COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 1
FARMAKOKINETIK
Ardi Panggayuh, S.Kp, M.Kes
MODUL 2
150 MenitSemua fungsi tubuh dan proses penyakit dan kebanyakan aksi obat terjadi pada tingkat seluler. Obat adalah zat kimia yang merubah proses dasar dalam sel-sel tubuh. Mereka dapat menstimulasi atau menghambat fungsi normal dan aktivitas seluler; mereka tidak dapat menambah fungsi dan aktivitas seluler. Untuk bekerja pada sel-sel tubuh, maka obat yang diberikan untuk memberikan efek sistemik harus mencapai konsentrasi yang adequat dalam darah dan cairan jaringan lain disekitar sel-sel. Dengan demikian, mereka harus memasuki tubuh dan bersirkulasi pada site of action mereka (sel-sel target). Untuk mencapai tempat kerja suatu obat harus melewati berbagai membran sel tubuh. Setelah mereka bekerja pada sel-sel, mereka harus dieliminasi dari tubuh. Bagaimana obat sistemik mencapai, berinteraksi dengan, dan meninggalkan sel-sel tubuh? Bagaimana seseorang merespon terhadap kerja obat? Jawaban terhadap pertanyaan ini diperoleh dari fisiologi seluler, jalur dan mekanisme transport obat, farmakokinetik, farmakodinamik, dan konsep dan proses dasar lainnya. Konsep dan proses tersebut membentuk fondasi bagi terapi obat yang rasional.
Respon yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan kadar obat pada tempat kerjanya, sehingga tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup pada tempat kerja obat tersebut. Dalam prakteknya sangat sulit untuk mengukur kadar obat pada tempat kerja dan akan lebih mudah mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat dalam plasma dengan respon yang diperoleh. Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan pemberian obat adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup dalam darah yang akan memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan.
Jika suatu obat digunakan secara profilaksis, misalnya untuk pengobatan epilepsi, atau pemakaian obat yang responnya sukar diukur (misalnya efek anti inflamasi), maka kadar obat dalam darah merupakan parameter yang dapat digunakan secara efektif untuk memonitor terapi.
Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang bisa menunjukkan gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dan respon yang berlainan pula dalam intensitasnya. Kenyataannya hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respon yang dihasilkan tidak banyak bervariasi dibanding dengan hubungan dosis dengan respon.
KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN
Mahasiswa dapat memahami farmakokinetik.
INDIKATOR
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian farmakokinetik. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan
absorpsi dan bioavailabilitas obat. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan
distribusi obat.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan biotransformasi obat.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan ekskresi obat.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan proses yang dialami obat dalam tubuh yang sakit maupun sehat.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 2 Dengan menganggap bahwa respon terhadap obat tergantung pada kadar obat dalam darah, maka kita kenal 3 macam kadar obat, yaitu: kadar efektif minimum, dimana pada kadar dibawahnya tidak jelas adanya efek obat, kadar toksik, dimana efek-efek toksik (efek samping yang tidak diinginkan) mulai timbul dan therapeutic window, kadar obat yang terletak antara kadar efektif minimum dan kadar toksik.
Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam batas-batas therapeutic window, sehingga diperoleh efek yang diinginkan dan dengan efek samping yang minimal. Harus diingat bahwa therapeutic window juga bervariasi secara individual, misalnya fentoin mempunyai therapeutic window yang sempit yaitu antara 10 dan 20 mg/liter, sudah efektif untuk mengontrol dan mencegah timbulnya kejang.
Fisiologi Seluler
Sel (Gambar 2.1.) adalah “pabrik” yang dinamis dan sibuk. Mereka mengambil bahan-bahan dasar, menghasilkan berbagai produk yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh dan seluler, dan mengirim produk tersebut ke tujuan yang tepat dalam tubuh. Walaupun sel-sel berbeda dari satu jaringan ke jaringan lainnya, tetapi mereka memiliki karakteristik umum yang meliputi kemampuan untuk:
Menukarkan material dengan lingkungan mereka
Memperoleh energi dari nutrien
Mensintesis hormon, neurotransmitter, enzim, protein struktural, dan molekul kompleks lainnya
Menyalin diri mereka sendiri (reproduksi)
Berkomunikasi dengan yang lainnya melalui berbagai kimia biologik, seperti neurotransmitter dan hormon
Transport Obat Melalui Membran Sel
Obat, seperti halnya substansi fisiologi seperti hormon dan neurotransmitter, maka obat harus mencapai dan berinteraksi dengan atau melintasi membran sel dalam rangka untuk menstimulasi atau menghambat fungsi seluler. Kebanyakan obat diberikan untuk mempengaruhi sel-sel tubuh yang jauh dari tempat pemberian (misal, efek sistemik). Untuk bergerak melalui tubuh dan mencapai site of action mereka, metabolisme dan ekskresi (Gambar 2.2.), maka molekul-molekul obat harus melintasi sejumlah membran sel (Gambar 2.3.).
Sebagai contoh, kebanyakan molekul-molekul obat oral harus melintasi membran sel dalam saluran gastrointestinal, liver, dan kapiler untuk mencapai pembuluh darah, bersirkulasi ke sel target mereka, meninggalkan pembuluh darah dan melekat pada reseptor pada sel, melakukan aksi mereka, kembali ke pembuluh darah, bersirkulasi ke liver, mencapai drug-metabolizing enzyme dalam sel-sel liver, masuk kembali dalam pembuluh darah (biasanya sebagai metabolit), bersirkulasi
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 3 ke ginjal, dan diekskresi dalam urine.
Beberapa jalur transport dan mekanisme yang digunakan untuk menggerakkan molekul-molekul obat melalui tubuh dijelaskan dalam fondasi: Jalur dan Mekanisme Transport Obat.
Jalur dan Mekanisme Transport Obat Jalur
Terdapat tiga jalur utama dari pergerakan obat melewati membran-membran sel (Gambar 3). Jalur yang paling umum adalah penetrasi langsung dari membran oleh obat yang dapat larut dalam lipid, dimana mereka dapat larut dalam lapisan lipid dari membran sel. Kebanyakan obat sistemik di formulasikan untuk dapat larut dalam lipid sehingga mereka dapat bergerak melalui membran-membran sel, sedangkan tablet dan kapsul oral harus cukup dapat larut
dalam air agar terlarut dalam cairan aqeuous dari lambung dan usus halus.
Jalur kedua yaitu passage melalui kanal protein yang semuanya melewati membran sel. Hanya beberapa obat yang dapat menggunakan jalur ini karena kebanyakan molekul-molekul obat cukup besar untuk melewati kanal yang kecil. Ion-ion kecil (seperti sodium dan potassium) meng-gunakan jalur ini, tetapi per-gerakan mereka dikendalikan oleh kanal spesifik dengan mekanisme gating. Gate adalah lekukan (flap) dari protein, yang membuka selama beberapa milidetik untuk memungkinkan pergerakan ion melintasi membran sel, dan kemudian menutup (yaitu, mem-block lubang kanal) untuk mencegah tambahan pergerakan ion. Pada kanal sodium, gate ini terletak pada sisi luar dari membran sel; bila gate terbuka, maka ion-ion sodium (Na++) bergerak dari cairan ekstraseluler kedalam sel. Pada kanal potassium, gate ini terletak pada Gambar 2.2. Tempat masuk dan pergerakan molekul-molekul obat melalui site of action, metabolisme, dan ekskresi.
Gambar 2.3. Jalur transport obat. Molekul-molekul obat menembus membran sel untuk berpindah kedalam dan keluar sel-sel tubuh dengan cara menembus langsung lapisan lipid, berdifusi melalui ion channel, atau melekat pada protein karier.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 4 sisi dalam dari membran sel; bila gate terbuka, maka ion-ion potassium (K+) bergerak dari dalam sel menuju cairan ekstraseluler.
