• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Morfologi Pepaya

Pepaya diklasifikasikan kedalam Kingdom Plantae, Divisio Spermatophyta, Class Angiospermae, Subclass Dicotyledonae, Familia Caricaceae, Genus Carica dan Species Carica papaya L. (Pandey, 1997). Famili Caricaceae mempunyai empat genus utama yaitu genus: Carica, Jarilla, Jacaratia, dan Cylicomorpha. Dari keempat genus ini, hanya spesies-spesies dari genus Carica yang dibudidayakan. Genus Carica mempunyai 40 spesies di daerah tropis dan subtropis Amerika. Selain Carica papaya L., spesies lain yang dapat dikonsumsi adalah C. candamarcensis Hook. F., C. monoica Desf., C. pentagona Heiborn, C. erythrocarpa Heilborn, C. goudotiana Solms-Laubach, dan C. quercifolia Benth dan Hook (Chan et al., 1994; Sankat dan Maharaj, 1997; Department of Health and Ageing, 2008).

Habitus genus Carica adalah pohon herba tahunan (perennial herbaceous) berbatang tunggal tegak dengan payungan daun di ujungnya. Seluruh bagian pohon pepaya banyak mengandung getah putih. Berdasarkan sistem percabangan pohon dan irama pertumbuhannya, pohon pepaya diklasifikasikan pada kelompok pohon berbatang tunggal (single stemmed) yang tumbuh dan berbuah terus menerus setelah dewasa (Verheij, 1986). Menurut Chan (1994b) batang pepaya berbentuk silinder, berdiameter 10-30 cm, semi berkayu, berongga dan bergabus dengan kulit yang lembut berwarna abu-abu. Arah pertumbuhan batang tegak lurus ke atas dan tidak bercabang kecuali bagian ujung pucuk mengalami pelukaan atau titik tumbuhnya terpotong. Samson (1980); Villegas (1997) dan Nakasone dan Paull (1999) menyatakan bahwa tinggi tanaman pepaya dapat mencapai lebih dari sembilan meter.

Tanaman pepaya mempunyai tiga tipe bunga (basic flower type) yaitu: bunga betina (pistillate), bunga jantan (staminate) dan bunga hermafrodit (hermaphrodite) (Storey, 1976; Samson, 1980; Nakasone, 1986; Villegas, 1997). Bunga pepaya terbentuk pada ketiak daun yang umumnya berada dalam rangkaian inflorescence menggarpu (cymose).

Berdasarkan tipe-tipe bunga tersebut ada tiga macam pohon pepaya berdasarkan tipe bunganya, yaitu: pohon betina, pohon jantan dan pohon

(2)

hermafrodit (Nakasone, 1986). Pohon betina hanya memiliki bunga betina dengan tangkai bunga yang pendek, yang dapat soliter atau berada dalam karangan bunga cymose. Bunga betina tidak memiliki benang sari, mempunyai bakal buah besar berbentuk bulat telur dengan rongga yang mengandung banyak bakal biji. Bunga betina mempunyai lima cuping stigma yang menyerupai kipas tidak bertangkai dan bercelah lima. Panjang bunga betina 3-5 cm, daun kelopaknya (calyx) berbentuk cawan dengan ukuran antara 3-4 mm, memiliki lima daun mahkota yang berwarna hijau kekuningan. Panjang bakal buahnya 2-3 cm, mahkota bunga terdiri dari lima helai daun mahkota yang melekat di bagian dasar bunga (Samson, 1980; Nakasone, 1986; Storey,1986; Chan, 1994b; Villegas, 1997).

Pohon jantan memiliki bunga jantan yang tersusun menggantung pada malai yang panjangnya 25-100 cm. Bunga jantan berbentuk tabung yang ramping dengan panjang kira-kira 2.5 cm. Mahkota bunga terdiri dari lima helai berukuran kecil. Benang sari berjumlah sepuluh tersusun menjadi dua lapis dan melekat pada leher tabung mahkota (corolla tube). Bunga jantan tersusun dalam malai yang panjangnya antara 25-100 cm, menggantung tidak bertangkai, daun kelopaknya berjumlah lima berbentuk cawan berukuran kecil, daun mahkotanya berbentuk terompet, dan warnanya kuning cerah (Samson, 1980; Nakasone, 1986; Storey, 1986; Chan, 1994b; Villegas, 1997).

Pohon hermafrodit memiliki bunga sempurna, berkelompok, bertangkai pendek, memiliki daun mahkota yang menyatu sebagian sampai dua pertiga bagian panjangnya membentuk tabung mahkota, benang sarinya sepuluh helai bersusun dalam dua seri, dan bakal buah memanjang. Ciri dasar bunga hermafrodit adalah bentuk pistil yang memanjang dengan lima cuping kepala putik yang menyatu (Villegas, 1997). Bunga hermafrodit terdiri atas empat tipe, yaitu: elongata, pentandria, rudimenter dan antara (intermediate). Perbedaan bunga hermafrodit elongata dan pentandria terletak pada jumlah benang sari dan bentuk putik. Bunga hermafrodit elongata mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun melingkar pada bakal buah, lima bertangkai panjang dan lima lainnya bertangkai pendek. Bunga hermafrodit elongata akan berkembang menjadi buah berbentuk panjang lonjong. Tipe hermafrodit pentandria mempunyai lima benang sari bertangkai agak pendek terletak pada dasar bakal buah, mempunyai bakal

