ICASERD WORKING PAPER No. 1
DAMPAK KRISIS EKONOMI
TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER
PROTEIN HEWANI DAN NABATI DI JAWA
Ening AriningsihAgustus 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianICASERD WORKING PAPER No. 1
DAMPAK KRISIS EKONOMI
TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER
PROTEIN HEWANI DAN NABATI DI JAWA
Ening AriningsihAgustus 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari dan Agus Suwito. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.003/1/1/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDAMPAK KRISIS EKONOMI TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN HEWANI DAN NABATI DI JAWA
Ening Ariningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRACT
Protein is one of the most important nutrients in human resource development. The problem is the consumption of animal protein is very low, especially for the low income group. The problem was aggravated by economic crisis which decreased purchasing power of the people. The objective of this study is to analyze the impact of economic crisis on the consumption of animal and plant protein source in Java. Data used in this analysis was National Socio-Economic Survey 1996 and 1999 collected by Statistics Indonesia. Method used was descriptive analysis. The results of the study show that the economic crisis has decreased the consumption of both animal and plant protein source, in which the drecrease of animal protein source was bigger than that of plant protein source. As a result, consumption imbalance of the two source of protein inclined. Meanwhile, the consumption of soybean increased, which showed increasing appreciation of soybean products. Policy implication recommended in short term was temporary food aid programme for food and nutrient deficient households, and in long term was job opportunity expansion programme to increase households’ income.
Key words : animal and plant protein source, economic crisis, Java
ABSTRAK
Protein merupakan salah satu zat gizi yang paling penting peranannya dalam pengembangan sumberdaya manusia. Masalahnya adalah pemenuhan konsumsi protein terlalu bertumpu pada pada protein nabati, sementara konsumsi protein hewani sangat rendah, khususnya pada masyarakat berpendapatan rendah. Kondisi tersebut diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak krisis ekonomi terhadap tingkat konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati penduduk di Jawa. Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1996 dan 1999 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik. Dalam kajian ini digunakan analisis deskriptif menggunakan tabulasi silang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krisis ekonomi secara umum telah menyebabkan penurunan konsumsi pangan sumber hewani maupun nabati, namun penurunan pangan sumber protein hewani lebih besar daripada pangan sumber protein nabati. Akibatnya, ketidakseimbangan konsumsi protein hewani dan nabati semakin meningkat. Di sisi lain, konsumsi kedelai mengalami peningkatan, yang menunjukkan peningkatan apresiasi terhadap produk-produk kedelai. Implikasi kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek adalah program bantuan pangan sementara untuk menanggulangi rumahtangga rawan pangan dan gizi, sedangkan dalam jangka panjang adalah program perluasan kesempatan kerja untuk meningkatkan pendapatan.
PENDAHULUAN
Protein merupakan salah satu zat gizi yang paling penting peranannya dalam pembangunan sumberdaya manusia. Bersama-sama dengan energi, kecukupan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999).
Protein dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun bahan pangan hewani, namun dibandingkan dengan protein nabati, protein hewani mempunyai beberapa keunggulan, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino yang lebih lengkap, (2) mengandung vitamin yang mudah diserap, (3) mengandung zat besi (haem) yang mudah diserap, dan (4) nilai cerna protein dan zat besi lebih baik daripada bahan pangan nabati. Protein hewani dalam pangan merupakan bagian yang sangat penting karena sifatnya yang tidak mudah diganti (indispersible). Di samping itu, protein hewani bahkan merupakan pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan berperan pula dalam proses perkembangan kecerdasan manusia. Oleh sebab itu, protein hewani dipandang dari sudut peranannya layak dianggap sebagai agent of development bagi pembangunan bangsa, baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang (Soehadji, 1994). Sedemikian pentingnya protein hewani sehingga Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (LIPI, 1994) memberikan rekomendasi bahwa untuk mencapai mutu gizi konsumsi pangan yang baik, dari kecukupan konsumsi protein rata-rata per kapita per hari sebesar 46,2 gram hendaknya 15 gram diantaranya dipenuhi dari pangan hewani, dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6 gram dari protein ternak.
Ditinjau dari acuan tersebut, maka Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1996 menunjukkan bahwa walaupun secara total konsumsi protein di Indonesia sudah melampaui jumlah yang direkomendasikan, yaitu 54,49 gr/kap/hari atau 117,94 persen dari rekomendasi, namun konsumsi protein hewani masih rendah. Dari konsumsi protein hewani sebanyak 15 gram per kapita sehari yang direkomendasikan, konsumsi protein rata-rata penduduk di Indonesia hanya sebesar 11,75 gr/kap/hari atau sekitar 78,33 persen dari rekomendasi tersebut yang dipenuhi. Secara keseluruhan, konsumsi protein hewani hanya mencapai sekitar 21,56 persen dari konsumsi protein total, sedangkan sumbangan terbesar berasal dari beras yang mencapai sekitar 49,61 persen. Rendahnya konsumsi protein hewani tersebut terkait erat dengan harga pangan hewani yang relatif mahal dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh karena itu, faktor daya beli sangat menentukan tingkat konsumsi pangan hewani, dimana semakin tinggi pendapatan maka konsumsi pangan hewani cenderung semakin tinggi (lihat misalnya Martianto, 1995; Hermanto et al., 1996; dan Erwidodo et al.,1998).
