• Tidak ada hasil yang ditemukan

ICASERD WORKING PAPER No.38

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ICASERD WORKING PAPER No.38"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ICASERD WORKING PAPER No.38

PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN :

MASALAH DAN UPAYA MENGATASINYA

SUPADI

Maret 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono, dan Edi Ahmad Saubari . Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(2)

ICASERD WORKING PAPER No.38

PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN :

MASALAH DAN UPAYA MENGATASINYA

SUPADI

Maret 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(3)

PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN: MASALAH DAN UPAYA MENGATASINYA

S u p a d i

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRAK

Diversifikasi pangan bukanlah konsep yang berdiri sendiri, tetapi merupakan konsep terpadu dengan berbagai perangkat kebijakan yang sekaligus memadukan berbagai perangkat kebijakan tersebut. Implementasi konsep dan operasional diversifikasi pangan dan berbagai perangkat kebijakan yang terkait dengannya menimbulkan dilema bagi pembuat kebijakan tingkat nasional. Sampai kini diversifikasi pangan belum terlaksana secara efektif. Sehubungan dengan hal tersebut prinsip umum yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk mendorong diversifikasi pangan adalah: (1) dari sisi konsumsi, diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat, (2) dari sisi produksi, diversifikasi pangan merupakan suatu proses penyesuaian untuk mengurangi risiko dan meningkatkan pendapatan petani dan usahatani atau antisipasi terhadap permintaan jangka panjang, (3) diversifikasi pangan akan berjalan lebih lancar bila dipadukan dengan pengembangan agroindustri yang dibangun di pedesaan melalui integrasi vertikal dengan usahatani tanaman pangan. Prinsip lain yang sangat penting adalah diversifikasi pangan bukanlah target (tujuan) dan bukan pula instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan stabilisasi beras karena dengan berkembangnya agroindustri di pedesaan dapat diharapkan pencapaian tujuan yang berskala makro (kepentingan nasional) dapat berjalan seiring dengan pencapaian tujuan yang berskala mikro (kepentingan petani).

Kata kunci: diversifikasi pangan, produksi, konsumsi, makro, mikro.

PENDAHULUAN

Pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun sejak swasembada beras diraih 1984-1985 tersebut laju pertumbuhan produksi beras cenderung menurun dan semakin tidak stabil sehingga sejak tahun 1994 Indonesia tidak lagi berswasembada (Sapuan, 1999). Kondisi ini mengharuskan konsep swasembada beras kembali diubah menjadi swasembada pangan. Upaya alternatif yang ditempuh agar ketergantungan kepada beras bisa dikurangi serta pencapaian pola pangan yang memenuhi persyaratan nutrisi adalah dikembangkannya diversifikasi pangan. Untuk terjadinya pola pangan yang terdiversifikasi dengan kuantitas gizi yang semakin berimbang perlu didorong terus.

Diversifikasi pangan telah lama dicanangkan sejak tahun 1970 jauh sebelum swasembada beras diraih. Pada waktu Pelita IV pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar terhadap diversifikasi pertanian dan produk dengan menempatkan

(4)

diversifikasi di tangga atas diikuti oleh intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi (Manwan, 1994).

Upaya untuk menekan konsumsi beras melalui diversifikasi pangan tampaknya belum memberikan hasil yang signifikan sehingga kebutuhan beras per kapita per tahun tidak banyak berubah, bahkan pada akhir-akhir ini cenderung meningkat (Puslitbangtan, 2001). Hal ini tampaknya terkait dengan kondisi perekonomian yang belum membaik sehingga sebagian besar masyarakat lebih banyak mengandalkan beras sebagai sumber utama pangan keluarga. Menurut Amang dan Sawit (2001) pengembangan diversifikasi pangan paling efektif dilakukan melalui peningkatan pendapatan riil masyarakat.

