• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT DEGRADASI BAMBU KUNING (Bambusa vulgaris schard var. vitata) DAN BAMBU HIJAU (Bambusa vulgaris schard var.vulgaris) OLEH JAMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT DEGRADASI BAMBU KUNING (Bambusa vulgaris schard var. vitata) DAN BAMBU HIJAU (Bambusa vulgaris schard var.vulgaris) OLEH JAMUR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT DEGRADASI

BAMBU KUNING (Bambusa vulgaris schard var. vitata)

DAN BAMBU HIJAU (Bambusa vulgaris schard var.vulgaris)

OLEH JAMUR

Noverita

Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta

ABSTRAK

Masalah yang sering dihadapi berkenan dengan pemanfaatan bambu adalah kerentanannya serangan organisme perusak seperti jamur, bubuk kayu kering, dan rayap. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis jamur dan tingkat degradasinya pada batang dan daun bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard var. vitula ))dan bambu hijau ( Bambusa vulgaris Schard var. vulgaris .). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat degradasi batang bambu kuning dan batang bambu hijau setelah 12 minggu pengamatan sangat berbeda. Setelah 12 minggu bambu kuning mengalami tingkat degradasi total sebesar 19,90%, sedangkan pada batang bambu hijau tingkat degradasi totalnya sebesar 45,73%. Tingginya tingkat degradasi pada bambu hijau selain disebabkan oleh jamur juga diduga disebabkan oleh sifat fisik dan serangan rayap.

Kata kunci : bambu, jamur, degradasi

PENDAHULUAN

Bambu merupakan salah satu tumbuhan asli yang tersebar di seluruh Indonesia, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi, di lahan pertanian ataupun di lahan hutan. Oleh karena itu bambu telah lama dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia terutama karena manfaatnya yang luas. Secara tradisionil umumnya bambu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti alat-alat rumah tangga, kerajinan tangan dan bahan makanan. Sebagai bahan bangunan bambu banyak dipakai di daerah pedesaan, sedangkan di kota bambu merupakan bahan penting untuk rumah murah, bangunan sementara dan perancah untuk bangunan bertingkat (Nugroho dan Surjokusumo, 1994 dalam Widjaja dkk, 1994).

Buluh bambu kuning digunakan untuk perlengkapan kapal, misalnya untuk tiang kemudi, juga untuk pagar, kandang dan lain-lain. Di Irian Jaya buluh digunakan untuk membuat sikat dan koteka; sedangkan di Salvador belahan buluh digu-nakan sebagai penyokong dan pelindung dinding. Selain itu digunakan untuk bahan utama industri mebel bambu dan juga untuk bubur kayu yang baik untuk membuat kertas, dan rebung dapat dimakan. Air di dalam rebung direbus digunakan untuk obat penyakit hepatitis (sakit kuning) (Utami,1995).

Secara keseluruhan dikenal 120 jenis bambu asli Indonesia, 56 jenis diantaranya berpotensi ekonomi. Untuk seluruh dunia ada sekitar 1500 jenis, 10 jenis diantaranya yang menjadi prioritas, sedangkan 4 diantaranya itu berasal dari

(2)

Indonesia (Widjaja, 1994 dan Nasendi, 1995).

Bambusa vulgaris merupakan salah

satu contoh jenis bambu yang banyak dijumpai di daerah tropik terutama di Indonesia. Tumbuh baik di dataran rendah, di atas ketinggian 1000 m buluhnya menjadi lebih pendek dan diameternya lebih kecil. Banyak dijumpai tumbuh di sepanjang sungai dan danau yang lembab. Di Asia tenggara tanaman dengan buluh hijau tumbuh alami secara luas di tepi sungai, pinggir jalan, tanah tandus dan tanah-tanah terbuka. Bambu ini mudah dikenali, pada buluh mudanya muncul cabang-cabang secara berselang seling membentuk susunan seperti kipas raksasa. Buluhnya tegak atau agak condong, tinggi 10-20 m, diameter 4-10 cm, tebal buluh 7-15mm, berwarna hijau mengkilat, kuning atau kuning bergaris hijau. Panjang buku 20-45 cm. Buluhnya bermiang hitam dengan pelepah yang menempel berbentuk bundar telur melebar. B.vulgaris ini dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: yang berbuluh hijau dikenal sebagai bambu apel, haur; yang berbuluh kuning, seringkali dengan garis-garis hijau sebagai bambu kuning atau Golden bamboo dan Buddhas

belly yang dikenal dengan nama bambu bleduk (Utami, 1995).