Stimulus yang membuka dan menutupnya gate mungkin voltage gating atau chemical (juga disebut sebagai ligand) gating. Dengan voltage gating, maka potensial elektrikal yang melintasi membran sel menentukan apakah gate terbuka atau tertutup. Dengan chemical gating, maka substansi kimia (ligand) mengikat pada protein yang membentuk kanal dan merubah bentuk dari protein untuk membuka atau menutup gate. Chemical gating (misal, neurotrans-mitter seperti acetylcholine) adalah sangat penting dalam mentrans-misikan signal dari salah satu sel sarf ke sel saraf lainnya dan dari sel saraf ke sel-sel otot untuk menyebabkan kontraksi otot.
Jalur ketiga melibatkan protein karier (carrier protein) yang mentransport molekul-molekul dari salah satu sisi membran sel ke sisi lainnya. Semua protein karier bersifat selektif terhadap substansi yang mereka transport; oleh karena itu, struktur obat menentukan apakah karier akan mentransportnya. Sistem transport ini adalah cara yang penting untuk menggerakkan molekul-molekul obat keseluruh tubuh. Sebagai contoh, mereka digunakan untuk membawa obat oral dari usus ke pembuluh darah, untuk membawa hormon ke site of action mereka dibagian dalam sel-sel tubuh, dan untuk membawa molekul-molekul obat dari darah kedalam tubulus ginjal.
Mekanisme
Ketika diabsorpsi kedalam tubuh, maka obat akan ditransport ke dan dari sel-sel target melalui mekanisme seperti difusi pasif, facilitated diffusion, dan transport aktif.
Difusi pasif, merupakan mekanisme yang paling umum, yang melibatkan pergerakan obat dari area dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh, setelah pemberian obat oral, konsentrasi awal dari obat akan lebih tinggi dalam saluran gastrointestinal daripada didalam darah. Hal ini meningkatkan pergerakan obat kedalam pembuluh darah. Ketika obat bersirkulasi, maka konsentrasi dalam darah menjadi lebih tinggi daripada didalam sel-sel tubuh, sehingga obat bergerak (dari kapiler) kedalam cairan sekitar sel atau kedalam sel-sel itu sendiri. Difusi pasif berlanjut hingga kondisi equilibrium tercapai antara jumlah obat dalam jaringan dan jumlah obat dalam darah.
Facilitated diffusion, merupakan proses yang mirip dengan difusi pasif, terkecuali bahwa molekul-molekul obat dikominiasi dengan substansi karier, seperti enzim atau protein lainnya.
Pada transport aktif, molekul-molekul obat digerakkan dari area dengan konsentrasi yang lebih rendah ke area dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi karier dan melepaskan energi seluler.
Jalur Transport Obat dan Mekanisme Jalur
Terdapat tiga jalur utama pergerakan obat melintasi membran sel. Kebanyakan jalur yang umum adalah penetrasi langsung pada membran oleh obat-obat yang dapat larut dalam lemak, yang dapat terlarut dalam lapisan lemak dari membran sel. Kebanyakan obat-obat sistemik diformulasikan dalam bentuk dapat larut dalam lemak sehingga mereka dapat bergerak melalui membran-membran sel, sedangkan rata-rata tablet
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 5 Jalur Transport Obat dan Mekanisme
dan kapsul oral harus cukup dapat larut dalam air sehingga terlarut dalam cairan aqueous dari lambung dan usus halus.
Jalur kedua melibatkan lintasan melalui protein channel yang menembus melalui membran sel. Hanya sedikit obat yang dapat menggunakan jalur ini karena kebanyakan molekul obat cukup besar untuk melewati channel yang kecil. Ion-ion kecil (misal, sodium dan potassium) menggunakan jalur ini, tetapi pergerakan mereka dikendalikan oleh channel spesifik dengan mekanisme gating. Gate adalah celah protein, yang terbuka selama beberapa millidetik yang memungkinkan pergerakan ion melintasi membran sel, dan kemudian menutup (yaitu, mem-block lubang channel) untuk mencegah penambahan pergerakan ion. Pada sodium channel, gate terletak pada sisi luar dari membaran sel; bila gate terbuka, ion-ion sodium (Na+) bergerak cairan ekstraseluler kedalam sel. Pada potassium channel, gate terletak pada sisi dalam membran sel; bila gate terbuka, ion-ion potassium (K+) bergerak dari sel kedalam cairan ekstraseluler. Stimulus yang membuka dan menutup gate mungkin voltage gating atau chemical gating (juga disebut ligand). Dengan voltage gating, maka potensial listrik melintasi membran sel yang akan menentukan apakah gate terbuka atau tertutup. Dengan chemical gating, maka substansi chemical (ligand) mengikat pada protein untuk membentuk channel dan merubah bentuk dari protein sehingga membuka atau
menutup gate. Chemical gating (misal, oleh neurotransmitter seperti acetylcholine) adalah sangat penting dalam mentransmisi signal dari salah satu sel saraf ke sel saraf lainnya dan dari sel saraf ke sel-sel otot untuk menyebabkan kontraksi otot.
Jalur ketiga melibatkan protein karier yang mentransport molekul-molekul dari satu sisi membran sel ke sisi lain dari membran sel. Semua protein karier bersifat selektif pada substansi yang mereka transport; struktur obat menentukan karier mana yang akan mentransportnya. Sistem transport ini adalah cara yang penting bagi pergerakan molekul-molekul obat keseluruh tubuh. Sebagai contoh, mereka digunakan untuk membawa obat oral dari dari usus ke aliran darah, untuk membawa hormon ke site of action mereka disisi dalam sel-sel tubuh, dan untuk membawa molekul-molekul obat dari darah kedalam tubulus ginjal.
Mekanisme
Ketika diabsorpsi kedalam tubuh, maka obat akan ditransport ke dan dari sel-sel target oleh mekanisme seperti difusi pasif, facilitated diffusion, dan transport aktif.
Difusi pasif, adalah mekanisme yang paling umum, melibatkan pergerakan obat dari area dengan
konsentrasi lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh, setelah pemberian obat oral, maka konsentrasi awal obat adalah lebih tinggi dalam saluran gastrointestinal daripada dalam darah. Hal ini meningkatkan pergerakan obat kedalam aliran darah. Ketika obat di sirkulasikan, maka konsentrasi lebih tinggi dalam darah daripada dalam sel-sel tubuh, sehingga obat bergerak (dari kapiler) kedalam cairan sekitar sel atau kedalam sel-sel itu sendiri. Difusi pasif berlanjut hingga keadaan equilibrium tercapai antara jumlah obat dalam jaringan dan jumlah obat dalam darah.
Facilitated diffusion adalah proses yang mirip, tetapi molekul-molekul obat bergabung dengan substansi karier, seperti enzim atau protein lainnya.
Pada transport aktif, molekul-molekul obat bergerak dari area dengan konsentrasi lebih rendah ke area dengan konsentrasi lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi karier dan melepaskan energi seluler.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 6 PENGERTIAN FARMAKOKINETIK
Ilmu yang mempelajari cara tubuh menangani obat mulai dari pemberian hingga eliminasi, disebut farmakokinetik. Farmakokinetik adalah bidang studi yang mempelajari bagaimana tubuh kita memanipulasi obat. Bidang ilmu ini mencoba memahami prinsip-prinsip dari dosis obat, distribusi dan durasi kerja obat.
Farmakokinetik, dalam arti sempit, adalah perjalanan obat melalui tubuh. Bagaimana obat yang kita telan melalui mulut kita dapat mencapai infeksi yang terletak pada kaki kita? Dan bagaimana kita membersihkan obat dari dalam tubuh kita?
