• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Itik Lokal

2.1.1 Produksi Daging

Para ahli sejarah perkembangan unggas telah sepakat bahwa tetua yang menurunkan itik-itik yang dibudidayakan saat ini adalah itik mallard berkepala hijau. Itik tersebut mulai didomestikasi di Cina dan sekitarnya serta Eropa (Crawford 1993). Dari pernyataan tersebut terbukti bahwa Indonesia tidak memiliki tetua itik, sehingga dapat dinyatakan bahwa itik yang ada di Indonesia merupakan keturunan dari itik pendatang yang mengalami domestikasi di Indonesia.

Berdasarkan klasifikasi zoologis, itik merupakan salah satu unggas air, termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, dan genus

Anas, spesies platyrhynchos (Crawford 1993). Itik terdiri atas itik tipe

pedaging dan itik tipe petelur. Kedua tipe tersebut dapat dibedakan dari postur tubuhnya. Dada itik tipe pedaging lebih mendekati sejajar dengan lantai, sedangkan itik tipe petelur lebih tegak lurus terhadap lantai. Itik yang ada di Indonesia, disebut itik lokal, mempunyai ciri-ciri fisik itik Indian Runner yang manfaat utamanya adalah penghasil telur. Di luar Indonesia, seperti di Cina, Amerika dan Eropa itik yang dikembangkan adalah itik tipe pedaging. Produksi daging itik lokal jantan alabio umur 10 minggu dan produksi daging itik Pekin jantan dan betina umur 8 minggu hasil penelitian Retailleau (1999) dapat dilihat seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin

Bagian yang Diamati*

Itik Lokal Jantan Itik Pekin Jantan** Itik Pekin Betina** 10 Minggu 8 Minggu 8 Minggu

Karkas tanpa leher (%) 60,69 66,55 67,26

Daging dada dengan kulit (%) 16,73 14,76 15,12

Daging paha dan betis (%) 11,94 13,67 13,56

* Nilai % dihitung berdasarkan bobot hidup ** Retailleau 1999

(2)

Karkas merupakan bagian tubuh unggas setelah dipotong, dihilangkan bulunya, dipisahkan kepala, leher, kaki, dan jeroannya, maka karkas disebut bagian yang edible atau dapat dimakan karena terdapat daging dan kulit yang menempel pada tulang-tulang karkas. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi karkas itik lokal lebih rendah dari itik Pekin. Hal lain yang menarik dari Tabel 1 adalah selisih antara bagian daging dada dan paha serta betis pada itik lokal lebih besar, sedangkan pada itik Pekin hampir sama. Hal tersebut karena pada itik Pekin sudah dilakukan pemuliaan khusus untuk produksi daging.

2.1.2 Ciri-ciri Daging Itik

Dibandingkan dengan daging ayam, pada umur yang sama (49 hari), daging itik memiliki warna lebih tua.Daging dada ayam 100% terdiri atas serat berwarna putih dan daging pahanya berwarna merah, sedangkan daging itik Pekin 16% seratnya berwarna putih dan 84% berwarna merah tua. Warna merah pada daging disebabkan karena mioglobin (Fletcher 2003; Akiba et al. 2001; Chaijan 2008). Pada unggas berumur delapan minggu, kandungan mioglobin daging unggas berwarna merah sebesar 0,4 mg/gram daging, sedangkan pada daging unggas berwarna putih sebesar 0,01 mg/g daging. Kandungan mioglobin tersebut makin tinggi dengan bertambahnya umur. Sebagai akibat tingginya kandungan mioglobin, kandungan Fe daging merah juga lebih tinggi daripada daging putih. Kandungan Fe daging merah (itik) sebesar 2,40 mg/100 g daging mentah termasuk kulit, sedang kandungan Fe daging putih (daging ayam broiler) sebesar 0,90 mg/100 g daging mentah termasuk kulit yang dapat dimakan (Stadelman et al. 1988). Ion Fe merupakan katalis yang dapat mempercepat laju oksidasi (Tang et al. 2000; Alvarado et al. 2007; Barciela et al. 2008;Min et al. 2010; Yoon et al.

2010). Menurut Lawrie (1991) kandungan Fe daging ternak bergantung pada spesies, jenis kelamin, umur, jenis urat daging, dan aktivitas. Pada urat daging yang aktivitasnya tinggi menyebabkan terbentuknya mioglobin lebih banyak. Hal ini didukung pernyataan Rusell et al. (2003) bahwa daging paha itik mengadung Fe yang lebih tinggi daripada daging dada itik.

(3)

Selain itu, daging dengan serabut merah mengandung kadar lemak dan kolesterol lebih tinggi daripada serabut otot putih. Daging itik juga memiliki komposisi kimia yang berbeda dari jenis unggas lain. Kandungan lemak daging itik lebih tinggi dari ayam dan kalkun (Stadelman et al. 1988). Kandungan air, protein, lemak dan abu daging dada itik liar (Anas

platyrhynchos) berturut-turut 73,93%; 20,8%; 3,39%; dan 1,27% (Cobos et al. 2000). Komposisi kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada

umur, pakan, jenis kelamin dan lingkungan. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih rendah (P<0,01) daripada umur 7, 8, dan 9 minggu (Erisir et al. 2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur 7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007).

Kelebihan daging unggas dibandingkan dengan daging asal ternak ruminansia adalah kadar proteinnya lebih tinggi, sedangkan kadar lemaknya lebih rendah (Mountney dan Parkhurst 1995). Lemak tersebut sebagian besar merupakan lemak subkutan dan tidak banyak didistribusikan pada jaringan daging seperti halnya pada ternak ruminansia.

Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Oleh karena perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit, maka tebalnya kulit itik antara lain disebabkan oleh penyebaran lemak yang ada di bawah kulit (lemak subkutan). Kandungan lemak daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3,84% dan 8,47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59,32% dan 52,67% (Damayanti 2003). Kandungan lemak daging dada itik betina lokal Jawa afkir (umur 12 bulan, langsung dari pasar) dengan dan tanpa kulit masing-masing 9,46% dan 1,53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa kulit masing-masing 12,21% dan 4,16% (Hustiany 2001). Kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar 4,81% (Chartrin et al. 2006). Akibat pemberian pakan yang berlebih pada itik antara umur 12-14 minggu, menyebabkan terjadinya akumulasi lemak yang tinggi pada jaringan adiposa daging dada dan paha serta peningkatan kandungan trigliserida pada urat daging dada dan paha (Chartrin et al.

(4)

2005). Menurut Baeza et al. (2006) kombinasi genotipe, umur dan nutrien pakan memungkinkan untuk mencapai kandungan lemak daging dengan kisaran yang diinginkan.

Berbeda dari ternak ruminansia, lemak unggas sebagian besar terdiri atas asam lemak tidak jenuh (Pisulewski 2005). Komposisi asam lemak daging dada itik liar (Anas platyrhynchos) paling tinggi adalah ALTJG (36,3-46,0%), diikuti ALJ (33,8-37,52%) dan ALTJT (16,5-28,9%). Dari data tersebut terlihat bahwa daging dada itik sangat baik dimanfaatkan sebagai sumber asam lemak esensial tidak jenuh ganda (Cobos et al. 2000). Menurut Witak (2008) daging dan lemak itik mempunyai nilai nutrisi yang baik karena kandungan asam lemak tidak jenuhnya lebih tinggi daripada asam lemak jenuh (pada daging dada itik pekin A44 umur 8 minggu 40,15% vs 24,13% dan pada daging paha 51,38% vs 23,54%) dan kandungan asam lemak oleat (C18:1) dan linoleatnya (C18:2) tinggi. Komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada daging dada dengan kulit pada itik Jawa betina afkir dengan kulit masing-masing sebesar 2695,8 vs 5058,8 mg/100 g daging, sedangkan pada daging paha masing-masing sebesar 2491,3 vs 4830,9 mg/100 g daging (Hustiany 2001). Hustiany (2001) menunjukkan bahwa asam lemak oleat (C18:1) dan asam lemak linoleat (C18:2) daging dada itik Jawa betina afkir dengan kulit lebih tinggi dibandingkan daging paha dengan kulit. Asam lemak oleat (C18:1) dan linoleat (C18:2) pada daging dada itik betina afkir masing-masing sebesar 337,9 dan 159,6 mg/g lemak, sedangkan pada daging pahanya kandungan kedua asam lemak tersebut masing-masing sebesar 239,5 dan 133,1 mg/g lemak. Komposisi asam lemak daging unggas, menurut Cortinas et al. (2004), Baeza et al. (2006) dan Ferrini et al. (2008) dapat dimodifikasi melalui komposisi asam lemak dalam pakan.

(5)

2.2 Flavor Daging

2.2.1 Terminologi

Flavor (cita rasa) adalah sejumlah karakteristik dari suatu bahan pangan yang masuk ke mulut, dideteksi oleh indera perasa atau pengecap dan indera pencium serta ditangkap oleh reseptor perasa dan taktil yang terdapat di dalam mulut yang kemudian diterima dan diinterpretasi oleh otak (Heath dan Reineccius 1986). Menurut Winarno (1997) cita rasa bahan pangan pada prinsipnya terdiri atas tiga komponen penting, yaitu bau, rasa, dan rangsangan mulut. Bau lebih banyak sangkut pautnya dengan alat panca indera pencium. Senyawa yang menghasilkan bau harus dapat menguap (volatil) dan molekul-molekul senyawa tersebut mengadakan kontak dengan penerima pada sel olfaktori. Berdasarkan bau yang dikenali, seseorang akan menentukan apakah jadi memakan makanan tersebut atau tidak.

