• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Personal Growth

2.1.1 Definisi Personal Growth

Istilah growth ( pertumbuhan ) mempunyai cakupan yang sangat luas dan dipakai dalam berbagai disiplin ilmu. Pertumbuhan dapat dijelaskan secara biologis, sosial ataupun psikologis. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya dipakai istilah yang lebih khusus lagi, yaitu personal growth. Dalam tulisan ini, pengertian pertumbuhan yang dipakai adalah yang sesuai dengan definisi personal growth. Beberapa definisi personal growth adalah :

- Change or development in a desirable direction (Atwater, 1983)

- Self initiated efforts to become what we are capable of being...not a reation to stress, but rather taking on of self-imposed challenges ( (Nevid, 1983)

- Becoming what we visualize ourselves to be capable of becoming (Martin, 1989)

- ...farther than just adjusment, becoming our self, pressing out our creative capability to the farthes limits of self. (Nevid, 1983)

Dalam penelitian ini, definisi personal growth yang dipergunakan adalah definisi yang diberikan oleh Atwater ( 1983 ), yaitu : perubahan atau perkembangan menuju kearah yang diharapkan. Definisi yang diberikan Atwater

(2)

mempunyai batasan pengertian sehingga tidak terkesan kabur dan meluas, berikut penjelasannya mengenai definisi tersebut :

1. Perubahan dan perkembangan

Batasan dari perubahan atau perkembangan yang dimaksud adalah setiap perubahan atau perkembangan yang bersifat psikologis.

2. Arah yang diharapkan

Arah yang dimaksud disini adalah menuju ke suatu kondisi yang lebih baik atau lebih positif. Yang menentukan kriteria ‘baik’ dan ‘positif’ tersebut ada dua, pertama adalah individu itu sendiri secara subyektif sedang yang kedua adalah lingkungan sosialnya tidak menganggap perubahan itu baik, maka tidak akan dikatakan bahwa individu itu bertumbuh.

Dengan demikian maka definisi yang lebih jelas mengenai personal growth yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan atau perkembangan secara psikologis menuju kearah yang diharapkan atau dianggap baik dan positif oleh individu itu sendiri serta lingkungan sosialnya.

2.1.2 Lingkup dalam Personal Growth

Personal growth mencakup semua jenis perubahan psikologis yang terjadi dalam diri seseorang. Dalam pandangan umum seseorang bisa dikatakan telah bertumbuh jika orang tersebut menjadi lebih sabar, lebih memiliki pengertian, lebih memiliki tanggung jawab dan sebagainya. Bisa juga seseorang dikatakan bertumbuh jika ia berubah dari seseorang yang pemalas menjadi orang rajin, dari

(3)

penakut menjadi pemberani, atau dari manja menjadi mandiri. Dari sini dapat dilihat bahwa pertumbuhan merupakan suatu hal yang sangat bervariasi dan kompleks.

Menurut Atwater (1983) ada beberapa hal yang menyebabkan banyaknya variasi dalam konsep growth. Salah satu penyebabnya adalah para pakar di bidang personal growth sendiri mempunyai titik berat yang berbeda dalam memahami personal growth. Maslow misalnya, menekankan pada aspek motivasinya, sedangkan Rogers lebih melihat pada perubahan konsep diri seseorang ( Atwater, 1983).

Fakor lainnya adalah perbedaan yang terdapat dalam diri masing – masing individu tersebut. Perbedaan dalam hal pertumbuhan tersebut tergantung dari kebutuhan individu, nilai-nilai (values), dan yang terutama adalah perkembangan yang dialami oleh individu tersebut sebelumnya ( Atwater, 1983). Misalnya saja jika ada seseorang yang dikenal pemarah kemudian menjadi lebih sabar, maka bisa dikatakan orang itu telah bertumbuh. Hal ini mungkin tidak menjadi permasalahan bagi orang lain yang bukan seorang pemarah. Atau bisa juga seseorang yang sudah bisa bersikap sabar dalam beberapa hal akan belajar untuk bersikap sabar dalam kondisi lain yang mungkin lebih sulit. Bisa dikatakan bahwa masing-masing individu yang mengalami pertumbuhan akan berbeda dalam aspek pertumbuhan ( dalam hal apa dia bertumbuh ) serta derajat pertumbuhan ( seberapa jauh dia bertumbuh ). (Nevid, 1983) (Erikson, 1963)

