• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi Terhadap Kepemimpinan Transformasional 1. Definisi Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan menurut Pierce dan Newstrom (2002) adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok. Menurut Robbins (2002) bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu strategi atau kemampuan dalam mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan.

Menurut Wutun (2001) konsep kepemimpinan transformasional dari Bass merupakan salah satu konsep kepemimpinan yang lebih dapat menjelaskan secara tepat pola perilaku kepemimpinan atasan yang nyata ada dan mampu memuat pola-pola perilaku dari teori kepemimpinan lain. Bass (dalam Wutun, 2001) menyatakan bahwa pemimpin berusaha memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi.

Kepemimpinan transformasional sebagai pengaruh pemimpin atau atasan terhadap bawahan. Para bawahan merasakan adanya kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, dan mereka termotivasi untuk melakukan melebihi apa yang diharapkan. Kepemimpinan transformasional harus dapat mengartikan dengan jelas mengenai visi untuk organisasi, sehingga

(2)

1994). Dengan bahasa sederhana, kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan dan dipahami sebagai kepemimpinan yang mampu mendatangkan perubahan di dalam diri setiap individu yang terlibat atau bagi seluruh organisasi untuk mencapai performa yang semakin tinggi.

Pemimpin transformasional menurut Bass (dalam Wutun, 2001) cenderung berusaha untuk memanusiakan manusia melalui berbagai cara seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan peran karyawan untuk mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju aktualisasi diri yang nyata.

Wutun (2001) menambahkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah bagaimana pemimpin mengubah (to transform) persepsi, sikap, dan perilaku bawahan terlepas dari meningkat-tidaknya perubahan yang terjadi. Secara konseptual, kepemimpinan transformasional (to transform) adalah sebagai kemampuan pemimpin dalam mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja, dan nilai-nilai kerja bawahan sehingga bawahan akan lebih mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi.

Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna, keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu (Yulk, 1998).

(3)

Kepemimpinan transformasional adalah suatu proses di mana para pemimpin dan anggota saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin berupaya untuk mengubah perilaku anggotanya agar menjadi orang yang merasa mampu dan bermotivasi tinggi serta berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan berkualitas guna mencapai tujuan organisasi. Para anggota organisasi yang dipimpin secara transformasional akan merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan hormat terhadap pimpinan, dan mereka termotivasi untuk melakukan pekerjaan dengan cara lebih baik dari yang diharapkan (Yulk, 1998).

“Transformational leadership as a process where leader and followers engage in a mutual process of raising one another to hinger levels of morality and motivation” (Burns, 1978)

Definisi lain menurut Burns (1978) menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses dimana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin tersebut mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi. Dalam Hubungannya dengan hirarki kebutuhan Maslow (1954), maka para pemimpin transformasional menggerakkan kebutuhan-kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi pada para pengikut. Para pengikut dinaikkan dari “diri sehari-hari” ke “diri yangl ebih baik”.

"The dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the

(4)

self-Pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan seorang yang memiliki visi sebagai agen perubahan pada sebuah organisasi dan bawahannya dalam mengubah lingkungan kerja dengan meningkatkan moralitas dan motivasi yang tinggi pada bawahan dan juga menghargai serta memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahannya sehingga bawahan akan lebih mengoptimallkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi.

2. Definisi Persepsi

Persepsi dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap suatu objek dan situasi lingkunganya. Dengan kata lain, tingkah laku seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh persepsinya. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera namun proses itu tidak berhenti begitu saja melainkan stimulus tersebutditeruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito, 2006).

Menurut Robbins (2006) Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan

(5)

makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif. Sedangkan menurut Maramis (1999) persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui atau mengartikan setelah pancaindranya mendapat rangsang.

Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1997) adalah proses penerimaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, atau peraba), sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Gibson (1985) bahwa persepsi mencakup kognisi (pengetahuan). Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus, dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap.