Farmakokinetik berhubungan dengan pergerakan obat melalui tubuh (atau, “what the body does to the drug”) untuk mencapai site of action, metabolisme, dan ekskresi. Dalam farmakokinetik dipelajari tentang proses-proses khusus yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi. Secara keseluruhan, proses ini sangat menentukan kadar obat dalam serum, mula (onset), puncak dan durasi kerja obat, half-life obat, efek terapeutik dan merugikan dari obat, dan aspek penting lainnya dari terapi obat.
Peneliti mempelajari farmakokinetik dari obat sehingga mereka mengetahui bagaimana kekuatan obat berdasarkan waktu untuk mencapai sel target.
Terdapat empat proses dari farmakokinetik: (1) absorpsi, (2) distribusi, (3) metabolisme, dan (4) ekskresi.
ABSORPSI DAN BIOAVAILABILITAS
Absorpsi adalah proses yang terjadi dari waktu obat memasuki tubuh sampai waktu ia memasuki pembuluh darah untuk bersirkulasi. Mula kerja obat adalah sangat ditentukan oleh kecepatan absorpsi; intensitas ditentukan oleh tingkat absorpsi. Sejumlah faktor yang mempengaruhi kecepatan dan tingkat absorpsi obat, meliputi bentuk dosis, rute pemberian, aliran darah ke tempat pemberian, fungsi gastrointestinal, adanya makanan atau obat lain, dan variabel lainnya. Bentuk dosis adalah penentu utama dari bioavailability obat (bagian dari dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dan tersedia untuk bekerja pada sel-sel tubuh). Obat intravenous (IV) sebenarnya 100% bioavailable; obat oral sebenarnya selalu kurang dari 100% bioavailable karena beberapa diantaranya tidak diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan beberapa diantaranya menuju liver dan sebagaian dimetabolisme sebelum mencapai sirkulasi sistemik (first-pass effect).
Kebanyakan obat oral harus ditelan, terlarut dalam cairan lambung, dan diteruskan ke usus halus (memiliki area permukaan yang luas untuk absorpsi nutrien dan obat) sebelum mereka diabsorpsi. Obat cair (liquid) diabsorpsi lebih cepat daripada teblet atau kapsul karena mereka tidak perlu dilarutkan. Pergerakan cepat melalui lambung dan usus halus mungkin meningkatkan absorpsi obat melalui peningkatan kontak dengan membran mukosa absorptif; ia juga mungkin menurunkan absorpsi karena beberapa obat mungkin bergerak melalui usus halus terlalu cepat untuk diabsorpsi. Untuk beberapa obat, adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorpsi dan mungkin menurunkan jumlah obat yang diabsorpsi.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 7 Obat yang diinjeksikan kedalam subkutan atau jaringan intramuskuler biasanya diabsorpsi lebih cepat daripada obat oral karena mereka bergerak secara langsung dari tempat injeksi ke pembuluh darah. Absorpsi cepat dari tempat intramuskuler karena jaringan otot memiliki banyak suplai darah. Obat yang diinjeksi secara intravena tidak perlu diabsorpsi karena mereka dimasukkan secara langsung kedalam pembuluh darah.
Tempat absorpsi lainnya adalah kulit, membran mukosa, dan paru-paru. Kebanyakan obat yang diberikan pada kulit digunakan untuk efek lokal (misal, sunscreen). Absorpsi sistemik adalah minimal dari kulit yang utuh tetapi harus dipertimbangkan bila kulit mengalami inflamasi atau kerusakan. Juga, jumlah obat yang diformulasikan dalam pita adhesive (plester) untuk absorpsi melalui kulit (misal, clonidine, estrogen, fentanyl, nitroglycerin, scopolamine). Beberapa obat yang diberikan pada membran mukosa juga digunakan untuk efek lokal. Akan tetapi, absorpsi sistemik akan terjadi dari mukosa rongga mulut, hidung, mata, vagina, dan rektum. Obat diabsorpsi melalui membran mukosa melewati secara langsung kedalam pembuluh darah. Paru-paru memiliki area permukaan yang luas untuk absorpsi gas anestetik dan beberapa obat lainnya.
Bioavailabilitas
Obat-obatan yang diberikan kepada pasien dapat melalui berbagai cara; mereka mungkin diberikan secara injeksi, diabsorpsi dari saluran gastrointestinal setelah diberikan per-oral atau per-rektal, diberikan secara lokal atau melalui inhalasi.
Istilah bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan bagian dosis obat yang diberikan yang mencapai sirkulasi. Jika obat diberikan secara intravenous maka bioavailabilitas akan mencapai 100%; jika diberikan secara per-oral maka hanya sebagian yang mungkin mencapai sirkulasi.
Pemberian obat per-oral adalah cara yang paling umum dan paling mudah dan biovailabilitas melalui rute ini tergantung pada beberapa faktor:
1. Absorpsi. Hal ini tergantung pada sifat fisikal dari obat yang menentukan apakah ia akan lewat melalui dinding usus, dan tergantung pada formulasi obat yang dibuat oleh pabrik. Absorpsi mungkin sempurna atau tidak sempurna dan mungkin dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan lambung, adanya dan tidak adanya makanan dalam lambung dan, kadang-kadang, oleh interaksi dengan obat lain atau penyakit saluran gastrointestinal.
2. First pass effect. Bila obat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal maka ia akan melewati vena porta ke liver sebelum mencapai sirkulasi umum. Hal ini penting karena beberapa obat akan dimetabolisme (dipecah) karena mereka melewati liver sehingga hanya sebagian dari jumlah obat yang betul-betul mencapai sirkulasi. Pembersihan obat yang melewati liver ini disebut first pass effect. Obat yang menunjukkan first pass effect yang sangat besar hampir selalu tidak aktif jika diberikan per-oral, contoh: lignocaine dan glyceryl trinitrate, diberikan melalui injeksi atau, diabsorpsi melalui mukosa mulut, dengan cara dikunyah atau dihisap, sehingga menghindari dimetabolisme oleh liver.
Setelah absorpsi, obat memasuki aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Mereka mungkin terlarut dalam plasma, tetapi beberapa diantaranya sulir larut dan dan sebagian berikatan dengan protein plasma yang bertindak sebagai karier. Adalah penting untuk dipahami bahwa fraksi obat yang berikatan dengan protein adalah tidak aktif dan hanya obat dalam bentuk bebas dan tidak berikatan dengan protein yang memiliki aksi farmakologikal.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 8 Konsentrasi obat dalam aliran darah adalah indeks yang baik untuk menentukan apakah dosis yang diberikan telah tepat untuk menghasilkan efek terapeutik yang memuaskan. Oleh karena itu, perawat dan bidan harus mengetahui faktor-faktor yang menentukan konsentrasi obat dalam darah.
a. Dosis. Jelaslah bahwa dosis yang lebih besar, akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi.
b. Rute pemberian. Prosedur injeksi intravenous dengan cepat meningkatkan konsentrasi obat dalam darah, sedangkan pemberian secara per-oral akan menghasilkan peningkatan konsentrasi obat dalam darah yang lambat dan konsentrasi puncak yang lebih rendah. Injeksi intramuskuler menghasilkan konsentrasi obat dalam darah dengan kecepatan diantara kedua prosedur tersebut.
c. Distribusi obat. Hal ini merupakan faktor penting lainnya yang menentukan konsentrasi obat dalam plasma dan juga aktivitas dan efek terapeutik (Gambar 2.4.). beberapa obat terkurung pada aliran darah dan hal ini sangat membatasi efek mereka; sebagai contoh, antibiotik yang tidak memasuki jaringan tidak akan bermanfaat untuk mengobati kebanyakan infeksi.
