• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan sebagai sumber bahan makanan hewani yang mengandung protein

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan sebagai sumber bahan makanan hewani yang mengandung protein"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan

Ikan sebagai sumber bahan makanan hewani yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna. Hal paling penting adalah harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lain. Ikan juga dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, pakan ternak, dan lainnya. Kandungan kimia, ukuran, dan nilai gizi yang terdapat pada ikan tergantung pada jenis, umur ke tingkat kematangan, dan kondisi tempat hidupnya (Adwyah, 2006).

Kelebihan produk perikanan dibanding dengan produk hewani lainnya sebagai berikut:

1. Kandungan protein yang cukup tinggi (20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati pola kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia.

2. Daging ikan mudah dicerna oleh tubuh karena mengandung sedikit tenunan pengikat (tendon).

3. Daging ikan mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol sangat rendah yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.

(2)

4. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah mineral seperti K, Cl, P, S, Mg, Ca, Fe, Ma, Zn, F, Ar, Cu dan Y, serta vitamin A dan D dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia (Adwyah, 2006).

Selain memiliki kelebihan, ikan juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu:

1. Kandungan air yang tinggi (80%), pH tubuh ikan yang mendekati netral, dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis menyebabkan daging sangat lunak, sehingga menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk.

2. Kandungan asam lemak tak jenuh mengakibatkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkannya berbau tengik (Adwyah, 2006).

Proses pembusukan pada ikan disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme, dan oksidasi dalam tubuh ikan itu sendiri dengan perubahan seperti timbul bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh bagian luar (Adwyah, 2006).

Kekurangan yang terdapat pada ikan dapat menghambat usaha pemasaran hasil perikanan, tidak jarang menimbulkan kerugian besar terutama disaat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk/ tekstur, maupun daya awet ikan (Adwyah, 2006).

(3)

2.2 Ikan Marlin

Taksonomi ikan Marlin (Xiphias gladius): Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata Class : Asteichthyes Ordo : Perciformer Family : Scombroidei Genus : Xiphias

Species : Xiphias gladius (Anonim, 2013)

Ikan marlin terdiri dari ± 5 species dan hidup di daerah yang bersuhu tropis di seluruh dunia, dikedalaman 400-500 meter dibawah permukaan laut dan mengadakan migrasi (Ruaya) untuk bertelur. Badannya berbentuk cerutu dan panjangnya kira-kira 14,5 ft (4,5 meter) dan beratnya 1190 pounds (540 kg) untuk marlin terbesar yang pernah ditemukan. Ikan ini termasuk ikan perenang cepat, dan termasuk ikan pemakan daging atau carnivore (Anonim, 2013).

Ikan marlin merupakan pilihan bahan baku olahan abon, karena ikan ini memiliki tekstur daging yang sangat cocok untuk diolah menjadi abon dan mengandung gizi yang tinggi termasuk DHA dan Omega 3. Bahan baku ikan marlin berasal dari Banten, Cilacap, dan Jakarta. Berat ikan Marlin yang diproduksi memiliki berat minimal 100 kg per ekornya supaya persentase kesusutannya tidak terlalu besar. Ikan marlin dengan berat diatas 100 kg hasil yang dapat diperoleh sekitar 40-50% dan berat dibawah 100 kg hasil yang diperoleh hanya sekitar 25-30% saja (Hariadi, 2013).

(4)

2.3 Abon Ikan 2.3.1 Defenisi

Abon merupakan makanan yang biasanya dibuat dari daging sapi atau ayam yang diolah menjadi produk kering siap dimakan. Abon ikan adalah produk olahan hasil perikanan yang dibuat dari daging ikan, melalui kombinasi proses pengolahan yaitu proses pengukusan, penggilingan dan penggorengan dengan penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap (Karyono dan Wachid 1982).

Pembuatan abon ikan merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan yang selama ini banyak terbuang sia-sia. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pembuatan abon ikan antara lain adalah proses pembuatannya mudah, rasanya enak, dan dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan. Selain menggunakan bahan yang berasal dari limbah hasil pengolahan perikanan, abon dapat pula dibuat dengan menggunakan ikan segar sebagai bahan baku. Abon yang dihasilkan dari bahan baku ikan segar tentu mempunyai mutu lebih baik (Karyono dan Wachid 1982).