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan merupakan konsep yang bersifat subyektif. Kita tidak dapat membuat patokan

(4)

baku bahwa seseorang baru dikatakan bertumbuh jika ia bertumbuh hanya dalam aspek tertentu atau jika ia sudah bertumbuh sampai taraf tertentu. Dengan demikian maka batasan pertumbuhan kembali lagi ke definisi personal growth, yaitu setiap perubahan dan perkembangan secara psikologis ke arah yang diharapkan atau dianggap baik oleh individu itu serta lingkungan sosialnya. ( Atwater, 1983 )

2.1.3 Faktor Yang Mendorong Terjadinya Pertumbuhan

Menurut Atwater ( 1983 ) ada beberapa kondisi atau faktor yang dapat mendorong seseorang untuk bertumbuh dengan lebih cepat. Beberapa kondisi tersebut adalah :

2.1.4 Perubahan fisik

Seseorang dapat berubah karena terjadinya perubahan fisik. Seorang anak yang masuk kedalam masa remaja misalnya, membuat anak tersebut harus melihat dirinya secara berbeda dan mulai melakukan hal serta peran yang baru. Remaja tersebut juga harus meninggalkan kebiasaanya sebagai seorang anak kecil. Penyakit dan kecelakaan dapat pula mengubah hidup kita. Mungkin ada hal-hal yang sekarang tidak dapat lagi dilakukan karena kejadian tersebut. Ada kemungkinan hal tersebut dapat membuat kita mengalami kemunduran, akan tetapi tidak sedikit yang menunjukkan pertumbuhan dalam dirinya

(5)

2.1.5 Perubahan pada lingkungan

Perubahan pada lingkungan juga dapat memicu pertumbuhan. Perubahan tersebut misalnya perpindahan ke tempat lain, masuk ke lingkungan baru, adanya anggota keluarga yang baru, masuk ke sekolah yang baru dan sebagainya.

2.2.3 Kejadian-kejadian hidup yang penting ( significant life events )

Berbagai kejadian hidup yang penting dapat pula menjadi pemicu pertumbuhan. Kejadian tersebut dapat bersifat menyenangkan seperti : kelulusan, promosi, pernikahan, kelahiran anak, dan sebagainya. Namun satu hal yang menarik adalah bahwa tidak hanya kejadian yang menyenangkan saja yang dapat membuat seseorang bertumbuh. Kejadian – kejadian yang tidak menyenangkan pun dapat membuat seseorang bertumbuh. Kejadian tersebut misalnya : kehilangan pekerjaan, gagal, perceraian bahkan kematian dari seseorang yang dicintai. Menurut Atwater ( 1983) setiap kasus atau kejadian memicu pertumbuhan dengan cara megkonfrontasikan kita dengan peran-peran serta tanggung jawab yang baru.

Ketiga kondisi diatas bersifat eksternal, yaitu kondisi-kondisi yang terjadi di luar diri kita dan umumnya memaksa kita untuk melakukan perubahan hidup. Tetapi sering kali stimulus tersebut justru muncul dari dalam diri kita, secara intenal, dari perasaan dan persepsi yang dimiliki oleh orang tersebut terhadap situasi yang dihadapi ( personal realm of life )

(6)

Atwater ( 1983 ) mengatakan bahwa suatu perasaan tidak puas dan tidak enak yang berkembang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada akhirnya dapat menggerakkan kita untuk betumbuh. Perubahan yang sifatnya dari dalam ini ( inner change ) merupakan faktor yang sangat penting dan diperlukan agar seseorang dapat mengalami pertumbuhan.

Selain pembagian yang diberikan oleh Atwater, secara umum penyebab pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua faktor :

1. Faktor internal, yaitu pertumbuhan yang terjadi disebabkan oleh adanya inner change atau perubahan dari dalam diri orang tersebut. Perubahan itu bisa berupa munculnya suatu kesadaran diri akan rasa tanggung jawab, adanya keinginan untuk berkembang, konsep diri yang berubah, motivasi tinggi dan sebagainya. Beberapa ahli menggangap faktor internal merupakan faktor utama penyebab pertumbuhan sehingga hal tersebut tersirat dari definisi personal growth yang mereka berikan ( Atwater, 1983, Rathus & Nevid, 1983).