Peranan beras dalam komposisi makanan penduduk masih dominan. Usaha peningkatan produksi dan stabilitas harga beras di satu sisi sangat menggembirakan dalam kaitanya dengan semakin terjaminnya kebutuhan beras pada harga yang terjangkau daya beli masyarakat. Namun di sisi lain hal tersebut juga mendorong bergesernya pola konsumsi masyarakat dari non beras ke beras seperti yang terjadi di Madura, NTT dan Indonesia Bagian Timur lainnya (Amang dan Sawit, 2001). Cukup menarik adalah Maluku yang semula konsumsi pokoknya sagu, partisipasi konsumsi berasnya saat ini mencapai 100 persen menyamai Sumatera Barat yang dikenal mempunyai pola makanan pokok beras (Surono, 2001).

Menurut Fagi, et al., (2002) permintaan beras terus naik dari hanya 89,5 kg per kapita per tahun pada tahun 1967-1969 menjadi 151,0 kg per kapita per tahun pada tahun 1997-1999, bahkan telah mencapai sekitar 156,0 kg per kapita per tahun pada tahun 2000-2001. Konsumsi dalam negeri cenderung meningkat terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2001 konsumsi beras diperkirakan telah mencapai 27,9 juta ton, sedangkan yang tersedia untuk konsumsi hanyalah sekitar 25,9 juta ton sehingga terjadi kekurangan sebesar dua juta ton (Surono, 2001).

Para pakar gizi berpendapat bahwa dalam hal pangan seyogyanya yang dijadikan pegangan adalah jumlah kalori dan protein, bukan jumlah yang dimakan. Untuk rakyat Indonesia, secara nasional dan rata-rata, sebagai patokan dapat dipakai paket pangan yang mengandung 2100 kalori per kapita per hari dan 55 gram protein per kapita per hari, sebagai jumlah pangan yang layak. Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993 angka anjuran kecukupan gizi untuk energi sebesar 2150 Kkal dan untuk protein sebesar 46,2 gr (Cicih, 1997). Dalam hal pemenuhan jumlah kalori itu, paket pangan itu bisa berisi jumlah beras, jagung, ubi-ubian dan lain-lain yang bervariasi,

(5)

tergantung dari adanya bahan pangan bersangkutan, kebiasaan dan selera makan dari penduduk, dan lain-lain.

Dengan jalan diversifikasi pangan ini diharapkan laju peningkatan konsumsi beras dapat ditekan sampai mencapai angka yang serendah mungkin, dan untuk jangka panjang konsumsi beras per kapita per tahun akan dapat diturunkan. Seperti diketahui perkembangan produksi beras setelah swasembada tahun 1984 menunjukkan bahwa produksi beras tidak selalu berada di atas kebutuhan sehingga perlu adanya tambahan impor. Menurut Amang dan Sawit (2001) Indonesia merupakan negara net importer beras terbesar akhir-akhir ini. Pada tahun 1998 misalnya Indonesia mengimpor 31 persen dari total beras yang diperdagangkan di pasar dunia.

Kebijaksanaan diversifikasi pangan dan perbaikan menu makanan rakyat dalam upaya memperbaiki mutu gizi masyarakat sudah ditetapkan sejak tahun 1974 dan disempurnakan dengan Inpres No.20/1979. Namun secara operasional diversifikasi pangan belum terlaksana secara efektif.

Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Dengan menambah jenis pangan dalam pola konsumsi diharapkan konsumsi beras akan menurun. Dengan dicanangkannya program diversifikasi pangan, maka dituntut peningkatan peranan komoditas pangan lain dalam mencapai swasembada pangan.

Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1988 menyebutkan pengertian tentang diversifikasi pangan adalah sebagai berikut:

(1) Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang dengan kemampuan peningkatan produksi beras.

(2) Diversifikasi pangan dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang.

MASALAH DAN TANTANGAN

Kendala pengembangan diversifikasi pangan (Teken dan Kuntjoro, 1978, Amang, 1995, dan Amang dan Sawit, 2001):

(6)