Abon ikan yang baik mempunyai rasa yang khas, tidak berbau amis atau anyir. Dengan rasa khas inilah, abon ikan mudah diterima oleh konsumen. Dibandingkan dengan ikan segar, abon ikan mempunyai kandungan protein lebih tinggi dan dapat disimpan lebih lama tanpa mengalami perubahan kualitas (Afrianto, 1989).

Jenis ikan yang dibuat sebagai bahan baku abon belum selektif, bahkan hampir semua jenis ikan dapat dijadikan abon. Namun demikian, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, sebaiknya dipilih jenis ikan yang benar-benar

(5)

masih segar, memiliki kandungan lemak rendah dan berdaging tebal serta tidak mengandung banyak duri (Wibowo dan Peranginangin 2004).

Ikan yang biasa dibuat abon adalah ikan air laut antara lain ikan Tuna, Tenggiri, Cakalang, Layaran atau Marlin. Di antara jenis-jenis ikan tersebut, ikan Marlin merupakan bahan baku terbaik untuk diolah menjadi abon ikan karena rasanya yang lebih enak dengan kandungan protein yang cukup tinggi serta mengandung DHA dan omega 3 yang bermanfaat bagi kesehatan (Sari, 2009).

2.3.2. Proses pembuatan abon ikan

Beberapa proses yang dilakukan dalam pembuatan abon ikan, yaitu: a.Penyiangan

Ikan disiangi yaitu pada bagian isi perut dan kepala, bila perlu dipotong-potong untuk memudahkan pengukusan kemudian dicuci sampai bersih. b.Pengukusan

Ikan dikukus sampai matang untuk memudahkan pengambilan daging dan memisahkan dari tulang dan duri, kemudian ditumbuk/ dimemarkan hingga menjadi suwiran-suwiran/ serpihan daging ikan.

c.Pemberian Bumbu

Bumbu-bumbu yang dihaluskan, kemudian dicampurkan dengan yang telah disuwir-suwir hingga merata.

d.Penggorengan

Daging ikan yang telah dicampur dengan bumbu kemudian digoreng dengan minyak, bisa juga menggunakan santan kelapa yang kental. Aduk-aduk sampai kering dan berwarna kuning kecokelatan.

(6)

e.Pengepresan

Abon yang sudah matang dimasukkan ke alat pengepres abon sampai minyaknya tuntas, kemudian diambil dengan menggunakan garpu (Rahmiatirahman, 2012).

2.3.3. Syarat Mutu Abon

Menurut Standart Nasional Indonesia abon memiliki syarat mutu, dimana syarat mutu tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1: Tabel Mutu Abon berdasarkan Standart Nasional Indonesia

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Keadaan Bentuk Bau Rasa Warna Air Abu

Abu tidak larut asam Lemak

Protein Serat Kasar

Gula jumlah sebagai sakarosa Pengawet Cemaran logam 10.1 Timbal ( Pb ) 10.2 Tembaga ( Cu ) 10.3 Seng ( Zn ) 10.4 Timah ( Sn ) 10.5 Raksa ( Hg ) Cemaran Arsen ( As ) Cemaran Mikroba

12.1 Angka Lempeng Total 12.2 MPN Coliform 12.3 Salmonella 12.4 Staphylococcus aureus - - - - % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b - mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/ g koloni/ g koloni/ 25 g koloni/g Normal Normal Normal Normal Maks 7 Maks 7 Maks 0,1 Maks 30 Min 15 Maks 1,0 Maks 30 Sesuai SNI 01-0222-95 Maks 2,0 Maks 20 Maks 40,0 Maks 40,0 Maks 0,05 Maks 1,0 Maks 5 x 10 4 Maks 10 Negatif 0 Sumber : Standart Nasional Indonesia SNI 01-2891-1992.

(7)

2.4 Kadar Abu

2.4.1 Pengertian Kadar Abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Beberapa contoh kadar abu dalam beberapa bahan dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2: Persen kadar abu dalam beberapa bahan makanan.