2. Faktor eksternal, yaitu jika pertumbuhan disebabkan oleh faktor dari luar diri orang itu. Faktor luar itu berupa dukungan sosial, adanya tuntutan lingkungan dan sebagainya. Meskipun dibagi menjadi dua faktor, seringkali kedua faktor tersebut sama – sama berpengaruh terhadap pertumbuhan yang dialami oleh seseorang.

(7)

2.1.4 Tahapan Personal Growth

Pada tahun 1975 dalam satu tulisannya, Sidney Jourard ( Atwater, 1983 ) memperkenalkan konsep phenomenology of growth, yatu suatu penjelasan mengenai bagaimana kita secara subyektif mengalami pertumbuhan. Konsep ini dipergunakan untuk menjelaskan pertumbuhan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi didalam diri seseorang ( inner changes ). Menurut pandangan Jourard, pengalaman subyektif kita akan pertumbuhan cenderung mengikuti pola tiga fase atau tahapan ( Atwater, 1983) yaitu :

1. Pengakuan akan perubahan ( acknowledging change )

Menurut Jourard, suatu pertumbuhan selalu dimulai dengan pengakuan ( acknowledgement ) akan adanya perubahan. Dengan kata lain pemicu utama dari pengalaman pertumbuhan ini adalah adanya pengakuan bahwa keadaan yang terjadi sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya atau keadaan yang menurut keyakinan kita seharusnya terjadi. Seseorang yang dikritik pekerjaanya, adanya tanggung jawab yang baru dalam suatu perusahaan, adanya peran baru sebagai seorang suami atau seorang ayah, kecerobohan yang menimbulkan kerugian, gagal dalam ujian, harapan dari orang tua, semuanya itu merupakan kondisi yang menyadarkan kita akan adanya suatu perubahan dan perbedaan dengan kondisi sebelumnya maupun kondisi yang kita yakini seharusnya terjadi.

2. Perasaan disonan atau ketidakpuasaan ( a sense of dissonance or disaatisfaction ) .

Meskipun seseorang memiliki kesadaran akan adanya perubahan yang terjadi, namun hal itu saja belum cukup untuk mendorong seseorang bertumbuh. Hal ini

(8)

tergantung pada bagimana perubahan tersebut mempengaruhi seseorang. Ada dua reaksi yang mungkin terjadi terhadap kesadaran akan perubahan yang terjadi.  Reaksi pertama adalah reaksi yang bersifat defensif. Seseorang yang bereaksi defensif mengurangi kemungkinan untuk mengalami pertumbuhan karen orang tersebut tidak mau mengakui perubahan yang terjadi. Seseorang yang dikritik misalnya, mempertahankan dirinya dengan jalan menyalahkan lingkungannya atau orang lain.

 Reaksi kedua adalah pengakuan adanya perubahan tersebut, sehingga hal itu membuat seseorang merasa tidak puas ( dissatisfaction) atau mengalami disonansi akan kondisi orang tersebut. Perasaan inilah yang membangkitkan semangat dan motivasi untuk melakukan perubahan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa lingkaran pertumbuhan selalu dipicu oleh pengalaman yang bersifat mengecewakan dan kegagalan, meskipun bisa juga pertumbuhan terjadi pada kondisi yang relatif menyenangkan ( Atwater, 1983). Pada situasi yang bersifat negatif ( misalnya : gagal dalam ujian, dkritik), seseorang akan merasa tidak puas dan kecewa sehingga membuat orang tersebut berusaha agar dapat mengatasi kelemahannya, ( misalnya belajar rajin dan teratur, belajar lebih terbuka ). Sedangkan pada situasi positif pun ( naik pangkat, peran baru sebagai ayah), bisa muncul perasaan yang disonan. Sikap pertama yang harus disadari adalah bahwa situasi-situasi tersebut akan menuntut suatu tanggung jawab, sikap dan usaha yang lebih baik lagi. Untuk mengantisipasi agar mereka bisa berhasil dalam situasi yang baru, maka mereka harus mau mengubah cara hidupnya ( mis:

(9)

lebih bertanggung jawab, lebih perhatian, dan sebagainya ). Adanya sikap-sikap tersebut memungkinkan orang itu bertumbuh.