Moskowitz dan Orgel (dalam Walgito, 1994) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya sehingga seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti pengalaman, emosi, kemampuan berfikir serta aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu ikut berperan aktif dalam proses tersebut. Proses yang terintegrasi tersebut menyebabkan stimulus yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda pula. Stimulus dapat datang dari luar diri individu dan dari dalam diri individu. Stimulus yang datang dari luar diri individu dapat bermacam macam, yaitu dapat berwujud bendabenda, situasi dan manusia. Objek persepsi yang berwujud benda disebut persepsi benda (things perception) atau non-social

(6)

perception, sedangkan apabila objek persepsi berwujud manusia atau orang disebut social perception. Persepsi yang menggunakan diri sendiri sebagai objek persepsi disebut dengan persepsi diri (self-perception). Menurut Schiffman (dalam Sukmana, 2003) persepsi seseorang tentang lingkungan tidak hanya didasarkan atas alat indera saja (penglihatan, pendengaran, sentuhan), akan tetapi juga melibatkan unsur perasaan. Persepsi diri dapat menjadikan orang memahami keadaan dirinya sendiri dan mampu melakukan evaluasi diri (Walgito, 2002). Fieldmen (dalam Hartini, 1999) menambahkan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah tanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungan dan bagaimana segala sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi dan perilaku yang dipilihnya.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses yang diterimanya stimulus melalui proses penginderaan dengan mengamati, mengetahui serta mengartikan daya mengenal barang, kualitas atau hubungan dan perbedaan.

3. Definisi Persepsi Terhadap Kepemimpinan Transformasional

Menurut Wutun (2001) konsep kepemimpinan transformasional dari Bass merupakan salah satu konsep kepemimpinan yang lebih dapat menjelaskan secara tepat pola perilaku kepemimpinan atasan yang nyata ada dan mampu memuat pola-pola perilaku dari teori kepemimpinan lain. Kepemimpinan transformasional meliputi pengembangan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dengan

(7)

pengikutnya, bukan hanya sekedar sebuah perjanjian tetapi lebih didasarkan kepada kepercayaan dan komitmen (Sunarsih, 2001).

Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses dimana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi (Keller, 1992). Kepemimpinan trasnformasional dapat dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus pada pencapaian perubahan nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran (perubahan), kepercayaan, sikap, perilaku, emosional dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik ke masa depan (Burns, 1978). Keller (1992) mengemukakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri, hanya dapat dipenuhi melalui praktik dalam kepemimpinan transformasional. Sehingga, para bawahan merasakan adanya kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, dan mereka termotivasi untuk melakukan melebihi apa yang diharapkan hal ini disebut juga dengan persepsi dari bawahannya.

Persepsi menurut Maramis (1999) persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui atau mengartikan setelah pancaindranya mendapat rangsang. Persepsi terhadap kepemimpinan transformasional adalah bagaimana kualitas atau hubungan antara pemimpin dan bawahannya melalui proses bawahan mengamati, mengetahui atau mengartikan bagaimana kepemimpinan transformasional yang dimiliki oleh pimpinannya tersebut.

Seorang pemimpin transformasional dapat diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahannya. Pemimpin

(8)

transformasional dapat memberikan dampak atau pengaruh kepada para pengikutnya sehingga terbentuk rasa percaya, rasa kagum dan rasa segan (Bass, 1990).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Robbins (2002) adalah :

a. Orang yang mempersepsikan. Saat individu melihat suatu sasaran dan berusaha menginterpretasi. Interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu yang melihat. Karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu dan harapan.

b. Objek atau sasaran yang dipersepsikan. Karakteristik sasaran yang dipersepsi dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Individu yang ceria lebih menonjol dalam suatu kelompok daripada individu yang pendiam. Karena sasaran tidak dipahami secara terisolasi maka latar belakang sasaran juga dapat mempengaruhi persepsi seperti kecenderungan kita untuk mengelompokkan hal-hal yang berdekatan dan hal-hal yang mirip dalam satu tempat. Jika dikaitkan dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan, maka obyek yang dipersepsikan gaya kepemimpinan yang diterapkan atasannya yang meliputi pemilihan strategi atau gaya pemimpin dalam bertindak, berkomunikasi dan bersikap terhadap bawahannya.

(9)

c. Konteks dimana persepsi itu dibuat. Konteks dimana kita melihat suatu objek atau peristiwa dapat mempengaruhi pemahaman, seperti juga lokasi, cahaya, panas atau sejumlah faktor-faktor situasional lainnya.

Menurut Walgito (2002) persepsi seseorang dipengaruhi oleh : a. Faktor dalam diri individu

Keadaan individu yang mempengaruhi persepsi adalah yang berhubungan dengan kejasmanian dan yang berhubungan dengan segi psikologis (pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan, dan motivasi).

b. Faktor di luar diri individu.

