar anak berani minta bimbingan dari guru, atau orang lain yang

Karena ditemukannya IC (Integrated Circuit) yang mampu menampung banyak komponen elektrik dalam satu chip membuat computer pada generasi keempat menjadi jauh lebih

Kesulitan-kesulitan belajar siswa tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik itu dari dalam (internal) ataupun dari luar (eksternal) siswa. Pada dasarnya kesulitan belajar siswa