Sementara itu, krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan harga pangan dan bukan pangan meningkat. Di samping itu, krisis ekonomi juga berdampak pada meningkatnya pengangguran dan jumlah penduduk miskin (Ariani et al., 2000). Akibatnya, pendapatan riil rumahtangga menurun, yang mengakibatkan terjadinya penurunan daya beli rumahtangga. Bahkan terjadi penghilangan daya jangkau rumahtangga terhadap pangan sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Penurunan daya beli mengakibatkan terjadinya penurunan konsumsi pangan (termasuk pangan sumber protein), sekalipun rumahtangga akan memprioritaskan pemenuhan pangan dibandingkan bukan pangan kecuali untuk kebutuhan yang sangat mendasar. Dalam hal penurunan konsumsi pangan ini, bukan hanya kuantitasnya yang menurun, tetapi juga kualitas maupun keseimbangan konsumsi pangan rumahtangga, yang kesemuanya berdampak pada penurunan status gizi keluarga. Dampak nyata penurunan status gizi rumahtangga adalah meningkatnya proporsi rumahtangga yang defisit kalori maupun protein. Hasil penelitian Ariani et al. (2000) menunjukkan bahwa selama krisis ekonomi terjadi peningkatan proporsi rumahtangga defisit energi sebesar 62 – 76,7 persen, dan bahkan untuk protein mencapai lebih dari 100 persen.
Situasi ini sudah barang tentu memperburuk permasalahan pangan dan gizi yang ada, khususnya yang terkait dengan pangan sumber protein hewani, karena hasil kajian terdahulu menunjukkan bahwa pada umumnya permintaan pangan sumber protein hewani responsif terhadap perubahan pendapatan dan harga (lihat misalnya Rachman dan Erwidodo, 1994 dan Hermanto et al., 1996), terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah dan sedang.
Dalam kajian ini Jawa menjadi fokus perhatian karena hasil kajian Warr (1999) menunjukkan bahwa baik daerah perkotaan maupun pedesaan Jawa sangat terpengaruh oleh krisis ekonomi, padahal data Susenas 1996 (BPS, 1999a) juga menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein, khususnya protein hewani, di Jawa (9,77 g/kap/hari) lebih rendah daripada di luar Jawa (14,30 g/kap/hari). Hal tersebut menjadi sangat penting karena berdasarkan hasil SUPAS 1995 (BPS, 1996) diketahui bahwa sekitar 59 persen penduduk Indonesia berada di Jawa.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati, yaitu dengan mengkaji pola pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi protein dan pangan sumber protein hewani dan nabati sebelum dan pada masa krisis ekonomi di Jawa.
Dari kajian tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai perubahan pola konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati yang terjadi sebagai akibat adanya krisis
ekonomi. Di samping itu, juga dapat diperoleh informasi mengenai hubungan keterkaitan antara pangan sumber protein hewani dan nabati. Dari informasi tersebut diharapkan dapat dirumuskan alternatif kebijakan dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan pangan dan gizi, khususnya pangan sumber protein hewani dan nabati, di Jawa.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Susenas tahun 1996 dan 1999 untuk provinsi-provinsi di Jawa (mencakup 29,952 rumahtangga contoh), yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data tahun 1996 digunakan untuk menangkap kondisi sebelum krisis ekonomi, dan data tahun 1999 digunakan untuk menangkap kondisi pada masa krisis ekonomi. Data yang digunakan adalah data pengeluaran dan konsumsi pangan rumahtangga. Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang, yang digunakan untuk melihat pola pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi protein dan pangan sumber protein hewani dan nabati.
Analisis dibedakan menurut tipe daerah dan kelompok pendapatan. Tipe daerah terbagi menjadi dua, yaitu perkotaan dan pedesaan. Untuk menentukan apakah suatu desa tertentu termasuk daerah perkotaan atau pedesaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai-nilai tiga buah variabel, yaitu kepadatan penduduk, persentase rumahtangga tani, dan jumlah fasilitas perkotaan (BPS, 1999a).
Pendapatan suatu rumahtangga diproksi dari pengeluaran rumahtangga tersebut. Tingkat pendapatan/pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi tiga kelompok seperti kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu: (1) kelompok pendapatan rendah (40% terendah), (2) kelompok pendapatan sedang (40% menengah), dan (3) kelompok pendapatan tinggi (20% tertinggi).
Dari 231 jenis komoditas yang dikelompokkan ke dalam makanan, sebanyak 83 diantaranya dikategorikan sebagai pangan sumber protein hewani dan nabati, yang dikelompokkan menjadi delapan kelompok, yaitu ikan segar, ikan awetan, daging ternak, daging unggas, telur, susu, kacang-kacangan, dan beras. Dilihat dari kandungan proteinnya, kandungan protein beras sebenarnya jauh lebih rendah daripada kandungan protein kacang-kacangan yang dikenal sebagai sumber protein (bandingkan kandungan protein beras giling [6,8%] dengan kacang kedelai kering [34,9%] atau kacang tanah kupas [25,3%] [Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, 1981]). Beras lebih tepat disebut sebagai sumber kalori, akan tetapi karena dikonsumsi dalam jumlah yang besar maka kelompok tersebut menjadi sumber protein utama bagi pemenuhan kebutuhan protein penduduk Indonesia. Oleh karena itu, beras juga turut dianalisis dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pengeluaran Pangan
Tabel 1 menunjukkan bahwa pengeluaran total rata-rata penduduk di daerah perkotaan jauh lebih tinggi, bahkan hampir dua kali lipat, daripada daerah pedesaan. Selama periode 1996-1999 nampak bahwa pengeluaran riil penduduk di daerah pedesaan meningkat, sementara di perkotaan menurun. Jika dipilah antar kelompok pendapatan, terlihat bahwa terdapat kecenderungan peningkatan pengeluaran, baik nominal maupun riil, yang semakin menurun pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi, bahkan untuk kelompok pendapatan tinggi terjadi penurunan pengeluaran riil. Penurunan tersebut khususnya terjadi pada kelompok pendapatan tinggi di perkotaan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dampak negatif krisis ekonomi lebih nyata pada rumahtangga di daerah perkotaan dan pada kelompok pendapatan tinggi. Temuan ini sejalan dengan hasil kajian Warr (1999), Sawit (1999), dan juga Ariani et al. (2000).