(3)

buah lonjong dan berkembang menjadi lima sisi buah yang menonjol menyerupai buah dari bunga betina. Bunga hermafrodit rudimenter sebenarnya merupakan bunga hermafrodit elongata yang putiknya mengalami aborsi sehingga tidak memiliki bakal buah. Bunga hermafrodit rudimenter menyerupai bunga jantan namun memiliki tabung mahkota bunga yang lebih tebal dibandingkan dengan tabung mahkota bunga jantan (Nakasone, 1986; Villegas, 1997). Bunga hermafrodit tipe antara mempunyai mahkota bunga berjumlah lima helai, benang sari 2-10 helai yang telah mengalami perubahan bentuk serta letaknya tidak beraturan, maka putik dan benang sari bunga hermafrodit tumbuh tidak wajar dan berbentuk karpeloid atau tidak sempurna. Bakal buah berbentuk mengkerut dan menghasilkan buah yang bentuknya tidak beraturan (Samson, 1980).

Berdasarkan jumlah ruang yang terdapat dalam bakal buah, pepaya termasuk ke dalam bakal buah beruang satu yang tersusun atas lebih dari satu daun buah. Buah berkulit tipis, halus, serta berwarna kekuning-kuningan atau jingga ketika masak. Daging buah berwarna kekuning-kuningan sampai dengan warna jingga merah (Villegas, 1997).

Bentuk buah pepaya beragam dari yang bulat, pyriform (pear shaped), oval dan elongata. Buah yang berasal dari bunga betina selalu berbentuk bulat, sedangkan buah dari bunga hermafrodit bentuknya bisa elongata atau pentandria. Bentuk buah pada pohon betina biasanya tidak berubah akibat faktor lingkungan, stadia kematangan, atau status nutrisi; karena perubahan bentuk buah dipengaruhi secara kuat oleh benang sari yang tidak terbentuk pada bunga betina (Fitch, 2005).

Kandungan Zat Gizi Buah Pepaya

Kualitas merupakan hal terpenting bagi produk hortikultura, baik yang dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun setelah diproses. Ada lima parameter penentu kualitas yaitu rasa, bau, keragaan, tekstur, dan nutrisi. Parameter nutrisi merupakan faktor yang paling bermanfaat karena peranannya sebagai penyedia sumber gizi bagi manusia (Joyce, 2001).

Buah pepaya sangat potensial untuk dijadikan bahan pangan pelengkap sebagai buah segar karena harga yang relatif murah, mudah didapat dan mengandung vitamin A, vitamin C serta mineral terutama kalsium. Analisis

(4)

komposisi zat gizi buah pepaya yang dilakukan oleh Pal et al. (1980), Yon (1994), Desai dan Wagh (1995), Puslitbang Gizi RI (1995), Sankat dan Maharaj (1997) dan Villegas (1997) menunjukkan hasil agak bervariasi, misalnya untuk kandungan vitamin C dari 40 sampai 126 mg/100 g, mineral kalium dari 39 sampai 337 mg/100 g dan kalsium dari 8 sampai 51 mg/100 g (Tabel 1). Menurut Chan et al. (1994) dan Sankat dan Maharaj (1997) buah pepaya mengandung 1.0-1.5% protein, 1.0-1.0-1.5% vitamin A, dan 69-71 mg/100g vitamin C, 0.1% lemak, 7-13% karbohidrat, 35-59 kkal/100g kalori, 200 kJ energi dan 85-90% air. Mineral penting yang terkandung dalam buah pepaya diantaranya kalsium sebesar 11-31 mg/100 g.

Tabel 1. Kandungan zat gizi daging buah pepaya (per 100 g edible portion)

Kandungan 1 2 3 4 5 6 Air (%) - 84.4 - 90.7 89.60 88.70 86.60 - Abu (%) - 0.1 - 0.5 - - 0.50 - Serat (%) 0.32 - 0.57 0.5 - 0.6 0.70 - Energi (kJ) - - - 165.0 200.00 - Protein - 1.0 - 1.5 0.50% 0.6 g 0.50 g 0.5 - 1.90 g Lemak - 0.1 0.10% 10.0 g 0.30 g 0.2 g KH total - 7.1 - 13.5 9.50% 0.9 g 12.10 g 3.7 - 12.2 g Sukrosa (%) 0.48 - 2.47 - - - 48.30 - Glukosa (%) 2.91 - 5.24 - - - 29.80 - Fruktosa (%) 2.34 - 4.19 - - - 21.00 - Kalsium (mg) 8.03 - 21.04 11.0 - 31.0 10.00 20.0 34.00 44.0 - 51.0 Kalium (mg) - 39.0 - 337.0 - 234.0 204.00 - Fosfor (mg) 4.06 - 7.04 7.0 - 17.0 10.00 16.0 11.00 12.0 - 33.0 Besi (mg) - 0.6 - 0.7 - 0.3 1.00 1.70 - 1.80 Sodium (mg) - - - 3.0 - - Vit. A (IU) 1599 - 6347 - 2020 1750.0 0.45 - Vit. B1 (mg) - 0.03 - 0.08 - - - - Vit. B2 (mg) - 0.07 - 0.15 - - - - Vit C (mg) 46.30 - 125.90 69.3 - 71.0 40.00 56.0 74.00 78.0 - 85.3 Thiamine (mg) - - - 0.04 - - Riboflafin (mg) - - 0.25 0.4 - -