Sifat kimia bambu sangat beragam tergantung jenisnya, dari hasil penelitian Gusmalina dan Sumadiwangsa (1988) terhadap 10 jenis bambu yang berasal dari jawa timur menunjukkan bahwa kadar selulosa berkisar antara 42,4-53,6%, kadar lignin 19,8 – 26,6%, kadar pentosa 17,5-21,5%, kadar abu 1,24-3,77%. Kadar ekstraktif umumnya digambarkan dengan kadar kelarutan dalam air dingin, air panas dan alcohol benzene. Nilai kadar ektraktifnya ini untuk 10 jenis bambu yang diteliti berturut-turut 4,5-9,9% ; 5,3-11.8% dan 0,9-6,9%. Sedangkan menurut Monahan (1998), bambu mengandung 50-70% hemiselulosa, 30% pentosa dan

20-25% lignin. 10 persen dari hemi-selulosa adalah xilan.

Akhir-akhir ini permintaan akan bambu (termasuk rebung untuk pangan) cendrung meningkat, khususnya di negara-negara Asia Pasifik seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Dengan perkataan lain potensi pasar bagi produk bambu akan semakin besar sehingga beberapa negara tertentu sudah mengarahkan perhatiannya terhadap potensi bambu Indonesia. Indonesia pernah mengekspor bambu ke Belanda untuk digunakan sebagai penyang-ga tanaman bunpenyang-ga yang sebelumnya di pasok oleh RRC. Sejalan dengan mening-katnya kebutuhan tersebut, permintaan akan produk bambu yang berkualitas ikut meningkat pula (Darma dkk.,1994 dalam Widjaja,1994)

Masalah yang sering dihadapi berkenan dengan pemanfaatan bambu adalah serangan organisme perusak seperti jamur, bubuk kayu kering, dan rayap. Di daerah tropik, penyimpanan bahan berlignin-selulosa seperti bambu di luar ruangan menyebabkan terjadinya kerusak-an oleh jasad renik terutama jamur. Bambu yang berkontak dengan tanah pada tahap awal biasanya akan mendapat serangan jamur pengotor (mould) dan jamur pewarna (staining fungi). Setelah beberapa minggu jamur pelapuk kelas Basidiomycetes dan Ascomycetes biasanya menyerang dengan merusak struktur dinding sel bambu sehingga terjadi pelapukan (rot) (Darma, 1994). Selanjutnya menurut Monahan (1998), pembusukan dan pelapukan pada batang bambu sebagian besar disebabkan oleh jamur, termasuk di dalamnya adalah pelapuk coklat (brown-rot), pelapuk putih (white- rot) dan pelapuk lunak (soft-rot)., bakteri juga dapat menyebabkan pembu-sukan. Kolonisasi mikroorganisme ini pada batang bambu sangat dipengaruhi oleh kelembaban nutrien, dan temperatur.

Jamur yang sering meyerang bambu adalah; Penicillium, Trichoderma,

(3)

dan Graphium menyebabkan pengotoran,

Schizophyllum commune, Leptographium

sp., Botrydiplodia sp., Auricularia sp.,

Pleurotus sp., dan Stereum sp.

menyebab-kan pelapumenyebab-kan, serta Chaetomium

globo-sum dan Coniophora putaena yang

menyebabkan perwanaan (Darma, 1994). Selanjutnya menurut Monahan (1998), jenis-jenis jamur yang menyebabkan pembusukan (decay) dan pelapukan (deterioration) pada bambu adalah; Irpex

lacteus, I.consort Berk., Tyromyces palustris, Picnoporus coccineus (Trametes sanguinea), Poria vaporaria, Schizophyl-lum commune Fr., Polyporus versicolor (Coriolus versicolor), dan lain-lain