1. Pangan non beras (jagung, sorghum dan umbi-umbian) adalah pangan inferior, berkurang tingkat konsumsinya seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Banyak orang memandang bahwa beras sebagai bahan pangan mempunyai status yang lebih “tinggi” ketimbang jagung, sorghum dan umbi-umbian. Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa apabila beralih kepada bahan pangan jagung, sorghum dan umbi-umbian sebagai pengganti dari sebagian beras yang dimakan, akan merupakan suatu kemunduran. Perubahan menu yang oleh kebanyakan orang dianggap wajar adalah perubahan dari “beras banyak sedikit daging dan sayur” menjadi “sedikit beras dan banyak daging dan sayur”. Namun menu yang disebutkan terakhir relatif lebih mahal dan mungkin sekali masih berada di luar jangkauan rakyat banyak. Padahal perubahan menu yang bahan pangannya dapat disediakan dari produksi dalam negeri dan masih berada dalam jangkauan daya beli masyarakat banyak adalah menu dengan sedikit beras dan dikombinasikan dengan jagung atau umbi-umbian. Hal ini mungkin sejalan dengan selera masyarakat, di lain pihak hal ini juga amat penting untuk dijalankan.

2. Kebanyakan komoditas pangan non beras tidak siap untuk dikonsumsi secara langsung. Misalnya seperti jagung harus diolah terlebih dahulu untuk dijadikan tepung jagung, begitu pula ubikayu perlu pengolahan menjadi gaplek dan selanjutnya dijadikan “tiwul” atau dijadikan tepung lebih dahulu sebelum dikonsumsi. Hal tersebut berbeda dengan beras, yang dapat langsung dikonsumsi setelah masak.

3. Untuk mendorong kembali ke menu makanan tradisional harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yaitu pada umumnya penduduk di Indonesia Timur mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian yang relatif lebih rendah kandungan karbohidrat dan proteinnya, akan tetapi mereka mengkonsumsi bersama dengan ikan atau hewani yang tersedia di alam bebas. Akan tetap pada saat sekarang ikan dan hewani telah menjadi barang ekonomi yang harus dibeli.

4. Upaya diversifikasi pangan sampai kini belum memberikan hasil yang memuaskan. Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh beras. Hal ini disebabkan oleh besarnya perhatian pemerintah pada upaya untuk mempertahankan stabilitas produksi beras (meskipun kurang berhasil).

5. Upaya diversifikasi “konsumsi” pangan melalui kebijakan harga dan subsidi nampaknya mengalami kesulitan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya kemungkinan konsumen untuk melakukan substitusi pangan dari beras ke non beras (jagung atau ubikayu), karena elastisitas silang beras ke non beras (selain terigu) relatif kecil.

(7)

Subsidi memerlukan biaya besar dan penerima subsidi mungkin golongan berpendapatan menengah ke atas.

Kebijakan diversifikasi pangan selain memerlukan pengkajian aspek produksi dan konsumsi juga dapat pula bersifat regional dan nasional. Dalam hal ini sejauh mungkin pola konsumsi disesuaikan dengan pola produksi pangan setempat atau setidak-tidaknya tidak jauh berbeda. Daerah-daerah tertentu mempunyai ciri-ciri khusus yang tercermin dalam susunan menunya. Ini berarti bahwa penyusunan program perbaikan susunan makanan rakyat harus diselesaikan secara “regional” sesuai dengan ekologi pangan dan gizinya, sehingga tidak dapat dibenarkan untuk menyusun suatu “Standar Menu Nasional”, sebab keadaannya dari daerah ke daerah sebenarnya lain.

Diversifikasi pangan dapat berjalan dengan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri, khususnya yang berlokasi di pedesaan (Pasandaran dan Simatupang, 1990). Ini berarti pembangunan agroindustri tersebut berbasis usaha pertanian domestik sehingga memiliki keterkaitan kuat dengan upaya memajukan perekonomian pedesaan. Peran agroindustri di pedesaan sangat penting, selain menyerap hasil pertanian dan meningkatkan nilai tambah komoditas juga menciptakan kesempatan kerja baru di pedesaan sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan tentunya dapat meningkatkan mutu gizi masyarakat.

DIVERSIFIKASI: KONSEP DAN IMPLEMENTASI

Diversifikasi pangan tidak dapat dilepaskan dari diversifikasi pertanian tanaman pangan. Diversifikasi pangan melihat diversifikasi dari sisi konsumsi. Sedangkan diversifikasi pertanian tanaman pangan dilihat dari sisi produksi. Menurut Dimyati dan Adnyana (1990), diversifikasi merupakan proses memperluas spektrum dan memperdalam dimensi pembangunan pertanian antara lain untuk mengembangkan dan memelihara sumber-sumber pendapatan di pedesaan. Diversifikasi bukanlah konsep yang berdiri sendiri, tetapi konsep terpadu dengan berbagai perangkat kebijakan yang sekaligus memadukan berbagai perangkat kebijaksanaan tersebut.