Kandungan gula utama pepaya yaitu 48.3% sukrosa, 29.8% glukosa dan 21.9% fruktosa (Villegas, 1997). Padatan terlarut total (PTT) buah pepaya diukur dari kandungan sukrosa dengan alat refractometer dalam skala oBrix (Kader, 1985). Kandungan sukrosa buah pepaya tertinggi sebesar 80% dari kandungan

Keterangan: 1) Pal et al. (1980). 2) Yon (1994).

3) Desai dan Wagh (1995)

4) Sankat dan Maharaj (1997) 5) Villegas (1997)

(5)

gula total diperoleh saat 135 hari setelah antesis (Chan, 1979). Kandungan PTT buah pepaya sangat bervariasi dan tergantung pada varietasnya. Pepaya kultivar Dampit mempunyai PTT sebesar 10.9+0.1 oBrix, kultivar Jingga dengan 9.2+1.7

o

Brix, kultivar Paris dengan 9.0+0.1 oBrix dan kultivar Sunrise Solo dengan 14.2+0.6 oBrix (Chan et al., 1994).

Kandungan vitamin A buah pepaya mencapai 1 093 IU dalam 100 g bagian dapat dimakan, lebih kecil dari buah mangga yang mencapai 3 813-4 735 IU, namun lebih tinggi dari buah apokat, pisang dan nenas yang masing-masing buah tersebut mempunyai kandungan vitamin A sebesar 802, 82-273 dan 53 IU (Nakasone dan Paull, 1999). Karoten merupakan pigmen warna kuning yang merupakan prekursor vitamin A (Edmond et al., 1997), tepatnya adalah β-karoten yang menjadi sumber utama vitamin A (Acquaah, 2002). Menurut Yon (1994) kandungan karoten pada pepaya berkisar antara 1.160–2.431 mg/100 g daging buah.

Pepaya mempunyai kandungan vitamin C (asam askorbat) tinggi sebesar 74 mg (Villegas, 1997), atau berkisar antara 69.3-71.0 mg vitamin C dalam 100 g bagian dapat dimakan (Yon, 1994). Namun beberapa kultivar mempunyai kandungan yang lebih tinggi seperti kultivar Sunrise Solo yang mempunyai kandungan vitamin C mencapai 137 mg, kultivar Dampit dengan 108 mg vitamin C serta kultivar Jingga dengan 94.7 vitamin C dalam 100 g bagian dapat dimakan (Chan et al., 1994). Berdasarkan penelitian Broto et al. (1991) kandungan vitamin C tertinggi terdapat pada buah pepaya Sunrise Solo yaitu 136.95±16.48 mg/100 g dan yang terendah pada buah pepaya Paris yaitu 35.37±1.25 mg/100 g.

Hasil olahan daging buah pepaya dimanfaatkan untuk: manisan, dodol, campuran selai, campuran saos tomat dan campuran saos cabai. Biji dan daun pepaya dimanfaatkan sebagai obat serta getah pepaya yang diperoleh dengan menyadap dari buah muda mempunyai kegunaan yang luas di bidang industri seperti: kosmetika, pelunak daging dan pelembut kain wol (Popenoe, 1974; Samson, 1980; Villegas, 1997; Persley dan Ploetz, 2003). Getah pepaya mengandung papain yang tergolong enzim yang mampu melarutkan protein dan fibrin. Getah ini digunakan dalam ilmu kedokteran dalam jumlah yang terbatas untuk mengobati kanker dan penyakit-penyakit lambung, terutama di Amerika

(6)

(Heyne, 1987). Menurut Krishna et al. (2008) akar, daun, buah dan biji pepaya mengandung fitokimia: polisakarida, vitamin, mineral, enzim, protein, alkaloid, glikosida, saponin dan flavonoid yang semuanya dapat digunakan sebagai nutrisi dan obat.