Sedangkan obat yang lainnya akan berdifusi keluar dari sirkulasi kedalam ruang jaringan dan beberapa diantaranya masuk kedalam sel-sel dan menyebar keseluruh total air tubuh (total body water). Tetapi, juga terdapat obat yang secara nyata terkonsentrasi dalam sel-sel. Rata-rata distribusi volume air dalam kompartemen tubuh orang dewasa adalah:
Plasma 3 liter Ruang ekstraseluler 15 liter Total body water 36 liter
Dapat dilihat, bahwa semakin luas obat berdifusi, maka obat yang diberikan akan menghasilkan konsentrasi yang semakin rendah.
d. Kecepatan eliminasi. Semakin cepat tubuh memecah atau mengekskresi obat, maka semakin cepat konsentrasi obat dalam darah mengalami penurunan.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 9 Obat-obatan pada umumnya di eliminasi dalam satu atau dua cara (Gambar 2.5.):
1) Mereka mungkin dipecah atau dikombinasi dengan beberapa zat kimia lainnya sehingga mereka tidak cukup memiliki efek farmakologikal secara aktif. Hal ini biasanya terjadi didalam liver dan dilakukan oleh substansi yang disebut enzim. Enzim memiliki sifat meningkatkan reaksi kimia tertentu, dan beberapa dari enzim tersebut berkaitan dengan inaktivasi obat-obatan. Oleh karena itu, jika sel-sel liver mengalami kerusakan akibat penyakit atau sirkulasi ke liver mengalami penurunan akibat gagal jantung, maka proses inaktivasi mungkin berjalan lebih lambat dari normal. Aktivitas enzim-enzim liver dapat ditingkatkan atau diturunkan oleh obat-obatan dan hal ini memiliki implikasi yang penting dalam memberikan pengobatan pada pasien.
Juga terdapat faktor genetik yang menentukan perbedaan kecepatan pemecahan beberapa obat oleh tubuh. Suxamethonium yang normalnya mengakibatkan paralisis sementara pada otot volunter sebagai akibat pemecahan oleh enzim, tetapi pada keluarga tertentu enzim-enzim ini mengalami kondisi ketidaknormalan atau defisiensi sehingga subaxmethonium menyebabkan paralisis yang lebih lama.
Pada obat-obatan tipe tertentu, jika diberikan dengan cepat, maka proses pemecahan menjadi lebih efektif. Oleh karena itu, lebih besar dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang sama dan hal ini diketahui sebagai toleransi obat.
2) Obat atau produk pemecahan mereka mungkin di ekskresi melalui ginjal dan, jika ginjal mengalami kerusakan akibat penyakit, maka ekskresi akan lambat dan terjadi akumulasi. Pada orang dengan usia 80 tahun, fungsi ginjal mengalami penurunan kira-kira separuh dari orang dewasa muda, sehingga beberapa obat memerlukan penurunan dosis pada orang tua. Jarang obat di ekskresi melalui paru-paru dan rute ini penting pada kasus pemberian anesthesi volatile.
Kecepatan eliminasi adalah faktor utama dalam memutuskan durasi kerja dari obat dan dikaitkan sebagai plasma half-life (t½) dari obat.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 10 DISTRIBUSI OBAT
Distribusi berhubungan dengan transport molekul-molekul obat dalam tubuh. Ketika obat diinjeksikan atau diabsorpsi kedalam pembuluh darah, ia dibawa oleh darah dan cairan jaringan ke tempat kerja farmakologik, metabolisme, dan ekskresi. Kebanyakan molekul-molekul obat masuk dan meninggalkan pembuluh darah pada tingkat kapiler, melalui celah antara sel-sel yang membentuk dinding kapiler. Distribusi sebagian besar tergantung pada adequasi dari sirkulasi darah. Obat didistribusikan secara cepat ke organ yang menerima suplai darah yang besar, seperti jantung, liver, dan ginjal. Distribusi ke organ internal lainnya, otot, lemak, dan kulit biasanya lebih lambat. Faktor yang penting dalam distribusi obat adalah protein binding (Gambar 2.6.). Kebanyakan obat membentuk kompleks dengan protein plasma, terutama albumin, yang berkerja sebagai karier. Molekul-molekul obat yang mengikat pada protein plasma secara farmakologikal adalah tidak aktif karena ukuran besar dari kompleks protein-obat mencegah mereka meninggalkan pembuluh darah melalui pori-pori kecil dalam dinding kapiler dan mencapai site of action mereka, metabolisme dan ekskresi. Hanya bagian yang bebas atau tidak berikatan yang bekerja sebagai obat pada sel-sel tubuh. Sebagai obat bebas yang bekerja pada sel, maka penurunan kadar obat dalam plasma menyebabkan beberapa obat yang terikat akan dilepaskan.
Protein binding memungkinkan bagian dari dosis obat disimpan dan dilepaskan jika diperlukan. Beberapa obat juga disimpan dalam otot, lemak, atau jaringan tubuh lainnya dan dilepaskan secara bertahap bila kadar obat dalam plasma turun. Mekanisme penyimpanan ini mempertahankan rendahnya kadar obat dalam darah dan mengurangi resiko toksisitas. Obat yang berikatan kuat pada protein plasma atau banyak disimpan dalam jaringan lain memiliki durasi kerja yang panjang.
Distribusi obat kedalam sistem saraf pusat (CNS) adalah terbatas karena adanya blood-brain barrier, yang terdiri dari kapiler-kapiler dengan dinding yang rapat, membatasi pergerakan molekul-molekul obat kedalam jaringan otak. Barrier ini biasanya bekerja sebagai membran permeable yang selektif untuk melindungi CNS. Akan tetapi, ia juga dapat membuat terapi obat pada penyakit CNS menjadi lebih sulit karena obat harus lewat melalui sel-sel dari dinding kapiler daripada diantara sel-sel. Sebagai akibatnya, hanya obat yang dapat larut lipid atau memiliki sistem transport dapat menembus blood-brain barrier dan mencapai konsentrasi terapeutik dalam jaringan otak.
Distribusi obat selama kehamilan dan laktasi juga unik. Selama kehamilan, kebanyakan obat melintasi plasenta dan mungkin mempengaruhi fetus. Selama laktasi, beberapa obat masuk kedalam air susu dan mungkin mempengaruhi perawatan bayi.
Gambar 2.6. Protein plasma, terutama albumin (A), bekerja sebagai karier untuk molekul-molekul obat (D). Ikatan obat (A-D) tinggal dalam aliran darah dan secara farmakologik tidak aktif. Obat bebas (D) dapat meninggalkan aliran darah dan bekerja pada sel-sel tubuh.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 11 METABOLISME OBAT
Metabolisme adalah metode dimana obat di inaktivasi atau mengalami biotransformasi oleh tubuh. Yang paling sering, obat yang aktif dirubah menjadi satu atau lebih metabolit tidak aktif, yang kemudian di ekskresi. Beberapa obat aktif menghasilkan metabolit yang juga aktif dan terus memperkuat efek mereka pada sel-sel tubuh hingga mereka dimetabolisme lebih lanjut atau di ekskresi. Obat lain (disebut prodrug) pada awalnya tidak aktif dan tidak memperkuat efek farmakologik hingga mereka di metabolisme.
Kebanyakan obat adalah dapat larut dalam lipid, suatu karakteristik yang membantu mereka bergerak melintasi membran sel. Akan tetapi, ginjal, yang merupakan organ ekskretor utama, hanya dapat mengekskresi substansi yang dapat larut dalam air. Oleh karena itu, salah satu fungsi dari metabolisme adalah merubah obat yang dapat larut lemak menjadi metabolit yang dapat larut dalam air. Hepatic drug metabolism atau clereance adalah mekanisme utama untuk mengakiri kerja obat dan mengeliminasi molekul-molekul obat dari tubuh.