3. Reorganisasi pengalaman

Untuk menghapus perasaan tidak puas dan disonansi yang ada, maka seseorang harus melakukan suatu perubahan. Secara umum perubahan yang terjadi adalah dengan adanya suatu pemahaman atau pandangan yang baru terhadap kondisi yang dihadapi. Hal ini akan berpengaruh pada keyakinan seseorang, sikap, nilai-nilai dan bisa pula konsep diri orang tersebut. Seseorang dikritik misalnya, akan belajar untuk menerima kritikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Dengan demikian dia akan belajar untuk lebih terbuka agar bisa maju. Seseorang yang gagal dalam ujian akan belajar mengubah cara belajar serta manajemen waktunya. Seseorang yang dipromosi akan memiliki kepercayaan akan kemampuan dalam dirinya untuk melakukan hal-jal yang lebih sukar.

2.2. Tahapan Perkembangan Masa Anak Anak – Dewasa Muda

Dalam penelitian ini teori perkembangan yang digunakan adalah teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia, dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Adapun tahapan teori psiko-sosial yang digunakan dalam penelitian ini dari masa anak – anak sampai dewasa muda dimana penelitian ini hanya meneliti masa perkembangan individu dari masa anak – anak sampai dewasa awal yang tidak mendapatkan peran ayah. (Erikson, 1963)

(10)

Erikson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.

Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. (Erikson, 1963)

Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :

Developmental Stage Basic Components Infancy (0-1 thn) Early childhood (1-3 thn) Preschool age (4-5 thn) School age (6-11 thn) Adolescence (12-10 thn) Young adulthood ( 21-40 thn) Trust vs Mistrust Autonomy vs Shame, Doubt

Initiative vs Guilt Industry vs Inferiority Identity vs Identity Confusion

(11)

1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)

Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang-orang tuanya, tetapi orang-orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun.

Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan menggunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain, mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.

(12)

2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-Ragu

Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.

Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.

(13)

3. Inisiatif vs Kesalahan

Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya.

Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.

4. Kerajinan vs Inferioritas

Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry– inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di

(14)

pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.

Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih

(15)

banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua yang seimbang dalam mengontrol mereka.

5. Identitas vs Kekacauan Identitas

Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan.

Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan

(16)

dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain.

6. Keintiman vs Isolasi

Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa

(17)

tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.

2.3 Masa Perkembangan Tanpa Peran Ayah

2.3.1 Definisi Fatherless

Ketiadaan peran ayah dalam perkembangan seseorang biasa disebut dengan fatherless, dimana ketiadaan peran ayah dapat berupa ketidakhadiran secara fisik maupun psikologis dalam kehidupan anak. Maka dikenal dengan adanya ‘fatherless’, ‘father hunger’, ‘father absence’, atau ‘father loss’. Fatherless adalah ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak. Hal ini terjadi pada anak-anak yatim atau anak-anak yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya (Smith,2011).

Sebagaimana dinyatakan oleh (Smith, 2011) bahwa seseorang dikatakan mendapat kondisi fatherless ketika ia tidak memiliki ayah atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya yang disebabkan kematian, perceraian atau permasalahan pernikahan orang tua (Horn, 2013)

(18)

2.3.2 Penyebab Fatherless

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Aquilino, 1994) pada individu dewasa awal, yang mengalami perceraian orang tua, ditemukan kenyataan bahwa situasi tersebut membuatnya kehilangan komunikasi dengan ayah setelah perceraian terjadi. (Lowry, 1984) melakukan penelitian yang serupa pada anak-anak, dan menemukan hasil yang sama bahwa ditemukan ketidakpuasan dengan komunikasi dengan ayahnya, secara kuantitas.Kondisi tanpa ayah dapat juga terjadi dikarenakan anak tersebut merupakan hasil dari hubungan diluar pernikahan ataupun kematian.