Senyawa yang menghasilkan rasa adalah zat yang tidak volatil atau zat yang larut dalam air yang dikenali oleh indera pengecap (taste buds) dan taktil di lidah dan bagian dari mulut. Indera pengecap mengenali 4 rasa utama, yaitu manis, asam, asin, pahit, dan sensasi lain, seperti sepet/astringency, metalik, pedas, dan enak/umami (Meilgaard et al. 1999; Farmer 1999). Evaluasi flavor sangat bergantung pada panel cita rasa. Adanya flavor yang tidak disukai konsumen pada bahan pangan tertentu, termasuk pada daging, akan menentukan konsumen untuk menerima atau menolak mengkonsumsi daging tersebut. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi produsen untuk menghasilkan daging yang mempunyai flavor yang lebih diterima oleh konsumen. Menurut Kilcast (1996) bau yang kurang menyenangkan dalam makanan yang berasal dari luar bahan pangan disebut dengan istilah taint, sedangkan bau yang kurang menyenangkan dalam makanan akibat kerusakan dari dalam bahan pangan tersebut dikenal dengan istilah off-flavor atau off-odor.

2.2.2 Senyawa Flavor Daging

Daging merupakan struktur matriks kompleks yang terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, air, beberapa vitamin (dalam jumlah sedikit),

(6)

dan senyawa organik lain serta anorganik. Senyawa volatil flavor terbentuk karena adanya prekursor. Prekursor flavor yang utama, diduga gula bebas, gula fosfat, nukleotid-gula, asam amino bebas, peptida, nukleotida, dan komponen nitrogen lain seperti tiamin (Mottram 1998). Walaupun pada awalnya mengandung prekursor penghasil flavor yang sama, komposisi kimia flavor daging mentah, dan masak berbeda (Spanier dan Boylston. 1994). Pada saat pemanasan, prekursor tersebut bereaksi menghasilkan senyawa volatil dan non-volatil yang menghasilkan aroma dan rasa daging yang khas. Senyawa volatil yang terbentuk konsentrasinya bisa sangat kecil tetapi mempengaruhi flavor secara keseluruhan (Farmer 1999). Selanjutnya Farmer (1999) mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, genotif, pakan dan kepadatan kandang, metode pemotongan ternak, lama waktu setelah pemotongan ke pengeluaran jeroan, waktu dan suhu chilling, penyimpanan dan metode pemasakan juga mempengaruhi flavor dan terbentuknya flavor.

Sejauh ini hampir 1000 senyawa volatile flavor dari daging sapi, ayam, babi, dan domba telah berhasil diidentifikasi. Senyawa volatile tersebut termasuk kelompok senyawa organik seperti hidrokarbon, alkohol, aldehid, ketons, asam karboksilik, ester, lakton, eter, furans, piridines, pirazines, pirols, oksazoles dan oksazolines, tiazoles dan tiazolines, tiofenes, dan zat yang mengandung sulfur dan halogen. Selanjutnya dinyatakan bahwa sumbangan utama terhadap aroma adalah sulfur dan komponen volatile yang mengandung karbonil (Shahidi 1994).

Berdasarkan sumbernya, komponen flavor pada makanan dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu (1) secara alami ada dalam makanan sebelum ternak dipotong atau mati; (2) terbentuk setelah ternak dipotong atau mati karena aktivitas enzim; (3) terbentuk selama pemrosesan dan penyimpanan; (4) sengaja ditambahkan ke dalam makanan : berupa alami, identik dengan alami atau flavor buatan (Apriyantono 1992). Heath dan Reineccius (1986) menyatakan bahwa senyawa volatil flavor berasal dari protein, karbohidrat dan lemak. Asam amino, peptida dan nukleotida dapat berinteraksi dengan komponen lain yang menghasilkan volatile flavor dan berkontribusi terhadap sensasi rasa manis (sweet), asin (salty), pahit (bitter), asam (sour),

(7)

dan enak (umami) pada daging (Shahidi 1994). Menurut Wu dan Liou (1992) dari komponen protein, karbohidrat dan lemak, komponen yang paling penting dalam menentukan flavor daging adalah lemak. Menurut Mottram (1998) jaringan tanpa lemak pada daging bertanggung jawab terhadap pembentukan flavor daging dasar, sedangkan jaringan lemak daging bertanggung jawab terhadap pembentukan flavor khas untuk setiap spesies hewan.

Komponen penyebab bau amis pada daging itik betina Jawa afkir tanpa perebusan awal maupun melalui perebusan awal selama 40 menit, dengan kulit atau tanpa kulit yang diidentifikasi dengan menggunakan alat GC-MS kebanyakan merupakan hasil proses oksidasi lipid, yaitu berupa turunan lipid yang meliputi golongan aldehid, alkohol, keton, asam karboksilat, dan hidrokarbon. Dari sekian banyak komponen volatil, komponen off-odor yang diidentifikasi dengan metode GC-O (GC-Olfactometry) adalah E-4-penten-2-ol, 1-pentanol, heksanal, E-1-okten-3-ol, nonanal, E-2-okten-1-ol, E-2-dekenal, E-2-nonen-1-ol, trans-2-undekenal, serta dua komponen yang tidak terdeteksi pada GC-MS tetapi menghasilkan

off-odor yaitu komponen dengan LRI (Linear Retension Index) 1104 dan

1123. Off-odor yang tercium adalah green, grassy, apek, amis, langu, ubi jalar, pesing, unpleasant dan busuk. Komponen yang paling mendekati

off-odor daging itik adalah komponen yang tidak terdeteksi yang memiliki LRI

1104 dan 1123 (Hustiany 2001).

Beberapa volatile flavor daging dari spesies yang berbeda secara kualitatif serupa, tetapi secara kuantitatif berbeda (Macleod 1994). Perbedaan bau (off-odor) daging sapi dengan ayam diduga disebabkan karena asam linoleat (C18:2) pada ayam lebih tinggi (Farmer 1999). Konsentrasi asam lemak linoleat (C18:2) daging dada itik Jawa betina afkir dengan kulit lebih besar dibandingkan daging paha, berturut-turut sebesar 159,6g/g lemak dan 133,1 g/g lemak (Hustiany 2001).

Selanjutnya dinyatakan bahwa dari total senyawa volatil yang telah teridentifikasi, hanya sedikit yang memberi aroma khas dari spesies yang berbeda, terutama senyawa yang mengandung sulfur. Senyawa volatil yang

(8)

mengandung sulfur pada daging dalam jumlah tertentu menunjukkan aroma yang menyenangkan, tetapi jika konsentrasinya tinggi, baunya menjadi tidak disukai.

2.2.3 Mekanisme Terbentuknya Komponen Flavor

Secara umum, komponen flavor dapat terbentuk melalui oksidasi lipid, reaksi Maillard dan degradasi tiamin (Farmer 1999). Penyebab utama penurunan kualitas pangan khususnya daging adalah karena perubahan komponen lemak melalui proses oksidasi lemak (Hoac et al. 2006) atau reaksi hidrolitik (Hamilton 1983) baik secara enzimatik dari pangan/mikroorganisme atau melalui penyerapan/kontaminasi dengan bahan lain (Shahidi 1998; Pegg dan Shahidi 2007) maupun non-enzimatik

browning (reaksi Maillard) dan fotokatalisis (Mariutti et al. 2009). 2.2.3.1 Oksidasi Lemak

Proses otooksidasi dalam pangan adalah fenomena kompleks yang disebabkan oleh oksigen dengan pemicu seperti suhu, radikal bebas, cahaya, pigmen dan ion logam, yang menghasilkan hidroperoksida dan senyawa volatil (Georgieva dan Tsvetkov 2008; Mariutti et al. 2009). Pada umumnya proses otooksidasi melalui suatu proses yang terdiri atas tiga tahap yaitu inisiasi/tahap awal/pembentukan radikal, propagasi/pengubahan suatu radikal menjadi radikal lain dan terminasi/tahap akhir/kombinasi dua radikal membentuk produk yang lebih stabil. Pada oksidasi lemak, perubahan yang terjadi diawali dengan perubahan struktur asam lemak dan terbentuknya radikal bebas antara. Tahap berikutnya adalah terbentuknya lemak hidroperoksida yang merupakan produk primer oksidasi lemak, yang kemudian akan terdegradasi membentuk produk sekunder yang mempunyai bau khas (Shahidi 1998; Mariutti et al. 2009).

Pembentukan hidroperoksida pada jalur ini bergantung pada produksi radikal bebas R* dari molekul lemak RH melalui interaksi RH dengan oksigen dengan adanya katalis eksternal seperti panas,

(9)

cahaya atau energi radiasi tinggi atau inisiasi kimia termasuk ion metal atau metaloprotein seperti haem pada tahap inisiasi. Mekanisme tahap inisiasi ini belum sepenuhnya dimengerti. Namun demikian, radikal bebas R* yang diproduksi pada tahap inisiasi akan bereaksi membentuk lemak peroksi radikal ROO* yang dapat bereaksi lebih lanjut membentuk hidroperoksida ROOH. Hidroperoksida ROOH adalah produk primer otoksidasi lemak. Setiap asam lemak pada oksidasi ini dapat memproduksi beberapa hidroperoksida, tetapi tidak menimbulkan flavor. Reaksi kedua tahap propagasi juga membentuk radikal bebas R*berikutnya membentuk rangkaian propagasi sendiri. Dalam hal ini sejumlah kecil katalis seperti ion Cu dapat memulai reaksi, memproduksi beberapa molekul hidroperokside, yang akan terdegradasi membentuk produk sekunder dan berpotensi terhadap flavor (Gambar 1). Rangkaian propagasi dapat dihentikan/berhenti dengan reaksi terminal/terakhir yaitu dua radikal berkombinasi menghasilkan produk yang tidak memberi kesempatan reaksi propagasi. Mekanismenya digambarkan sebagai berikut:

Inisiasi: katalis RH + O2  R* + *OOH katalis RH  R* + H* Propagasi: R* + O2  ROO* ROO* + RH  ROOH + R* Terminasi: ROO* + R*  ROOR R* + R*  R-R

ROO* + ROO*  ROOR + O2

Keterangan: RH = Lemak tidak jenuh; R* = Lemak radikal; ROO* = lemak peroksi radikal.