Pembiakan Pepaya

Pembiakan pepaya umumnya dilakukan secara generatif karena benihnya yang mudah dan murah didapat. Pembiakan secara generatif pada pepaya menghasilkan segregasi keturunan terutama dalam hal ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman pepaya ditentukan oleh faktor genetik: M1 adalah dominan

untuk sifat jantan, M2 adalah dominan untuk sifat hermafrodit, m adalah gen

resesif betina. Gen dominan (M1 dan M2) merupakan gen letal, sehingga embrio

hasil rekombinasi genetik yang mengandung M1M1, M1M2, dan M2M2 tidak

terbentuk. Dengan demikian, genotipe tanaman betina adalah homosigot ‘mm’, tanaman jantan ‘M1m’ dan tanaman hermafrodit ‘M2m’ yang keduanya

heterosigot. (Samson, 1980; Somsri et al., 1998). Pepaya mempunyai sifat pembungaan yang unik, sehingga berdasarkan genetika bunganya digolongkan sebagai tanaman trioecious karena mempunyai tiga jenis bunga yaitu bunga jantan, betina dan hermafrodit (Yu et al., 2007). Sampai saat ini banyak yang berpendapat bahwa pepaya mempunyai dua tipe, yang pertama bertipe dioecious (M1m) yang berdasarkan ekspresi seksnya, terdiri dari pohon dengan bunga betina

dan bunga jantan pada tanaman yang berbeda. Tipe kedua ialah gynodioecious (M2m) karena bunga jantan, bunga betina dan bunga hermafrodit terdapat pada

tanaman yang berbeda dan jika mengalami penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang akan menghasilkan tanaman betina dan tanaman hermafrodit (Storey,1976; Fitch, 2005; Yu et al., 2007; Paterson et al., 2007 dan Damasceno et al., 2009). Pembiakan secara generatif dapat menghasilkan segregasi terutama dalam ekspresi seks pohon. Bila benih yang didapat berasal dari persilangan betina dan jantan (mm x M1m) maka hasil yang didapat adalah pohon betina : jantan = 1:1

(Tabel 2).

Menurut Chan et al. (1994) beberapa kultivar pepaya mempunyai struktur bunga yang memungkinkan mengalami kleistogami (secara alami seperti struktur

(7)

bunga yang menyebabkan terjadinya pernyerbukan sendiri, misalnya tangkai anter pendek dan anter tepat menempel pada stigma), yaitu pada Sunrise Solo dan Eksotika. Petani pepaya umumnya tidak memperhatikan penyerbukan yang terjadi, sehingga keragaman materi genetik yang diturunkan melalui biji tidak dapat dikendalikan.

Tabel 2. Sistem persilangan pada pepaya

Persilangan Betina (mm) Hermafrodit (M2m)Jantan (M1m)

Betina x Jantan 1 0 1 Hermafrodit (selfed) 1 2 0 Hermafrodit x Hermafrodit 1 2 0 Hermafrodit x Jantan 1 1 1 Betina x Hermafrodit 1 1 0 Sumber : Samson (1980)

Kultivar pepaya yang diproduksi di Indonesia seperti kultivar Cibinong, Dampit, Jingga, dan Paris umumnya yang ditanam adalah pohon hermafrodit. Dari sistem persilangan pada bunga pepaya, diketahui bahwa tidak ada kepastian bahwa seluruh buah mengandung biji hermafrodit. Tanaman pepaya pada umumnya tergolong tanaman menyerbuk silang (cross pollinated crop), namun ada beberapa kultivar yang menyerbuk sendiri (self pollinated crop). Menurut Cruden (1977); Frankel dan Galun (1977) pada bunga yang memiliki tingkat kematangan serbuk sari dan reseptivitas stigma terjadi bersamaan sebelum bunga membuka (kleistogami) dan ratio antara jumlah serbuk sari dengan jumlah bakal biji rendah memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri. Menurut Rodriguez et al. (1990) pepaya tipe Solo mempunyai stigma bunga hermafrodit dan bunga betina yang bersifat reseptif sebelum dan setelah bunga antesis sehingga memungkinkan persentase biji yang berasal dari penyerbukan sendiri tinggi. Paterson et al. (2007) mengemukakan bahwa walaupun tanaman pepaya hermafrodit melakukan penyerbukan sendiri, tetapi karena ukuran stigma bunga dan anter besar sehingga sangat besar kemungkinan tanaman pepaya melakukan penyerbukan silang. Hasil penelitian Damasceno et al. (2009) menggolongkan penyerbukan pepaya kedalam penyerbukan sendiri yang bersifat fakultatif dengan tingkat penyerbukan silang rendah.

(8)

Pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari membentuk tabung sari dan masuk ke tangkai putik melalui jaringan transmisi tabung sari (Pollen Tube Transmiting Tissue - PTT) untuk mencapai bakal biji. Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari (sel jantan) membuahi sel telur di dalam bakal buah. Menurut Herrero et al. (1988) perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan penyerbukan pada stigma sampai pembentukan biji pada buah dan banyak proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan bunga betina.

Pada tanaman salak yang pembungaannya dioecious membutuhkan bantuan penyerbukan supaya terjadi pembuahan, bila stigmanya diserbuki secara sempurna maka buah berbentuk trigonous mengandung tiga biji. Jumlah stigma yang terserbuki akan menentukan perkembangan buah. Perlakuan pengurangan jumlah stigma bunga salak menunjukkan bobot buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai tiga stigma lebih berat dibandingkan dengan buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai dua atau satu stigma yang terserbuki (Ashari, 2002). Pada tanaman durian sudah lama dikembangkan cara untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah dengan cara melakukan penyerbukan menggunakan serbuk sari dari klon yang berbeda. Serbuk sari dari bunga klon lain dapat meningkatkan produksi dan ketebalan aril durian klon D 24 (George et al., 1992).

