• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Penelitian ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Penelitian ini"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II KAJIAN TEORI

Menurut Snelbecker dalam Moleong (57: 2010) teori merupakan separangkat proposisi yang berinteraksi secara sintaksi dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Penelitian ini menggunakan beberapa teori yang dianggap berhubungan dengan topik penelitian diantaranya: kebijakan publik, arti penting kebijakan publik, bentuk-bentuk kebijakan, tujuan kebijakan, implementasi kebijakan, model-model implementasi kebijakan, konsepsi UU No.22 tahun 2009. Beberapa teori tersebut diambil karena dianggap berhubungan dan masih relevan dengan topik penelitian yang diambil. Teori-teori tersebut diharapkan akan dapat membantu peneliti untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan berdasarkan penemuan-penemuan yang sudah ada sebelumnya sehingga mempermudah peneliti untuk melaksanakan penelitian ini.

A. Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur penelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik. Carl I. Frederick dalam Riant Nugroho(2008: 53) mendefinisikan kebijakan publik adalah

(2)

serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditunjukkan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Menurut Bridgeman dan Davis dalam Edi Suharto (2011: 3) kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever

government choose to do or not to do”, artinya kebijakan publik adalah apa

saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sedangkan Thomas R. Dye dalam Riant Nugroho (2008: 54) mendefinisikan kebijakan publik sebagai what goveenment do, why they do, and what

difference make it atau dalam bahasa Indonesia segala sesuatu yang

dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda.

Sedangkan Riant Nugroho sendiri mendefinisikan kebijakan publik sendiri sebagai keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan.

(3)

Sebagai sebuah strategi kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun juga bersifat negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah win-sum-game yaitu menerima yang ini dan menolak yang lain.

B. Arti Penting Kebijakan Publik

Riant Nugroho (2006: 52) mengatakan bahwa setiap hal yang ada di dunia pasti ada tujuannya. Demikian pula kebijakan publik, hadir dengan tujuan tertentu, yaitu mengatur kehidupan bersama demi mencapai tujuan bersama yang telah disepakati.

Sumber : Riant Nugroho (2006: 52)

Gambar 1. Ideal Kebijakan Publik

Gambar di atas menggambarkan dengan jelas bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan

Masyarakat pada kondisi awal Masyarakat pada masa transisi Masyarakat yang dicita-citakan Kebijakan Publik

(4)

hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), kebijakan publik adalah seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Disini kita bisa meletakkan kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan nasional. Dapat kita simpulkan bahwa:

1. Kebijakan publik mudah untuk dipahami karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional.

2. Kebijakan publik mudah diukur karena ukurannya jelas, yakni sejauh mana kemejuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.

C. Bentuk-Bentuk Kebijakan Publik

Riant Nugroho (2008: 61) mengatakan bahwa teori tentang kebijakan memang sangat banyak, namun secara sederhana bentuk kebijakan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar yaitu dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat desa atau kelurahan merupakan salah satu bentuk kebijakan publik. Undang Undang No. 10/2004 tentang Peraturan Perundang-undangan Pasal 17 mengatur jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c. Peratuan Pemerintah

(5)

e. Peraturan Daerah

2. Kebijakan publik yang berifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Mentri, Surat Edaran Mentri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peratiran Wali Kota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersam atau SKB antar-mentri, gubernur, dan bupati atau wali kota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah mentri, gubernur, dan bupati atau wali kota.

Ada beberapa perkecualian, kebijakan publik yang bersifat makro dan messo kadang bersifat implementasi langsung, namun tidak tidak berarti itu suatu kekeliruan. Kebijakan seperti ini dapat dikatakkan lebih efisien karena tidak memerlukan peraturan penjelas tambahan yang akan menjadikan kebijakan tersebut secara formulasi saja sudah high cost economy, dan dalam pelaksanaannya akan semakin high cost secara ekonomi. Tidak ada preferensi yang terbaik akan bentuk kebijakan. Namun demikian trend ke depannya bentuk kebijakan adalah kebijakan-kebijakan yang detail sampai implementasi sehingga tidak perlu menambahkan kebijakan baru di bawahnya. Hanya ada kelemahan utama, yaitu jika diperlukan adanya perubahan, karena prosesnya sangat sulit, berat, dan mahal, karena yang diubah adalah induk kebijakan. Berbeda jika yang hendak diubah adalah kebijakan dibawahnya, yaitu tingkat penjelas atau pelaksanaan.