(10)

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat senyawa-senyawa flavor yang mungkin terbentuk. Hidroperoksida lemak yang dihasilkan dari ketiga jalur di atas sangat tidak stabil dan akan membentuk radikal bebas alkoksi yang terurai menghasilkan senyawa flavor volatil rantai pendek. Dengan kisaran hidroperoksida yang ada akan terbentuk sejumlah aldehida. Aldehida meningkatkan flavor dari sweet, pungent sampai milky.

(A)

(B)

Gambar 1 Proses oksidasi lemak pada bahan pangan (A) Sumber: Kochhar 1996

(11)

Hidrokarbon radikal bebas yang dapat menangkap OH* radikal membentuk alkohol atau menangkap H* radikal membentuk hidrokarbon. Alkohol pada kisaran tengah, dari C3 alkohol jenuh dideskripsikan sebagai solventy, --- ke C6 dideskripsikan sebagai

grassy, green, ke C9 dideskripsikan sebagai fatty, green.

Jika H* radikal diperoleh dari R’ H akan membentuk R’* radikal baru. Jika metode penguraian terjadi pada metil linolenat hidroperoksida akan diperoleh berbagai produk, di antaranya adalah 3,6-Nonadienal, 2,4,7-Decatrienal, 3-Hexenal, 2,4-Heptadienal, 2-pentene, 2-penten-1-ol, propional.

2.2.3.2 Reaksi Hidrolitik

Reaksi hidrolitik terutama akan menghasilkan metil keton, lakton dan ester. Gliserida dengan adanya panas dan air, akan terurai menjadi asam keto. Pembebasan hidroksi asam lemak dapat melengkapi prekursor - dan - lakton. Reaksi hidrolitik termasuk lipolisis, menyebabkan asam oleat, linoleat, dan linolenat bebas mengalami otoksidasi lebih cepat. Metilketone berkontribusi terhadap rasa sweet fruitiness, dengan kisaran dari C3 pungent, sweet sampai C7 blue cheesy, ke C11 fatty, sweet. Asam alifatik berkontribusi terhadap flavor dengan rasa asam (sour), buah (fruity), keju (cheesy) atau animal-like. Kontribusinya berkisar dari C2 vinegary, C3 sour,

Swiss cheesy, C4 sweaty cheesy, C9 paraffinic, sampai C14-C18

dengan odor sangat kecil.

Metil alkohol, yang dapat diturunkan dari metil keton, mempunyai kontribusi flavor sama dengan keton tetapi less fruity dan

more grassy green, dengan kisaran dari C5 grassy, solvent sampai C7 grassy, blue cheesy. Lakton berkontribusi a rich, creamy, fruity fullness. -lakton mempunyai kontribusi dari C4 oily, C5 creamy, tobacco, C6 creamy coconut, C8 coconut, sampai C10 peachy,

sedangkan - lakton serupa tapi lebih lembut, less fruity (seperti buah-buahan) dan lebih mirip susu.

(12)

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Komponen Flavor

Fosfolipid intramuskuler dan asam lemak bebas merupakan 2 faktor penting yang menentukan flavor daging. Fosfolipid pada daging (biceps femoris) mentah itik Cina sebesar 46,69% dari total lipid. Fosfolipid tersebut terdiri atas fosfatidiletanolamin (28,1%) dan fosfatidilkholin (64,7%) yang mengandung asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG) dengan persentase tinggi (Wang et al. 2009). Menurut Cobos et al. (2000) komposisi kimia utama daging mentah itik liar adalah protein dan lemak dengan asam lemak arakhidonat (C20:4) paling tinggi, mencapai 25% dari total asam lemak penyusun fosfolipid. Selain asam lemak arakhidonat, asam lemak utama penyusun fosfolipid adalah asam stearat (C18:0), oleat (C18:1), dan palmitat (C16:0) masing-masing sebesar 18,72%; 7,52%, dan 16,67%.

Oksidasi lemak merupakan penyebab kerusakan daging yang dimanifestasikan dalam bentuk perubahan flavor (Wang et al. 2009). Penyebab utama penurunan flavor pada daging adalah oksidasi lemak. Laju oksidasi lemak pada daging bergantung pada banyak faktor, di antaranya spesies, banyaknya asam lemak tidak jenuh (Shahidi, 1998) terutama asam lemak tidak jenuh ganda (Cortinas et al. 2005), adanya prooksidan (seperti ion Fe haem dan non-haem), dan adanya antioksidan (Barciela et al. 2008). Berdasarkan spesies ternak, oksidasi yang paling cepat adalah pada ikan, diikuti dengan unggas (ayam dan kalkun), babi, sapi, dan domba. Laju oksidasi asam lemak daging C18:3 lebih cepat dari C18:2 lebih cepat dari C18:1 dan lebih cepat dari C18:0 (Shahidi 1998). Asam lemak C18:1, C18:2 dan C18:3 menghasilkan profil odor yang berbeda, misalnya C18:1 menghasilkan skor oily lebih tinggi, C18:2 menghasilkan skor creosote lebih tinggi, C18:3 menghasilkan skor fishy, linseed (putty) dan creosote yang tinggi. Bila C18:3 ditambah sistein dan ribosa terutama ketika FeSO4

digunakan sebagai katalis reaksi oksidasi menghasilkan skor grassy lebih tinggi (Wood et al. 2004). Menurut Shahidi (1994) senyawa utama yang sering ditemukan pada profil volatil produk daging yang kaya asam lemak

(13)

tidak jenuh -6 (linoleat C18:2) adalah heksanal, sedangkan pada produk daging yang kaya asam lemak tidak jenuh -9 dan -3 masing-masing nonanal dan propanal. Asam lemak yang berlimpah pada minyak kacang kedelai sangat responsif terhadap pembentukan off-odor (Nawar 1996). Akan tetapi, tingginya asam lemak C18:2 pada lemak babi yang mengkonsumsi lemak asal kacang tanah, bunga matahari dan kacang kedelai dimasak, menurut panelis terlatih tidak menyebabkan off-odor, bahkan makin tingginya asam lemak C18:2 pada produk babi lebih diterima konsumen (Melton 1990).

Daging itik mengandung lemak yang lebih tinggi daripada daging ayam dan kalkun. Di antara daging spesies unggas, daging itik mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi (sekitar 60% dari total asam lemak) dan pigmen haematik (hemoglobin dan mioglobin) yang tinggi. Hal ini yang memungkinkan oksidasi pada daging itik lebih tinggi daripada daging ayam dan kalkun (Baeza 2006). Laju dan intensitas oksidasi lemak dipengaruhi banyak faktor, tetapi faktor yang paling penting adalah kandungan asam lemak tidak jenuh ganda yang ada dalam jaringan urat daging tersebut. Oksidasi lemak meningkat secara linear dengan makin tingginya asam lemak tidak jenuh dalam daging (Cortinas et al. 2005).

Laju oksidasi antarspesies bervariasi bergantung pada kandungan fosfolipid dan komposisi asam lemaknya. Fosfolipid mudah teroksidasi karena tingginya asam lemak tidak jenuh ganda (terutama linoleat dan arakhidonat) atau karena dekatnya kumpulan membran dengan jaringan katalis oksidasi. Pemotongan dan penggilingan mengacaukan membran dan membuka fosfolipid terhadap oksigen, enzim, pigmen heme, dan ion logam yang dapat mempercepat laju oksidasi meskipun pada daging segar mentah. Pada daging berwarna merah, oksidasi lemak merupakan masalah yang penting. Hal ini karena katalis ion Fe dengan heme (hemoglobin, mioglobin dan sitokrom) atau ion Fe tanpa heme dapat mempercepat laju oksidasi (Tang et al. 2000; Barciela et al. 2008; Min et al. 2010, Yoon et al. 2010). Sementara itu, laju peroksidasi lemak pada masa jaringan adiposa lebih lambat, membutuhkan waktu 3 kali lebih lama daripada laju peroksidasi

(14)

pada urat daging. Hal ini disebabkan karena lemak pada jaringan adiposa dalam bentuk triasilgliserol (trigliserida) atau lemak netral, sedangan pada urat daging terdiri atas fosfolipid (Caldironi dan Bazan 1982).

Menurut Hogan (2002) dalam keadaan mentah, daging mempunyai flavor yang sangat lemah. Pemanasan, selama proses pemasakan, flavor berkembang melalui pemecahan protein, lemak, gula, vitamin, dan komponen lain yang satu sama lain karena adanya panas saling berinteraksi melalui reaksi pencokelatan Maillard dan menghasilkan flavor daging yang jelas. Proses memasak yang berbeda juga akan memberikan profil flavor yang berbeda meskipun berasal dari tipe daging yang sama. Tipe dan jumlah komponen flavor yang dihasilkan bergantung pada lama waktu dan metode memasak. Daging sapi yang dipanggang mempunyai profil flavor yang berbeda dari yang digiling atau direbus. Komponen volatil dan non volatil yang dihasilkan dalam proses pemasakan menghasilkan flavor daging. Ekstrak daging mengandung sejumlah besar asam amino, peptida, nukleotida, asam dan gula. Hasil penelitian telah berhasil mengidentifikasi lebih dari 1.000 komponen flavor daging sapi panggang oven. Beberapa komponen kimia volatil yang diidentifikasi pada daging yang dimasak, aromanya adalah karbonil, seperti asetaldehida, proprionaldehida, 2-metilpropanal, 3-metilbutanal, aseton, 2-butanon, n-heksanal, dan 3-metil-2-butanon, tetapi beberapa dari komponen ini tidak menghasilkan flavor daging sapi panggang. Sebagai contoh, walaupun 3-metilbutanal merupakan komponen utama aroma daging sapi panggang, kontribusi flavornya secara nyata tidak terjadi. Pirazin, furans, dan komponen yang mengadung sulfur seperti sulfida, thiol, tiopen dan tiazol, juga berkaitan dengan aroma daging yang dipanaskan dan makanan lain. Bentuk pirazin pada pemanasan dan ada dalam flavor hampir semua makanan yang dipanggang. Flavor pirazin digambarkan seperti nutty, atau seperti biskuit asin dengan aroma

bell-pepper. Pirazin terbentuk di permukaan pangan yang dipanggang pada suhu

di atas 70 oC, dan maksimum pada suhu 120oC.