Krisis ekonomi berdampak pada melonjaknya harga barang-barang impor, baik berupa barang jadi maupun bahan baku/input produksi. Tingginya harga bahan baku menyebabkan terpuruknya sebagian besar industri di berbagai sektor ekonomi, akibatnya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Menurut Tambunan dan Isdijoso (1999) sektor konstruksi dan sektor manufaktur merupakan sektor-sektor yang paling banyak melahirkan pengangguran baru. Kedua sektor tersebut terpusat di daerah perkotaan; sebagai akibatnya adalah dengan adanya krisis ekonomi ini maka pengeluaran/pendapatan rumahtangga di daerah perkotaan menurun dengan drastis. Karena pada kondisi normal sektor-sektor ini memberikan pendapatan yang relatif tinggi bagi rumahtangga yang berada dalam sektor tersebut, maka adanya krisis ekonomi menyebabkan penurunan pendapatan yang lebih tinggi pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi.
Tabel 1. Rata-Rata Pengeluaran Total dan Pangsa Pengeluaran Pangan Penduduk di Jawa Menurut Tipe Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996 dan 1999
Pengeluaran total
(Rp/kap/bulan) Pangsa pengeluaran pangan (%) Tipe daerah/ kelompok pendapatan 1996 19991 2 (%) 1996 1999 2 Total Jawa 79.309 81.579 2,86 49,05 50,57 1,52 Kota 108.736 107.084 -1,52 43,91 46,28 2,37 Tipe daerah Desa 56.000 61.101 9,11 56,94 56,61 -0,33 Rendah 40.736 46.093 13,15 65,24 65,08 -0,16 Sedang 71.485 77.432 8,32 55,55 53,29 -2,26 Kelompok Pendapatan Tinggi 171.876 160.633 - 6,54 35,99 39,66 3,67
Sumber : Susenas 1996 dan 1999, BPS (diolah) Keterangan: 1Atas dasar harga konstan 1996
2Tanda menyatakan perubahan selama periode 1996-1999
Walaupun demikian, apabila memakai acuan perubahan pengeluaran riil sebagai tolok ukur perubahan tingkat kesejahteraan rumahtangga, kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan apakah rumahtangga lebih sejahtera atau tidak pada masa krisis ekonomi. Dalam kondisi krisis pengeluaran total rumahtangga sangat mungkin lebih besar dari pendapatan yang diterima rumahtangga tersebut, khususnya bagi rumahtangga berpendapatan rendah, karena menurut Warr (1999) kenaikan upah yang terjadi selama krisis masih lebih rendah daripada kenaikan harga, sehingga upah riil justru menurun. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhannya rumahtangga akan berusaha untuk mengatasi kekurangan pendapatannya. Warr (1999) mengemukakan bahwa terdapat tiga cara rumahtangga untuk mengatasi/bertahan pada kondisi krisis, yaitu: (1) rumahtangga berpendapatan rendah menambah tingkat partisipasi kerja, terutama wanita dan anak-anak, sebagai upaya untuk mempertahankan pendapatan, (2) rumahtangga menjual aset-aset yang dimilikinya, dan (3) rumahtangga menggunakan tabungannya. Poin (2) dan (3) dapat menyebabkan pengeluaran total meningkat, sehingga terkesan bahwa pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) rumahtangga meningkat. Dengan demikian, terkesan bahwa rumahtangga tersebut lebih sejahtera, padahal yang terjadi justru rumahtangga tersebut menjadi lebih miskin daripada sebelum terjadinya krisis ekonomi.
Secara garis besar pengeluaran rumahtangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu pangan dan bukan pangan. Dalam hal ini informasi tentang pangsa pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga (Harianto, 1994 dan BPS,
1999b), dimana semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.
Pola pangsa pengeluaran pangan pada tahun 1996 dan 1999 adalah sama, yaitu semakin menurun dengan semakin tingginya pendapatan dan lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di perkotaan. Namun, krisis ekonomi mempunyai dampak yang berbeda. Di daerah perkotaan pangsa pengeluaran pangan cenderung meningkat, sementara di daerah pedesaan terdapat kecenderungan menurun. Sementara pangsa pengeluaran pangan untuk kelompok pengeluaran rendah dan sedang cenderung menurun, terlihat bahwa untuk kelompok pendapatan tinggi justru meningkat. Temuan tersebut memperkuat temuan sebelumnya, yaitu krisis ekonomi berdampak negatif lebih nyata pada rumahtangga di daerah perkotaan dan pada kelompok pendapatan lebih tinggi. Walaupun demikian, karena rumahtangga berpendapatan rendah mempunyai pangsa pengeluaran pangan yang paling tinggi, maka implikasinya adalah setiap kenaikan harga pangan akan memukul kelompok berpendapatan rendah jauh lebih parah dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi, karena sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk pangan.
Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan nabati lebih dominan daripada pangan hewani. Hal tersebut terjadi baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan, kecuali pada kelompok pendapatan tinggi sebelum krisis ekonomi. Jika dipilah antar kelompok pendapatan terlihat bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein nabati menurun seiring dengan semakin tingginya pendapatan, dan sebaliknya untuk pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani. Respon rumahtangga terhadap krisis ekonomi juga berbeda untuk pengeluaran pangan sumber protein nabati dan hewani. Sementara pangsa pengeluaran pangan sumber protein hewani menurun selama periode krisis, pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein nabati justru mengalami kenaikan. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan alokasi pengeluaran rumahtangga untuk kedua kelompok pangan tersebut, dimana terjadi substitusi pangan sumber protein hewani oleh pangan sumber protein nabati. Pengecualian terjadi pada pangsa pengeluaran ikan awetan yang cenderung meningkat, kecuali pada kelompok pendapatan tinggi.