Faktor di luar diri individu meliputi stimulus itu sendiri dan lingkungan dimana persepsi berlangsung. Jika dikaitkan dengan persepsi terhadap gaya kepemimpinan, faktor di luar diri individu ini salah satunya adalah pemilihan strategi atau gaya pemimpin dalam bertindak, berkomunikasi dan bersikap terhadap bawahannya.

5. Aspek-Aspek Kepempimpinan Transformasional

Menurut Bass (dalam Wutun, 2001) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki lima aspek perilaku, yaitu :

a. Idealized Influence

Pemimpin berusaha mempengaruhi bawahan dengan komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, komitmen dan keyakinan, serta

(10)

memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan tetap mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang dibuat.

b. Individualized Consideration

Pemimpin berusaha memberikan perhatian kepada bawahan dan menghargai sikap bawahan terhadap organisasi Perilaku pemimpin transformasional, di mana ia merenung, berpikir, dan selalu mengidentifikasi kebutuhan para bawahannya, berusaha sekuat tenaga mengenali kemampuan karyawan, membangkitkan semangat belajar pada para karyawannya, memberi kesempatan belajar seluas-luasnya, selalu mendengar bawahannya dengan penuh perhatian, dan baginya adalah kunci kesuksesan sebuah karya.

c. Inspirational Motivation

Pemimpin bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan melalui pemberian arti, partisipasi dan tantangan terhadap tugas bawahan. Upaya pemimpin transformasional dalam memberikan inspirasi para pengikutnya agar mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan, ditantangnya bawahan mencapai standar yang tinggi. Pemimpin transformasional akan mengajak bawahan untuk memandang ancaman dan masalah sebagai kesempatan belajar dan berprestasi. Oleh karenanya, pemimpin transformasional menciptakan budaya untuk berani salah, karena kesalahan itu adalah awal dari pengalaman belajar segala sesuatu. Pemimpin transformasional akan menggunakan simbol-simbol dan metafora untuk memotivasi mereka, bicara dengan antusias dan optimis.

d. Intellectual Stimulation

Pemimpin berusaha mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Imajinasi, dipadu

(11)

dengan intuisi namun dikawal oleh logika dimanfaatkan oleh pemimpin ini dalam mengajak bawahan berkreasi. Pemimpin transformasional menyadari bahwa sering kali kepercayaan tertentu telah menghambat pola berpikir, oleh karenanya, pemimpin transformasional mengajak bawahannya untuk mempertanyakan, meneliti, mengkaji dan jika perlu mengganti kepercayaan itu.

e. Attributed Charisma

Pemimpin yang memiliki karisma memperlihatkan visi, kemampuan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Ia sebagai pemimpin yang bersedia memberikan pengorbanan untuk kepentingan organisasi. Ia menimbulkan kesan pada anggotanya bahwa ia memiliki keahlian untuk melakukan tugas pekerjaannya, sehingga patut dihargai.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek yang diatas dalam penelitian gambaran persepsi terhadap kepemimpinan transformasional pada pimpinan organisasi Pujakesuma Langkat.

6. Faktor-Faktor Efektivitasan Kepemimpinan a. Intrapersonal

1. Kecerdasan Kepemimpinan

Intelligensi merupakan aspek yang penting karena pemimpin diharapkan mampu berfikir dan merespon cepat, dan memiliki kesiapan mengakses informasi yang lebih dari orang lain (Mangungsong, 2009).

(12)

Beberapa penulis yang menyatakan bahwa wanita mempunyai gaya interaktif meliputi kepemimpinan yang lebih people-oriented dan partisipatif. Mereka menyatakan bahwa wanita lebih relationship-oriented, koperatif, mengasuh, dan emosional dalam peran kepemimpinan mereka. Lebih lanjut, mereka itu tegas dimana kualitas ini membuat wanita khususnya cocok untuk peran kepemimpinan pada waktu ketika perusahaan memakai perhatian lebih kuat pada tim dan keterlibatan pekerja. Argumen ini sesuai dengan stereotipe peran seks, yakni, bahwa pria cenderung lebih task-oriented sedangkan wanita lebih people-oriented (Robbins, 2001).

Pemimpin pria dan wanita sama-sama people-oriented, tetapi pemimpin wanita cenderung lebih partisipatif daripada pria. Studi kepemimpinan pada setting bidang umumnya telah menemukan bahwa pemimpin pria dan wanita tidak berbeda pada level

task-oriented atau kepemimpinan people-oriented (Robbins, 2001). Penjelasan utama

mengapa pria dan wanita tidak berbeda pada gaya ini adalah bahwa dunia pekerjaan nyata memerlukan perilaku mirip dari pria dan wanita yang sedang memegang jabatan (Robbins,2001).