Perubahan Fisiologi selama Pematangan Buah Pepaya

Perkembangan buah berlangsung dalam tiga fase yaitu: 1. perkembangan ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. pembelahan sel, pembentukan biji dan perkembangan awal embrio, 3. pembesaran sel dan pematangan embrio (Gillaspy et al., 1993). Secara garis besar perkembangan buah dari mulai fruit set sampai senesens meliputi beberapa tahapan antara lain pertumbuhan buah (growth), pematangan (maturation), matang fisiologis ( physiological maturity), pemasakan (ripening), dan penuaan (senescence) (Kader, 1985; Reid, 1985). Pepaya mulai berbunga pada umur 3-4 bulan setelah tanam dan buahnya dapat dipanen ± 4-6 bulan setelah bunga mekar, tergantung kultivarnya (Chay-Prove et al., 2000).

(9)

Perkembangan buah pepaya dari penyerbukan hingga warna kulit buah semburat kuning adalah 135-140 hari untuk tipe Sunrise Solo, 140-145 hari untuk kultivar Thailand, dan 150-155 hari untuk kultivar Washington pada kondisi iklim sejuk di India. Pepaya kultivar Washington memerlukan waktu 145-150 hari untuk mencapai warna kulit buah semburat kuning pada kondisi iklim lembab (Sankat dan Maharaj, 1997).

Buah pepaya dapat dipanen pada beberapa stadia kematangan, bisa pada saat buah masih muda, setengah tua atau pada saat tua, tergantung peruntukannya. Setiap genotipe mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda sehingga penggunaannya juga disesuaikan dengan kandungan yang ada didalamnya. Kays (1991) mengemukakan bahwa stadia kematangan buah pada saat dipanen merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi ketahanan buah dari kerusakan-kerusakan setelah panen. Mutu buah yang baik akan diperoleh jika pemanenan buah dilakukan pada stadia kematangan yang tepat.

Ukuran buah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan teknik budidaya, tetapi Sedgley dan Griffin (1989) mengemukakan bahwa ukuran buah dan waktu pematangan buah dapat pula dipengaruhi oleh genotipe sumber serbuk sari yang menyerbuki bunga, dikenal dengan fenomena metaxenia. Para peneliti buah-buahan sudah lama berpendapat bahwa tingkat kematangan buah sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan biji, oleh karena itu perlu diteliti efek metaxenia pada komponen buah pepaya.

Proses pematangan buah sebagian besar selesai pada saat buah tersebut masih menempel pada pohonnya, sedangkan proses pemasakan dan senescence akan berlanjut pada saat buah masih di pohon atau setelah dipetik dari pohonnya. Pada saat proses pemasakan buah mengalami banyak perubahan fisik dan kimia setelah panen yang menentukan mutu buah untuk dikonsumsi. Menurut Birth et al. (1984) selama perkembangan buah pepaya sejak bunga hingga menjadi buah matang, terjadi beberapa perubahan fisik dan kimia, yaitu: bertambahnya ukuran buah, kandungan padatan terlarut total (PTT) meningkat dari 3% hingga 9% pada 110 hari setelah antesis (HSA), perubahan warna kulit biji dari putih menjadi hitam (110 HSA), perubahan warna daging buah bagian dalam dari putih menjadi

(10)

kuning (120 HSA), perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning (130 HSA).

Menurut Pantastico et al. (1986) penentuan waktu panen buah dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: secara visual dengan melihat warna kulit dan ukuran buah; secara fisik dengan mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai; dengan analisis kimia seperti: kandungan padatan terlarut total (PTT), asam tertitrasi total (ATT); dengan perhitungan jumlah hari setelah berbunga mekar dan secara fisiologi dengan mengukur laju respirasi.

Perubahan Warna Kulit Buah

Pepaya mengalami perubahan warna kulit buah pada proses pematangannya, ada enam tingkatan perubahan kulit buah pepaya yaitu: hijau penuh, hijau dengan garis-garis kuning, 50% hijau dan 50% kuning, lebih banyak kuning daripada hijau, kuning dengan garis-garis hijau dan kuning penuh (Kader, 1985). Dari fenomena tersebut maka ditentukan stadia kematangan buah pepaya berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah. Pepaya memiliki empat stadia kematangan buah berdasarkan persentase area berwarna kuning pada kulit buah, yaitu : mature green, quarter ripe (25% kuning), 50% kuning dan 75% kuning (Chay-Prove et al., 2000). Secara umum pada buah pepaya terdapat enam stadia kematangan yaitu munculnya semburat warna kuning pada kulit buah (mature green), warna kuning pada kulit buah sebanyak 25, 50, 75, 100% dan lewat masak (Bron dan Jacomino, 2006; Bari et al., 2006 dan Abeywickrama et al., 2008) Pemanenan pepaya untuk ekspor biasanya dilakukan ketika warna kulit buah 25% kuning, dengan perkiraan ketika sampai di konsumen buah mencapai stadia kematangan 75% warna kuning kulit buah.