Selain jamur dan bakteri, beberapa jenis serangga dilaporkan juga dapat menyebabkan kerusakan pada bambu dilapangan dan juga selama penyimpanan. Diantaranya adalah serangga Epichloe bambusae, dan sejenis kumbang penggerek Dinoderus minutes dan D. brevis

menye-babkan bambu sering lapuk (Siregar dan Hartuningsih, 1995). Rayap dari jenis

Coptotermes curviganathus, Macrotermes gilvus ( Andalusia (1984) dan bubuk kayu

kering Dinoderus minutes (Darma,1994). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis jamur dan tingkat degradasinya pada batang dan daun bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard var.

vitula) dan bambu hijau (Bambusa vulgaris

Schard var. vulgaris .).

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dari bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2004, di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia , Pusat Studi Ilmu Hayat (PSIH),IPB serta di halaman belakang jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

B. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu kuning (Bambusa vulgaris Schard var. vitula) dengan diameter batang sekitar 10 cm dan bambu hijau (Bambusa vulgaris Schard var. vitula) dengan diameter batang sekitar 7 cm, daun bambu kuning dan daun bambu hijau , media PDA, dan akuades steril.

C. Cara kerja

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara meletak-kan potongan-potongan batang bambu (ukuran 2 x 3cm) dan daun bambu (ukuran 3 x 15 cm) pada plot yang sudah dibuat secara acak. Jumlah plot yang dibuat sebanyak 16 buah (ukuran 20 x 10 x 5 cm) , delapan plot digunakan untuk per-lakuan batang bambu (empat plot bambu kuning dan empat plot bambu hijau) dan delapan plotnya lagi digunakan untuk perlakuan daun bambu (empat plot untuk daun bambu kuning dan empat plot untuk daun bambu hijau). Dari empat plot yang diperlakukan, dua plot diguna-kan untuk mengamati jenis jamur yang diambil setiap minggu (selama 12 minggu), dua plot yang lainnya digunakan untuk mengamati tingkat degradasi total dari sampel yang diambil setelah 12 minggu. Pengamatan dan analisis yang dilakukan meliputi pengukur-an bobot kering setiap minggu, serta isolasi dan identifikasi jenis jamur yang tumbuh pada sampel tersebut. Selain itu juga diamati kemungkinan adanya serangan serangga yang dapat terlihat dari bekas gigitannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan pada batang bambu kuning dan bambu hijau memperlihatkan bahwa tingkat degradasi yang terjadi untuk

(4)

setiap minggunya sangat bervariasi dan tidak konsisten meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh faktor lingkungan seperti pengaruh iklim dan suhu selama perlakuan, disamping itu juga dipengaruhi oleh jenis jamur dan organisme lainnya yang mengkolonisasi. Tingkat degradasi (%) pada batang bambu kuning dan bambu hijau tiap minggu dan tingkat degradasi totalnya setelah 12 minggu dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa tingkat degradasi total batang bambu kuning dan batang bambu hijau setelah 12 minggu pengamatan sangat berbeda.

Setelah 12 minggu bambu kuning mengalami tingkat degradasi total sebesar 19,90%, sedangkan pada batang bambu hijau tingkat degradasi totalnya sebesar 45,73%. Tingginya tingkat degradasi pada bambu hijau selain disebabkan oleh jamur juga diduga disebabkan oleh sifat fisik dan serangan rayap, hal ini dapat dilihat selama pengamatan dilapangan bahwa bambu hijau yang digunakan memiliki ketebalan yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu kuning, disamping itu juga setelah enam minggu pengamatan di lapangan dapat dilihat adanya serangan serangga rayap, yang terlihat dengan adanya bekas gigitan pada bambu ini.

Gambar 1. Tingkat degradasi (%) batang bambu kuning dan batang bambu hijau tiap minggu dan tingkat degradasi total setelah 12 minggu

Menurut Darma dkk. (1994) keawetan alami bambu tergantung pada beberapa faktor, antara lain umur bambu saat ditebang, kandungan pati, cara penyimpanan dan pemakaian, pengaruh iklim dan cuaca, serta organisme perusak seperti rayap. Hasil penelitian Andalusia (1984)pada bambu apus (Gigantochloa

apus) menunjukkan bahwa bambu apus

tanpa perlakuan sangat rentan terhadap

serangga rayap kering Cryptotermes cynocephalus dengan intensitas serangan

yang cukup tinggi dibandingkan dengan yang diberi perlakuan. Untuk melihat perbandingan tingkat degradasi (%) selama seminggu untuk duabelas minggu pengamatan batang bambu kuning dan batang bambu hijau, dilakukan dengan cara mencari selisih tingkat degradasi minggu x dengan tingkat degradasi minggu x-1, 0 10 20 30 40 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 ** Waktu(minggu) T in g k a t d e g ra d a s i (% ) bambukuning bambuhijau

(5)

sehingga ada kemungkinan diperoleh nilai negatif seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa tingkat degradasi tertinggi pada bambu kuning adalah sebesar 3,6%, yang terjadi antara minggu kelima dan keenam. Tingkat degradasi pada jenis ini yang juga

cukup penting (2,9 %) terjadi antara minggu pertama dan kedua. Tingkat degradasi tertinggi pada batang bambu hijau adalah sebesar 4,3 % yang terjadi antara minggu ke-11 dan ke-12, tingkat degradasi pada jenis ini yang juga cukup penting (3,3 %) terjadi antara minggu ke-8 dan minggu ke-9.

Gambar 2. Perbandingan tingkat degradasi (%) selama seminggu untuk dua belas minggu pengamatan pada batang bambu kuning dan hijau

Bila dikaitkan antara tingkat degradasi tertinggi dengan frekuensi dan jenis jamur yang diisolasi dari sampel pada

setiap minggunya dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 .

-2 -1 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 waktu (minggu) ti n g k a t d e g ra d a s i (% ) b. kuning b. hijau

Gambar 3. Fre kue nsi (%) dan je nis fungi yang diisolasi dari sampe l batang bambu kuning tiap

minggu 6 7 % 2 5 % 5 0 % 3 3 % 2 5 % 6 7 % 4 0 % 2 5 % 2 5 % 2 5 % 40% 50% 50% 50% 25% 25% 50% 33% 20% 25% 25% 50% 33% 2 5 % 2 5 % 33% 3 3 % 1 0 0 % 2 5 % 2 5 % 25% 25% 25% 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 w a k tu (m in g u ) Frekuensi (%)

Tric Ms1 Rhi Sc Psp1 Fus Bot Ms2 Psp2 Gli Mon

(6)

Frekuensi dan jenis jamur (Gambar 3) yang dapat diisolasi pada sampel batang bambu kuning pada minggu kelima dan keenam adalah Schizophylum commune (50%), Penicillium sp.1 (50%), Miselia

sterilia sp.1(67%) dan Penicillium sp

.2(33%), sedangkan pada minggu pertama dan kedua jamur yang dapat diisolasi adalah Trichoderma sp.(67%), Miselia sterilia sp.1 (33%), Rhizopus sp. (40%),

Schizophylum commune (40%) dan

Penicillium sp.1 (20%)

Frekuensi dan jenis jamur ( Gambar 4 ) yang dapat diisolasi pada sampel batang bambu hijau pada minggu kedelapan dan kesembilan adalah Trichoderma sp. (25%),

Schizophylum commune (25%), Botryodi-plodia sp. (50%), Monilia sp. (25%), serta Miselia sterilia sp1 dan sp.2,

masing-masing dengan frekwensi 25%. Sedangkan pada minggu ke sembilan dan kesepuluh, jenis dan frekuensi jamurnya adalah

Trichoderma sp. (25%), Schyzophylum commune (25%), Botryodiplodia sp. (33%)

dan Monilia sp.(67%).