Kebanyakan obat dimetabolisme oleh enzim dalam liver (disebut cytochrome P450 [CYP] atau microsomal enzyme system); sel darah merah, plasma, ginjal, paru-paru, dan mukosa gastrointestinal juga mengandung drug-metabolizing enzyme. Sistem cytochrome P450 mengandung 12 kelompok atau family, sembilan diantaranya merupakan substansi metabolising endogenous dan tiga diantaranya adalah metabolising obat. Tiga kelompok yang memetabolisme obat diberi nama CYP1, CYP2, dan CYP3. Dari beberapa obat yang dimetabolisme oleh hepar, maka enzim kelompok CYP3 diduga mematabolisme kira-kira 50% obat, kelompok CYP2 kira-kira 45%, dan kelompok CYP1 kira-kira 5%. Setiap anggota dari kelompok, memetabolisme obat yang spesifik, selanjutnya dikategorikan sebagai berikut: enzim CYP2D6, CYP2C9, atau CYP3A4 yang memetabolisme beberapa obat.
Enzim-enzim ini terletak didalam hepatosit, suatu protein kompleks dengan binding site untuk molekul-molekul obat (dan substansi endogenous). Mereka mengkatalisis reaksi kimia oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi dengan substansi endogenous, seperti asam glucuronic atau sulfate. Pada pemberian kronis, beberapa obat menstimulasi sel-sel liver untuk memproduksi jumlah yang lebih besar dari drug-metabolizing enzym (proses yang disebut enzyme induction).
Enzyme induction mempercepat metabolisme obat karena jumlah enzim yang besar (dan lebih banyak binding site) memungkinkan sejumlah besar obat dimetabolisme selama waktu pemberian. Sebagai akibatnya, perlu dosis yang lebih besar dari obat yang dimetabolisme dengan cepat untuk mempertahankan efek terapeutik. Metabolisme yang cepat mungkin juga meningkatkan produksi metabolit toksik pada beberapa obat (misal, acetaminophen). Obat yang merangsang produksi enzim mungkin juga meningkatkan kecepatan metabolisme hormon steroidal endogenous (misal, cortisol, estrogen, testosteron, dan vitamin D). Akan tetapi, enzyme induction tidak terjadi selama 1 sampai 3 minggu setelah inducing agent dimulai sebab protein enzim baru harus disintesis. Rifampin, suatu obat antituberkulosis, adalah inducer kuat dari enzim CYP1A dan CYP3A.
Metabolisme juga dapat diturunkan atau diperlambat dalam proses yang disebut enzyme inhibition, yang lebih sering terjadi pada pemberian yang berulang-ulang dari dua atau lebih obat yang berkompetisi dengan metabolizing enzyme yang sama. Dalam kasus ini, dosis yang lebih kecil dari obat yang dimetabolisme lebih lambat mungkin diperlukan untuk menghindari reaksi yang
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 12 merugikan dan toksisitas akibat akumulasi obat. Terjadi inhibisi enzim dalam beberapa jam atau hari setelah diberikan inhibiting agent. Cimetidine, suatu supressor asam lambung, menghambat beberapa enzim CYP (misal, 1A2, 2C, dan 3A) dan dapat sangat menurunkan metabolisme obat. Kecepatan metabolisme obat juga menurun pada bayi (sistem enzim hepatik mereka masih immatur), pada seseorang dengan gangguan aliran darah ke liver atau penyakit hepar atau kardiovaskuler yang berat, dan pada seseorang yang mengalami malnutrisi atau pada diet rendah protein.
Bila obat diberikan secara oral, mereka akan diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan dibawa ke liver melalui sirkulasi portal. Beberapa obat secara luas dimetabolisme dalam liver, seperti propranolo (Inderal), hanya bagian dosis obat oral yang mencapai sirkulasi sistemik yang didistribusikan ke site of action. Hal ini disebut first-pass effect atau metabolisme presistemik. EKSKRESI OBAT
Ekskresi berhubungan dengan eliminasi obat dari tubuh. Ekskresi yang efektif memerlukan fungsi yang adequat dari sistem sirkulasi dan organ-organ ekskretor (ginjal, usus besar, paru-paru, dan kulit). Kebanyakan obat di ekskresi oleh ginjal dan di eliminasi dalam bentuk tidak berubah atau sebagai metabolit dalam urine.
Beberapa obat atau metabolit di ekskresi dalam empedu, dan kemudian di eliminasi dalam feces; yang lainnya di ekskresi dalam empedu, diabsorpsi dari usus halus, kembali ke liver (disebut sirkulasi enterohepatik), dimetabolisme, dan akhirnya di ekskresi dalam urine.
Beberapa obat oral tidak diabsorpsi dan di ekskresi dalam feces. Paru-paru merupakan organ utama untuk pembuangan substansi volatile, seperti gas anestetik. Kulit memiliki fungsi ekskretori yang minimal. Faktor-faktor yang mengganggu ekskresi, terutama penyakit ginjal berat, berperan terhadap akumulasi sejumlah obat dan mungkin menyebabkan efek merugikan yang berat jika dosis tidak dikurangi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME DAN EKSKRESI OBAT
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Usia, ukuran tubuh, dan kondisi kesehatan adalah beberapa faktor penting yang mempengaruhi farmakokinetik dari obat.
Setiap orang tidak identik. Obat mungkin diabsopsi dengan lebih cepat pada satu orang tetapi lebih lambat pada orang lain. Obat mungkin tidak bersirkulasi dengan baik pada beberapa orang, atau ia disimpan dalam jaringan tertentu, sebagai contoh, lemak, sehingga tidak didapatkan hingga beberapa saat kemudian. Kemampuan pasien untuk melakukan detoksifikasi terhadap obat dan mengeluarkan dari sistem adalah tergantung pada kondisi hepar dan ginjal.
Oleh karena itu, bidan perlu memahami dasar-dasar farmakokinetik sehingga mereka dapat lebih mampu dalam memberikan, memonitor, dan memberikan penyuluhan tentang pengobatan.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 13 TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik
Penyakit kardiovaskuler yang mengganggu kemampuan pompa jantung, menurunkan cardiac output, atau mengganggu aliran darah ke jaringan tubuh (misal, miokard infark akut, gagal jantung, hipotensi, dan shock)
Absorpsi dari obat oral, subcutaneous, intramuskular, dan topical
adalah tidak pasti karena penurunan aliran darah ke pemberian obat.
Distribusi terganggu karena penurunan aliran darah pada jaringan
tubuh dan tempat kerja obat.
Metabolisme dan ekskresi terganggu karena penurunan aliran
darah ke liver dan ginjal. Penyakit sistem saraf pusat (CNS)
yang mengganggu pernapasan atau sirkulasi (misal, trauma atau cedera otak, iskemia otak akibat aliran darah serebral tidak adequat, obat yang menekan atau menstimulasi fungsi otak)
Gangguan CNS mungkin merubah farmakokinetik secara tidak langsung akibat hipo- atau hiperventilasi dan
ketidakseimbangan asam-basa. Juga, iritasi serebral mungkin terjadi pada cedera kepala dan berperan terhadap stimulasi sistem saraf simpatetik dan peningkatan cardiac output. Peningkatan aliran darah mungkin mempercepat semua proses farmakokinetik. Dengan absorpsi dan distribusi yang lebih cepat, maka kerja obat mungkin lebih cepat, tetapi metabolisme dan ekskresi yang lebih cepat mungkin memperpendek durasi kerja obat.