Selain berupa produk hasil perombakan kimia, flavor yang diperoleh melalui pengolahan dapat berupa produk-produk hasil interaksi, bergantung

(15)

pada bahan awal dan kondisi pengolahan. Soeparno (1994) mengemukakan bahwa flavor daging masak dipengaruhi oleh umur ternak, pakan, spesies, jenis kelamin, bangsa, lama waktu, dan kondisi penyimpanan setelah pemotongan serta jenis, lama, dan temperatur pemasakan. Secara umum disepakati bahwa daging dari ternak yang lebih tua mempunyai bau yang lebih kuat daripada ternak yang lebih muda (Farmer 1999). Hal ini dapat terjadi karena perubahan komposisi asam lemak (trigliserida dan fosfolipid) pada jaringan adiposa baik di bawah kulit maupun pada urat daging sangat mempengaruhi sensitivitas terjadinya oksidasi dan stabilitas membran. Perbedaan umur pada sapi menyebabkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) pada C14:0, C16:1, C18:0 dan C18:2 (Clemens et al. 1973). Selanjutnya dikemukakan bahwa berdasarkan penelitian sebelumnya, C18:1, C18:2 secara umum meningkat, sedangkan C16:0 dan C18:0 menurun sejalan dengan pertumbuhan ternak.

Menurut Baeza (2006) kadar lemak intramuskuler dapat diubah dengan mengkombinasi genotif, umur, dan nutrisi. Peningkatan lemak pada daging itik terutama disebabkan karena peningkatan trigliserida, asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh tunggal dan kandungan lemak intramuskuler dapat dimodifikasi melalui komposisi asam lemak pakan.

Laju oksidasi daging itik berbeda dari daging ayam dan kalkun. Pada ayam broiler dan kalkun, laju oksidasi daging paha lebih tinggi daripada daging dada, sedangkan pada itik laju oksidasi daging dada lebih tinggi daripada daging paha. Hal ini karena daging dada juga digunakan untuk terbang (Russell et al. 2003).

Apriyantono dan Lingganingrum (2001) menyatakan bahwa secara genetik, setiap jenis unggas mempunyai komposisi penyusun daging yang berbeda. Pada ayam, daging bagian dada berwarna putih dan bagian paha berwana merah, sedangkan pada itik, baik daging bagian dada maupun paha berwarna merah. Perbedaan warna daging diikuti dengan perbedaan kadar pigmen daging (mioglobin), pigmen darah (hemoglobin), dan komponen minor lain yaitu protein, lemak, vitamin B12, dan flavin (Lawrie 1991). Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan mioglobin dan hemoglobin dalam

(16)

daging dapat mempercepat laju oksidasi lemak. Selain itu, setiap spesies unggas mempunyai kadar lemak yang akan menghasilkan flavor yang berbeda. Ayam memiliki kadar lemak lebih rendah dari itik.

Menurut Shahidi dan Pegg (1994) oksidasi lemak akan menghasilkan turunan lipid, di antaranya heksanal yang menghasilkan bau yang tidak enak atau apek. Selain itu, pengaruh lainnya juga sangat merugikan. Hamilton (1983) mengemukakan bahwa oksidasi lemak selain menyebabkan kerusakan flavor, juga menyebabkan kerusakan membran, enzim, vitamin, dan protein termasuk proses penuaan. Hal ini ditambahkan oleh Shahidi (1998) bahwa oksidasi lemak menyebabkan kehilangan asam lemak esensial, perubahan warna, tekstur, dan daya guna (nilai nutrisi) pangan tersebut seperti menyebabkan kerusakan vitamin larut lemak dan pembentukan kolesterol oksida. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mencegah terjadinya oksidasi tersebut.

2.2.5 Upaya Pencegahan Terjadinya Reaksi Oksidasi Lemak oleh Radikal Bebas

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi oksidasi lemak oleh radikal bebas pada daging efektif dicegah dengan menggunakan antioksidan (Surai dan Sparks 2000; Grau et al. 2001; Zieli ska et al. 2001; Bou et al. 2004; Hernandez et al. 2004).

Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat reaksi oksidasi lemak oleh radikal bebas. Oksidasi lemak terdiri atas tiga tahap utama yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen. Tahap selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak lain menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru. Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak. Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan

(17)

mengalami terminasi melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks bukan radikal. Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk.

Efektivitas antioksidan dalam menghambat oksidasi lemak atau untuk mengetahui kualitas daging, menurut Shahidi (1998) dapat diukur dengan beberapa metode, di antaranya (1) mengukur produk primer hasil oksidasi lemak, yaitu dengan cara mengukur PV (Peroxide Value); (2) mengukur semua perubahan yang terjadi pada lemak, seperti nilai total oksidasi; (3) metode tidak langsung, dengan cara mengukur tekstur, daya guna (functional properties) dan warna; (4) mengetahui perubahan konsentrasi salah satu atau lebih substrat. Pada metode ini termasuk analisis komposisi asam lemak, konsumsi oksigen, pembentukan asam lemak radikal bebas, atau turunannya; (5) mengukur produk sekunder hasil oksidasi lemak, kandungan malondialdehid (MDA), zat reaktif asam tiobarbiturik (TBA) atau thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), total karbonil atau zat volatile terpilih; (6) analisis sensori. Analisis sensori sangat penting dan umumnya metode kuantitatif dari oksidasi lemak berkorelasi dengan hasil analisis ini. Teknik evaluasi sensori sederhana, tetapi membutuhkan waktu, biaya mahal dan sering tidak dapat diulang. Untuk menghindari bias dan eror panelis, beberapa alat ukur dibentuk dan digunakan analisis statistik.

Dari keenam metode pengukuran di atas, pada penelitian ini dilakukan analisis sensori, komposisi asam lemak dan nilai TBARS. Analisis sensori merupakan salah satu cara untuk menilai intensitas off-odor suatu bahan pangan. Metode ini melibatkan sejumlah panelis yang mampu mendeteksi dan mendeskripsikan off-odor. Sistem analisis sensori pada prinsipnya mencakup faktor fisiologis dan psikologis. Pendekatan yang paling mudah dalam analisis sensori baik dari segi praktis maupun teoretis dibedakan dalam 4 bidang utama yaitu analisis deskriptif (bagaimana seseorang menjelaskan persepsinya tentang makanan yang diujinya), pengukuran intensitas (persepsi sensori yang dinyatakan dalam skala), pengukuran hedonik (menguji suka atau tidak suka) dan analisis GC-Sniffing (tehnik GCO yang menggabungkan instrumen dan manusia). Sejalan dengan makin

(18)

meningkatnya penelitian-penelitian flavor, metode pengujian sensori juga makin berkembang. Metode pengujian sensori yang banyak mendapat perhatian di antaranya uji pembedaan, ranking dan rating serta profil. Metode uji pembedaan yang paling banyak dipakai adalah uji segitiga, uji berpasangan, dan uji duo-trio. Uji ini biasanya melibatkan jumlah panelis yang lebih sedikit bahkan sering kali tidak harus yang berpengalaman. Sampel yang diuji harus diberi kode sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bias. Metode ranking dan rating umumnya menggunakan panelis terlatih dan berpengalaman. Panelis berperan mengevaluasi dan menempatkan secara berurut (berjenjang, ranking) intensitas dari sifat-sifat spesifik, mengkuantifikasi dan memberi skor (rating) serta mengklasifikasi (grading). Hasil penilaian panelis biasanya dalam bentuk skala atau grafik. Pada metode profil digunakan analisis deskriptif suatu produk dengan mengidentifikasi dan menguraikan secara kuantitatif berdasarkan kualitas visual, tekstur, karakteristik aroma, flavor, oral, dan skinfeel (Meilgaard et

al. 1999). Penentuan produk peroksidasi lipid dengan TBARS yaitu dengan

mengukur kandungan malondialdehid dalam daging yang dinyatakan dalam mg malondialdehid per kg jaringan. Hasil penelitian Marusich et al. (1975) menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan malonaldehid (MDA) atau TBARS sejalan dengan meningkatnya oksidasi lipid jaringan. Selain itu malondialdehid juga digunakan untuk memonitoring oksidasi lemak produk reaksi sekunder, yang diperoleh dari hasil dekomposisi karbonil dari asam lemak tak jenuh ganda (Tokur et al. 2006). Oksidasi lemak pada umumnya dipengaruhi oleh kadar lemak, asam lemak tak jenuh ganda, antioksidan, prooksidan, proses pengolahan daging dan penyimpanan (Kim et al. 2003; Juntachote et al. 2007). Oksidasi lipid dalam jaringan ternak yang dinyatakan dalam nilai MDA atau TBARS bergantung pada banyak faktor, di antaranya kondisi lingkungan ternak dan strain, jenis ternak, asal daging, penyimpanan, pemanasan, ada tidaknya antioksidan pada bahan pangan tersebut.

Cekaman panas (heat stress) menyebabkan meningkatnya laju oksidasi, sehingga turunan radikal bebas makin banyak, yang diindikasikan

(19)

dengan tingginya konsentrasi malondialdehid (MDA). Adaptasi terhadap cekaman panas tergantung pada strain. Pada kondisi cekaman panas yang sama, konsentrasi malondialdehid pada ayam broiler strain Ross lebih besar daripada strain Cobb (Altan et al. 2003).