Menurut Kays (1991) perubahan warna adalah perubahan yang jelas terjadi pada banyak buah sehingga dapat dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan apakah buah tersebut sudah matang atau masih mentah. Warna hijau disebabkan adanya klorofil yang merupakan kompleks organik magnesium. Kemudian klorofil mengalami degradasi struktur sehingga warna hijau menghilang. Faktor utama yang berperan dalam degradasi klorofil ini adalah perubahan pH yang disebabkan kebocoran asam organik dari vakuola,

(11)

sistem oksidatif, dan adanya enzim chlorophyllase. Kehilangan warna tergantung pada satu atau seluruh faktor-faktor yang bekerja berurutan untuk merusak struktur klorofil. Degradasi klorofil berkaitan juga dengan sintesis karotenoid dan antosianin selama proses pematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna dalam pematangan dan penyimpanan buah menjadi faktor yang penting untuk diamati.

Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981) karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari unit isoprene atau turunannya. Pada dasarnya ada dua jenis karotenoid, yaitu karoten (tanpa atom oksigen dalam molekulnya) dan xantofil (mempunyai atom oksigen dalam molekulnya). Karoten adalah anggota karotenoid yang paling banyak terdapat dalam daging buah, pigmen ini pada umumnya menyebabkan warna jingga dan mempunyai peranan yang penting dalam sintesis vitamin A.

Kandungan karbohidrat sederhana seperti sukrosa dan fruktosa merupakan parameter kualitas buah yang sangat penting sebagai kriteria berbagai stadia kematangan. Buah pepaya merupakan buah klimakterik yaitu buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak dan kemudian mengalami penurunan dengan cepat pada saat mencapai matang penuh (full ripe). Pada buah klimakterik terjadi perubahan pati menjadi gula yang memberikan rasa manis (Kays, 1991). Akamine dan Goo (1971) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara warna kuning pada kulit buah dan kandungan padatan terlarut total buah. Gula merupakan komponen utama bahan padat yang terlarut. Selama proses pemasakan buah, padatan terlarut total buah meningkat karena terjadi pemecahan polimer karbohidrat, khususnya perubahan pati menjadi gula sehingga kandungan gula dalam daging buah secara umum meningkat. Pada tahap selanjutnya padatan terlarut total daging buah akan menurun karena hidrolisis gula menjadi asam-asam organik yang digunakan untuk proses respirasi. Pada buah pepaya Sunrise Solo kandungan padatatan terlarut total daging buah meningkat dengan semakin menguningnya kulit buah Kandungan padatan terlarut total daging buah kemudian menurun setelah warna kuning pada kulit buah mencapai 80%.

Menurut Chan (1979) kandungan padatan terlarut total biasa digunakan sebagai indikator kualitas buah dan kematangan buah pepaya. Padatan terlarut

(12)

total dapat digunakan sebagai indikator tingkat kemanisan. Asam organik yang dominan dalam buah umumnya asam sitrat dan asam malat. Pada umumnya kandungan asam organik menurun selama pemasakan buah karena direspirasikan atau diubah menjadi gula. Menurut Arriola et al. (1980) pada buah pepaya masak terjadi peningkatan baik kandungan asam maupun padatan terlarut total, namun kandungan gula jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan asam organiknya sehingga rasa manis lebih dominan. Kandungan asam pada daging buah akan menurun pada saat buah lewat masak (over ripe). Sankat dan Maharaj (1997) menyatakan pada tahap awal perkembangan buah terdapat kandungan glukosa yang dominan. Kemudian pada masa awal pemasakan dan pada tahap pemasakan buah, sukrosa meningkat dua sampai lima kali mencapai tingkat tertinggi dalam buah melebihi fruktosa dan glukosa.

Menurut Matto et al. (1993) pada proses pemasakan buah biasanya meningkatkan jumlah gula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik dan senyawa-senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepet dan masam, dan kenaikan zat-zat atsiri yang memberi aroma khas pada buah. Hasil penelitian Suketi et al. (2007) menunjukkan bahwa karakter kimia buah yang mempengaruhi tingkat kesukaan adalah kandungan padatan terlarut total buah. Hal ini membuktikan bahwa rasa manis pada buah pepaya sangat menentukan selera konsumen. Yon dan Serrano (1994) menyatakan bahwa buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan yang tepat dapat menghasilkan rasa dan aroma yang baik.

Perubahan Kandungan Vitamin

Beberapa vitamin yang terdapat pada bahan pangan seperti karoten dan vitamin C merupakan bahan yang sangat peka terhadap oksidasi. Vitamin C merupakan salah satu bahan penyusun organik yang kadarnya pada buah berfluktuasi tergantung pengaruh temperatur dan pH. Perubahan asam organik, protein, asam amino dan lipida dapat mempengaruhi kualitas rasa pada buah pepaya. Kehilangan kandungan vitamin C pada buah akan menurunkan kualitas nutrisi. Hasil penelitian Purwoko dan Fitradesi (2000) pada buah pepaya menunjukkan bahwa kadar vitamin C meningkat sejalan dengan semakin lama

(13)

buah disimpan. Broto et al. (1991) mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa kandungan vitamin C pada pepaya Sunrise adalah 136.95 mg/ 100 g dan yang rendah terdapat pada pepaya Paris. Kandungan vitamin C pada buah tergantung dari kultivar, teknik budidaya dan perbedaan umur petik buah pepaya.