Penyakit gastrointestinal (GI) yang mengganggu fungsi atau aliran darah GI (misal, trauma atau pembedahan pada saluran gastrointestinal, infeksi abdominal, ileus paralytic,
pankreatitis)
Gejala dari gangguan fungsi GI pada umumnya terjadi dengan penyakit GI maupun non-GI. Sebagai akibatnya, beberapa pasien tidak dapat menggunakan obat oral. Orang yang dapat menggunakan obat oral mungkin mengalami gangguan absorpsi karena:
Vomiting atau diare.
Pemberian obat bersamaan dengan obat yang
meningkatkan pH cairan lambung (misal, antasida, histamine-2 blockers, proton pump inhibitors). Pemberian obat bersamaan dengan makanan atau tube
feeding solutions yang menurunkan absorpsi obat. Menghancurkan tablet atau membuka kapsul untuk
diberikan melalaui GI tube. Penyakit inflammatori usus besar
(misal, Crohn’s disease, colitis ulcerative)
Absorpsi dari obat oral adalah berubah-ubah. Ia mungkin
ditingkatkan karena hipermotilitas GI yang dengan cepat mengirim molekul obat ke tempat absorpsi dalam usus halus dan obat cenderung diabsorpsi lebih cepat dari jaringan yang radang. Ia mungkin diturunkan karena hipermotilitas dan diare yang mungkin menggerakkan obat melalui saluran GI terlalu cepat sehingga absorpsi tidak adequat.
Penyakit endokrin yang
mengganggu fungsi atau merubah keseimbangan hormonal
Penyakit kardiovaskuler yang disebabkan diabetes
Gangguan sirkulasi mungkin menurunkan semua proses farmakokinetik, seperti yang dijelaskan diatas. Penyakit thyroid Efek utama adalah pada metaboliems. Hipothyroidisme
memperlambat metabolisme, sehingga memperpanjang kerja obat dan memperlambat eliminasi dari tubuh, hiperthyroidisme mempercepat metabolisme, sehingga menghasilkan durasi kerja obat yang lebih pendek dan mempercepat kecepatan eliminasi. Bila penyakit thyroid diobati dan fungsi thyroid kembali normal, maka kecepatan metabolisme obat juga kembali
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 14 TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik
normal. Dengan demikian, dosis obat secara luas
dimetabolisme sehingga perlu penyesuaian pada tingkat fungsi thyroid.
Penyakit adrenal akibat penyakit atau respon stres yang berkaitan dengan penyakit
Peningkatan fungsi adrenal (yaitu, peningkatan jumlah
catecholamine dan cortisol yang bersirkulasi) mempengaruhi kerja obat dengan meningkatkan cardiac output, redistribusi cardiac output (lebih banyak aliran darah ke jantung dan otak, lebih sedikit ke ginjal, liver, dan saluran gastrointestinal), menyebabkan retensi cairan, dan meningkatkan volume darah. Stres juga merubah kadar protein plasma, yang dapat
mempengaruhi bagian bebas (unbound portion) dari dosis obat. Penurunan fungsi adrenal menyebabkan hipotensi dan shock, yang dapat mengganggu semua proses farmakokinetik. Penyakit hepatik yang mengganggu
fungsi dan aliran darah hepatik (misal, hepatitis, sirosis)
Kebanyakan obat di eliminasi dari tubuh oleh metabolisme hepatik, ekskresi ginjal atau keduanya. Metabolisme hepatik tergantung pada aliran darah hepatik, aktivitas enzim hepatik, dan plasma protein binding. Peningkatan aliran darah hepatik meningkatkan pengiriman molekul-molekul obat ke hepatocyte, dimana terjadi metabolisme, dan dengan demikian
mempercepat metabolisme obat. Penurunan aliran darah hepatik memperlambat metabolisme. Penyakit liver berat atau sirosis mungkin mengganggu semua proses farmakokinetik.
Absorpsi dari obat oral mungkin menurun pada sirosis karena
edema dalam saluran gastrointestinal.
Distribusi mungkin terganggu oleh perubahan dalam protein
plasma. Liver yang terganggu mungkin tidak mampu mensintesis sejumlah protein plasma yang adequat, terutama albumin, juga, liver yang terganggu berperan terhadap metabolisme yang tidak adequat dan akumulasi substansi (misal, bilirubin serum) yang dapat memindahkan obat dari protein-binding site. Dengan penurunan protein binding, maka konsentrasi obat aktif dalam serum ditingkatkan dan obat didistribusikan ke site of action dan eliminasi menjadi lebih cepat. Dengan demikian, mula kerja obat mungkin lebih cepat, puncak kadar obat dalam darah mungkin lebih tinggi dan menyebabkan efek merugikan, dan durasi kerja mungkin lebih pendek karena obat di metabolisme dan di ekskresi lebih cepat. Pada sirosis, obat oral didistribusikan secara langsung kedalam sirkulasi sistemik daripada melalui sirkulasi portal dan liver. Jalur pintas (shunt) dari darah yang mengelilingi liver ini dimaksudkan bahwa obat oral yang normalnya secara luas di metabolisme selama first pass melalui liver (misal, propanolol) harus diberikan dalam dosis yang lebih rendah untuk mencegah kadar obat yang tinggi dalam darah dan toksisitas.
Metabolisme mungkin terganggu pada penyakit hepatik maupun
non-hepatik yang menurunkan aliran darah hepatik. Sebagai tambahan, liver yang terganggun tidak mampu mensintesis drug-metabolizing enzyme dalam jumlah cukup.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 15 TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik
karena jumlah besar dari obat bebas yang bersirkulasi dalam aliran darah dan dikirim lebih cepat ke tempat metabolisme dan ekskresi. Akibatnya, half-life dan durasi kerja dari obat lebih pendek. Ekskresi diturunkan bila liver tidak mampu
memetabolisme obat yang larut dalam lemak menjadi metabolit yang larut dalam air sehingga dapat di ekskresi oleh ginjal. Gangguan ginjal – gagal ginjal akut
(GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK)
GGA dan GGK dapat mengganggu semua proses farmakokinetik.
Absorpsi dari obat oral mungkin diturunkan secara tidak langsung
oleh perubahan yang sering terjadi pada gagal ginjal (misal, pengosongan lambung yang lambat, perubahan pH lambung, gejala GI sepert vomiting dan diare). Juga, dengan adanya edema umum, edema saluran GI mungkin mengganggu absorpsi. Pada GGK, pH lambung mungkin ditingkatkan oleh pemberian alkalinizing agents per-oral (misal, sodium bocarbonate, citrate) dan menggunakan antasida untuk efek phosphate-binding. Hal ini mungkin menurunkan absorpsi obat oral yang memerlukan lingkungan asam selama disolusi dan absorpsi dan meningkatkan absorpsi obat yang diabsorpsi dari lingkungan yang lebih alkaline.