Implementasi konsep diversifikasi dan berbagai perangkat kebijakan yang terkait dengannya menimbulkan dilema bagi para pembuat kebijakan tingkat nasional, terutama dalam berbagai keputusan moneter yang menyangkut beban anggaran belanja negara

(8)

sekaligus menyangkut kehidupan dan kesejahteraan rakyat banyak. Implementasi operasionalnya akan menyangkut deregulasi di bidang perdagangan, perbankan, pertanian dan industri, perubahan strategi dan prioritas penelitian, perubahan pendekatan, strategi dan organisasi penyuluhan dan pelayanan, investasi di bidang prasarana dan lain-lain yang secara institusional bukan tugas eksklusif Departemen Pertanian.

Nataatmadja dalam Kasryno (1990) menganggap diversifikasi sebagai perluasan cakrawala dan pendalaman dimensi pembangunan pertanian. Diversifikasi dapat menyangkut teknologi, sumber daya, wilayah, komoditas, energi, kelembagaan, agroindustri dan kesempatan kerja.

Tiga macam diversifikasi usaha yang harus diterapkan secara simultan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat adalah diversifikasi produksi, diversifikasi pengolahan hasil dan diversifikasi pemasaran (Suryana, 1987). Pendekatan ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengatasi semakin ketatnya kompetisi perdagangan di pasar dunia dan sekaligus melepaskan diri dari ketergantungan yang berlebihan pada satu komoditas.

Setelah Indonesia mencapai swasembada beras pada periode 1984-1989, pemerintah mulai melaksanakan promosi secara aktif terhadap peningkatan produksi palawija. Program diversifikasi tersebut juga mencakup pengembangan peternakan dan perikanan dengan menekankan pada penanganan pasca panen di tingkat petani.

Program diversifikasi tersebut telah mengubah peranan komoditas pangan non beras terhadap perekonomian nasional dalam dua sisi: yaitu produksi dan konsumsi. Perubahan penawaran dan permintaan tanaman pangan non-beras ini merupakan unsur yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan program diversifikasi yaitu: (1) implikasi terhadap diversifikasi produksi tanaman pangan (diversifikasi pertanian), dan (2) implikasi terhadap diversifikasi konsumsi tanaman pangan (diversifikasi pangan).

Dalam mekanisme pasar, faktor harga relatif antar komoditas banyak mempengaruhi motivasi petani untuk mengalokasikan lahannya pada beberapa komoditas. Dalam jangka pendek, harga relatif ini sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan petani. Sedangkan dalam jangka panjang, perubahan struktur biaya karena pengaruh perubahan teknologi merupakan faktor yang akan mempengaruhi alokasi lahan (Hayami dan Ruttan, 1985 dalam Amang dan Sawit, 2001).

(9)

Diversifikasi pangan dalam konteks kajian harga oleh pakar-pakar ekonomi pertanian, sering dimulai dari suatu skenario dalam bentuk policy target serta asumsi dan kendala yang dihadapi, karena segala sesuatunya akan terpulang kepada masalah dasar ekonomi yaitu pilihan yang ingin dicapai dari suatu alokasi sumber daya. Contoh perlunya policy target:

1. Bila tujuan dari diversifikasi produksi (tanaman pangan) ini untuk optimalisasi pendapatan, maka perlu dikaji antara lain dengan model program linier.

2. Bila tujuannya untuk mengurangi tekanan permintaan terhadap beras, maka perlu dikaji bagaimana dampaknya terhadap prioritas kebijakan mempertahankan stabilitas produksi beras. Insentif produksi (push factor = faktor pendorong) yang diberikan kepada komoditas palawija dapat menyebabkan alokasi lahan untuk tanaman padi menjadi berkurang. Ini akan mengancam prioritas utama kebijakan peningkatan produksi beras. Dari segi permintaan/konsumsi (pull factor = daya penarik), karena sejalan dengan peningkatan pendapatan, permintaan yang meningkat ini datangnya dari sektor industri dan kurang untuk konsumsi langsung.