Russell et al. (2003) menunjukkan bahwa nilai TBARS daging itik pekin setelah dimasak lebih tinggi daripada daging segar. Demikian juga nilai TBARS setelah disimpan. Nilai TBARS daging dada itik pekin berbeda 8 kali lipat antara nilai oksidasi awal mentah dengan matang setelah disimpan selama dua bulan pada suhu – 20oC, sedangkan pada daging paha perbedaannya 12 kali lipat.

Rababah et al. (2006) menyatakan bahwa antioksidan pada ekstrak teh hijau (flavonoid: kuersetin dan rutin) nyata (P<0,05) menurunkan nilai TBARS dan senyawa volatil, baik pada daging mentah maupun yang dimasak setelah melalui penyimpanan. Pada 0 hari, nilai TBARS daging dada ayam mentah yang ditambah ekstrak teh hijau sebanyak 8% dari bobot daging atau 2,5% dari lemak ayam dibandingkan kontrol tidak berbeda (16,4 vs 16,1 mg malondialdehid/kg), sedangkan pada daging dada yang dimasak, nilai TBARS yang mendapat antioksidan nyata (P<0,05) lebih rendah dari kontrol (36,1 vs 50,2 mg MDA/kg). Nilai TBARS daging dada ayam mentah maupun masak yang disimpan selama 12 hari pada suhu 5oC nyata (P<0,05) lebih rendah dari kontrol, masing-masing 67,8 vs 38,0 mg MDA/kg pada daging mentah dan 366,1 vs 77,1 pada daging masak. Nilai heksanal daging dada ayam mentah yang ditambah ekstrak teh hijau dibandingkan kontrol sebesar 1 816,3 vs 2 879,7 ppb, sedangkan pada daging dada ayam yang dimasak 5 097,5 vs 5 782,7 ppb. Nilai heptanal daging ayam mentah yang ditambah ektrak teh hijau dibanding kontrol sebesar 496,9 vs 605,1 ppb, sedangkan pada daging dada ayam yang dimasak 1 790,0 vs 1 965,0 ppb. Hal serupa diperoleh Randa (2007) pada daging itik. Pada daging itik segar, nilai TBARS akibat pemberian antioksidan (vitamin E dan C) tidak berbeda, tetapi setelah dimasak dan dibekukan, nilai TBARS pada kontrol meningkat setelah 3 minggu sedangkan yang mendapat antioksidan nilai TBARS stabil hingga umur 4

(20)

minggu. Hal ini berarti, efek antioksidan lebih terlihat pada daging yang telah mengalami pemasakan dan penyimpanan daripada daging segar.

Hasil penelitian Cherian et al. (2002) menunjukkan bahwa tanin yang terdapat pada gandum dapat berfungsi sebagai antioksidan. Tanin dapat mencegah terbentuknya superoksid dan mempunyai aktivitas menangkap radikal bebas, yang dapat mencegah terjadinya peroksidasi lipid. Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan lemak daging yang makin tinggi, membutuhkan antioksidan yang lebih banyak untuk menurunkan proses oksidasi, sehingga daging yang mengandung lemak tinggi memiliki nilai TBARS yang tinggi. Namun, sangat sulit untuk mengkaitkan antara hasil pengukuran sensori dengan hasil pengukuran ketengikan secara kimia pada daging masak meskipun keduanya menggunakan metode yang sama. Sebagai contoh, panelis memberikan skor off-odor yang berbeda pada daging babi yang mempunyai nilai ambang TBARS 0,5-1,0 mg/kg sampel. Namun, di sisi lain, panelis memberi skor off-odor yang sama terhadap daging yang mempunyai nilai TBARS 5,9-11,3 (Enser 2003).

2.3 Beluntas (Pluchea Indica L.Less.) 2.3.1 Ciri-ciri Umum

Beluntas adalah tanaman herba atau perdu yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara (India, Malaysia ke Taiwan) dan di Cina Selatan (Indo-China). Tanaman ini, di Indonesia, dapat tumbuh sampai ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut dan di tempat yang terkena sinar matahari. Karakteristik tanaman ini adalah tumbuh tegak dengan tinggi sekitar 0,5–2 meter (Bamroongrugsa 1992; Dalimartha 1999; Achyad dan Rasyidah 2000) atau sampai 5 meter, bercabang banyak dan kuat. Daunnya berseling, bertangkai pendek, berbentuk bundar lonjong sampai bundar telur dengan panjang 2,5-9 cm dan lebar 1-5,5 cm, ujungnya bulat melancip, bagian tepi daun bergerigi, berkelenjar, tertutup rapat oleh bulu, baunya amat wangi, lembut dan berwarna hijau muda. Kedudukan daunnya tegak akibat sinar matahari. Bunganya berbentuk bonggol bergagang atau duduk keluar di ujung cabang dan ketiak daun, warnanya putih kekuning-kuningan sampai ungu (Achyad dan Rasyidah 2000). Kepala bunganya kecil, terdiri atas ruas

(21)

bunga bertempat sendiri dengan bunga-bunga berkelamin berlainan yaitu 2-6 bunga jantan berada di tengah dan yang lainnya betina. Tajuk bunga bagian pinggir berbentuk seperti pipa yang amat kecil, terbagi menjadi lima bagian dengan benang sari berwarna ungu. Buahnya berbentuk gangsing, kecil, keras, berwarna coklat dengan sudut-sudut putih, mempunyai sebaris bulu halus yang tipis, berbiji kecil dengan cokelat keputih-putihan. Beluntas baunya sangat khas yaitu sengir dan rasanya getir, biasanya ditanam sebagai pagar dengan perbanyakan stek dari batang yang cukup tua (Dalimartha 1999). Ciri-ciri umum beluntas dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Beluntas (Pluchea indica Less.)

Berdasarkan klasifikasi botani, beluntas termasuk devisi

Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Asterales, Suku Asteraceae, Marga Pluchea, Jenis Pluchea indica Less

(Syamsuhidayat dan Hutapea 1991). Beluntas termasuk dalam famili

Compositae (Asteraceae) (Heyne 1987) dengan nama sinonim Baccaris indica L. (Soedibyo 1998) atau Pluchea foliosa (Van Valkenburg dan

Bunyapraphatsara 2001).

Beluntas mempunyai berbagai nama, sesuai daerah tempat tumbuh. Beluntas yang tumbuh di daerah Sumatera diberi nama beluntas (Melayu), di Jawa Barat (Sunda) dikenal dengan nama baluntas atau baruntas, di Jawa namanya Luntas, di Madura dikenal dengan nama baluntas, di Makasar

(22)

menyebut tumbuhan ini dengan nama lamutasa, sedangkan di Timor disebut lenabou (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991; Dalimartha 1999).

2.3.2 Fitokimia

Menurut Dalimartha (1999) daun beluntas mengandung alkaloida, flavonoida, tanin, minyak atsiri (benzil alkohol, benzil asetat, eugenol dan linolol), asam chlorogenik, natrium, alumunium, kalsium, magnesium, dan fosfor, sedangkan akarnya mengandung flavonoida dan tanin. Daun dan bunga mengandung saponin, flavonoida dan polifenol, dan bunganya mengadung alkaloida (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991). Beluntas, selain mengandung lemak, kalsium, fosfor, dan besi, juga mengandung amino (leusin, isoleusin, triftofan, dan treonin), vitamin A, dan C (Achyad dan Rasyidah 2000). Bagian aerial beluntas mengandung flavonoid (quercetin dan quercetin-3-riboside), dan terpenoid seperti, 3-(2,3-diacetoxy-2 methyl-butiryl)-cuauhtemone, 9-hydroxylinalyl glucoside, linaloyl apiosyl glucoside, linaloyl glucoside, terpene glycosides, plucheosides A dan B, 6-hydroxydammar-6-en-3-acetate, dan dammadienol (Bamroongrugsa 1992; Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001). Beluntas merupakan tanaman herba yang mengandung senyawa aktif seperti (-)-katekin, stigmasterol, stigmasterol glikosida dan 2-(propunil)-5-(5,6-dihidroksi heksa-1,3-diunil)-thiophene (Biswas et al., 2005). Luger et al. (2000) menyatakan bahwa komposisi kimia yang terdapat dalam Pluchea indica

Less adalah sebagai berikut: 9 jenis senyawa lignan, 7 jenis senyawa

sesquisterpen, 4 jenis senyawa fenilpropanoid, 3 jenis senyawa benzoid, 3 jenis senyawa 2 jenis senyawa triterpen, 5 senyawa jenis lain, 1 jenis senyawa steroid dan 1 jenis senyawa alkana.

Menurut Harborne (1987) dari beberapa bahan polimer (lignin, melanin, dan tanin) penting dalam tumbuhan adalah senyawa folifenol. Beberapa senyawa fenol alam telah diketahui strukturnya dan flavonoid merupakan golongan terbesar. Jenis flavonoid di antaranya flavon, flavonol, isoflavon, flavonone, dan biflavonoid (flavonoid dimmer flavon dan flavonone). Semua senyawa flavonoid merupakan turunan (derived) dari 2-fenilbenzopiron atau 3-2-fenilbenzopiron. Semua flavonoid mempunyai

(23)

struktur dasar yang sama (Cadenas 2004; Apak et al. 2007), terdiri atas 3 cincin aromatik A, B, dan C (Gambar 3) dengan satu atau lebih penyulih gugus hidroksil (OH). Sebagai bahan pangan, flavonoid biasanya terdapat sebagai glikosida (flavonoid-o-glikosida) yang mempunyai satu atau lebih molekul gula yang terikat pada cincin C. Beberapa struktur komponen fenol yang terdapat pada tumbuhan menurut Cadenas (2004) dapat dilihat seperti pada Gambar 4.