Hal tersebut mengindikasikan adanya kekosongan figur dan keteladanan serta pengaruh ayah dalam hidupnya oleh karena jumlah pertemuan dan komunikasi yang terjadi diantara ayah dan anak yang minimal. Sementara pria yang mengalami perceraian harus berpisah tempat tinggal dengan anak-anaknya, menyatakan adanya kekurangan pertemuan dengan anak-anaknya (Lowry, 1984). Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan alokasi waktu yang kurang dari ayah itu sendiri dalam mengelola waktu pertemuan, kualitas dari pertemuan yang kurang maksimal atau dapat pula dikarenakan faktor ibu yang tidak bersedia untuk mempertemukan anak dengan ayahnya.

Perasaan benci yang dirasakan oleh ibu menyebabkannya tidak membiarkan anak untuk bertemu dengan ayahnya sama sekali, ( Furstenberg dan Winquist Nord, 1985;Braver,1991) atau jika diperbolehkan untuk menemui anak, seorang ibu yang melaksanakan pengasuhan bersama atau joint-custody akan turut campur dalam kunjungan ayah dengan maksud memberikan ayah tersebut

(19)

‘hukuman’ ( Braver,1991). ‘Father hatred” atau kebencian terhadap ayah oleh ibu mempengaruhi cara pandang anak secara langsung, hal ini ditemukan saat meneliti anak-anak yang mengalami pengasuhan bersama setelah perceraian orangtua (Lowry, 1984).

2.3.3 Peran Ayah Terhadap Perkembangan Anak

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah suatu partisipasi aktif ayah secara terus menerus dalam pengasuhan dimensi fisik, kognisi dan afeksi pada semua area perkembangan anak yaitu fisik, emosi, sosial dan intelektual dan moral (Abdullah, 2010)

Sementara itu Hart ( dalam Abdullah,2010) menjelaskan bahwa peran ayah diantaranya :

1. Memenuhi kebutuhan finansial anak untuk membeli segala keperluan anak 2. Teman bagi anak termasuk teman bermain

3. Memberi kasih sayang dan merawat anak

4. Mendidik dan memberi contoh teladan yang baik

5. Memantau atau mengawasi dan menegakkan aturan disiplin 6. Pelindung dari resiko atau bahaya

7. Membantu, mendampingi dan membela anak jika mengalami kesulitan atau masalah

(20)

Sebagai orang tua, salah satu tugas yang sangat mutlak pentingnya adalah parenting atau pengasuhan. Idealnya, antara ayah dan ibu diharapkan dapat saling membantu dan menguatkan satu sama lain saat menjalankan peran sebagai orang tua, menjadi ibu dan ayah. Menurut McBride dkk ( dalam Abdullah, 2010) bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan mencakup lima aspek yaitu :

1. Tangung jawab untuk tugas-tugas manajemen anak, 2. Kehangatan dan afeksi pada anak

3. Pekerjaan rumah yang diselesaikan bersama dengan anak 4. Aktivitas bersama yang terpusat pada anak

5. Pengawasan dari orang tua

Palkovitz (dalam Sanderson & Thompson, 2002) mengemukakan beberapa kategori keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang meliputi :

a) communication (mendengarkan, berbincang/berbicara, menunjukkan rasa cinta)

b) teaching (memberi contoh peran, melakukan aktivitas dan minat yang menarik)

c) monitoring (melakukan pengawasan terhadap teman-teman, pekerjaan rumah)

d) cognitive processes (khawatir, merencanakan, berdoa) e) errands (mengurus)

f) caregiving (memberi makan, memandikan) g) shared interest (membaca bersama)

(21)

i) planning (merencanakan berbagai aktivitas, ulang tahun)

j) shared activities (melakukan kegiatan bersama, misal belanja, bermainbersama)

k) preparing (menyiapkan makanan, pakaian) l) affection (memberi kasih sayang, sentuhan emosi) m) protection (menjaga, memberi perlindungan) n) emotional support (mendukung perasaaan anak )