3. Bila tujuannya untuk menghemat devisa negara atau mengurangi impor, maka harus dikaji banding (trade-off) dengan kemungkinan subsidi yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi palawija tersebut.

Dampak implikasi dari suatu strategi kebijakan alternatif khususnya dalam kaitannya dengan diversifikasi produksi pangan: (Amang dan Sawit, 2001)

- Diversifikasi produksi pangan mempunyai dampak yang besar terutama terhadap ketersediaan beras, terbukti defisit beras pada tahun 1992 mencapai 1,33 juta ton dan tahun 1997, mencapai sekitar 3 juta ton.

- Prinsip skenario pro diversifikasi tanaman pangan adalah diupayakan harga riil untuk komoditas palawija dinaikkan menjadi delapan persen per tahun atau dua persen lebih besar dari kenaikan harga beras. Namun hal ini berdampak terhadap pertumbuhan PDB yang cukup berarti. Dengan kata lain kebijaksanaan peningkatan harga palawija untuk merangsang diversifikasi produksi pangan mempunyai konsekuensi yang kurang baik terhadap PDB. Meskipun dampak terhadap pendapatan sektor tanaman pangan relatif sama.

Masalah diversifikasi konsumsi pangan dapat didekati dari sudut pandang mikro atau individu konsumen dan secara makro/agregat. Untuk kepentingan analisa kebijakan

(10)

pangan, sudut pandang makro lebih dititikberatkan. Kebijakan pangan secara makro yang terpenting adalah melalui instumen kebijakan harga dan subsidi.

Selama dua dasawarsa terakhir, kebijakan harga pangan pemerintah sangat terfokus pada komoditas beras dengan alasan: (1) Lebih dari 50 persen sumber kalori dari konsumsi rata-rata penduduk Indonesia berasal dari beras, (2) Teknologi tinggi dalam memproduksi padi sudah cukup tersedia, (3) Produksi dapat ditingkatkan tanpa banyak tergantung pada subsidi atau intervensi, (4) Beras adalah komoditas pangan yang normal (“superior”) yang ditunjukkan respon permintaan yang terus meningkat karena adanya kenaikan pendapatan, (5) Harga beras secara praktis sangat penting, yaitu sebagai salah satu indikator situasi perekonomian negara, khususnya dari segi peranannya sebagai komoditas tunggal dalam perhitungan inflasi.

Upaya diversifikasi pangan melalui kebijakan harga dan subsidi nampaknya lebih rumit lagi dibanding upaya diversifikasi pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh kecilnya kemungkinan konsumen untuk melakukan substitusi ke komoditas palawija (khususnya untuk konsumen dalam melakukan substitusi ke komoditas jagung atau ubikayu).

UPAYA DAN LANGKAH UNTUK MENGEMBANGKAN DIVERSIFIKASI PANGAN

Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan. Menurut Hafsah (2000) dalam Widowati dan Damardjati (2001) bahwa pangan perlu beragam karena beberapa alasan, yaitu : (1) mengkonsumsi pangan yang beragam adalah alternatif terbaik untuk pengembangan sumberdaya manusia berkualitas, (2) meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian dan kehutanan, (3) memproduksi pangan yang beragam mengurangi ketergantungan kepada impor pangan, dan (4) akan mewujudkan ketahanan pangan yang merupakan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat.

Untuk memantapkan produksi padi dan diversifikasi pangan perlu pembenahan kelembagaan pangan, yaitu terhadap kelompok tani dan KUD. Kelompok tani dapat berperan di sektor produksi, distribusi, pengolahan dan konsumsi. Sedangkan KUD sebagai unsur pendukung dan penyediaan kredit, sarana produksi serta dapat bertindak sebagai pengolah dan pemasaran hasil (Amang, 1995). Menurut Manwan (1994) untuk penerapan diversifikasi perlu diadakan perangkat kebijakan yang memadai, teknologi

(11)

informasi yang diperlukan dan berfungsinya lembaga pendukung seperti penyuluhan, pemasaran dan sistem pendekatan instansi terkait.