(6)

Kebijakan publik juga memiliki bentuk lain, yaitu pernyataan lisan para pejabat publik. Pernyataan pejabat publik ini harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakilinya atau dipimpinnya. Namun tidak semua pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat publik tersebut merupakan kebijakan publik, pernyataan yang paling dapat dianggap sebagai kebijakan publik adalah pernyataan yang disampaikan dalam forum resmi dan dikutip oleh media massa dan disebarluaskan kepada masyarakat luas. Dengan demikian setiap pejabat publik harus bikjaksana dalam mengemukaakn pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dali lembaga publik yang diwakiinya.

D. Tujuan Kebijakan

Kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang bertujuan mengatur kehidupan bersama. Menurut Riant Nugroho(2008: 68) setiap kebijakan mengandung lebih dari satu tujuan. Kebijakan publik selalu mengandung multi-tujuan yaitu untuk menjadikan kebijakan itu menjadi kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Mendistribusikan sumber daya negara kepada masyarakat, termasuk alokasi, realokatif, dan redistribusi, versus mengabsorbsi atau menyerap sumber daya ke dalam negara.

2. Regulatif versus deregulatif.

Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, sedangkan kebijakan deregulatif adalah kebijakan yang bersifat membebaskan.

(7)

3. Dinamisasi versus stabilisasi.

Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumber daya nasional untuk mencapai kemajuan tertentu yang dikehendaki, sedangkan kebijakan stabilitas adalah kebijakan yang bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada, baik sestem politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial

4. Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat/pasar.

Kebiijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negara, sementara kebijakan yang memperkuat pasar adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada peran negara.

E. Implementasi Kebijakan

Presmann dan Waldavsky dalam Jones, Charles O. (1991: 295) mengatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahapan lanjut dari formulasi kebijakan. Pada tahap formulasi diterapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan. Sedangkan tindakan (action) untuk mencapai tujuan-tujuan diselenggarakan pada tahap implementasi kebijakan, implementasi adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk mencapainya.

Grindle dalam Wahab (1991: 45) Mengatakan bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia

(8)

menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Dari beberapa pemikiran di atas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting, bahkan lebih penting dari pembuatan keputusan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang strategis dan menentukan terhadap pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam tahap formulasi sebuah kebijakan.

Riant Nugroho (2008: 429) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan dereviat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

(9)

Gambar 2. Sekuensi Implementasi Kebijakan

Rencana adalah 20% kerberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul dilapangan. Selain itu ancaman utama adalah konsistensi implementasi.

Sebagaiman dikemukakan Peter deLeon dan Linda deLeon dalam Riant Nugroho (2008) bahwa pendakatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Peneliti yang mempergunakan pendekatan ini antara lain, Graham T. Allisom dengan studi kasus misil kuba (1971: 1999). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan dengan studi pengambilan keputusan di sektor publik. Generasi

Kebijakan Publik Kebijakan Publik Penjelas Program Proyek Kegiatan Bermanfaat (beneficiaries)

(10)

kedua tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective). Perspektifi ini lebih fokus pada tugas birokrasi dalam melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuan sosial yang mengembangkan pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan frank Smallwood (1980), dan Paul Berman (1980). Pada saat yang sama muncul pendekatan bottom-upper yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971,1980), dan Benny Hjern (1982,1983).

Generasi ketiga tahun 1990-an dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990), memperkenalkan pemikiran bahwa veriabel perilaku aktor pelaksanaan implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama muncul pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang mengembangkan pendekatan ini antara lain, Richard Matland (1995), Helend Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997). Menurut deLeon, pada tahun 2000-an, studi tentang implementasi kebijakan secara intelektual berada diujung buntu.Namun studi kebijakan saat ini bukan berada di ujung buntu namun pada suatu muara dimana banyak cabang ilmu pengtahuan memberikan kontribusi pada studi implementasi kebijakan. Studi

(11)

implementasi akan mati jika dipahami sebagai suatu yang kaku berada dalam domain ilmu administrasi negara, dan paling jauh ilmu politik.

F. Model-Model Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya karena masih ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan tersebut, baik yang bersifat individual maupun kelompok yang berhubungan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu peneliti perlu untuk mengetahui lebih jauh faktor-faktor apa saja kah yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan menutur para pakar kebijakan, diantaranya adalah:

1. Model Edward III

George Edward III dalam Riant Nugroho (2006 : 40) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah: Lack of attention to

implementation. Dikatakannya, without effective implementation to

decission of policemakers will not be carried out seccessfully. Edward

menyarankan untuk memperhatikan isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or

attitude, dan bureaucratic structures.

a. Communication berkenan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan atau publik.

b. Resource berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan

(12)

kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif.

c. Disposition berkenaan dengan kesediaan para implementor untuk melaksanakan kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

d. Bureaucratic structures berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggaraan implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi

bereaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses

implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama diantara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.

Sumber: Dwiyanto (2009:33)

(13)

2. Model Merilee S. Grindle

Grindle dalam Ismail Nawawi (2009: 141) mengatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik, dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

a. Content of Policy adalah : 1) Interest affected

Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang

mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut. 2) Type of benefit

Pada poin ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebiiakan yang hendak dilaksanakan.

3) Extent of Change Envision

Setiap kebiiakan mempunyau target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy vang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin

(14)

dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

4) Site of Decision Making

Pengambilan keputusan dalam suatu kebilakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebiiakan yang akan diimplementasikan.

5) Program Implementer

Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.

6) Resources

Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.

b. Context of Implementation mencakup hal-hal sebagai berikut : 1) Power, interest, and stategy of Actor Involved

Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan

(15)

dengan matang sangant besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh arang dari api.

2) Institution and Regime Characteristic

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

3) Compliance an Responsiveness

Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan dalam pada poin ini adalah sejah mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks ditetapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkung1an, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang terjadi.

(16)

Sumber : Wibawa (1994:23)

Gambar 4. Model Implementasi kebijakan Grindle

Dari model-model implementasi kebijakan yang telah disebutkan diatas, penelitian ini akan menggunakan model implementasi George Edward III sebagai landasan teori. Model implementasi Edwardini dipilih karena dinilai paling relevan untuk diterapkan dalam penelitian ini.George C. Edward III dalam Dwiyanto (2009: 31) mengemukakan model implementasi kebijakan dengan menunjuk empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah:

1. Komunikasi, yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan dapatdilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektifantara pelaksana program (kebijakan) dengan parakelompok sasaran (target group). Tujuan dan

(17)

sasaran dariprogram/kebijakan dapat disosialisasikan secara baiksehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakandan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggipengetahuan kelompok sasaran atas program maka akanmengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalammengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yangsesungguhnya. Dalam implementasi kebijakan Light on ini bentuk komunikasi yang dilakukan adalah sosialisasi, baik kepada kelompok sasaran maupun sosialisasi antar pelaksana kebijakan atau implementor. 2. Sumberdaya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh

sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumberdaya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitasmaupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumberdaya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah. Sebab tanpa kehandalan implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan, sumberdaya finansial menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran. Sumber daya manusia dalam implementasi kebijakan

Light on ini adalah seluruh anggota Satlantas Polres Bantul. Sedangkan

(18)

3. Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yangpenting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahandiantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementror untuk tetap beradadalam aras program yang telah digariskan dalam guidelineprogram. Komitmen dan kejujurannya membawanyasemakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran. Dalam hal ini Satlantas Polres Bantul juga memiliki komitmen yang kuat dalam mengemban tugasnya. Sehingga diharapkan dalam implementasi kebijakan Light on ini dapat berjalan sesuai dengan harapan.

4. Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/kebijakan. SOP yang baik mencantunkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh

(19)

mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapatmenjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat. Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hierarkis dan birokratis. G. Konsepsi UU No.22 Tahun 2009 Terkait Kebijakan Light on

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

Dalam Undang-Undang ini pembinaan bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) sebagai berikut:

(20)

1. Urusan pemerintahan di bidang prasarana Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

2. Urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

3. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang industri;

4. Urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang teknologi; dan

5. Urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peran pemerintah menjaga keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan dan integritas nasional tersebut di tegasakan dalam pasal 203 UU No.22 tahun 2009, yang berbunyi sebagai berikut:

1. Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2. Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:

a. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. d. dan Angkutan Jalan;

Seiring dengan peningkatan jumlah kecelakan sepeda motor di jalan raya, maka muncul pemikiran dari pemerintah untuk berupaya menekan angka kecelakaan tersebut yang semakin hari semakin meningkat. Pemerintah akhirnya mengambil keputusan untuk mengeluarkan pasal 107 dalam UU No. 22 tahun 2009 yang berbunyi:

(21)

1. Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.

2. Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Pasal tersebut dulunya hanya memuat satu ayat saja, namun sebagai upaya untuk mengurangi angka kecelakaan sepeda motor di jalan raya maka akhirnya ditambahkanlah ayat kedua yang berisi tentang peraturan yang mengatur setiap pengendara sepada motor untuk selalu menyalakan lampu motornya saat berkendara di siang hari.

Agar kebijakan ini dapat berhasil maka seperti yang kita tahu bahwa kebijakan ini bersifat memaksa karena disertai dengan sanksi pidana. Ketentuan pidana dari kebijakanini diatur dalam Pasal 293 ayat (2) dimana setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari dipidana dengan kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000,00. Sanksi pidana dan denda uang tersebut diharapkan dapat menjadikan alasan agar masyarakat enggan untuk melakukan pelanggaran terhadap kebijakan yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut.

H. Penelitian Relevan

Penelitian yang pernah dilakukan dalam mengkaji permasalahan kebijakan DRL ini salah satunya adalah penelitian yang berjudul “PROGRAM MENYALAKAN LAMPU SEPEDA MOTOR DI SIANG HARI atau DAYTIME RUNNING LIGHTS (DRL) OLEH SATUAN LALU LINTAS POLRESTA OGAN KOMERING ULU (OKU) SUMATERA

(22)

SELATAN” yang dilakukan oleh Wira Prayatna. Penelitian ini menjelaskan tentang kinerja Satuan lalu lintas Polres OKUdalam melaksanakan program DRL ini di lingkungan masyarakat Kabupaten OKU. Implementasi kebijakan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pengenalan, pembinaan dan peneguran dan melakukan upaya penegakkan hukum bagi yang melanggar aturan ini. Namun fakta yang ditemukan di lapangan Program DRL ini masih belum berjalan dengan baik di wilayah hukum Polres OKU.

Kegagalan program DRL (Light on) di wilayah hukum Polres OKU disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, adanya anggapan dari masyarakat bahwa kebijakan tersebut hanya pemborosan dan hasilnya tidak signifikan serta sistem penegakan hukum yang masih kurang maksimal oleh satlantas Polres OKU, sehingga program DRL ini tidak berjalan lagi di wilayah hukum Polres OKU.Penelitian tersebut relevan dalam hal informasi-informasi tertentu meski belum memiliki maksud yang sama dengan tujuan peneliti, namun informasi-informasi yang ada dalam penelitian tersebut dapat bermanfaat untuk menajamkan analisis peneliti.

I. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan dukungan landasan teoritik yang diambil oleh peneliti sebagai landasan konseptual penelitian penelitian ini, maka dapat disusun Kerangka Pemikiran sebagai berikut :

(23)

Gambar 5. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran tersebut menggambarkan bahwa UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 107 (2) adalah kebijakan publik yang mewajibkan para pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu motor di siang hari. Dalam implementasi kebijakan tersebut ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari implementasi kebijakanLight on tersebut diantaranya, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi implementor. Setelah hasil kebijakan diperoleh maka selanjutnya timbul dampak kebijakan ataupun outcome dari hasil implementasi tersebut. Dampak kebijakan tersebut dapat berupa dampak positif atau pun dampak negatif yang kemudian akan

Rekomendasi UU No. 22 Tahun 2009 pasal 107 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009Pasal 107 ayat (2) Implementasi UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 107 ayat (2) Hasil Implementasi Kebijakan

Faktor yang mempengaruhi:

Komunikasi Sumber Daya Disposisi Struktur Birokrasi Dampak Kebijakan 1 2 3 4

(24)

memberikan rekomendasi berupa kritik dan saran kepada implementor yang dapat dijadikan bahan untuk evaluasi kebijakan tersebut.

Kebijakan Light onadalah sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengurangi atau menekan tingginya angka lalu lintas di Indonesia. Kebijakan tersebut diatur oleh UU No. 22 Tahun 2009 pasal 107 ayat (2) yang berisi tentang himbauan kepada para pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu utama pada siang hari. Faktanya masih banyak para pengendara sepeda motor yang tidak patuh terhadap peraturan tersebut, terbukti dengan masih banyak pengendara sepeda motor yang tidak mau menyalakan lampu motornya disiang hari meskipun peraturan tersebut juga didukung dengan adanya pemberian sanksi pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp100.000,00. terhadap pengendara yang tidak mematuhi peraturan tersebut yang tertulis pasal Pasal 293 ayat (2).

Ketidakpatuhan para pengendara sepeda motor tersebut dikarenakan kelompok sasaran tidak paham dengan maksud dari kebijakan ini. Seperti yang kita tahu bahwa kelompok sasaran dari kebijakan ini adalah para pengendara sepeda motor yang berasal dari berbagai kalangan di masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman terhadap kebijakan tersebut sehinga menimbulkan pro dan kontra dikalangan kelompok sasaran. Melihat kenyataan tersebut peneliti beranggapan bahwa kebijakan ini memang sulit untuk diimplementasikan karena akan menemui berbagai kendala yang berarti.

(25)

Implementasi kebijakan menyalakan lampu pada siang hari ini akan berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan apabila implementor bisa mengkomunikasikan dengan baik apa yang menjadi maksud dari kebijakan tersebut agar para pengendara sepeda motor yang terdiri dari berbagai kalangan tersebut menjadi paham akan pentingnya keselamatan dalam berkendara sehingga mau bekerja sama dengan petugas dalam mensukseskan kebijakan ini, karena pada hakekatnya kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan keselamatan bagi pada pengendara sepeda motor dijalan raya.

J. Pertanyaan Penelitian

Daftar pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Siapa implementor dan kelompok sasaran dari implementasi kebijakan

Light on di wilayah Kabupaten Bantul?

2. Bagaimana tahap-tahap proses implementasi kebijakan Light on yang dilaksanakan di Kabupaten Bantul?

3. Bagaimana strategi atau upaya yang dilakukan oleh Satlantas Polres Bantul dalam implementasi kebijakan Light on di Kabupaten Bantul? 4. Bagaimana tanggapan pengendara sepeda motor di wilayah Kabupaten

Bantul terhadap kebijakan Light on ini?

5. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan Light on di Kabupaten Bantul?

Bagaimana upaya untuk mengatasi hambatan yang ada dalam implementasi kebijakan Light on ini?

Gambar

Gambar 1. Ideal Kebijakan Publik
Gambar 2. Sekuensi Implementasi Kebijakan
Gambar 3. Model implementasi kebijakan Edward III
Gambar 4. Model Implementasi kebijakan Grindle
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ekspresi adalah pernyataan yang menghasilkan nilai dengan tipe tertentu, contoh ekspresi yang paling sederhana adalah operasi aritmatika seperti 5 + 2 (ekspresi yang menghasilkan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan

Pada produk tutup kemasan minyak wangi di ukur menggunakan digimatic caliper 200 mm, jumlah sample 5 pcs, average secara keseluruhan berwana hitam menandakan OK, tetapi dimensi

Hasil tersebut berbeda dengan penelitian lainnya yang dilakukan langsung kepada pasien serta dilengkapi dengan data rekam medis pasien di Swedia yang menunjukkan bahwa

Pokok permasalahan penelitian ini adalah apakah komunikasi, penempatan dan kepemimpinan berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap konflik karyawan pada

Perbedaan dari ketiga video profile tersebut dengan Perancangan Video Profil sebagai Media Informasi Pada Lorin Solo Hotel adalah dilihat dari konsep video dengan

3.4.2 Informasi Peta yang Menampilkan Produk, Karakteristik Produk dan Assessor Matriks cross-product (S [t] pada persamaan (4)), eigenvectors pertama yang dinormalisasi

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses klientisasi, yaitu: (a) Faktor ekonomi; petani mempunyai modal yang terbatas sehingga mereka sering melakukan pinjaman ke