Bila diperhatikan dari jenis jamur yang diisolasi dari kedua jenis bambu tersebut ternyata memperlihatkan kera-gaman jenis cukup banyak dan sama, walau frekwensi kemunculannya berbeda

(gambar 4). Hal ini disebabkan kedua jenis bambu ini mengandung senyawa kimia yang dibutuhkan jamur untuk pertum-buhannya sama dengan kosentrasi yang cukup tinggi, seperti selulosa, pentosa dan lignin. Dari hasil penelitian Sutigno (1994, dalam Widjaja,1994) terhadap 10 jenis bambu diantaranya bambu betung, bambu apus dan bambu tali, diketahui bahwa kandungan selulosa dan pentosanya tinggi bila dibandingkan dengan kandungan selulosa dan pentosa kayu jenis lainnya, sedangkan kandungan ligninnya tergolong sedang.

Jenis-jenis jamur yang diisolasi ter-sebut diantaranya menyebabkan pengotor-an pada bambu, seperti Penicillium sp. dpengotor-an

Trichoderma sp., dan satu jenis

menyebab-kan pelapumenyebab-kan pada bambu Schizophyllum

commune. Menurut Darma (1994),

bebe-rapa jenis jamur yang sering menyerang bambu di lapangan adalah Penicillium,

Trichoderma dan Graphium yang

menye-babkan pengotoran, Leptographium sp.,

Botryodiplodia sp., Auricularia sp.,

Pleurotus sp., Stereum sp., dan Poria incrassata menyebabkan pelapukan, serta Chaetomium globosum dan Coniophora putaena menyebabkan perubahan warna

pada bambu.

Gam bar 4. Frekuensi (%) dan jenis fungi yang diisolasi pada sam pel batang bam bu hijau

100% 40% 25% 67% 25% 40% 25% 100% 50% 100% 25% 100% 20% 50% 25% 33% 2 5 % 2 5 % 2 5 % 6 7 % 25% 33% 50% 25% 100% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 w a k tu (m in g g u ) Frekuensi (%)

Tric

Ms1

Rhi

Sc

Psp1

Ms2

Psp2

Gli

Mon

(7)

Keterangan;•Tri : Trichoderma sp. •Ms1 : Miselium steril sp.1 •Rhi : Rhizopus sp. •Sc : Schizophyllum commune •Psp1 : Penicillium sp.1 •Fus : Fusarium sp. •Bot : Botryodiplodia sp. •Ms2 : Miselium steril sp.2 •Psp2 : Penicillium sp.2 •Gli : Gliocladium sp. •Mon : Monilia sp.

Pada batang bambu kuning, S.

commune mendominasi dengan frekuensi

kemunculan 27,12 %, sedang pada batang bambu hijau, fungi yang mendominasi adalah S. commune dan Penicillium sp1. dengan masing-masing frekuensi 17,5 %. Tingginya frekuensi kemunculan jamur

S.commune pada bambu kuning diduga

sangat erat kaitannya dengan sifat fisik dari bambu tersebut, karena bambu kuning mempunyai ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu hijau sehing-ga kandunsehing-gan senyawanya yang dibutuh-kan jamur ini untuk pertumbuhannya juga akan lebih banyak.

Pada daun bambu kuning dan hijau, jamur yang dominan ternyata sama yaitu

Trichoderma sp. dengan frekuensi

masing-masing 31,6 % dan 29,3 %. Adanya perbedaan frekuensi dari kedua jenis daun

bambu ini juga diduga karena perbedaan sifat fisiknya, bambu kuning memiliki daun yang lebih lebar dan tebal sehingga kandungan kimianya yang dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan juga akan lebih banyak.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dibatas dapat ditarik beberapa kesimpulan 1. Tingkat degradasi tertinggi pada bambu

kuning adalah 3,6 %, terjadi pada minggu kelima dan dan keenam

2. Tingkat degradasi tertinggi pada bambu hijau adalah 4,3 %, terjadi pada minggu ke sebelas dan keduabelas

Gambar 4. Frekuensi kemunculan jenis-jenis fungi pada batang bambu kuning dan batang

bambu hijau 0 5 10 15 20 25 30 Tric Ms1 Rhi Sc Psp 1 Fus Bot Ms2 Psp 2 Gli Mon jenis fungi fr e k u e n s i k e m u n c u la n (% ) Bambu K Bambu H