Distribusi dari beberapa obat mungkin terganggu oleh perubahan
dalam volume cairan ekstraseluler (ECF), plasma protein binding, dan tissue binding. Obat yang larut air didistribusikan keseluruh ECF, meliputi cairan edema, yang biasanya
ditingkatkan pada gangguan ginjal karena kemampuan ginjal untuk mengeliminasi air dan sodium terganggu. Ikatan obat dengan albumin, terutama protein plasma pengikat obat untuk obat asam, biasanya diturunkan dengan gangguan ginjal. Protein binding mungkin diturunkan karena sedikit albumin atau penurunan kapasitas binding dari albumin pada obat. Alasan penurunan albumin meliputi kondisi hipermetabolik (misal, stres, trauma, sepsis) yang menyebabkan pemecahan protein melebihi sintesis protein, kondisi nephrotik dimana albumin hilang dalam urine, dan penyakit liver yang menurunkan sintesis albumin hepatik. Alasan penurunan kapasitas binding meliputi perubahan struktural pada molekul albumin atau toksin uremik yang bersaing dengan obat pada binding site. Bila sedikit obat berikatan dengan albumin, maka kadar obat dalam bentuk bebas atau obat aktif dalam serum lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan toksisitas obat. Sebagai tambahan, lebih banyak obat yang tidak berikatan yang didistribusikan kedalam jaringan dan tempat metabolisme dan ekskresi maka mempercepat eliminasi sehingga menurunkan half-life obat dan efek terapeutik. Untuk obat dasar (misal, clindamycin, propafenone), alpha1-acid glycoprotein (AAG) adalah protein binding utama. Jumlah AAG meningkat pada beberapa pasien, meliputi pasien dengan transplantasi ginjal dan pasien yang menjalani hemodialisis. Jika pasien ini diberikan obat dasar (basic drug), maka sebagian besar adalah berikatan dan sebagian kecil adalah dalam bentuk bebas yang
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 16 TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik
dapat memberikan efek farmakologik. Pada akhirnya, beberapa kondisi yang sering terjadi pada gangguan ginjal (misal,
asidosis metabolik, alkalosis respiratorik, dan lainnya) mungkin mengganggu distribusi beberapa obat ke jaringan. Sebagai contoh, digoxin dapat dipindahkan dari tissue-binding site oleh produk metabolik sehingga tidak dapat di ekskresi secara adequat oleh ginjal yang terganggu.
Metabolisme dapat ditingkatkan, diturunkan, atau tidak
terpengaruh oleh gangguan ginjal. Salah satu faktor adalah perubahan dari metabolisme obat dalam liver. Pada uremia, reaksi reduksi dan hidrolisis mungkin lebih lambat, tetapi oksidasi oleh enzim cytochrome P450 dan konjugasi dengan glucuronide atau sulphate biasanya berjalan pada kecepatan normal. Faktor lainnya adalah ketidakmampuan dari ginjal yang terganggu untuk mengeliminasi obat dan metabolit aktif secara farmakologikal, yang mungkin berperan terhadap akumulasi dan raksi obat yang merugikan dengan terapi obat jangka panjang. Metabolit mungkin memiliki aktivitas farmakologik yang mirip pada atau berbeda dari obat aslinya. Faktor ketiga mungkin mengganggu metabolisme obat oleh ginjal. Walaupun peran ginjal dalam mengekskresi obat dan metabolit obat belum diketahui dengan baik, tetapi peran mereka dalam metabolisme obat telah mendapat sedikit perhatian. Ginjal sendiri mengandung beberapa metabolizing enzym yang sama ditemukan dalam liver, meliputi enzim ginjal cytochrome P450, yang memetabolisme berbagai zat kimia dan obat.
Ekskresi dari beberapa obat dan metabolit diturunkan oleh
gangguan ginjal. Ginjal normalnya mengekskresi baik obatnya maupun metabolit yang diproduksi oleh liver dan jaringan lainnya. Proses ekskresi ginjal meliputi filtrasi glomerular, sekresi tubular, dan reabsorpsi tubular, yang semuanya mungkin dipengaruhi oleh gangguan ginjal. Jika ginjal tidak mampu mengekskresi obat dan metabolit, yang beberapa diantaranya mungkin aktif secara farmakologik, maka substansi-substansi tersebut mungkin terakumulasi dan menyebabkan efek merugikan atau toksik.
Gangguan pernapasan Gangguan pernapasan mungkin secara tidak langsung
mempengaruhi metabolisme obat. Sebagai contoh, hipoksemia berperan terhadap penurunan produksi enzim dalam liver, penurunan efisiensi dari enzim yang diproduksi, dan penurunan oksigen yang tersedia untuk biotransformasi. Ventilasi
mekanikal berperan terhadap penurunan aliran darah ke liver. Gangguan pada fungsi
kardiovaskuler dan aliran darah hepatik akibat sepsis
Sepsis mungkin mempengaruhi semua proses farmakokinetik. Sepsis dini ditandai oleh hiperdinamik sirkulasi, dengan peningkatan cardiac output dan shunting darah ke organ-organ vital. Sebagai akibatnya, absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi mungkin dipercepat. Sepsis lambat ditandai oleh hipodinamik sirkulasi, dengan penurunan cardiac output dan
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 17 TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik
penurunan aliran darah ke organ-organ utama. Dengan demikian, absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi mungkin terganggu.
Gangguan fungsi kardiovaskuler dan aliran darah akibat shock
Shock mungkin menghambat semua proses farmakokinetik. Absorpsi terganggu oleh penurunan aliran darah pada tempat pemberian obat. Distribusi terganggu oleh penurunan aliran darah pada semua jaringan tubuh. Metabolisme terganggu oleh penurunan aliran darah ke liver. Ekskresi terganggu oleh penurunan aliran darah ke ginjal.
KADAR OBAT DALAM SERUM
Kadar obat dalam serum (Gambar 2.7.) adalah ukuran laboratorium dari jumlah obat dalam darah pada waktu tertentu. Ia menggambarkan dosis, absorpsi, bioavailabilitas, half-life, dan kecepatan metabolisme dan ekskresi. Minimum effective concentration (MEC) harus diperoleh sebelum menggunakan aksi farmakologiknya pada sel-sel tubuh; hal ini sebagian besar ditentukan oleh dosis obat dan bagaimana obat diabsorpsi kedalam pembuluh darah. Toxic concentration adalah kadar yang berlebihan yang dapat terjadi toksisitas. Toxic concentration mungkin berakar dari dosis besar tunggal, dosis kecil yang berulang-ulang, atau metabolisme yang lambat yang memungkinkan obat terakumulasi dalam tubuh. Antara konsentrasi rendah dan tinggi ini disebut rentang terapeutik, yang merupakan tujuan dari terapi obat. Hal ini berarti, cukup obat yang bermanfaat, tetapi tidak cukup obat untuk menghasilkan toksik.
Pada kebanyakan obat, kadar obat dalam serum menunjukkan mula (onset), puncak, dan durasi dari kerja obat. Bila diberikan obat dosis tunggal, maka mula kerja obat akan terjadi bila kadar obat mencapai MEC. Kadar obat terus meningkat melebihi dari obat yang diabsorpsi, hingga ia mencapai konsentrasi tertinggi dan didapatkan puncak kerja obat. Kemudian, kadar obat menurun karena obat di eliminasi (yaitu, dimetabolis-me dan di ekskresi) dari tubuh. Walaupun masih terdapat sejumlah molekul-molekul obat dalam tubuh, tetapi kerja obat berhenti bila kadar obat turun dibawah MEC. Durasi kerja obat adalah lama waktu dimana kadar obat dalam serum terdapat pada atau diatas MEC. Bila obat dosis multiple diberikan (misal, untuk penyakit kronik), maka tujuan pengobatan biasanya diberikan untuk mempertahankan kadar obat dalam serum cukup dalam rentang terapeutik dan dihindarkan rentang toksik.
Dalam praktek klinikal, pengukuran kadar obat dalam serum adalah digunakan untuk beberapa alasan:
Bila obat dengan indeks terapeutik rendah atau sempit diberikan, maka obat ini memiliki batas keamanan sempit dan berakhir pada dosis toksik (misal, digoxin, antibiotik aminoglycoside, lithium, theophylline).
Untuk mendokumentasikan kadar obat dalam serum yang berkaitan dengan dosis obat, efek terapeutik, atau kemungkinan efek yang merugikan.
Untuk memonitor respon yang tidak diinginkan terhadap dosis obat. Hal ini dapat berupa berkurangnya efek terapeutik atau peningkatan efek yang merugikan.