2.3.4 Dampak Perkembangan Tanpa Peran Ayah

Berawal dari permasalahan anak di sekolah atau di lingkungan, muaranya ada pada kondisi yang dialami keluarga. Perpisahan orangtua yang berujung pada perpisahan dengan sosok ayah menjadi salah satu contohnya. Disekolah, anak-anak dengan kondisi keluarga demikian rentan mengalami ketertinggalan disekolahnya atau tidak naik kelas. Dalam hal ini, pendampingan ayah ternyata memiliki pengaruh yang signifikan pada pendidikan anak-anak. (Dawson, 1991)

Performansi akademik sangat dipengaruhi oleh ketiadaan atau ketidakhadiran peran ayah ( fatherless), yaitu berupa perilaku mengacau disekolah, penurunan performa pada tes bakat yaitu keterampilan kognitif, ketertinggalan di kelas dan secara keseluruhan. (Forehand, 1987)

Penelitian serupa pada anak-anak yang tidak tinggal dengan ayah dan ibunya akan berujung pada penyalahgunaan obat-obatan (Hoffmann, 2002).

Masalah perilaku tersebut dipengaruhi oleh ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak untuk memberikan batasan yang tegas atas tingkah laku yang

(22)

baik. Demikian pula jika aak hanya dibesarkan oleh seorang ibu, kehamilan dan melahirkan saat remaja,dan pernikahan dini dapat terjadi sebelum menginjak bangku SMA, ( Popenoe dalam Williams,2011;Teachman,2004 ). Permasalahan dengan perilaku lainnya yang dialami anak, berkaitan dengan perilaku merokok. Anak-anak yang hidup terpisah dengan ayahnya, merokok saat memasuki masa remaja,( Stanton dkk,1994)

Dikatakan (Biller, 1974) bahwa father absence akan melahirkan peningkatan konflik gender pada anak dan kebingungan identitas gender yang meningkat pula, (Rekers,1986). Selain itu father absence menciptakan peningkatan yang cukup signifikan akan terjadinya perilaku homoseksual dikalangan pria maupun wanita (Biller, 1974). Dengan demikian ketidakhadiran peran ayah memunculkan penyimpangan orientasi seksual pada anak yang dimulai dari kebingungan identitas dan peran gender yang sepatutnya ditiru oleh anak. Berhubungan dengan identitas gender, terjadi pula penurunan atau rendahnya tingkat harga diri pada anak perempuan,( Walkerman,tanpa tahun) dan anak laki-laki (Biller, 1974).

Ketiadaan peran-peran penting ayah akan berdampak pada rendahnya harga diri ( self esteem) ketika ia dewasa, adanya perasaan marah ( anger), rasa malu ( shame) karena berbeda dengan anak-anak lain dan tidak dapat mengalami pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah yang dirasakan anak-anak lainnya.Kehilangan peran ayah juga menyebabkan seorang anak merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), dan kedukaan (grief) yang amat sangat (Lerner,2011), yang disertai pula oleh rendahnya kontrol diri (

(23)

self-control), ( Kruk,2012), inisiatif, keberanian mengambil resiko ( risk-taking),( Williams,2011). Akibat-akibat psikologis yang dirasakan oleh anak tersebut berdampak pada penyimpangan perilaku dan ketidakbermaknaan hidupnya.

Referensi

Dokumen terkait

Difabel merupakan kependekan dari different ability people yang berarti orang dengan kemampuan berbeda. Istilah ini digunakan untuk memperlembut istilah penyandang

Artinya pertumbuhan planlet Pisang Buai tidak menunjukkan perbedaan tinggi dengan perlakuan berbagai konsentrasi asam absisat dan paclobutrazol dan tanpa zat

[r]

Abstrak: Kerusakan gas turbine blade terjadi karena beberapa kondisi yaitu tekanan yang tinggi akibat beroperasi pada temperatur serta kecepatan yang tinggi,

Ditunjang oleh penelitian dari Hsiao (2013) serta fakta-fakta hasil wawancara awal dan penyebaran kuesioner bersifat terbuka, terdapat empat faktor yang diperkirakan

yaitu Pamuji Utami (2014) dengan judul “Pengaruh Terapi Latihan Bola Tenis Terhadap Kekuatan Genggam Tangan Pasien Stroke non Hemoragik di RSUD. Goeteng

Sesuai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 5 Tahun 2015, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil

Syukur Alhamdulilah Kehadiran ALLAH SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perbedaan