(8)

3. Tingkat degradasi total batang bambu kuning 19,9 %,sedangkan bambu hijau 45,7 %.

4. S.commune dominan muncul pada batang bambu kuning dan hijau.

5. Trichoderma sp. dominan muncul pada daun bambu kuning dan hijau.

DAFTAR PUSTAKA

Andalusia TS. Pengaruh Perendaman Dalam Lumpur Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering Cryptotermes

cynocephalus Ligh dan Perubahan

Komposisi Kimia pada Bambu. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. 1994.

Darma IGK. Pengamatan Serangan Jamur Pada Berbagai Jenis Bambu di Lapangan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. 1994.

Darma IGK, Matangaran JR dan Nandika D. Keawetan dan Pengawetan Bambu, dalam Widjaja dkk. “ Strategi Penelitian Bambu Indonesia” Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Bogor . 1994.

Gusmalina dan Sumadiwangsa S. Analisa Kimia Sepuluh Jenis Bambu Dari Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol.5 No.5. 1988.

Monahan C. Diseases of Bamboos in Asia an Illustrated Manual. INBAL Technical Report . Kerala Forest Reseach Institut. Pcechi, Kerala, India. Vol. 10. 1998.

Nugroho N dan Surjokusumo S. Pemanfaatan Bambu Sebagai Bahan Bangunan; dalam Widjaja dkk. “Stra-tegi Penelitian Bambu Indonesia” Yayasan Bambu Lingkungan Lestari , Bogor. 1994.

Siregar M dan Hartuningsih. Bambu betung (Dendrocalamus asper

(schultesf.) Bakerex Heyne). Lembaran Informasi Prosea-Yayasan Prosea,Bogor Indonesia. Vol.1 No.12. 1995.

Sutigno P. Beberapa Hasil Penelitian dan Pengolahan Bambu; dalam Widjaja dkk. “Strategi Penelitian Bambu

Indonesia” Yayasan Bambu

Lingkungan Lestari, Bogor. 1994. Utami NW. Bambu kuning (Bambusa

vulgaris Schmiler ex Wendland). Lembaran Informasi Prosea-Yayasan Prosea, Bogor Indonesia. Vol.1 No.12. 1995.

Gambar

Gambar 1. Tingkat degradasi (%) batang bambu kuning dan batang bambu hijau tiap minggu dan tingkat degradasi total setelah 12 minggu
Gambar 3. Fre kue nsi (%) dan je nis fungi yang diisolasi dari sampe l batang bambu kuning tiap
Gambar 4. Frekuensi kemunculan jenis-jenis fungi pada batang bambu kuning dan batang

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, tulisan ini akan membahas Tembakau Deli sebelum ekspansi perkebunan, kemunculan dan perkembangan perkebunan Tembakau Deli dari masa kolonial hingga saat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun buas-buas dapat menurunkan tingkat kerusakan paru-paru pada pelebaran lumen alveolus, penebalan dinding

Penelitian ini upaya untuk mengetahui tingkat kesadaran shalat berjamaah yang akan berpengaruh pada perilaku sosial yang positif pada masyarakat Pondok

Dalam hal evaluasi, sistem Penjaminan Mutu pada empat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di Sulawesi Selatan dilaksanakan secara berkelanjutan seperti digambarkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh diferensiasi produk dan citra merek smartphone Samsung terhadap kepuasan konsumen di Kota Makassar dan variabel mana

Oleh sebab itu, berdasarkan fakta ini dapat dianalisa bahwa tindakan atau pendapat Abdurrauf paling tidak agaknya akan menimbulkan dua macam penafsiran. Pertama

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi yang didirikan oleh Negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada tanggal 8 Agustus 1967

Jika status guru dalam pelaksanaan penelitian sebelumnya adalah guru sekolah yang menjadi objek penelitian dan kemudian dipromosikan/dimutasikan ke sekolah lain ataupun