Para sarjana menyatakan bahwa wanita mungkin lebih partisipatif karena asuhan mereka telah membuat mereka lebih egalitarian dan kurang status-oriented. Ada juga beberapa bukti bahwa wanita mempunyai kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada pria, dan kemampuan ini mengubah ke dalam kegunaan gaya kepemimpinan partisipatif yang relatif lebih besar. Penjelasan ketiga adalah bahwa bawahan mengharapkan pemimpin wanita lebih otokratik, bawahan mungkin mengeluh karena mereka mengharapkan eksekutif wanita atau pemimpin tim menjadi partisipatif (Robbins, 2001). Apakah wanita atau pria adalah pemimpin yang lebih baik tentunya bergantung kepada individu dan pada keadaan spesifik.

(13)

3. Faktor Edukasi

Kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir. Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi, menuju suatu perubahan. Adanya perubahan menandakan terjadinya proses belajar. Kepemimpinan juga memerlukan kemampuan belajar dalam mentransformasi situasi yang sangat sulit. (Robbins, 2001).

b. Interpersonal

1. Gaya Kepemimpinan

Robbins (2001) mengemukakan pendekatan lebih baru sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, yaitu teori Atribusi Kepemimpinan, Kepemimpinan Karismatik dan Kepemimpinan Transaksional–Transformasional. Teori-teori dari kepemimpinan yang mungkin ini berasumsi bahwa pemimpin yang efektif harus memiliki wawasan dan fleksibel. Mereka harus mampu menyesuaikan perilaku dan gaya mereka ke situasi yang mendesak. Hal ini tidak mudah dilakukan, namun biasanya pemimpin memiliki gaya pilihan. Dibutuhkan banyak upaya bagi para pemimpin untuk belajar kapan dan bagaimana untuk mengubah gaya mereka agar sesuai dengan situasi. Seperti pemimpin harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, khususnya pemantauan kepribadian diri sendiri, sehingga mereka dapat mendiagnosis keadaan dan menyesuaikan perilaku mereka (Hogg, 2002).

2. Perilaku Kepemimpinan

Ketika kepribadian tidak menjadi penentu penting dalam kesuksesan kepemimpinan, kita dapat melihat perilaku pemimpin. Dalam serangkaian studi tentang interaksi gaya dalam kelompok, Bales (Hogg, 2002) menyimpulkan

(14)

kepemimpinan dalam kelompok tetapi tidak ada individu yang dapat menempati kedua peran secara berkesinambungan (Hogg, 2002). Task specialist cenderung terlibat dan biasanya menawarkan pendapat dan memberikan petunjuk dalam aspek task-oriented dalam kehidupan kelompok. Socio-emotional specialist cenderung merespon dan member perhatian pada perasaan anggota kelompok lainnya (Hogg, 2002).

Pemimpin yang tinggi dalam initiating structure menetapkan tujuan kelompok dan mengatur kerja anggota untuk pencapaian tujuan. Pemimpin yang tinggi dalam consideration memberi perhatian pada kesejahteraan bawahan dan mencari hubungan harmonis dalam kelompok (Hogg, 2002).

Penelitian dalam perilaku kepemmimpinan mengindikasikan perbedaan antara orientasi kepemimpinan task dan socio-emotional. Misumi dan Peterson mengidentifikasi dua fungsi serupa, task performance dan group maintenance (Hogg, 2002). Mereka menyatakan bahwa cara dimana fungsi ini diekspresikan berbeda dari satu budaya ke budaya lain.

3. Faktor Kultural

Pengertian kultural atau budaya mengacu pada perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu masyarakat tertentu. kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsiasumsi yang mengarahkan perilaku kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan (belief) serta mempengaruhi gaya kepemimpinan dan hubungan interpersonal seseorang (Nahavandi, 2000).