Tabel 2. Pola Pengeluaran Pangan Penduduk di Jawa Menurut Tipe Daerah Tahun 1996 dan 1999
(%) Tipe daerah Total Jawa Kota Desa Kelompok pangan 1996 1999 1 1996 1999 1 1996 1999 1 Hewani 18,15 14,54 -3,61 21,40 16,91 -4,49 14,31 11,80 -2,51 -Ikan segar 4,39 3,94 -0,45 5,18 4,70 -0,48 3,44 3,07 -0,37 -Ikan awetan 1,64 1,85 0,21 1,27 1,37 0,10 2,09 2,42 0,33 -Dgg. ternak 2,79 1,61 -1,18 4,06 2,17 -1,89 1,29 0,96 -0,33 -Dgg. unggas 3,68 2,28 -1,40 4,22 2,76 -1,46 3,05 1,72 -1,33 -Telur 3,22 2,96 -0,26 3,26 3,13 -0,13 3,18 2,75 -0,43 -Susu 2,43 1,90 -0,53 3,41 2,78 -0,63 1,26 0,88 -0,38 Nabati 25,41 28,80 3,39 20,75 24,43 3,68 30,93 34,98 4,05 -Kacang2an 4,44 4,90 0,46 4,03 4,48 0,45 4,92 5,39 0,47 -Beras 20,97 23,90 2,93 16,72 19,95 3,23 26,01 29,59 3,58 Lainnya 56,44 63,66 7,22 57,85 58,66 1,81 54,76 53,22 -1,54 Total 100.00 100.00 *** 100.00 100.00 *** 100.00 100.00 ***
Sumber : Susenas 1996 dan 1999, BPS (diolah)
Tabel 3. Pola Pengeluaran Pangan Penduduk di Jawa Menurut Kelompok Pendapatan, Tahun 1996 dan 1999
(%) Kelompok pendapatan
Rendah Sedang Tinggi
Kelompok pangan 1996 1999 1 1996 1999 1 1996 1999 1 Hewani 12,84 10,25 -2,59 17,28 14,06 -3,22 23,83 19,15 -4,68 -Ikan segar 2,86 2,42 -0,44 4,29 3,84 -0,45 5,81 5,49 -0,32 -Ikan awetan 2,28 2,30 0,02 1,50 1,99 0,49 1,28 1,26 -0,02 -Dgg. ternak 0,96 0,72 -0,24 2,29 1,48 -0,81 5,01 2,61 -2,40 -Dgg. unggas 2,60 1,38 -1,22 3,67 2,20 -1,47 4,63 3,21 -1,42 -Telur 3,18 2,67 -0,51 3,27 2,97 -0,30 3,19 3,20 0,01 -Susu 0,96 0,76 -0,20 2,26 1,58 -0,68 3,91 3,38 -0,53 Nabati 35,31 37,16 1,85 25,74 30,35 4,61 16,49 18,95 2,46 -Kacang2an 5,29 5,67 0,38 4,67 5,27 0,60 3,40 3,71 0,31 -Beras 30,02 31,49 1,47 21,07 25,08 4,01 13,09 15,24 2,15 Lainnya 51,85 52,59 0,74 56,98 55,59 -1,39 59,68 61,90 2,22 Total 100.00 100.00 *** 100.00 100.00 *** 100.00 100.00 ***
Sumber : Susenas 1996 dan 1999, BPS (diolah)
Konsumsi Protein Hewani dan Nabati
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (LIPI, 1994) memberikan anjuran bahwa untuk mencapai mutu gizi konsumsi pangan yang baik, dari kecukupan konsumsi protein rata-rata per kapita per hari sebesar 46,2 gram hendaknya 15 gram diantaranya dipenuhi dari pangan hewani, dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6
gram dari protein ternak (daging: 3,87 gram, telur: 1,54 gram, dan susu: 0,59 gram). Perhitungan angka kecukupan gizi tersebut didasarkan pada patokan berat badan untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin, sesuai dengan rujukan yang dianjurkan oleh badan internasional terutama FAO dan WHO. Patokan berat badan tersebut didasarkan pada berat badan orang-orang yang mewakili sebagian besar penduduk (Indonesia), yang mempunyai derajat kesehatan optimal. Angka-angka tersebut diperoleh melalui berbagai survei gizi, kesehatan, dan survei lainnya. Selanjutnya, pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (LIPI, 1998) anjuran kecukupan konsumsi protein (total) ditetapkan sebesar 50 gram/kapita/hari, sedangkan untuk protein hewani tetap.
Tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa krisis ekonomi berdampak pada penurunan konsumsi protein rata-rata penduduk Jawa secara keseluruhan hingga di bawah standar kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan. Pada masa krisis ekonomi hanya penduduk berpendapatan tinggi yang konsumsi proteinnya masih memenuhi standar kebutuhan gizi yang dianjurkan.
Kedua tabel tersebut juga menunjukkan bahwa peranan protein nabati, khususnya beras, dalam konsumsi protein penduduk Jawa sangat dominan. Pada masa krisis ekonomi peranan protein nabati semakin meningkat, yang ditunjukkan dengan kenaikan pangsanya. Menurunnya pangsa protein hewani, bersamaan dengan naiknya pangsa protein nabati, menunjukkan terjadinya pergeseran peranan protein hewani dan nabati dimana peranan protein hewani semakin melemah, sedangkan peranan protein nabati semakin menguat. Kondisi ini terjadi secara konsisten pada semua kelompok pendapatan, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Temuan-temuan ini searah dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ariani et al. (2000) dan Latief et al. (2000), pada skala nasional.