Perubahan Tekstur Buah

Tekstur buah dipengaruhi oleh kelembaban, kandungan serat dan lemak dalam buah. Senyawa pektin biasanya terdapat diantara dinding sel yang berfungsi sebagai perekat. Enzim pembentuk senyawa pektin pada lamela tengah yaitu pektin methyl esterase (PME) dan polygalakturonase (PG) meningkat aktivitasnya pada waktu buah mengalami pemasakan. Aktivitas enzim-enzim tersebut mengakibatkan pemecahan senyawa pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Proses pemasakan dapat menambah jumlah senyawa pektin yang dapat larut dalam air dan mengurangi bagian yang tidak terlarut sehingga mengakibatkan sel mudah terpisah dan mengakibatkan buah menjadi lunak (Pantastico et al., 1986).

Kultivar Pepaya

Saat ini hanya sedikit kultivar pepaya hasil persilangan yang terdapat di dunia. Hal ini disebabkan tidak banyak negara yang mau mengembangkan pepaya, dan beberapa varietas kehilangan cirinya karena gagal mempertahankan cirinya tersebut pada turunannya saat penyerbukan (Chan, 1994a).

Kultivar pepaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan ukuran buahnya. Kelompok yang pertama adalah pepaya yang buahnya berukuran besar dan panjang, umumnya digunakan dalam campuran es buah atau dimakan segar. Contohnya antara lain kultivar Paris, Cibinong, Batu Arang, Subang 6, Sitiawan, Dampit, dan Jingga (Chan, 1994b; Kalie, 2001). Pepaya Bangkok yang dikenal dan banyak diusahakan di Jawa Barat sama dengan kultivar Dampit yang banyak diusahakan di Jawa Timur. Pepaya Dampit mempunyai bentuk buah oval dengan permukaan kulit yang kasar (tidak rata), daging buah jingga kemerahan, keras, dan manis. Pepaya Dampit memiliki ukuran buah yang besar dengan bobot rata-rata 2.5 kg/buah dan dapat mencapai 3.5 kg/buah. Pepaya Jingga dan Paris

(14)

mempunyai permukaan kulit yang halus serta pepaya Paris mempunyai kulit kuning pada saat matang optimal.

Kelompok kedua adalah pepaya yang buahnya berukuran kecil dan bentuknya agak membulat dengan kualitas rasa yang baik yaitu rasa yang sangat manis, biasanya disajikan segar dalam keadaan terbelah membujur dan lebih baik dikonsumsi dengan menggunakan sendok. Jenis pepaya kecil ini memiliki nilai jual yang tinggi dan mulai disukai konsumen. Contohnya adalah Sunrise Solo, Eksotika, dan Eksotika II (Chan, 1994b). Konsumen di Indonesia masih banyak yang memilih pepaya jenis besar, tetapi konsumen kelas menengah ke atas lebih menyukai jenis pepaya bentuk kecil (Broto et al., 1991).

Pepaya Sunrise Solo merupakan kultivar yang paling populer di ASEAN, mempunyai kulit buah yang halus, dengan semburat dan warna kulit buah yang kuning kehijauan pada saat matang. Tekstur akan semakin empuk untuk konsumsi segar pada saat warna kulit menjadi kuning secara keseluruhan. Ukuran buah tergantung dari lokasi pertumbuhan. Di Malaysia, ukuran buah pepaya Sunrise Solo berkisar 350 g untuk buah hermafrodit, dan 500 g untuk buah betina. Di Indonesia, rata-rata ukuran buah pepaya bertipe kecil berkisar 300 g, dan di Filipina berkisar 450 g. Meskipun buahnya berukuran kecil, pepaya ini mempunyai rasa yang enak dan kandungan gula yang tinggi. Karena mutu dan warna daging buah yang cukup bagus, pepaya Sunrise Solo digunakan pada program pemuliaan di negara-negara ASEAN untuk mengembangkan mutu buah pada kultivar lokal (Chan, 1994b).

Pengembangan Pepaya

Mutu buah pepaya terkait dengan rasa yang harus diperhatikan adalah kandungan padatan terlarut total (PTT), asam tertitrasi total (ATT) dan rasio antara keduanya. Mutu buah pepaya yang diinginkan oleh konsumen biasanya mempunyai ideotipe yang sama. Ideotipe buah pepaya versi Balai Penelitian Tanaman Buah menurut Purnomo (1999) ialah: ukuran buah sedang dengan bobot 0.50-0.85 kg/buah, ukuran sangat besar lebih dari 2.85 kg/buah, mempunyai bentuk sempurna, warna kulit kuning kemerahan pada saat masak, warna daging buah jingga kemerahan, daging buah tebal, dan kadar padatan terlarut total lebih

(15)

besar dari 13°Brix. Mutu buah pepaya yang diinginkan oleh konsumen menurut laporan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PKBT-LPPM) IPB (2004) mempunyai: ukuran buah medium (0.5-1.0 kg), warna daging buah jingga sampai merah, edible portion tinggi (rongga buah kecil), bentuk buah lonjong, dan rasa daging buah manis.