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 18 Paruh Hidup (Half-Life) Serum
Half-life serum, juga disebut elimination half-life, adalah waktu yang diperlukan untuk penurunan konsentrasi obat dalam serum sebesar 50%. Ia ditentukan teru-tama oleh kecepatan metabolisme dan ekskresi obat. Obat dengan half-life yang pendek memerlukan lebih sering pem-berian daripada obat dengan half-life yang panjang.
Bila obat diberikan pada dosis stabil, maka diperlukan empat atau lima kali half-life untuk mencapai konsentrasi steady-state dan berkembang equilibrium antara konsentrasi obat dalam jaringan dan serum. Karena efek terapeutik mak-simal belum terjadi hingga equilibrium terjadi, maka jumlah obat yang diberikan harus sebanding (equal) dengan jumlah obat yang di eliminasi dari tubuh. Bila dosis obat dirubah, maka penambahan empat sampai lima kali half-life diperlukan untuk menentukan equi-librium; bila obat dihentikan, ia akan di eliminasi secara bertahap lebih dari beberapa half-life.
PROSES YANG DIALAMI OBAT DALAM TUBUH YANG SAKIT MAUPUN SEHAT
Saat kita sakit, umumnya kita mengonsumsi obat. Obat yang kita minum tersebut dapat menyingkirkan penyebab penyakit, menghilangkan gejala penyakit, atau menghilangkan akibat lanjutan dari suatu penyakit. Apa pun jenis obat yang kita minum, bagaimanakah nasibnya di dalam tubuh kita?
Untuk dapat memberikan efek yang diinginkan, obat harus dapat mencapai tempatnya bekerja. Misalnya kita meminum antibiotik untuk pengobatan infeksi ginjal/kandung kemih. Agar antibiotik dapat bekerja untuk membunuh bakteri, obat tersebut harus mencapai ginjal (tempat antibiotik bekerja) terlebih dahulu. Setelah mencapai ginjal, antibiotik dapat membunuh bakteri sehingga memberikan kesembuhan yang diharapkan.
Setelah obat bekerja di dalam tubuh dan menghasilkan efek, obat akan dikeluarkan dari dalam Gambar 2.7. Kadar obat dalam serum dengan dosis obat oral tunggal dan multiple. Obat mulai bekerja bila cukup obat diabsorpsi untuk mencapai konsentrasi efektif minimum (KEM), berlanjut sepanjang kadar serum diatas KEM, dan semakin berkurang ketika molekul-molekul obat dimetabolisme dan diekskresi (jika tidak ada lagi penambahan dosis yang diberikan), dan berhenti bila kadar serum turun dibawah KEM. Tujuan terapi obat adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam serum dalam rentang terapeutik (therapheutic windows).
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 19 tubuh. Ada banyak tahapan yang perlu dilalui obat mulai dari pemberian, kemudian menghasilkan efek, dan terakhir dikeluarkan dari dalam tubuh.
Obat yang berada di dalam tubuh akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena secara normal senyawa obat tidak terdapat di dalam tubuh. Tubuh memiliki mekanisme alamiah untuk mendetoksifikasi (menurunkan sifat toksik suatu zat) benda asing yang masuk ke tubuh. Oleh karena itu, senyawa obat akan didetoksifikasi oleh tubuh sehingga obat tidak terlalu toksik/beracun bagi tubuh. Proses detoksifikasi obat oleh tubuh merupakan tahapan metabolisme obat. Sebagian besar obat akan didetoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Hasilnya merupakan suatu senyawa yang sifat toksik/beracunnya lebih rendah dibandingkan dengan senyawa awal sehingga tidak terlalu beracun bagi tubuh.
Tahap terakhir yang dialami oleh obat adalah tahap ekskresi. Pada tahap ini obat akan dikeluarkan dari dalam tubuh dengan berbagai cara, antara lain melalui ginjal (air seni), saluran cerna (faeces), kulit (keringat), pernapasan (udara), mata (air mata), atau kelenjar payudara (air susu). Sebagian besar obat dikeluarkan melalui ginjal. Jika ginjal kita mengalami gangguan, kadar obat dalam tubuh akan meningkat akibat terhambatnya proses pengeluaran obat melalui ginjal. Oleh karena itu, pada penderita gangguan ginjal, perlu dilakukan penyesuaian dosis obat - terutama untuk obat yang dalam kadar rendah dapat menimbulkan keracunan dan obat yang toksik bagi ginjal (nefrotoksik) - agar kadar obat dalam tubuh tidak terlalu tinggi karena dikhawatirkan akan menimbulkan keracunan bahkan kematian bagi penderita.
EVALUASI DIRI
1. Proses farmakokinetik, meliputi:
1. Absorpsi 3. Metabolisme 2. Distribusi 4. Ekskresi 2. Distribusi obat dipengaruhi oleh:
1. Aliran darah 3. Efek pengikatan dengan protein 2. Afinitas terhadap jaringan 4. Kecepatan eliminasi
3. Faktor utama dalam menentukan durasi kerja obat, adalah
A. Afinitas terhadap jaringan C. Konsentrasi obat B. Distribusi obat D. Kecepatan eliminasi 4. Rute eliminasi obat, adalah:
1. Saliva 3. Keringat
2. ASI 4. Urine
5. Untuk mempercepat eliminasi akibat overdosis aspirin, dapat diberikan: A. Natrium bikarbonat C. Hidrogen peroksida B. Kalium permanganat D. Natrium klorida
6. Efek obat yang dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum, disebut:
A. Efek fisiologis primer C. Mula kerja
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 20 PENUGASAN
1. Tujuan Tugas :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan farmakokinetik dari golongan obat uterotonika, koagulantia, antipiretik.
2. Uraian Tugas : a. Obyek garapan :
Obat-obatan yang berhubungan dengan kebidanan. b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan :
Menguraikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat uterotonika, koagulantia, antipiretik. Hasilnya dipresentasikan dikelas pada pertemuan berikutnya.
c. Metode / cara pengerjaan tugas :
Mendiskripsikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat uterotonika, koagulantia, antipiretik. Dikerjakan secara diskusi kelompok.
d. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan :
Hasil studi tersaji dalam bentuk paper, dengan ukuran kertas kuarto, diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, 1 spasi. Dilengkapi CD presentasi dengan format powerpoint.
3. Kriteria penilaian : PENULISAN PAPER
GRADE SKOR INDIKATOR KINERJA
Sangat kurang <20 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak berhubungan dengan praktek kebidanan.
Kurang 21-40 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika saja). Cukup 41-60 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika dan koagulantia saja).
Baik 61-80 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika, koagulantia dan antipiretik).
Sangat baik >81 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika, koagulantia dan antipiretik yang sering dipakai di BPS).
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 21 DAFTAR PUSTAKA
Barone, J. A., & Hermes-DeSantis, E. R. (2000). Adverse drug reactions and drug-induced diseases. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 21–34). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Brater, D. C. (2000). Principles of clinical pharmacology. In H. D. Humes (Ed.), Kelley’s textbook of internal medicine (4th ed., pp. 311–319). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Drug facts and comparisons. (Updated monthly). St. Louis: Facts and Comparisons.
Ensom, M. H. H. (2000). Gender-based differences and menstrual cycle-related changes in specific diseases: Implications for pharmacotherapy. Pharmacotherapy, 20(5), 523–539.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed.). Philadelphia: W. B. Saunders.
Klein-Schwartz, W., & Oderda, G. M. (2000). Clinical toxicology. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 51– 68). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Matthews, H. W., & Johnson, J. (2000). Racial, ethnic, and gender differences in response to drugs. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 93–103). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., & Lance, L. L. (2003). Lexi-Comp’s drug information handbook (11th ed.). Hudson, OH: American Pharmaceutical Association. Tatro, D. S. (2000). Drug interactions. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of
therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 35–49). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.