Menurut Hutabarat dan Pasandaran (1987), Pasandaran dan Simatupang (1990) dan Amang dan Sawit (2001), untuk mengembangkan diversifikasi pangan perlu dilakukan upaya melalui :

1. Pengembangan dan pembangunan agroindustri bahan pangan non beras, agar konsumen dapat mengkonsumsi secara langsung. Agroindustri komoditas pangan non beras tersebut sebaiknya dibangun di daerah-daerah pedesaan dengan harapan akan dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat desa yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hidup dan mutu gizi masyarakat. Makin meningkatnya daya beli masyarakat akan berpengaruh terhadap: (a) makin beragamnya jenis pangan yang dikonsumsi, (b) makin banyak pangan yang mengandung nilai gizi tinggi dikonsumsi, dan (c) cenderung makin berkurangnya proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk pangan. Dengan kata lain diversifikasi pangan dapat berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri, khususnya yang berlokasi di pedesaan.

2. Kampanye intensif tentang diversifikasi pangan disertai dengan penyediaan dan kemudahan untuk mendapatkan bahan pangan non beras yang siap dikonsumsi tersebut di pasaran, harganya terjangkau dan dapat bersaing dengan harga beras serta adanya kesinambungan dalam penyediaannya.

3. Untuk berhasilnya diversifikasi pangan peningkatan produksi pangan non-beras perlu lebih ditingkatkan lagi tapi dengan tidak mengganggu kemantapan produksi beras. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara peningkatan produksi pangan non beras tersebut dilaksanakan pada areal lain. Terdapat kecenderungan bahwa menambah areal panen palawija yang mengikuti pola pemusatan yang ada dapat mengurangi areal tanam padi.

PENUTUP

Prinsip umum yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk mendorong diversifikasi pangan adalah:

1. Diversifikasi pangan bukanlah target (tujuan) yang hendak dicapai, juga bukan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan stabilitas produksi beras.

(12)

2. Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah pola konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya.

3. Diversifikasi pangan merupakan suatu proses penyesuaian untuk mengurangi risiko dan meningkatkan pendapatan petani dari usahatani atau antisipasi terhadap permintaan jangka panjang.

4. Diversifikasi pangan akan berjalan lebih lancar bila dipadukan dengan pengembangan agroindustri yang dibangun di pedesaan. Bentuk agroindustri yang paling efektif adalah integrasi vertikal dengan usahatani tanaman pangan.

Dengan berkembangnya agroindustri di pedesaan akan dapat mendorong berkembangnya perekonomian desa sehingga pada gilirannya kepentingan yang terkait dengan aspek konsumsi (diversifikasi pangan) yang sangat erat dengan kepentingan nasional (pemerintah) dan aspek produksi (diversifikasi tanaman pangan) yang sangat erat dengan kepentingan petani dalam berusahatani (peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani) dapat berjalan secara simultan. Ini berati bahwa kepentingan yang berskala makro (nasional) dapat berjalan seiring dengan kepentingan yang berskala mikro (petani).

Untuk lebih mempercepat pengembangan diversifikasi tersebut perlu didukung penyediaan teknologi dan informasi yang sesuai, adanya perangkat kebijakan operasional yang memadai serta berfungsinya lembaga pendukung seperti penelitian, penyuluhan, pemasaran dan juga yang sangat penting adalah terjalinnya koordinasi di antara instansi terkait karena secara institusional bukan tugas Departemen Pertanian semata. Ini berarti bahwa dalam implementasi operasionalnya, pengembangan diversifikasi pangan akan menyangkut deregulasi selain di bidang pertanian juga di bidang industri/perdagangan, perbankan, investasi di bidang sarana/prasarana dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, MO dan Ibrahim Manwan. 1990. Penelitian Pengembangan Teknologi Pangan: Pokok Pemikiran dan Cara Pelaksanaan. dalam Hasil dan Program Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Rapat Kerja Puslitbang Tanaman Pangan. Maros, 30 Mei – 3 Juni 1990. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hal. 95-106.