Pengembangan kualitas tanaman dan mutu buah pepaya dari segi pemuliaan memerlukan pengetahuan tentang keragaman genetika yang menjadi modal dasar bagi para peneliti untuk melakukan perbaikan sifat genetik tanaman. Makin tinggi tingkat keragaman akan memberikan potensi perbaikan yang lebih baik, karena peluang untuk merakit varietas baru yang sesuai dengan berbagai segmen konsumen akan lebih tinggi. Hal ini penting diperhatikan karena perluasan pasar pepaya mulai dari pasar domestik hingga ekspor membutuhkan varietas dengan karakteristik yang berbeda. Ketersediaan sumberdaya genetik dengan keragaman tinggi akan meningkatkan daya saing Indonesia dalam pasar pepaya global.

Penelitian tentang pemuliaan pepaya di Indonesia yang dilaporkan oleh Budiyanti et al. (2005) dimulai dengan mengkarakterisasi buah pepaya berdasarkan: bobot buah, panjang buah, lingkar buah, diameter buah, bentuk buah, warna daging buah, kadar padatan terlarut total, tebal daging buah dan rasa daging buah. Dari penelitian ini dihasilkan delapan aksesi dari 88 aksesi pepaya yang mempunyai karakter unggul, seperti: rasa daging buah yang manis, ukuran buah sedang dan warna daging buah oranye-merah.

Program pemuliaan pepaya di Thailand untuk mendapatkan genotipe yang berumur genjah, dwarf, berproduksi tinggi, berbobot buah 0.5-0.7 kg dengan kualitas tinggi, adalah dengan melakukan beberapa penelitian terintegrasi diantaranya dengan menganalisis sifat daya gabung dari genotipe-genotipe pepaya yang akan dikembangkan (Subhadrabandhu dan Nontaswatsri, 1997). Perbaikan varietas pepaya di Thailand menghasilkan varietas Tainung, Khaek Dam dan Khaek Nuan yang menghasilkan produksi tingggi dan kualitas daging buah yang sesuai untuk dikonsumsi segar (Kumcha et al., 2009). Pemuliaan pepaya di Malaysia dimulai tahun 1971 dengan melakukan seleksi galur murni yang diikuti

(16)

dengan hibridisasi antar tetua homosigot, diantaranya menghasilkan kultivar Eksotika pada tahun 1987 dan Sunrise Solo yang berasal dari galur Subang 6 dan Batu Arang. Pada tahun 1991 dihasilkan kultivar Eksotika II (Chan, 2007).

Kultivar pepaya yang diusahakan di India untuk dimanfaatkan produksi papainnya ialah Pusa dwarf yang bersifat dioecious, CO3 dan CO7 yang bersifat

gynodioecious (Kamalkumar et al., 2007). Sedangkan di Filipina pemuliaan pepaya dimulai tahun 1980 menghasilkan hibrida Sinta yang toleran terhadap papaya ring spot virus (PRSV) pada tahun 1995. Sekarang pemuliaan pepaya diarahkan untuk mendapatkan kultivar yang dapat memenuhi kriteria pasar dan industri seperti: buah besar, warna daging buah merah dan tebal, rasa manis dan aroma baik (Magdalita et al. , 2007).

Gambar

Tabel 1. Kandungan zat gizi daging buah pepaya (per 100 g edible portion)
Tabel 2. Sistem persilangan pada pepaya

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi open boundaries juga memudahkan penerapan SPH untuk kasus-kasus yang lebih kompleks baik pada bidang teknik maupun bidang lainnya.. Diharapkan metode

Iklan Baris Iklan Baris TANAH DIJUAL TELEPON TANAH DISEWAKAN TEMPAT USAHA TV /RADIO /VIDEO TV /SWASTA VILA DIJUAL VILA DISEWAKAN Serba Serbi.. DISEWA 2 Villa Harian /

Nasabah tidak dikenakan biaya SKN maupun RTGS sebanyak 25 kali per bulan untuk masing-masing transaksi, serta bebas biaya kliring jika saldo rata-rata pada bulan

Hal itu sejalan dengan pendapat Johnson & Johnson, 1997 yang menyatakan bahwa trust memiliki lima aspek penting di dalamnya, yang mendasari suatu hubungan intrapersonal

Materi yang digunakan dalam penelitian 22 ekor induk sapi potong (12 ekor induk sapi SimPO, 10 ekor induk sapi LimPO) yang di- flushing dan 27 ekor induk sapi potong

Kenampakan kurva nilai pada kanvas strategi diatas menunjukkan penilaian yang cenderung tinggi, ketat dan terjadi pertemuan kurva nilai Your Tea terhadap industri dan Teh Poci

berulang-ulang dan melihat hasil setelah perlakuan (Sunanto dkk, 2007: 26). Data bersumber pada anak Down syndrome kelas VII melalui observasi langsung kemudian

Oleh karena itu untuk mengetahui besar level kuat medan pada suatu titik dalam daerah cakupan dilakukan pcngukuran pada titik tersebut. Den gan pengukuran