Ditinjau dari standar kecukupan protein hewani yang dianjurkan sebesar 15 gr/kap/hari, nampak bahwa konsumsi protein hewani penduduk Jawa pada umumnya masih memprihatinkan, terlebih pada masa krisis ekonomi. Secara umum rata-rata konsumsi protein hewani di Jawa hanya mencapai sekitar 44,80 persen dari standar rekomendasi, bahkan pada kelompok pendapatan rendah hanya sekitar 28,93 persen sementara di pedesaan sekitar 36,53 persen
Nampak bahwa protein ikan dominan dan menjadi sumber protein yang utama bagi penduduk berpendapatan rendah dan sedang, dan juga bagi penduduk di daerah pedesaan secara umum. Walaupun demikian, secara umum standar kecukupan konsumsi protein ikan lebih rendah daripada protein ternak. Selama periode 1996-1999 nampak bahwa konsumsi protein ternak maupun ikan menurun.
Tabel 4. Rata-Rata Konsumsi Protein Penduduk di Jawa Menurut Tipe Daerah, Tahun 1996 dan 1999
Kuantitas
1996 1999 % Total protein % Standar
1 Tipe daerah Kelompok pangan (gr/kap/hari) 2 (%) 1996 1999 2 1996 1999 Total Hewani 9,71 6,72 -30,79 18,32 14,05 -4,27 64,73 44,80 Jawa Ikan 4,69 3,82 -18,55 8,85 7,99 -0,86 52,11 42,44 -Ikan segar 2,70 2,09 -22,59 5,09 4,37 -0,72 -Ikan awetan 1,99 1,73 -13,07 3,75 3,62 -0,14 Ternak 5,02 2,90 -42,23 9,47 6,06 -3,41 83,67 48,33 -Dgg. ternak 0,75 0,45 -40,00 1,41 0,94 -0,47 -Dgg. unggas 2,07 0,97 -53,14 3,90 2,03 -1,88 -Telur 1,64 1,04 -36,59 3,09 2,17 -0,92 -Susu 0,56 0,44 -21,43 1,06 0,92 -0,14 Nabati 30,45 28,84 -5,29 57,44 60,30 2,86 -Kacang2an 6,44 6,38 -0,93 12,15 13,34 1,19 -Beras 24,01 22,46 -6,46 45,29 46,96 1,67 Lainnya3 12,85 12,27 -4,51 24,24 5,65 1,41 Total 53,01 47,83 -9,77 100,00 100,00 *** 114.74 95.66 Kota Hewani 12,25 8,27 -32,49 22,63 16,96 -5,67 81,67 55,13 Ikan 5,01 4,01 -19,96 9,26 8,22 -1,03 55,67 44,56 -Ikan segar 3,57 2,71 -24,09 6,60 5,56 -1,04 -Ikan awetan 1,44 1,30 -9,72 2,66 2,67 0,01 Ternak 7,24 4,26 -41,16 13,38 8,74 -4,64 120,67 71,00 -Dgg. ternak 1,31 0,72 -45,04 2,42 1,48 -0,94 -Dgg. unggas 2,89 1,41 -51,21 5,34 2,89 -2,45 -Telur 2,06 1,36 -33,98 3,81 2,79 -1,02 -Susu 0,98 0,77 -21,43 1,81 1,58 -0,23 Nabati 29,07 2725 -6,26 53,70 55,88 2,18 -Kacang2an 6,70 6,92 3,28 12,38 14,19 1,81 -Beras 22,37 20,33 -9,12 41,32 41,69 0,37 Lainnya3 12,81 13,24 3,36 23,67 27,16 3,49 Total 54,13 48,76 -9,92 100,00 100,00 *** 117,16 97,52 Desa Hewani 7,68 5,48 -28,65 14,74 11,63 -3,11 51,20 36,53 Ikan 4,43 3,66 -17,38 8,50 7,77 -0,73 49,22 40,67 -Ikan segar 2,01 1,59 -20,90 3,86 3,38 -0,48 -Ikan awetan 2,42 2,07 -14,46 4,64 4,39 -0,25 Ternak 3,25 1,82 -44,00 6,24 3,86 -2,37 54,17 30,33 -Dgg. ternak 0,30 0,24 -20,00 0,58 0,51 -0,07 -Dgg. unggas 1,42 0,62 -56,34 2,73 1,32 -1,41 -Telur 1,30 0,79 -39,23 2,50 1,68 -0,82 -Susu 0,23 0,17 -26,09 0,44 0,36 -0,08 Nabati 31,55 30,12 -4,53 60,56 63,95 3,39 -Kacang2an 6,23 5,95 -4,49 11,96 12,63 0,67 -Beras 25,32 24,17 -4,54 48,60 51,32 2,72 Lainnya3 12,87 11,50 -10,64 24,70 24,42 -0,28 Total 52,10 47,10 -9,60 100,00 100,00 *** 112,77 94,20
Sumber : Susenas 1996 dan 1999, BPS (diolah)
Keterangan : 1Standar kecukupan protein total, hewani, ikan, dan ternak berturut- turut adalah sebesar 46,2 (tahun 1996, sedangkan tahun 1999: 50), 15, 9, dan 6 gr/kap/hari 2Tanda menyatakan perubahan selama periode 1996-1999
3Pangan lainnya mencakup komoditas yang tidak termasuk ke dalam pangan sumber protein hewani dan nabati
Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk di Jawa Menurut Kelompok Pendapatan, Tahun 1996 dan 1999
Kuantitas
1996 1999 % Total protein % Standar
1 Kelompok penda-patan Kelompok pangan (gr/kap/hari) 2 (%) 1996 1999 2 1996 1999 Rendah Hewani 6,28 4,34 -30,89 13,12 10,05 -3,07 41,87 28,93 Ikan 3,81 2,95 -22,57 7,96 6,83 -1,13 42,33 32,78 -Ikan segar 1,48 1,16 -21,62 3,09 2,69 -0,41 -Ikan awetan 2,33 1,79 -23,18 4,87 4,15 -0,72 Ternak 2,47 1,39 -43,72 5,16 3,22 -1,94 41,17 23,17 -Dgg. ternak 0,19 0,17 -10,53 0,40 0,39 0,00 -Dgg. unggas 1,04 0,43 -58,65 2,17 1,00 -1,18 -Telur 1,09 0,66 -39,45 2,28 1,53 -0,75 -Susu 0,15 0,13 -13,33 0,31 0,30 -0,01 Nabati 29,94 28,21 -5,78 62,55 65,35 2,80 -Kacang2an 5,53 5,40 -2,35 11,55 12,51 0,95 -Beras 24,41 22,81 -6,55 51,00 52,84 1,84 Lainnya3 11,64 10,62 -8,76 24,33 24,60 0,27 Total 47,86 43,17 -9,80 100,00 100,00 *** 103,59 86,34 Sedang Hewani 9,62 6,75 -29,83 17,77 13,78 -3,98 64,13 45,00 Ikan 4,60 3,95 -14,13 8,50 8,07 -0,43 51,11 43,89 -Ikan segar 2,80 2,13 -23,93 5,17 4,35 -0,82 -Ikan awetan 1,80 1,82 1,11 3,32 3,72 0,39 Ternak 5,02 2,80 -44,22 9,27 5,72 -3,55 83,67 46,67 -Dgg. ternak 0,65 0,43 -33,85 1,20 0,88 -0,32 -Dgg. unggas 2,13 0,94 -55,87 3,93 1,92 -2,01 -Telur 1,73 1,06 -38,73 3,20 2,16 -1,03 -Susu 0,51 0,37 -27,45 0,94 0,76 -0,19 Nabati 31,59 30,35 -3,92 58,35 61,97 3,62 -Kacang2an 7,03 6,98 -0,71 12,99 14,25 1,27 -Beras 24,56 23,37 -4,84 45,36 47,72 2,36 Lainnya3 12,93 11,87 -8,19 23,88 24,25 0,37 Total 54,14 48,97 -9,55 100,00 100,00 *** 117,19 99,94 Tinggi Hewani 16,66 11,42 -31,45 27,34 20,81 -6,53 111,07 76,13 Ikan 6,61 5,29 -19,97 10,85 9,64 -1,21 73,44 58,78 -Ikan segar 4,93 3,88 -21,30 8,09 7,07 -1,02 -Ikan awetan 1,68 1,41 -16,07 2,76 2,57 -0,19 Ternak 10,05 6,13 -39,00 16,49 11,17 -5,32 167,50 102,17 -Dgg. ternak 2,04 1,08 -47,06 3,35 1,97 -1,38 -Dgg. unggas 3,99 2,09 -47,62 6,55 3,81 -2,74 -Telur 2,53 1,77 -30,04 4,15 3,23 -0,93 -Susu 1,49 1,19 -20,13 2,45 2,17 -0,28 Nabati 29,21 27,06 -7,36 47,93 49,32 1,39 -Kacang2an 7,06 7,13 0,99 11,58 13,00 1,41 -Beras 22,15 19,93 -10,20 36,35 36,32 -0,03 Lainnya3 15,07 16,39 8,76 24,73 29,87 5,14 Total 60,94 54,87 -9,96 100,00 100,00 *** 131,90 109,74
Sumber: Susenas 1996 dan 1999, BPS (diolah)
Keterangan : 1Standar kecukupan protein total, hewani, ikan, dan ternak
berturut-turut adalah sebesar 46,2 (tahun 1996, sedangkan tahun 1998:50), 15, 9, dan 6 gr/kap/hari.
2Tanda menyatakan perubahan selama periode 1996-1999
3Pangan lainnya mencakup komoditas yang tidak termasuk ke dalam pangan sumber protein hewani dan nabati
Konsumsi protein nabati sangat didominasi oleh protein yang berasal dari beras. Kondisi tersebut terutama terlihat di daerah pedesaan dimana sekitar 80 persen konsumsi protein nabati berasal dari beras. Pada masa krisis ekonomi, apabila dilihat secara kuantitatif, nampak bahwa konsumsi protein nabati cenderung menurun. Walaupun demikian, seperti telah dibahas sebelumnya, apabila dilihat dari pangsanya, nampak bahwa peranan protein nabati justru semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada periode tersebut konsumsi protein hewani menurun dengan besaran yang lebih tinggi daripada konsumsi protein nabati. Khusus untuk protein kacang-kacangan, kuantitas konsumsinya justru cenderung meningkat pada masa krisis, terutama bagi penduduk di perkotaan dan kelompok pendapatan tinggi.
Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati
Pembahasan mengenai konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati sejalan dengan pembahasan mengenai konsumsi protein hewani dan nabati, baik dalam pola konsumsi antar daerah, antar kelompok pendapatan, maupun perubahan selama periode 1996 –1999.
Tabel 6 menunjukkan tingkat konsumsi pangan sumber protein hewani rata-rata penduduk Jawa. Dibandingkan dengan rata-rata konsumsi ikan nasional, dimana pada tahun 1996 mencapai sebesar 21,70 dan 17,02 kg/kap/th, masing-masing untuk daerah perkotaan dan pedesaan, dan pada tahun 1999 sebesar 17,02 dan 15,84 kg/kap/th (Ariani et al., 2000), nampak bahwa rata-rata konsumsi ikan di Jawa yang hanya sebesar 11,75 dan 9,20 kg/kap/th pada tahun 1996 dan tahun 1999 sebesar 9,20 dan 7,64 kg/kap/th sangat rendah. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Hardjana (1994) bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang terpusat di sekitar Pulau Jawa – Jawa, Bali dan Lampung – menganut tradisi tani yang hampir tak kenal ikan.
Diantara berbagai produk ternak nampak bahwa konsumsi telur relatif dominan. Nampak pula bahwa daging unggas lebih banyak dikonsumsi daripada daging ternak lainnya. Hal tersebut dapat dipahami mengingat harga telur dan daging unggas yang relatif lebih murah daripada harga produk-produk peternakan lainnya. Sebagian besar daging unggas yang dikonsumsi merupakan daging ayam ras, sedangkan konsumsi daging ternak didominasi oleh daging sapi.
Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Penduduk di Jawa Menurut Tipe Daerah dan Kelompok Pendapatan, Tahun 1996 dan 1999
Tipe daerah Kelompok pendapatan
Total Jawa
Kota Desa Rendah Sedang Tinggi
1996 1999 1996 1999 1996 1999 1996 1999 1996 1999 1996 1999 Kelompok Pangan (kg/kap/th) 1 (%) (kg/kap/th) 1 (%) (kg/kap/th) 1 (%) (kg/kap/th) 1 (%) (kg/kap/th) 1 (%) (kg/kap/th) 1 (%) Pangan hewani Ikan 10,34 8,33 -19,44 11,75 9,20 -21,70 9,24 7,64 -17,32 7,67 6,07 -20,86 10,39 8,59 -17,32 15,59 12,34 -20,85 -Ikan segar 7.23 5,60 -22,54 9,45 7,14 -24,44 5,48 4,37 -20,26 4,04 3,22 -20,30 7,56 5,72 -24,34 12,96 10,14 -21,76 -Ikan awetan 2,02 1,78 -11,88 1,50 1,34 -10,67 2,44 2,12 -13,11 2,36 1,86 -21,19 1,84 1,67 -9,24 1,71 1,43 -16,37 Dgg. Ternak 1,50 0,92 -38,67 2,61 1,46 -44,06 0,62 0,49 -20,97 0,39 0,33 -15,38 1,33 0,88 -33,83 4,04 2,18 -46,04 -Sapi/kerbau 0,83 0,50 -39,76 1,47 0,80 -45,58 0,32 0,26 -18,75 0,21 0,02 -91,90 0,73 0,49 -32,88 2,26 1,17 -48,23 -Kambing 0,08 0,06 -25,00 0,10 0,05 -50,00 0,07 0,07 0,00 0,06 0,05 -16,67 0,09 0,07 -22,22 0,12 0,09 -25,00 Dgg. Unggas 4,17 2,00 -52,04 5,81 2,84 -51,12 2,87 1,25 -56,45 2,10 0,87 -58,57 4,29 1,91 -55,48 8,03 4,21 -47,57 -Ayam ras 3,08 1,41 -54,22 4,79 2,29 -52,19 1,72 0,70 -59,30 1,34 0,53 -60,45 3,20 1,33 -58,44 6,30 3,31 -47,46 -Ayam buras 1,05 0,53 -49,52 0,99 0,53 -46,46 1,09 0,53 -51,38 0,72 0,34 -52,78 1,04 0,55 -47,12 1,71 0,80 -53,22 Telur 5,58 3,58 -35,84 6,96 4,57 -34,34 4,50 2,78 -38,22 3,79 2,35 -37,99 5,88 3,62 -38,44 8,57 5,94 -30,69 Susu 1,20 0,88 -26,67 2,09 1,53 -26,79 0,49 0,36 -26,53 0,31 0,27 -12,90 1,13 0,78 -30,97 3,11 2,30 -26,05 Pangan nabati Kacang2an 8,78 8,72 -0,68 9,30 9,50 2,15 8,37 8,09 -3,35 7,44 7,38 -0,81 9,58 9,51 -0,73 9,87 9,79 -0,81 - Kc. kedelai 6,89 7,79 13,06 7,23 8,50 17,57 6,63 7,22 8,90 6,17 6,72 8,91 7,57 8,58 13,34 6,99 8,34 19,31 - Kc. tanah 0,93 0,44 -52,69 0,87 0,37 -57,47 0,98 0,50 -48,98 0,73 0,37 -49,32 1,01 0,48 -52,48 1,17 0,57 -51,28 Beras 103,61 96,81 -6,56 96,72 87,62 -9,41 109,06 104,18 -4,47 105,20 98,31 -6,55 105,84 100,74 -4,82 95,98 85,95 -10,45
Sumber : Susenas 1996 dan 1999, BPS (diolah)
Dalam Soehadji (1994) disebutkan bahwa sasaran konsumsi daging, telur, dan susu berturut-turut adalah sebesar 8,02, 2,95, dan 5,11 kg/kap/th pada tahun 1996, sedangkan pada tahun 1998 adalah sebesar 9,04, 3,21, dan 5,88 kg/kap/th. Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber protein hewani, khususnya pada masa krisis, masih jauh dari sasaran konsumsi yang ditetapkan, dan dalam hal ini penduduk pada kelompok pendapatan rendah harus mendapat perhatian khusus. Di dalam upaya peningkatan pangan sumber protein hewani, ikan selayaknya dijadikan tumpuan karena selain harganya relatif murah juga ikan telah diidentifikasi sebagai bahan pangan yang memiliki keunggulan tertentu (Suhardjo, 1994). Dengan keunggulannya itu, ikan tidak saja berfungsi sebagai pangan sumber protein hewani dan zat gizi lainnya, akan tetapi khususnya pada penduduk berpendapatan tinggi juga dapat berfungsi sebagai penetralisir akibat-akibat buruk yang ditimbulkan karena mengkonsumsi produk-produk hasil peternakan yang umumnya mempunyai kadar kolesterol yang tinggi, karena kandungan omega-3 yang dimilikinya.