2-fenilbenzopiron 3-fenilbenzopiron Gambar 3 Struktur dasar flavonoid

Flavonoid kelompok flavonol terdiri atas kuersetin, kemperol, mirisetin, dan isorhamnetin. Dari buah-buahan, sayuran, dan minuman seperti teh, mayoritas flavonol terdiri atas kuersetin, mirisetin dan kemperol (Lin et al. 2006). Perbedaan struktur kimia keempat jenis flavonol tersebut dapat dilihat seperti tercantum pada Gambar 4.

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar (Harborne 1987). Alkaloid sering kali beracun bagi manusia, tetapi banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga sering digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Banyak alkaloid bersifat terpenoid. Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol, bersifat seperti sabun dalam kemampuannya menghemolisis sel darah.

Tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai kemampuan menyambung silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak (dimakan hewan), maka akan terjadi reaksi penyamakan. Hal ini menyebabkan protein

(24)

lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisiskan.

Gambar 4 Struktur komponen fenol tumbuhan (Cadenas 2004)

Tanin terkondensasi biasanya terdapat pada paku-pakuan, gimnospermae dan angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu, sedangkan tanin terhidrolisiskan biasanya terdapat pada tumbuhan berkeping dua. Tanin terkondensasi (flavolan) terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Hampir semua flavolan mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terhidrolisiskan terutama terdiri atas depsida galoilglukosa (inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima atau lebih gugus ester galoil) dan inti molekul berupa senyawa dimer asam galat (asam heksahidroksidifenat) yang berikatan dengan glukosa. Dalam praktik, sulit sekali mengekstraksi seluruh tanin, terutama tanin terkondensasi. Kadar tanin dalam daun lebih dari 2% bobot kering, dapat menyebabkan ternak menolak makan. Bila daun diremukkan saat dimakan, tanin membentuk senyawa kompleks dengan protein daun. Setelah dicerna protein yang tersamak tersebut mungkin tidak diserap penuh karena enzim proteolitik tidak dapat menguraikannya secara

(25)

penuh menjadi asam amino (Harbone 1987). Hasil penelitian Sinaga (2006) menunjukkan konsumsi pakan itik lokal fase produksi yang mendapat pakan dengan tepung daun kaliandra sebanyak 9% (kandungan tanin sebesar 0,054%) lebih rendah daripada yang mendapat pakan dengan tepung daun kaliandra 6% (kandungan tanin sebesar 0,036%). Hal ini berarti palatabilitas ransum yang mengadung tanin sebesar 0,054% sudah menurun.

Minyak atsiri suatu tumbuhan digolongkan ke dalam terpenoid. Terpenoid terdiri atas monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap (C20) sampai ke triterpenoid dan sterol yang tidak menguap (C30) serta pigmen karetonoid (Harbone 1987).

2.3.3 Aktivitas Komponen Bioaktif Daun Beluntas

Daun beluntas berbau khas aromatis dan rasanya getir. Daun tersebut, pada manusia, berkhasiat menghilangkan bau badan dan penyegar (Dalimartha 1999). Flavonoid mempunyai banyak efek biokimia dan farmakologi termasuk antibakteri, antioksidan, juga dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai antikanker (Schewe dan Sies 2003).

Penelitian Ardiansyah (2005) menunjukkan bahwa ekstrak polar daun beluntas dapat menghambat bakteri patogen penyebab keracunan makanan (seperti Escherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus dan

Baccilus cereus), bakteri penyebab kebusukan makanan (Pseudomonas fluorescens) dan bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan (Escherichia coli) sehingga diakui daun beluntas bermanfaat menyembuhkan berbagai

penyakit yang diakibatkan infeksi bakteri.

Adanya penghambatan bakteri diduga karena daun beluntas mengandung komponen aktif pluchine, asam kafeoilkunat, saponin, flavonoid (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991), fenol hidrokuinon (Ardiansyah 2002).

Beluntas (Pluchea indica L. Less) merupakan salah satu tanaman herba, mengandung fenol (Andarwulan et al. 2008), flavonoid (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara 2001; Widyawati 2004) dan vitamin C (Traithip 2005). Kandungan total fenol dan total flavonoid daun beluntas

(26)

masing-masing sebesar 1 030,03 mg/100 g b.k dan 79,19 mg/100 g b.k. Kandungan fenol dan flavonoid beluntas lebih rendah dari sayuran indigenous lain, yaitu kenikir dan lebih tinggi dari kemangi. Total fenol dan flavonoid kenikir berturut-turut sebesar 1 225,88 mg/100 g b.k dan 420,85 mg/100 g b.k., sedangkan total fenol dan flavonoid kemangi masing-masing sebesar 784,32 mg/100 g b.k dan 69,78 mg/100 g b.k. Ketiga jenis sayuran indigenous tersebut mempunyai kapasitas antioksidan yang diukur dengan metode TBA (penghambatan pembentukan MDA) masing-masing sebesar 95,15%, 98,55% dan 97,04% (Andarwulan et al. 2008).Senyawa fenol asal tanaman mempunyai kemampuan sebagai antioksidan (Kruawan & Kangsadalampai 2006; Apak et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2007; Ribeiro

et al. 2007; Huda-Faujan et al. 2009; Ahmed dan Beigh 2009), melindungi

sel dari kerusakan oksidatif (Moskaug et al. 2005) atau menetralkan oksidan reaktif dengan cara mendonorkan hidrogen, menghelat logam, interaksi dengan protein, menghambat kerja beberapa enzim (lipoksigenase, siklooksigenase, xantin oksidase). Hidrogen akan bereaksi dengan reaktif oksigen spesies (ROS) atau reaktif nitrogen spesies (RNS) pada tahap reaksi terminasi yang akan memutus siklus generasi radikal baru (Pereira et al. 2009).

Flavonoid menunjukkan kemampuannya sebagai antioksidan (Beecher 2003; Apak et al. 2007) dengan cara : (1) menangkap radikal bebas: ROS (.OH, O2-, 1O)2, dan RNS (RO., ROO.; (2) menghelat ion logam, jadi

menutupi aksi prooksidan; (3) menghambat kerja enzim prooksidan (lipoxygenase). Lipoksigenase sebagai katalis enzim lipid peroksidasi yang mempunyai kemampuan mendioksigenasi tidak hanya asam arachidonat dan linoleat, tetapi juga fosfolipid, ester kolesterol dan bahkan struktur biologis kompleks seperti biomembran dan plasma lipoprotein.

Daya kerja flavonoid sebagai antioksidan dengan cara menghelat logam dan menangkap oksigen radikal dan radikal bebas (scavenger) seperti pada Gambar 5 (Cadenas 2004).

Beluntas mengandung flavonoid jenis flavonol: kuersetin, mirisetin dan kaemperol (Andarwulan et al. 2008). Kuersetin mempunyai aktivitas

(27)

antioksidan yang tinggi (Kahkonen dan Heinonen 2003; Prior 2003; Cadenas 2004; Simić et al. 2007). Kuersetin dapat menurunkan kolesterol, sehingga flavonoid ini sangat menguntungkan dalam penanggulangan penyakit jantung koroner/atherosclerosis (Ricardo et al. 2001). Flavonoid (kuersetin dan isorhamnetin 3-O-asilglukosida) menekan ledakan oksidatif dan melindungi membran terhadap peroksidasi lipid (Zieliñska et al. 2001).

Flavonoid dapat berfungsi sebagai antioksidan (Panovskai et al. 2005) atau antiradikal karena adanya orto hidroksilasi pada cincin B dari molekul flavonoid, sejumlah gugus hidroksil bebas, ikatan rangkap C-C pada cincin C, atau adanya kelompok 3-hidroksil (Burda dan Oleszek β001; Zieli ska

et al. 2001), susunan katekol pada cincin B atau A, grup karbonil dengan

ikatan rangkap 2,3 pada cincin C (Schewe dan Sies 2003).

Gambar 5 Penghambatan peroksidasi lemak oleh flavonoid (Cadenas 2004)

Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan elektronnya vitamin C dapat mencegah senyawa lain teroksidasi (Padayatty

et al. 2003). Vitamin C tidak hanya dapat menetralkan radikal hidroksil

(.OH), alkoksil (.OL) dan peroksil (LOO.) dengan mendonorkan hidrogen, vitamin C juga bisa menetralisir bentuk radikal antioksidan lain, seperti glutation (.GS) dan vitamin E/tokoferol (.Toc) (Best 2010).

Vitamin C berfungsi sebagai scavenger, merusak singlet oksigen, aktif pada kondisi oksigen tinggi dan sebagai regenerator vitamin E (Cadi Group

Mengkelat logam Antioksidan pemutus rantai Menangkap radikal bebas Inisiasi Propagasi Alkil radikal Peroksil radikal Lipid peroksida Alkoksil radikal Alkohol

(28)

1997). Vitamin C berperan sebagai antioksidan hidrofilik, sedangkan vitamin E berperan sebagai antioksidan lifofilik (Niki et al. 1995). Vitamin C melindungi membran terhadap peroksidasi melalui peningkatan aktivitas vitamin E. Vitamin C menurunkan pembentukan radikal tokoperoksil (mempertahankan aktivitas penangkapan radikal oleh vitamin E).

Beta-karoten berfungsi sebagai pemutus reaksi berantai, menangkap radikal bebas, menetralisir singlet oksigen dan aktif pada kondisi oksigen rendah. Beta-karoten adalah molekul yang panjang saling berikatan dengan 11 ikatan rangkap konjugasi. Satu molekul beta-karoten dapat menangkap lebih dari 1000 molekul singlet oksigen (Gambar 6). Sifat ini membuat beta-karoten sebagai penangkap singlet oksigen yang sangat potensial (Cadi Group 1997).

Gambar 6 Aktivitas beta-karoten sebagai antioksidan

Niki et al. (1995) mengemukakan bahwa beta-karoten mempunyai sifat sinergistik dengan vitamin E pada membran sel dan LDL. Vitamin E bekerja pada permukaan sel, sedang beta-karoten bekerja di bagian dalam sel. Mekanisme penghambatan oksidasi oleh vitamin C, beta-karoten, dan vitamin E disajikan pada Gambar 7.

Polifenol merupakan antioksidan yang bersama-sama dengan antioksidan lainnya seperti vitamin C, vitamin E, dan karotenoid melindungi jaringan tubuh dari kerusakan akibat stress oksidatif (Scalbert & Williamson 2000). Polifenol merupakan antioksidan yang paling banyak dalam makanan, dan asupannya dapat mencapai 1 g/hari atau 10 kali lebih tinggi dari asupan vitamin C, 100 kali lebih tinggi dari vitamin E dan

Beta Karoten

Radikal Beta Karoten Radikal

(29)

karotenoid (Scalbert et al. 2005). Fenolik dan kombinasi vitamin C dengan agen penghelat memberikan proteksi terhadap oksidasi lipid yang terbaik (Caldironi dan Bazan 1982). Lutein (kelompok carotenoid) asal kaliandra mampu bertindak sebagai antioksidan dan mengurangi jumlah vakuola lemak hati. Lutein mampu berikatan dengan lemak sehingga tidak berdiri sendiri sebagai radikal bebas, karotenoid mempunyai sifat antioksidan yang sangat baik, dan perubahan pengaruh pakan baru terlihat paling sedikit setelah dua minggu pemberian (Sinaga 2006).

Gambar 7 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh kombinasi - karoten (B), vitamin C (C), dan vitamin E (E)

LH = Lipida; L = radikal lipida; LO2= radikal lipida peroksil; LOOH =

lipida hidroperoksida; B = radikal derivasi - karoten; BO2 = radikal -

karoten ; BOOH = -karoten hidroperoksida’E= radikal vitamin E; C= radikal vitamin C (Niki et al. 1995)

Selain itu, flavonoid juga mempunyai kemampuan menonaktifkan enzim 5-lipoksigenase yang berperan menstimulir pembengkakan sel (Schewe dan Sies 2003). Menurut Li dan Tian (2004) dari 15 flavonoid ada 9 yang mempunyai 2 gugus hidroksil pada cincin B dan 5,7 gugus hidroksil pada cincin A kombinasi dengan ikatan rangkap C-2,3 dapat menghambat aktivitas enzim FAS (Fatty Acid Synthase). Fatty Acid Synthase mensintesis asam lemak terutama palmitat dari substrat asetil CoA (Ac- CoA), malonil CoA (Mal-CoA), dan NADPH melalui keenam sisi aktif enzim tersebut (acetyl/malonyl transferase; ketoacyl synthase; ketoacyl reductase; -hydroxyacyl dehydratase; enoyl reductase; dan thioesterase). Fatty Acid

(30)

Synthase merupakan enzim penting yang berperan dalam metabolisme

energi di dalam tubuh dan berhubungan dengan berbagai penyakit pada manusia. Hasil penelitian Dragland et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan salah satu tanaman herba Jepang (Sho-Danau Sai) yang biasa digunakan untuk mengobati hepatitis kronis, juga dapat menghambat perkembangan karsinoma hepatoseluler, dan mengurangi peroksidasi lipid dan fibrosis hati pada hewan percobaan. Asupan flavonoid dilaporkan dapat mengurangi risiko kanker, dengan cara menghambat kerja enzim prostaglandin sintase, lipoksigenase, dan siklooksigenase yang terkait dengan pembentukan tumor (Zang dan Hamauzu 2003).

2.3.4 Metabolisme Lemak

Asam lemak merupakan suatu rantai hidrokarbon yang mengandung satu gugus metal pada salah satu ujungnya dan salah satu gugus asam atau karboksil pada ujung lainnya. Secara umum, formula kimia suatu asam lemak adalah CH3(CH2)nCOOH, dan n biasanya kelipatan dua. Berdasarkan

jumlah atom karbon, asam lemak dibagi menjadi asam lemak rantai pendek (rantai hidrokarbonnya terdiri dari jumlah atom karbon genap 4-6 atom), asam lemak rantai sedang (8-12 atom) dan asam lemak rantai panjang (14-26 atom). Lemak asal pakan yang sudah melalui mulut sampai di lumen usus sudah berada dalam bentuk lemak teremulsi. Lemak tersebut dengan bantuan enzim lipase akan diubah ke dalam bentuk yang lebih sederhana (asam lemak bebas/FFA) dan monogliserida. Asam lemak bebas dan monogliserida, kolesterol, dan vitamin larut lemak dengan adanya garam empedu membentuk misel, kemudian masuk ke sel mukosa usus. Di mukosa usus sebagian membentuk asam lemak lebih sederhana (asam lemak rantai pendek). Pada unggas, asam lemak rantai pendek langsung masuk ke vena portal, sedangkan monogliserida, trigliserida dan kolesterol masuk ke vena poral dengan bantuan protein, membentuk partikel besar lipoprotein (disebut khilomikron) terlebih dahulu sebelum keduanya (asam lemak rantai pendek maupun khilomikron) diangkut ke hati (Gambar 8).

(31)

Lipase pankreas adalah enzim yang berperan dalam pencernaan triasilgliserol pakan. Lipoprotein lipase adalah enzim yang berperan dalam hidrolisis triasilgliserol dari lipoprotein plasma, terutama khilomikron dan veri low densiti lipoprotein (VLDL) dan aktivitasnya diketahui dipengaruhi oleh status nutrisi, hormon dan kondisi lingkungan (Moreno et al. 2003).

Gambar 8. Metabolisme lemak asal pakan modifikasi dari Suttie (1972)

Biosintesa asam lemak (lipogenesis) terjadi di dalam sitoplasma pada banyak jaringan, terutama di dalam hati, jaringan lemak, ginjal, paru-paru dan kelenjar susu (Koolman dan Röhm 2001). Asam lemak terbentuk dari Asetil-KoA. Asetil-KoA merupakan hasil dekarboksilasi oksidatif piruvat yang berasal dari glikolisis glukosa. Langkah pertama lipogenesis adalah karboksilasi KoA menjadi malonil-KoA yang dikatalis oleh asetil-KoA karboksilase. Polimerisasi menjadi asam lemak terjadi di dalam sitoplasma dalam suatu kompleks sintase asam lemak. Kompleks multienzim ini mulai bereaksi dengan asetil-KoA dan memperpanjangnya dengan menggunakan gugus malonil dalam beberapa daur reaksi menjadi palmitat. Pada setiap daur reaksi akan dilepaskan CO2 dari malonil-KoA dan

hal ini berarti, pada setiap daur reaksi, asam lemak bertambah panjang sebanyak dua sub unit karbon. Perpanjangan asam lemak oleh sintase asam lemak berhenti pada suatu panjang rantai dengan 16 atom C dan menghasilkan palmitat (C16:0). Melalui proses khusus di dalam retikulum

(32)

endoplasma, palmitat diaktivasi dengan ATP menjadi palmitoil-KoA yang siap digunakan untuk sintesis asam lemak dengan rantai lebih panjang (C18, C20, dst) dan fosfolipid (Gambar 9).

Gambar 9 Metabolisme lemak (Bell dan Freeman 1971)

2.3.5 Metabolisme Antioksidan

Oksidasi adalah transfer elektron dari satu atom ke atom lain dan menggambarkan bagian yang esensial dalam makhluk hidup yang menggunakan oksigen dalam metabolisme, karena oksigen adalah akseptor elektron terakhir dalam sistem aliran elektron yang menghasilkan energi dalam bentuk ATP. Akan tetapi, apabila dalam sistem aliran elektron ada yang tidak dilepaskan (menstransfer satu elektron tidak berpasangan), maka akan terbentuk senyawa-senyawa yang dikenal sebagai ROS (Reactive Oxigen Species) (Pietta 2000) dan RNS (Reactive Nitrogen Species) (Surai 2003). Asal metabolik Diet Diet Acetyl-KoA C 3,6,9 3 : 18 Linolenat C16:0 Palmitat C18:0 Stearat C20:0 Arakidat C22:0 Behenat C24:0 Lignoserat C167:1 Palmitoleat C187:1 Vassenat C189:1 Oleat C209:1 C229:1 Erusat C249:1 Nervonat C 6,9 2 : 18 Linoleat C 9,12 2 : 18 C 9,12 2 : 20 C 6,9,12 3 : 18 C 9,12,15 3 : 20 C 6,9,12 3 : 20 Homo- -linolenat Prosta-glandin PGE1 Prosta-glandin PGE2 C206:4,9,12,15 Arakidonat 2C 2C 2C 2C 2C 2C 2C -2H -2H -2H

(33)

Reactive Oxygen Species dan RNS terbentuk secara reguler sebagai

hasil fungsi normal tubuh atau sebagai hasil kelebihan stres oksidatif (Surai 2003). Menurut Halliwell dan Gatteridge (1999), diacu dalam Surai (2003) yang termasuk dalam ROS dan RNS ádalah senyawa radikal seperti alkoksil (RO*), hidroperoksil (HOO*), hidroksil (*OH), peroksil (ROO*), superoksid (O2*), nitrik oksid (NO*) dan nitrogen dioksid (NO2*), dan

senyawa non-radikal yang reaktif seperti hidrogen peroksid (H2O2), asam

hipoklorus (HOCl), ozon (O3), singlet oksigen (1O2), peroksinitrit (ONOO-),

nitroksil anion (NO-) dan asam nitrus (HNO2). Spesies reaktif superoksid

(O2-), hidrogen peroksid (H2O2), hidroksil radikal (HO*), nitrogen oksid

(NO*), peroksinitrit (ONOO-), dan asam hipoklorus (HOCl) merupakan produk normal dalam jalur (pathways) metabolik organ manusia. Superoksid, sumber paling penting dalam inisiasi radikal in vivo, yang diproduksi di mitokondria selama rantai transfer elektron dan secara reguler bocor keluar dari mitokondria.

In vivo, ROS memegang dua peran yang berbeda yaitu positif dan

negatif. Peran positifnya, berkaitan dengan produksi energi, phagocytosis, pengaturan pertumbuhan sel, pemberi isyarat di dalam sel, dan sintesis senyawa yang secara biologis penting. Sebaliknya, jika ROS berlebih akan menjadi senyawa yang berbahaya, karena dapat menyerang lipid pada membran sel, protein dalam jaringan atau enzim, karbohidrat dan DNA, yang menyebabkan kerusakan membran, modifikasi protein (termasuk enzim), dan DNA. Kerusakan oksidatif ini dianggap memegang peran dalam proses penuaan dan beberapa penyakit degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan, seperti penyakit jantung, katarak, tidak berfungsinya kesadaran/pengertian dan kanker (Pietta 2000).

Untuk mempertahankan keseimbangan oksidasi reduksi, organ tubuh melindungi diri sendiri dari toksisitas kelebihan ROS/RNS dengan berbagai cara, termasuk menggunakan antioksidan endogen dan eksogen. Perlindungan oleh antioksidan berlokasi di organel, bagian subseluler atau ruang ekstraseluler termasuk sel. Pertahanan pertama adalah mencegah terjadinya pembentukan radikal dengan cara memindahkan prekursor

(34)

radikal bebas atau menginaktifkan katalis oleh enzim superoksida dismutase (SOD), Se-glutation peroksidase (GSH-Px), katalase, sistem glutation dan tioredoksin, dan logam pengikat protein. Pertahanan kedua adalah mencegah dan membatasi pembentukan reaksi berantai atau propagasi oleh antioksidan, misalnya vitamin A, E, C, karotenoid, ubiquinols, glutation dan asam urat. Pertahanan ketiga adalah penghilangan dan perbaikan bagian molekul yang rusak oleh enzim lipase, peptidase, protease, transferase, enzim perbaikan DNA, dan lainnya (Pietta 2000; Surai 2003).

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari polifenol yang telah diketahui sebagai antioksidan (Burda dan Oleszek 2001) karena kemampuannya menurunkan pembentukan radikal bebas dan menangkap radikal bebas. Kemampuan sebagai antioksidan memberi efek terapi terhadap penyakit jantung, radang usus, kanker (patologi hati) (González-Gallego et al. 2007). Juga berperan penting sebagai anti alergi, anti viral, antiinflamasi, kemampuan memperlebar pembuluh darah (Pietta 2000; González-Gallego et al. 2007 ). Berdasarkan derajat oksidasi pada cincin-C, pola hidroksilasi dari struktur cincin dan substitusi pada posisi-3 cincin C (Gambar 3) polifenol yang banyak terdapat pada pangan dapat dibagi menjadi 6 kelas utama, yaitu flavanol (contoh, epikatekhin), flavonol (contoh, kuersetin), flavone (contoh, luteolin), flavanone (contoh, naringenin), isoflavone (contoh, genistein), dan antosianidin (contoh, sianidin). Sampai saat ini, kemampuan flavonoid sebagai antioksidan dilaporkan berpengaruh pada kesehatan. Akan tetapi, potensi sebagai antioksidan, potensi bioaktivitasnya in vivo bergantung pada penyerapan, metabolisme, distribusi, dan ekskresi senyawa tersebut di dalam tubuh setelah pencernaan dan daya guna dari metabolit yang dihasilkannya (Gambar 10).

(35)

Gambar 10 Pembentukan metabolit dan konjugasi flavonoid pada manusia

Pemecahan prosianidin mungkin terjadi di lambung pada lingkungan pH rendah. Semua kelas flavonoid selanjutnya dimetabolis di jejunum dan ileum usus kecil dan metabolit yang dihasilkannya akan masuk ke vena vortal dan selanjutnya dimetabolis di hati. Mikroflora kolon mendegradasi flavonoid menjadi asam fenolik yang lebih kecil, yang mungkin diserap. Hampir semua metabolit diekskresikan di ginjal. Adanya senyawa ini masuk ke dalam sel dan jaringan tidak diketahui (Spencer 2003)

Struktur kimia dan biokimia polifenol akan berpengaruh pada fungsi biologisnya, seperti ketersediannya (bioavailabity), aktivitasnya sebagai antioksidan, interaksi spesifik dengan sel reseptor dan enzim serta fungsi lainnya. Fungsí biologis polifenol bergantung pada bioavailability (Manach

et al. 2004). Potensinya sebagai antioksidan in vivo bergantung pada

metabolismenya, absorpsi dan ekskresi senyawa ini di dalam tubuh setelah dicerna dan peran metabolitnya (Spencer et al. 1999). Struktur kimia polifenol menentukan laju dan penyerapan di usus dan sirkulasi metabolit alami yang ada dalam plasma. Struktur kimia polifenol juga mempengaruhi reaksi konjugasi dengan metil, sulfat atau kelompok glukoronik dan sejumlah metabolit alam atau yang terbentuk oleh mikroflora saluran pencernaan yang diserap di kolon. Kelompok tertentu dari polifenol seperti flavonols, isoflavones, flavones, dan antosianin biasanya terglikosilasi. Gula yang terikat umumnya glukosa atau rhamnosa, tetapi dapat juga galaktosa,

(36)

arabinosa, xilosa, asam glukoronik, atau gula-gula lain (Scalbert dan Williamson 2000). Banyaknya gula umumnya satu, tapi dapat dua atau tiga dan ada beberapa posisi yang memungkinkan untuk digantikan, misalnya oleh gugus asam malonik. Glikosilasi mempengaruhi fungsí secara kimia, fisik dan biologis polifenol. Polifenol yang terglikosilasi, untuk dapat berdifusi secara pasif melalui sisir dinding usus diduga harus menghilangkan gugus hidrofiliknya. Oleh karena itu, tahap pertama metabolisme polifenol adalah glikosilasi, yaitu menghilangkan gula dengan enzim (glikosidase). Aktivitas enzim glikosidase dapat terjadi di dalam bahan makanan tersebut (endogenus atau ditambahkan selama pemrosesan) atau pada sel mukosa saluran pencernaan atau disekresikan oleh mikroflora yang ada di kolon. Pada flavonoid seringkali diasilasi, khususnya dengan asam galik, tetapi pengaruhnya pada bioavailaility polifenol tidak sedramatis glikosilasi. Flavanols tampak dapat melewati membran secara biologis dan diserap tanpa dikonjugasi atau hidrolisis (Scalbert dan Williamson 2000). Flavones dan flavonols glikosida dan aglikonnya diglukoronidasi (peningkatan gugus OH pada posisi γ’ dan 4’ cincin B) selama transfer melintasi jejunum dan ileum tanpa memerlukan miroflora saluran pencernaan, karena adanya enzim glikosidase seperti halnya enzim UDP-glukoronil transferase di jejunum. Sebaliknya, kuersetin-3-glukosida dan rutin umumnya diserap tanpa dimetabolis (Spencer et al. 1999). Ester asam fenolik dimetabolis oleh enzim yang dihasilkan mikroflora kolon. Penyerapan polifenol bergantung pada bobot molekul. Proantosianidin merupakan biopolimer berbobot melekul besar, sehingga sulit diserap di usus halus. Setelah turunan polifenol dihidrolisis menjadi aglikon (polifenol bebas/tidak terikat dengan senyawa gula), polifenol bebas dikonjugasi/diikat dengan cara metilasi, sulfasi, glukoronidasi, atau kombinasinya. Tahapan ini dikontrol oleh enzim spesifik yang mengkatalis reaksi tersebut. Polifenol tidak diserap di lambung. Polifenol diserap, dimetabolis di hati dan diekskresi di empedu atau secara langsung dari enterosit kembali ke usus halus juga akan mencapai kolon, tetapi dalam bentuk kimia yang berbeda, seperti glukoronida. Mikroflora kolon mengkatalisis pemecahan polifenol

Gambar

Tabel 1  Komposisi tubuh itik lokal jantan dan itik pekin  Bagian yang Diamati*
Gambar 1    Proses oksidasi lemak pada bahan pangan   (A)  Sumber: Kochhar 1996
Gambar 2  Beluntas (Pluchea indica Less.)
Gambar 4  Struktur komponen  fenol tumbuhan  (Cadenas 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

- bila standar produk sama atau proses produksi sama dengan yang telah disertifikasi, penambahana hanya ukuran saja atau tipe/jenis saja (misalnya: ukuran watt), maka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan(P&lt;0.05), terhadap warna keju cottage, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap,

Penelitian ini akan di lakukan dengan cara memberikan lembaran koesioner sebanyak 4 lembar, lembaran pertama untuk data demogarafi yang berisikan nama, jenis kelamin anak, umur

Diambil dari penelitian Damayanti (2010) dengan judul “An alisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Nasabah Memilih Deposito” menunjukkan hasil bahwa pelayanan tidak

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada ayam lokal baik ayam Kampung, Pelung, Sentul maupun Kedu Hitam mempunyai keragaman genetik cukup tinggi yang diperlihatkan

Dari hasil pembahasan masalah yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut dengan adanya Sistem Informasi Akademik yang baru berbasis web pada Politeknik

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan produk campuran ampas sagu dan ampas tahu fermentasi (ASATF) dengan Monascus purpureus sebanyak

Kedua, baitulmal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan demikian, jika seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, harta peninggalan