NO MACAM BAHAN % ABU

1 Milk 0,5 - 1,0

2 Milk kering tidak berlemak 1,5

3 Buah-buahan segar 0,2 - 0,8

4 Buah-buahan yang dikeringkan 3,5

5 Biji kacang-kacangan 1,5 - 2,5

6 Daging segar 1

7 Daging yang dikeringkan 12

8 Daging ikan segar 1 – 2

9 Gula, Madu 0,5

10 Sayur-sayuran 1

Kadar abu ada hubungannya dengan kandungan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Kandungan garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat, sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat, nitrat (Sudarmadji, 1989).

Tujuan penentuan kadar abu total adalah:

a. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan. Misalnya pada proses penggilingan gandum diharapkan dapat dipisahkan antara bagian endosperm dengan kulit/ katul dan lembaganya. Apabila masih banyak katul atau lembaganya terikut dalam endosperm maka tepung gandum yang

(8)

dihasilkan akan mempunyai kadar abu yang relatif tinggi. Hal ini karena pada bagian katul kandungan mineralnya dapat mencapai 20 kali lebih banyak daripada dalam endosperm.

b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang akan digunakan untuk membuat Jelly atau marmelade. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruti vinegar (asli) atau sintetis.

c. Penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain (Sudarmadji, 1989).

2.4.2 Jenis-Jenis Pengabuan

a. Abu Secara Langsung (Cara Kering)

Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1989).

Pengabuan secara langsung dilakukan dengan cara sampel yang akan diabukan ditimbang sejumlah tertentu tergantung jenisnya. Beberapa contoh bahan dan jumlah berat yang diperlukan dapat dilihat ada tabel berat bahan untuk pengabuan:

(9)

Tabel 2.3: Berat bahan untuk pengujian kadar abu.

No Macam Bahan Berat Bahan (g)

1 Ikan dan hasil olahanya, Biji-bijian dan makanan ternak

2

2 Padi-padian, milk dan keju 3 – 5

3 Gula, daging, dan sayuran 5 – 10

4 Jelly, sirup, jam dan buah kering 10 5 Juice, buah segar, buah kalengan 25

6 Anggur 50

Bahan yang mengandung kadar air tinggi sebelum pengabuan harus dikeringkan lebih dahulu. Bahan yang mempunyai kandungan zat yang mudah menguap dan berlemak banyak proses pengabuan dilakukan dengan suhu mula-mula rendah sampai asam hilang, baru kemudian dinaikan suhunya sesuai dengan yang dikehendaki. Sedangkan untuk bahan yang membentuk buih waktu dipanaskan harus dikeringkan dahulu dalam oven dan ditambahkan zat anti buih misalnya olive atau parafin (Sudarmadji, 1989).

Bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus yang disebut krus yang dapat terbuat dari porselin, silika, quartz, nikel, atau platina dengan berbagai kapasitas (25–100 ml). Bahan yang bersifat asam misalnya buah-buahan disarankan menggunakan krus porselin yang bagian dalamnya dilapisi silika, sebab bila tidak dilapisi akan terjadi pengikisan oleh zat asam tersebut. Wadah yang terbuat dari nikel tidak dianjurkan karena dapat bereaksi dengan bahan membentuk nikel-karbonil bila produk banyak mengandung karbon. Pemilihan wadah ini disesuaikan dengan bahan yang akan diabukan (Sudarmadji, 1989).

Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh karena banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K,

(10)

Na, S, Ca, Cl. P. Selain itu suhu pengabuan juga dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu misalnya K2CO3; CaCO3; MgCO3 (Sudarmadji, 1989).

Pengabuan dilakukan dengan muffle yang dapat diatur suhunya, tetapi bila tidak tersedia dapat menggunakan pemanas bunsen. Bila menggunakan bunsen sulit diketahui ataupun dikendalikan suhunya untuk ini dapat digunakan pengamatan secara visual yaitu kelihatan membara merah berarti suhu lebih kurang 550 oC (bila menggunakan krus porselin). Kadangkala pada proses pengabuan terlihat bahan hasil pengabuan berwarna putih keabu-abuan. (Warna abu ini tidak selalu abu-abu atau putih tetapi ada juga yang berwarna kehijauan dan kemerah-merahan) (Sudarmadji, 1989).

Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu pengabuan 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu maka krus yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus lebih dahulu dimasukan kedalam oven bersuhu kedalam 105 oC agar supaya suhunya turun, baru kemudian dimasukkan kedalam eksikator sampai dingin. Eksikator yang digunakan harus dilengkapi dengan zat penyerap uap air misalnya silika gel atau kapur aktif atau kalsium khlorida, sodium hidroksida. Permukaan gelas diolesi dengan vaselin agar eksikator dapat mudah digeser tutupnya (Sudarmadji, 1989). Keuntungan dari metode pengabuan kering adalah sebagai berikut:

1. Aman.

(11)

3. Beberapa sampel dapat dianalisis secara bersamaan. 4. Tidak memerlukan tenaga kerja yang intensif.

5. Abu yang dihasilkan dapat dianalisis untuk penentuan kadar mineral (One, 2011)

Kelemahan menggunakan metode pengabuan kering diantaranya adalah: 1. Memerlukan waktu lama.

2. Biaya listrik yang lebih tinggi untuk memanaskan tanur.

3. Kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi (One, 2011).

b. Abu Secara Tidak Langsung (Cara Basah)

Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha penentuan trace elemen dan elemen dan logam-logam beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk memperbaiki cara kering yang biasanya memerlukan waktu yang lama serta adanya kehilangan karena pemakaian suhu tingi yaitu antara lain dengan pengabuan cara basah ini. Pengabuan cara basah ini prinsipnya adalah memberikan reagen kmia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan basah ini dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Campuran asam sulfat dan potasium sulfat dapat dipergunakan untuk mempercepat dekomposisi sampel. Potasium sulfat akan menaikkan titik didih asam sulfat sehingga suhu pengabuan dapat dipertingi dan pengabuan dapat lebih cepat.

2. Campuran asam sulfat, asam nitrat banyak digunakan untuk mempercepat proses pengabuan. Kedua asam ini merupakan oksidator yang kuat. Dengan

(12)

penambahan oksidator ini akan menurunkan suhu digesti bahan yaitu pada suhu 350 oC, dengan demikian komponen yang dapat menguap atau terdekomposisi pada suhu tinggi dapat dipertahankan dalam abu yang berarti penentuan kadar abu lebih baik.

3. Penggunaan asam perkhlorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan yang sangat sulit mengalami oksidasi. Dengan perkhlorat yang merupakan oksidator yang sangat baik memungkinkan pengabuan dapat dipercepat. Kelemahan perkhlorat ini adalah bersifat explosive atau mudah meledak sehingga cukup berbahaya, untuk ini harus sangat hati-hati dalam penggunaannya. Pengabuan dengan bahan perkhlorat dan asam nitrat ini dapat berlangsung sangat cepat yaitu dalam 10 menit sudah dapat diselesaikan (Sudarmadji, 1989).

Menurut Sudarmadji (1989), ada perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4: Perbedaan Pengabuan cara kering dan cara basah (Sudarmadji, 1989).

NO

Perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah.

Cara Kering Cara Basah

1 Penentuan total abu untuk makanan dan hasil pertanian

Penentuan total abu untuk trace element

2 Memerlukan waktu yang relatif lama Memerlukan waktu yang relatif cepat

3 Suhu relatif lebih tinggi Suhu relatif lebih rendah

4 Jumlah sampel yang banyak Jumlah sampel yang disesuaikan dengan reagensi yang digunakan

(13)

2.5 Gravimetri

Gravimetri merupakan cara pemeriksaan jumlah zat yang paling tua dan paling sederhana dibandingkan dengan cara pemeriksaan kimia lainnya. Kesederhanaan itu jelas kelihatan karena dalam gravimetri jumlah zat ditentukan dengan menimbang langsung massa zat yang dipisahkan dari zat-zat lain. Pada dasarnya pemisahan zat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Mula-mula cuplikan zat dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, lalu ditambahkan zat pengendap. Endapan yang terbentuk disaring, dicuci, dikeringkan dan dipijarkan dan setelah dingin ditimbang. Kemudian jumlah zat yang ditentukan dihitung dari faktor stoikiometrinya. Hasilnya disajikan sebagai persentase bobot zat dalam cuplikan semula (Rivai, 1995).