Amang, B dan M. Husein Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Penerbit IPB Press. Bogor. Cetakan Kedua.

(13)

Amang, B. 1995. Kebijakan Pangan Nasional. Penerbit PT. Dharma Karsa Utama Jakarta, Cetakan I.

Cicih, L.H.M. 1997. Pangan dan Penduduk. Warta Demografi Th.ke 27 No.3/1997. Dalam Penduduk, Pangan dan Ancaman Hantu Malthus. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi–Universitas Indonesia. Hal.24-27.

Dimyati, A. dan Made Oka Adnyana. 1990. Diversifikasi Pertanian: Kendala dan Impelementasi.

dalam Hasil dan Program Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Rapat Kerja Puslitbang

Tanaman Pangan. Maros, 30 Mei – 3 Juni 1990. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hal. 29-42.

Fagi, A.M., Irsal Las, M. Syam. 2002. Penelitian Padi Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian.

Hutabarat, B dan E. Pasandaran. 1987. Diversifikasi Pangan: Analisis Masalah dan Strategi Pengembangan. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pertanian. Vol.VI No.1 Januari 1987. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hal.14-17.

Kasryno, F. 1990. Diversification on Future Policy Instrument in Agricultural Development for Indonesia. Makalah dalam Regional Workshop on Agricultural Diversification. Bogor, 20-22 Maret 1990.

Manwan, I. 1994. Strategi dan Langkah Operasional Penelitian Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.

Pasandaran, E dan Pantjar Simatupang. 1990. Mendorong Pembangunan Agroindustri Sebagai Alternatif Peningkatan Pendapatan Petani Kecil. dalam Hasil dan Program Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Rapat Kerja Puslitbang Tanaman Pangan. Maros, 30 Mei – 3 Juni 1990. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hal.43-60.

Puslitbangtan. 2001. Inovasi Teknologi Padi. Badan Litbang Pertanian.

Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indoneia 1969-1998. Agro Ekonomika (1) Hal.29-37.

Surono, Sulastri. 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah Untuk Melindungi Petani. dalam: Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Mardianto, dan M. Ikhsan (Eds.). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI). Hal.41-58.

Suryana, A. 1987. Pengembangan Komoditas Ekspor Hasil Pertanian Dengan Pendekatan Diversifikasi Usaha. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pertanian. Vol.VI No.1 Januari 1987. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Hal.18-21.

Teken, I.B. dan Kuntjoro. 1978. Kebijaksanaan Pengadaan Pangan Dewasa Ini dan Di Masa Datang. Mimbar Sosial Ekonomi No. 1 Th. I Februari 1978. Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi, Institut Prtanian Bogor, Bogor Indonesia.

Widowati, S. dan Djoko S. Damardjati. 2001. Menggali Sumberdaya Pangan Lokal dan Peran Teknologi Pangan Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Majalah Pangan No. 36/X/Januari 2001. Puslitbang Bulog. Jakarta. Hal. 3-11.

Referensi

Dokumen terkait

Grafik Efiniensi Penggunaan Ransum Kelinci R e x pada Tingkat Pakan dan Umur Potong yang Berbeda... Hal i n i

mikrokontrol Atmega8535 dan sensor air yang digunakan untuk mendeteksi ketinggian air lalu akan membaca nilai resistansi pada saat sensor terkena air, sensor akan mengirim data

“Husukon maho sahali nai ise do ho?” Dungi dialusi si piso sumalim na palsu ma “ai sitakal tabu do ahu tulang”, dungi disukun tulangna muse tu ibana “jadi boasa margabus

Perwakilan BPKP Provinsi Banten adalah salah satu entitas akuntansi di bawah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi

Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan yang harus dipenuhi oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka penyediaan dana untuk

Praktikum konservasi pada sistem beban tidak seimbang yang telah dilakukan, dengan tujuan praktikum yaitu untuk mengevaluasi sistem kelistrikan dilihat dari keseimbangan beban yang

Hal ini ditunjukkan dari kronologi kasus Satyam, dimana pada mulanya Raju melakukan konspirasi untuk menggelembungkan laba, terlihat adanya kelemahan kontrol internal

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman