• Tidak ada hasil yang ditemukan

ICASERD WORKING PAPER No. 44

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ICASERD WORKING PAPER No. 44"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ICASERD WORKING PAPER No. 44

KINERJA USAHATANI KAKAO RAKYAT

SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS EKONOMI

(Studi kasus di Provinsi Sulawesi Selatan)

Ade Supriatna

Maret 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(2)

ICASERD WORKING PAPER No. 44

KINERJA USAHATANI KAKAO RAKYAT

SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS EKONOMI

(Studi kasus di Provinsi Sulawesi Selatan)

Ade Supriatna

Maret 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. M. Rahmat Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(3)

KINERJA USAHATANI KAKAO RAKYAT SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS EKONOMI

(Studi kasus di Provinsi Sulawesi Selatan) Ade Supriatna

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No.70 Bogor 16161

ABSTRAK

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 diduga akan menimbulkan pengaruh baik yang bersifat positif maupun negatif terhadap pengembangan kakao Indonesia. Krisis dapat menyebabkan perubahan-perubahan mendasar seperti peningkatan suku bunga bank, kenaikan harga beberapa jenis masukan usahatani terutama pupuk, pestisida, upah tenaga kerja, dan kenaikan nilai kurs dollar/mata uang asing terhadap rupiah. Indonesia sebagai salah satu produsen kakao dunia dan memberikan konstribusi besar terhadap penyediaan lapangan kerja dan perekonomian nasional dirasakan perlu memperoleh informasi mengenai dampak krisis terhadap kinerja dan prospek pengembangan produksi kakao. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk; (i) memperoleh gambaran mengenai keragaan usahatani kakao rakyat serta permasalahan pengembangan di tingkat petani, (ii) mengkaji dampak krisis ekonomi terhadap tingkat intensifikasi, (iii) mengkaji dampak krisis terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani. Penelitian dilaksanakan tahun 1998 di Provinsi DT.I Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi kakao Indonesia. Data primer dikumpulkan dari 50 petani kakao dan 16 pedagang melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas/Instansi terkait, Badan Pusat Statistik (BPS), dan laporan lembaga Penelitian. Data dianalisis melalui pendekatan before and after Analisis yaitu membandingkan kinerja usahatani sebelum dan sesudah krisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa krisis ekonomi ternyata memberikan pengaruh positif terhadap kinerja usahatani kakao. Petani semakin intensif dalam pemeliharaan tanaman, tiga jenis input baru sudah diaplikasikan oleh beberapa petani yaitu pupuk NPK (30%), pupuk kandang (9%), dan pemakaian herbisida (28%). Terjadi peningkatan dosis pupuk yaitu pupuk Urea (50%), TSP/SP-36 (99%), dan pupuk KCL (142%). Perbaikan tingkat intensifikasi menyebabkan produktivitas kakao meningkat sebanyak 7 persen (dari 1.270 kg menjadi 1.350 kg)/ha/tahun. Kenaikan harga jual kakao yang sangat drastis (183%) menyebabkan total pendapatan petani meningkat sebanyak 258 persen (dari Rp.3,6 juta menjadi Rp.13,0 juta)/ha/tahun.

Kata kunci : kakao, krisis ekonomi, intensifikasi, produktivitas, pendapatan

PENDAHULUAN

Kakao merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam menunjang perekonomian Indonesia, sebagai sumber pendapatan dan penyediaan lapangan kerja. Dirjenbun (2000) menyebutkan bahwa, ekspor kakao biji Indonesia mencapai 334.807 ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 502,9 juta. Dalam delapan tahun terakhir (1990-1998), jumlah dan nilai ekspor kakao biji mengalami peningkatan yang tinggi yaitu masing-masing sebanyak 180 persen (dari 119.725 ton menjadi 334.807 ton) untuk produksi dan 296 persen (dari US$ 127,1 juta menjadi US$ 502,9 juta) untuk nilai ekspor.

(4)

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi kakao Indonesia, dengan konstribusi sebanyak 33,4 persen dari total produksi nasional sebanyak 456.499 ribu ton. Empat kabupaten sebagai sentra produksi kakao rakyat terbesar di Sulsel adalah berturut-turut Kabupaten Luwu (29%), Pinrang (17%), Polmas (15%) dan Kabupaten Mamuju (13%) (Disbun Provinsi Sulsel, 1998). Kakao rakyat di Sulsel dibudidayakan secara intensif pada awal Tahun 1983/1984 melalui Pola Unit Pelayanan Pembangunan (UPP), Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan pola swadaya/parsial. Menurut data dari Dirjenbun (2000), luas areal kakao di Sulsel sudah mencapai sekitar 289.005 ribu hektar yang didominasi oleh perkebunan rakyat (95,3%), sisanya merupakan Perkebunan Besar Swasta (4,4%) dan Perkebunan Besar Negara (0,3%).

Sejak pertengahan tahun 1997 telah terjadi perubahan yang mendasar yaitu terjadinya krisis ekonomi yang diduga menimbulkan dampak yang serius terhadap usaha pengembangan produksi kakao. Hal ini disebabkan adanya perubahan-perubahan yang mendasar seperti; (i) peningkatan suku bunga bank (SKB) yang dapat menurunkan aksesibilitas petani terhadap modal usaha, (ii) meningkatnya harga masukan usahatani terutama harga pupuk, obat-obatan dan upah tenaga kerja yang menyebabkan tingginya biaya produksi, (iii) meningkatnya nilai kurs dollar/mata uang asing terhadap nilai rupiah yang memberikan peluang besar untuk pemasaran kakao Indonesia di pasar internasional. Butir ke satu dan ke dua merupakan dampak negatif, sebaliknya butir ke tiga diperkirakan merupakan dampak positif yang dapat mendorong pengembangan produksi kakao Indonesia mengingat harga kakao internasional didasarkan kepada mata uang asing (dollar Amerika Serikat).

Indonesia sebagai salah satu negara produsen kakao dunia telah banyak memberikan kontribusi terhadap penyediaan lapangan kerja dan perekonomian nasional. Sejalan dengan perubahan tersebut, perlu diperoleh informasi mengenai dampak krisis terhadap kinerja dan prospek pengembangan usahatani kakao. Secara rinci penelitan ini bertujuan untuk; (i) memperoleh gambaran usahatani kakao rakyat dan permasalahan pengembangan di tingkat petani, (ii) mengkaji dampak krisis ekonomi terhadap tingkat intensifikasi, (iii) mengkaji dampak krisis terhadap produktivitas dan pendapatan usahatani.

(5)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 1998 di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi kakao Indonesia, selanjutnya dua Kabupaten sentra produksi kakao Sulsel terpilih sebagai lokasi penelitian yaitu Kabupaten Polmas dan Pinrang. Data primer dikumpulkan menggunakan daftar pertanyaan yang dipersiapkan (survei berstruktur) dari 50 petani contoh dan 16 pedagang. Sedangkan data sekunder berasal dari Dinas/instansi terkait seperti Dinas Perkebunan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan dari laporan hasil penelitian.

Gambaran usahatani kakao diuraikan mulai dari penggunaan varietas, cara tanam, teknik pemeliharaan, panen/pasca panen, serta cara pemasaran kakao di tingkat petani. Sedangkan dampak krisis ekonomi terhadap kinerja usahatani kakao digunakan metode analisis sebelum dan sesudah krisis (before and after analysis), dengan membandingkan kinerja usahatani sebelum krisis (Th.1996) dengan sesudah krisis (th.1998). Tingkat intensifikasi dilihat dari perubahan penggunaan input atau masukan usahatani meliputi penggunaan pupuk, pestisida, dan curahan tenaga kerja. Nilai pendapatan kotor diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah produksi fisik dengan harga yang berlaku dari masing-masing kurun waktu (sebelum dan sesudah krisis). Pendapatan bersih merupakan hasil pengurangan pendapatan oleh biaya yang dikeluarkan. B/C Rasio digunakan untuk melihat kelayakan usahatani kakao.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Kakao Rakyat

Di Sulawesi Selatan, pengembangan kakao rakyat mulai dilaksanakan secara intensif pada awal tahun 1983/1984 sehingga saat penelitian rata-rata kisaran umur tanaman antara 13-15 tahun dan sudah termasuk usia produktif. Joko Roesmanto (1991) menyatakan, bahwa tanaman kakao akan mulai berproduksi pada umur 4,5 tahun dan dapat bertahan selama 25 tahun apabila persyaratan tumbuhnya dapat dipenuhi dengan baik.

Varietas kakao dan cara tanam

Kakao di Indonesia dikenal dua jenis, yaitu kakao mulia atau edel kakao

(fine/flavour cocoa) berasal dari varietas criollo dengan buah berwarna merah dan kakao

(6)

Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer (pelengkap) dalam mengolah kakao mulia. Tabel 1 menunjukan bahwa jenis varietas kakao yang diusahakan petani Sulsel adalah kakao lindak/trinitario. Bibit berasal dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember yaitu Sca 6, Sca 12, ICS 7, ICS 60 dan GL 7. Meskipun termasuk kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer, kakao lindak mendominasi seluruh perkebunan kakao di Indonesia bahkan produksi kakao dunia masih didominasi kakao lindak mencakup hampir 90 persen dari produksi kakao dunia.

Tabel 1. Keragaan pertanaman kakao rakyat sebelum (th.1996) dan sesudah krisis (th.1998)

Uraian Sebelum krisis Sesudah krisis

1. Jumlah responden (n) 50 petani

2. Varietas kakao Lindak Lindak

3. Sistem pertanaman (%):

-Monokultur 8 8

-Polikultur 92 92

4. Umur tanaman (tahun) 13 15

5. Jumlah tanaman (pohon/ha) 921 921

6. Jumlah tanaman produktif (%) 92 94

7. Penguasaan kebun (ha/petani) 0,2 - 1,1 0,2 - 1,1

Sumber: Data primer (diolah)

Tanaman kakao diusahakan di lahan kebun dan atau pekarangan dengan kisaran penguasaan luas lahan antara 0,2-1,1 hektar per petani. Sembilan puluh dua persen petani menanam kakao secara polikultur/campuran yaitu disisipkan diantara tanaman tahunan yang sudah ada seperti durian, kelapa, mangga, dan pisang. Sistem pertanaman campuran menimbulkan beberapa permasalahan yaitu jarak tanam menjadi tidak teratur dan lebih rapat, jumlah populasi tanaman per satuan luas akan berbeda antara satu petani dengan lainnya tergantung pada sisa lahan kosong. Tabel 1 menunjukan bahwa rata-rata populasi tanaman mencapai 921 pohon per hektar dengan jumlah tanaman produktif mencapai 92 persen. Dalam sistem tanam monokultur dengan jarak tanam anjuran 3m x 3m populasi tanaman mencapai sekitar 1.089 pohon per hektar (Disbun Sulsel, 1997).

Pendangiran/penyiangan

Kegiatan ini dilakukan antara 1-2 kali per tahun dengan tujuan untuk menekan gulma dan perbaikan teras atau guludan (land conservation). Tabel 2 menunjukan bahwa sebelum krisis tidak ditemukan petani menggunakan herbisida tetapi sesudah krisis 28

(7)

persen petani mulai mengaplikasikan herbisida dengan dosis 3,4 lt/ha dengan tujuan untuk menekan biaya penyiangan atau mengurangi jumlah pemakaian tenaga kerja. Perubahan ini mengindikasikan bahwa setelah krisis keadaan permodalan petani mulai membaik.

Pemangkasan

Jenis pemangkasan yang masih diterapkan petani adalah pangkasan produksi karena keadaan tanaman sudah besar/berproduksi. Tujuan pemangkasan adalah untuk mengatur keseimbangan percabangan pada masing-masing cabang primer sehingga distribusi daun tetap merata, airasi baik, dan pembentukan buah merata. Kendala-kendala teknis yang dihadapi petani adalah penyebaran cabang primer tanaman kakao tidak dapat menyebar rata ke segala arah karena adanya pengaruh tajuk pohon tanaman tahunan lain (polikultur) yang umumnya lebih tinggi. Sementara petani merasa sayang apabila tanaman tahunan tersebut dipangkas karena tanaman tersebut merupakan sumber pendapatan tambahan.

Pemupukan

Ketepatan dosis, waktu dan cara pemupukan sesuai anjuran selain akan mempengaruhi tingkat produktivitas kakao juga dapat mempengaruhi kualitas biji terutama ukuran biji dan kandungan lemaknya. Tetapi dalam prakteknya di lapangan, petani menentukan sendiri apakah tanaman kakao perlu dipupuk atau tidak, jenis pupuknya apa dan berapa takarannya. Tabel 2 menginformasikan bahwa jenis-jenis pupuk yang digunakan petani adalah Urea, TSP, KCL, dan ZA. Setelah krisis, mulai ditemukan petani yang mengaplikasikan pupuk NPK (13%) dan pupuk organic (9%) dengan dosis masing-masing 110 kg dan 820 kg per hektar. Cara pemupukan ada dua yaitu pupuk dibenamkan ke dalam tanah di sekitar perakaran dan pupuk disebarkan di atas permukaan tanah dimana cara pertama dan kedua masing-masing dipraktekkan oleh 70 persen dan 30 persen petani.

Pengendalian hama penyakit

Jenis hama utama pertanaman kakao di Sulsel berturut-turut tupai (Colloscirus spp.),

tikus (Ratus-ratus spp.), kepik pengisap buah (Helopeltis antonilii Sign), sedangkan jenis penyakitnya adalah busuk buah (Phythophtora palmaform Bult). Hasil penelitian yang dilakukan di empat kabupaten sentra produksi kakao Sulsel menyatakan bahwa di Sulsel

(8)

tidak ditemukan hama penggerek buah (Conophorpha cramerella) dengan dalam tingkat populasi yang membahayakan (Disbun Sulsel, 1994).