Meskipun gravimetri merupakan cara pemeriksaan kimia terhitung yang paling tua dan paling jelas urutan kerjanya, namun pemakaiannya terbatas karena pengerjaannya memakan waktu lama. Selain itu, berbagai persyaratan harus dipenuhi agar penentuan terhitung dapat dilakukan dengan memuaskan. Persyaratan itu antara lain:

1. Zat yang akan ditentukan harus dapat diendapkan secara terhitung (sekurangnya 99,9% kesempurnaan pengendapannya). Ini berarti bahwa endapan yang terbentuk harus cukup sukar larut. Umumnya, endapan yang dipakai dalam gravimetri mempunyai kelarutan atau hasil kali kelarutan yang sangat rendah, sehingga kehilangan yang disebabkan oleh kelarutannya dapat diabaikan. Selain itu, zat pengendapan karena jumlah zat pengendap yang dibutuhkan untuk pengendapan tidak diketahui dengan pasti. Penambahan zat

(14)

pengendap yang berlebihan ini juga akan mengurangi kehilangan endapan. Misalnya, jika pengendapan ion kalsium sebagai kalsium oksalat dipertimbangkan, maka kelebihan ion oksalat akan menggeser kesetimbangan reaksi pengendapan kearah pembentukan endapan kalsium oksalat seperti berikut :

Ca 2+ + C2O42- ↔ CaC2O4 ↓

2. Endapan yang terbentuk harus cukup murni dan dapat diperoleh dalam bentuk yang cocok untuk pengolahan selanjutnya. Endapan yang berbentuk hablur kasar lebih cocok untuk pengolahan selanjutnya dalam gravimetric daripada endapan yang terbentuk hablur halus atau endapan yang tak terbentuk. Sedangkan pengolahan selanjutnya itu akan menghasilkan senyawa yang akan ditimbang yang mengandung (Rivai, 1995).

Sebagian besar alat untuk gravimetri adalah alat-alat gelas. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama analisis maka harus digunakan alat-alat gelas Pyrex daripada yang lain (Rohman, 2007).

Pekerjaan analisis secara gravimetri dapat dibagi dalam beberapa langkah sebagai berikut: 1. Pengendapan; 2. Penyaring; 3. Pencucian endapan; 4. Pengeringan, pemanasan/ pemijaran dan penimbangan endapan hingga konstan (Rohman, 2007).

Gravimetri dapat digunakan untuk menentukan hampir semua kation dan anion anorganik serta zat-zat netral seperti air, belerang dioksida, karbon dioksida, dan iodium. Selain itu, berbagai jenis zat organik dapat diterapkan dengan teknik gravimetri (Rohman, 2007).

Gambar

Tabel 2.1: Tabel Mutu Abon berdasarkan Standart Nasional Indonesia
Tabel 2.2: Persen kadar abu dalam beberapa bahan makanan.
Tabel 2.3: Berat bahan untuk pengujian kadar abu .

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melihat kesetaraan gender, yang terdiri atas pembagian kerja, akses terhadap sumber daya, akses terhadap manfaat, kontrol atas

b.Guru memberi tugas rumah kepada siswa untuk mempelajari materi berikutnya dan mengerjakan kegiatan 3.4.1 tentang Evaluasi dampak dari suatu kasus pembangunan di suatu daerah.(Jika

judul “Evaluasi Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Dan Pengendalian Internal Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pada Badan Keuangan Daerah

Drs Jafron Wasiq Hidayat, M.Si Dr.. Fuad

a) Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang Hukum Perusahaan. b) Untuk memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan penulis dalam hukum perdata dan hukum

Akta Perjanjian Nominee yang dibuat para pihak di hadapan notaris pengaturannya secara khusus tidak ditemukan dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum

Persoalan dalam menyusun draft dari suatu kontrak perjanjian dengan melakukan perancangan dan analisa adalah merupakan suatu hal yang sering diabaikan oleh para pihak dalam

Hipotesis yang diuji dalam bahasan penelitian ini adalah H 0 : Tidak ada pengaruh tidak langsung economics literacy (X 1 ) terhadap perilaku konsumsi (Y) melalui promosi (X 3