Sama halnya dengan beras yang konsumsinya menurun selama periode 1996-1999, dalam periode yang sama konsumsi kacang-kacangan juga secara umum cenderung mengalami penurunan, walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit, kecuali pada rumahtangga di perkotaan. Apabila dipilah per komoditas, terlihat bahwa konsumsi kacang kedelai justru mengalami kenaikan, yang menunjukkan peningkatan preferensi dan apresiasi terhadap produk-produk kedelai. Dalam hal ini, produk-produk kedelai seperti tahu dan tempe yang harganya relatif murah menjadi pangan sumber protein alternatif bagi pangan sumber protein hewani (daging, telur, dan ikan) yang pada masa krisis harganya melonjak tajam.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dibandingkan dengan sebelum terjadinya krisis ekonomi, pada masa krisis ekonomi: (1) pangsa pengeluaran pangan hewani menurun, sementara pangsa pengeluaran nabati meningkat, (2) konsumsi protein hewani menurun, demikian pula konsumsi protein nabati, kecuali protein kacang-kacangan, dan (3) konsumsi pangan sumber protein hewani menurun, demikian pula konsumsi pangan sumber protein nabati, kecuali kacang kedelai.
Walaupun dampak krisis ekonomi paling nyata dirasakan oleh rumahtangga berpendapatan tinggi dan di daerah perkotaan, dilihat dari segi konsumsi pangan dan gizi (protein)-nya yang sangat rendah, terlebih dengan terjadinya krisis ekonomi, maka rumahtangga berpendapatan rendah dan yang berada di daerah pedesaan secara umum patut mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Dalam jangka pendek kebijakan yang dapat ditempuh adalah program bantuan pangan sementara untuk menanggulangi rumahtangga rawan pangan dan gizi, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan yang dapat ditempuh
adalah program perluasan kesempatan kerja untuk meningkatkan pendapatan (terutama untuk rumahtangga kelompok pendapatan rendah). Kebijakan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk training keterampilan-keterampilan khusus supaya bisa beralih ke pekerjaan lain (khususnya untuk korban pemutusan hubungan kerja/PHK) maupun pengembangan industri kecil/rumahtangga.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M., H.P. Salim, S.H. Suhartini, Wahida, dan M.H. Sawit. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1996. Statistik Indonesia 1996. Badan Pusat Statistik, Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1999a. Survei Sosial Ekonomi Nasional 1999. Konsumsi Kalori
dan Protein Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 3. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 1999b. Survei Sosial Ekonomi Nasional 1999. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Buku 1. Jakarta.
Direktorat Gizi departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Erwidodo, B. Santoso, M. Ariani, E. Ariningsih, dan V. Siagian. 1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia: Analisis Data Susenas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Hardjana, A.A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan. Dalam M.A. Rifai, A. Nontji, Erwidodo, F. Jalal, D. Fardiaz, dan T.S. Fallah (Eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Harianto. 1994. An Empirical Analysis of Food Demand in Indonesia: A Cross-Sectional Study. Thesis for Doctor of Philosophy. La Trobe University. Bundoora, Victoria. Hermanto, T. Sudaryanto, dan A. Purwoto. 1996. Pola Konsumsi dan Pendugaan Elastisitas
Produk Peternakan. Dalam S. Hastiono, B. Haryanto, A.P. Sinurat, I.K. Sutama, Tj.D. Soedjana, Subandriyo, P. Ronoharjo, S.Partoutomo, Sj. Bahri, S. Hardjoutomo, dan Supar (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, 7-8 Nopember 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Latief, D. Atmarita, Minarto, A. Basuni, dan R. Tilden. 2000. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Dalam A.K. Seta, M. Atmowidjojo, S.M. Atmojo, A.B. Jahari, P.B. Irawan, dan T. Sudaryanto (Eds.). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta, 29 Februari – 2 Maret 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1994. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1998. Prosiding Widyakarya Pangan dan Gizi VI. Serpong, 17-20 Februari 1998. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Martianto, D. 1995. Konsumsi dan Permintaan Pangan Hewani di Berbagai Propinsi di
Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Moeloek. 1999. Gizi Sebagai Basis Pengembangan Sumberdaya Manusia Menuju Indonesia Sehat 2000. Dalam Pengembangan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Persatuan Peminat Pangan dan Gizi dan Center for Regional Resources Development and Community Empowerment, Jakarta.
Sawit, M.H. 1999. Kebijakan Pangan Nasional: Keadaan Sekarang dan Arah ke Depan. Agro-Ekonomika. 29 (2): 27-50.
Soehadji. 1994. Tanggapan dan Pembahasan Makalah Prof. Dr. Michael Crawford, Prof. Dr. Boedhi-Darmojo, dan Prof Dr. Soekirman. Dalam M.A. Rifai, A. Nontji, Erwidodo, F. Jalal, D. Fardiaz, dan T.S. Fallah (Eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Suharjo. 1994. Pola Konsumsi Ikan di Indonesia. Dalam M.A. Rifai, A. Nontji, Erwidodo, F. Jalal, D. Fardiaz, dan T.S. Fallah (Eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Tambunan, M. and B. Isdijoso. 1999. Economic Crisis Induced Unemployment: Can Agricultural and Rural Economy Play as the Save Heaven? In P. Simatupang et al. (Eds.). Seminar Proceeding on Indonesia’s Economic Crisis Effects on Agriculture and Policy Responses. Center for Agro-Socio Economic Research, Bogor.
Warr, P. 1999. Indonesia’s Crisis and the Agricultural Sector. In P. Simatupang, S. Pasaribu, S. Bahri, R. Stringer (Eds.). Seminar Proceeding on Indonesia’s Economic Crisis Effects on Agriculture and Policy Responses. Center for Agro-Socio Economic Research, Bogor.