(15)

7. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Transformasional

Paradigma baru dari kepemimpinan transformasional mengangkat tujuh prinsip untuk menciptakan kepemimpinan transformasional yang sinergis sebagaimana di bawah ini (Rees, 2001) :

a. Simplifikasi

Keberhasilan dari kepemimpinan diawali dengan sebuah visi yang akan menjadi cermin dan tujuan bersama. Kemampuan serta keterampilan dalam mengungkapkan visi secara jelas, praktis dan tentu saja transformasional yang dapat menjawab “Kemana kita akan melangkah?” menjadi hal pertama yang penting untuk kita implementasikan.

b. Motivasi

Kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang yang terlibat terhadap visi yang sudah dijelaskan adalah hal kedua yang perlu kita lakukan. Pada saat pemimpin transformasional dapat menciptakan suatu sinergitas di dalam organisasi, berarti seharusnya dia dapat pula mengoptimalkan, memotivasi dan memberi energi kepada setiap pengikutnya. Praktisnya dapat saja berupa tugas atau pekerjaan yang betul-betul menantang serta memberikan peluang bagi mereka pula untuk terlibat dalam suatu proses kreatif baik dalam hal memberikan usulan ataupun mengambil keputusan dalam pemecahan masalah, sehingga hal ini pula akan memberikan nilai tambah bagi mereka sendiri.

c. Fasilitasi

(16)

ataupun individual. Hal ini akan berdampak pada semakin bertambahnya modal intektual dari setiap orang yang terlibat di dalamnya.

d. Inovasi

Kemampuan untuk secara berani dan bertanggung jawab melakukan suatu perubahan bilamana diperlukan dan menjadi suatu tuntutan dengan perubahan yang terjadi. Dalam suatu organisasi yang efektif dan efisien, setiap orang yang terlibat perlu mengantisipasi perubahan dan seharusnya pula mereka tidak takut akan perubahan tersebut. Dalam kasus tertentu, pemimpin transformasional harus sigap merespon perubahan tanpa mengorbankan rasa percaya dan tim kerja yang sudah dibangun.

e. Mobilitas

Pengerahan semua sumber daya yang ada untuk melengkapi dan memperkuat setiap orang yang terlibat di dalamnya dalam mencapai visi dan tujuan. Pemimpin transformasional akan selalu mengupayakan pengikut yang penuh dengan tanggung jawab.

f. Siap Siaga

Kemampuan untuk selalu siap belajar tentang diri mereka sendiri dan menyambut perubahan dengan paradigma baru yang positif.

g. Tekad

Tekad bulat untuk selalu sampai pada akhir, tekad bulat untuk menyelesaikan sesuatu dengan baik dan tuntas. Untuk ini tentu perlu pula didukung oleh pengembangan disiplin spiritualitas, emosi, dan fisik serta komitmen.

(17)

8. Karakteristik-Karakteristik Kepemimpinan Transformasional

Karakteristik pemimpin transformasional menurut Bass (dalam Yulk,1998) adalah :

a. Menciptakan visi dan kekuatan misi

b. Menanamkan kebanggaan pada diri bawahan c. Memperoleh dan memberikan penghormatan d. Menumbuhkan kepercayaan di antara bawahan e. Mengkomunikasikann harapan tertinggi

f. Menggunakan simbol untuk menekankan usaha tinggi g. Mengeskpresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana

h. Menumbuhkan dan meningkatkan kecerdasan, rasionalitas dan pemecahan masalah secara hati-hati pada bawahan

i. Memberikan perhatian secara personal

j. Membimbing dan melayani tiap bawahan secara indivdual k. Melatih dan memerikan saran-saran

l. Menggunakan dialog dan diskusi untuk mengembangkan potensi dan kinerja bawahan Devanna dan Tichy mengemukakan beberapa karakteristik dari pemimpin transformasional yang efektif antara lain ( Luthans, 1995) :

c. Mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan

d. Mereka mendorong keberanian dan pengambilan resiko yang berhati-hati

e. Mereka percaya pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka

f. Mereka dilandasi oleh nilai-nilai yang membimbing perilaku mereka

g. Mereka adalah seorang pembelajar sepanjang hidup (lifelongs learners) bersifat fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman

(18)

h. Mereka memiliki keterampilan kognitif dan kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian

i. Mereka juga adalah seroang pemimpin yang visioner. B. Organisasi Pujakesuma

1. Sejarah Terbentuknya Organisasi Pujakesuma

Pujakesuma merupakan sebuah paguyuban yang dirikan untuk orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera ataupun yang tidak lahir di Sumatera. Paguyuban ini berdiri sebagai wadah tampat penyaluran budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat dikatakan sebagai rasa etnisitas agar tetap eksis di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik. Budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat dikatakan sebagai rasa etnisitas agar tetap eksis di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik (Siyo, 2008).

Paguyuban berasal dari kata guyub, dalam kamus bahasa Indonesia, paguyuban adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang sepaham (memiliki ide yang sama dan dari daerah yang sama) untuk membina persatuan (kerukunan) diantara para anggotanya. Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara mereka mengekspresikan dan menata pengelolaan dan penguasaan terhadap sumber daya alam, ekonomi, dan politik.

Paguyuban Pujakesuma adalah paguyuban yang berdiri pada tanggal 10 Juli 1980. Sebelum berdirinya paguyuban ini, paguyuban ini adalah sebuah sanggar dan perkumpulan seni dan budaya Jawa yang bernama IKJ (Ikatan

(19)

Kesenian Jawa) yang didirikan oleh Letkol Sukardi. Dengan seiring perkembangan waktu maka pada tahun 1979-an IKJ diubah namanya menjadi Paguyuban Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera/Keberadaan Sumatera), paguyuban ini pada awalnya didirikan oleh Bapak Danu. Ia merupakan tokoh kesenian Jawa pada masa itu, kemudian Paguyuban diresmikan pada tahun 1980.

Berdasarkan keputusan yang ditetapkan pada masa itu, paguyuban ini berdiri sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang berketurunan Jawa, keturunan Jawa meliputi seluruh Pulau Jawa baik apakah seorang tersebut berasa dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan juga DKI Jakarta. Dalam musyawarah mereka, mereka menjelaskan bahwa yang terpenting adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera atau berada di Sumatera maupun diluar pulau Jawa.

2. Tujuan Organisasi Pujakesuma

Paguyuban ini juga bertujuan untuk (Siyo, 2008) :

a. Meningkatkan taraf ekonomi dan sosial masyarakat Jawa di Sumatera Utara b. Paguyuban Pujaksuma merupakan sebuah organisai yang murni tanpa

mengharapkan pamrih, paguyuban ini bertujuan mengembangkan nilai-nilai budaya dan leluhur yang baik.

Dapat disimpulkan bahwa untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka harus dimulai dengan memperbaiki kesejahteraan, dan tidak mungkin meningkatkan taraf hidup tanpa perbaikan ekonomi. Selain itu Paguyuban ini juga merupakan sebagai Wadah Partisipasi Pujakesuma dalam membangun kesenian,

(20)

kebudayaan, olah raga, SDM dan perekonomian yang ada di Wilayah Sumatera dan wilayah yang lainnya.

3. Motto Pujakesuma

Paguyuban Pujakesuma memiliki motto yang menjadi ikatan konstektual dalam kehidupan sehari-hari anggota Pujakesuma dan juga dalam pelaksanaan organisasi Paguyuban ini. Motto Paguyuban Pujakesuma berupa (Siyo, 2008) : a. Rukun : :'rukun' itu damai, tidak banyak berselisih atau bertengkarsesama

anggota Pujakesuma dan juga sesama orang Jawa maupun etnis lain. b. Raket : 'raket' artinya dekat-akrab serta menjaga kerukunan.

c. Rageng : 'regeng', artinya bernuansa hangat, ramai.

d. Rumekso : 'rumekso' maksudnya menjaga, saling melindungi satu dengan yang lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian ini sejalan dengan pendapat Doney dan Cannon (1997, p. 36) yang menyatakan bahwa rasa percaya timbul sebagai hasil dari kehandalan dan integritas mitra yang

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,

(2003) Indonesia Population: Etnis Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukkan Peran Negara, Sejarah, dan Budaya, dalam Hubungan antar etnis.. Instute of Southerst

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah

Berita yang terkait dengan garis atau area ditampilkan dalam bentuk chartlet untuk membantu pelaut mengetahui posisi suatu objek, Contoh : Peletakan kabel laut

Lokasi yang berdekatan dengan muara sungai, tidak dianjurkan untuk pembesaran Ikan Kerapu Macan karena lokasi tersebut salinitasnya sangat berfluktuasi karena

Pelaksanaan layanan dipandu dengan pedoman dan prosedur pelayanan klinis (pelayanan medis,.. keperawatan, kebidanan, dan pelayanan profesi kesehatan yang

Urutan pengerjaan pembuatan huruf/angka pada bidang plesteran terdiri dari: melukis huruf/angka pada permukaan, menyiapkan permukaan, melekatkan adukan pada permukaan,