Dalam mengendalikan hama penyakit, petani umumnya sudah menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Helopeltis dikendalikan secara biologis menggunakan semut hitam (Dolichoderm bituberculatus Myr), tupai dikendalikan secara mekanik (senapan angin), sedangkan jamur busuk buah dikendalikan melalui sanitasi serta penjarangan ranting tanaman dan pohon pelindung. Pengendalian dengan metoda PHT yang selama ini diterapkan petani cukup efektif karena dapat menekan populasi organisme pengganggu dan sekaligus dapat menekan biaya pengadaan pestisida. Apabila pengendalian hama secara PHT belum memberikan hasil yang baik, baru petani akan menggunakan pestisida. Tabel 2 menginformasikan bahwa sekitar 49-59 persen petani mengaplikasikan pestisida cair (Liquid insecticide) dengan takaran 1,0-1,2 liter per hektar. Sedangkan pestisida tepung (Dust insecticide) diaplikasikan oleh sekitar 15-28 persen dengan takaran 0,7 - 1,1 kilogram per hektar.

Permasalahan petani dalam pengendalian hama tupai dan tikus adalah selalu tersedianya sumber makanan sepanjang tahun baik berasal dari tanaman buah-buahan maupun tanaman pangan lain yang ada disekitar lokasi disamping itu pada saat diburu tupai dan tikus bisa berpindah-pindah tempat antar tanaman tahunan. Jarak tanam yang rapat ditambah adanya naungan dari tanaman tahunan disekitarnya lebih mendorong perkembangan penyakit busuk buah. Pada saat eksploitasi hama tinggi, petani terpaksa melakukan panenan lebih awal/belum waktunya. Padahal biji yang berasal dari buah kurang masak menunjukan kualitas rendah, banyak ditemukan biji kepis kurang berisi, kadar gula pada daging biji (pulp) berkurang, dan proses fermentasi menjadi kurang sempurna. Selain itu, banyak ditemukan biji belah dan berkecambah akibat serangan tupai atau tikus dimana sudah jatuh tercecer di tanah masih diambil petani.

Panen dan Pasca panen. Terdapat dua musim panen dalam satu tahun yaitu panen raya

dan panen biasa dimana hasil panen raya jauh lebih banyak dibandingkan panen biasa yaitu diatas 60 persen dari total hasil panen setahun. Pada daerah yang mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan penghujan, panen raya jatuh pada bulan April sampai dengan Mei atau setelah berlangsung masa pembungaan musim hujan selama 5-6 bulan.

Panen buah kakao harus dilaksanakan tepat waktu yaitu apabila buah tersebut sudah masak dengan indikasi buah yang semula berwarna hijau bila masak akan

(9)

berwarna kuning sedangkan yang semula berwarna merah akan berubah menjadi oranye (merah kekuning-kuningan). Buah kakao yang kurang masak menghasilkan biji yang kurang berisi/kempis sebaliknya buah kakao yang terlalu masak (overrife) memberikan biji yang banyak berkecambah, mempunyai pulp yang mudah menguning, dan aroma biji berkurang.

Buah kakao yang telah dipetik dikumpulkan dan dibelah untuk diambil bijinya sedangkan kulitnya dimasukkan ke dalam lubang di areal pertanaman sebagai pupuk organik. Selanjutnya biji dicuci untuk dilakukan proses fermentasi (fermentation). Kakao biji yang mengalami proses fermentasi akan mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan biji non fermentasi karena; (i) warna kulit biji akan berubah dari putih ungu menjadi coklat, (ii) warna lendir berubah dari putih menjadi coklat, (iii) keping biji menjadi mati, (iv) aroma coklat berubah dari alkohol menjadi asam cuka, (v) rasa menjadi tidak pahit, dan (vi) akan lebih mudah dalam proses pengeringan (Disbun Sulsel, 1998).

Pada dasarnya ditemukan dua metode fermentasi, yaitu fermentasi menggunakan kotak (box fermentation) dan tempa menggunakan kotak (beap

fermentation) yang mana biji kakao diletakkan di tempat datar atau di atas daun pisang

kemudian ditutup dengan daun pisang. Di lapangan kedua metode tersebut sudah dipraktekkan tetapi ditemukan juga beberapa cara lain sebagai modifikasinya seperti menggunakan karung atau kantong plastik sebagai pengganti kotak fermentasi atau pengganti daun pisang untuk menutupi biji kakao. Setelah fermentasi, biji dikeringkan menggunakan sinar matahari dengan alat jemur jaring plastik/deri atau lembaran plastik sedangkan petani kaya sudah mempunyai tempat penjemuran semen di halaman rumahnya. Lama pengeringan antara 3-4 hari di musim kemarau sedangkan di musim hujan antara 5-8 hari, selanjutnya setelah dikeringkan biji kakao sudah siap untuk dijual.

Di lapangan ditemukan beberapa kekurangan dalam penanganan pasca panen kakao yaitu; (i) dalam proses pembijian masih menggunakan peralatan tajam sehingga banyak ditemukan biji belah, (ii) lama proses fermentasi hanya 1-3 hari padahal dianjurkan 6 hari bahkan ditemukan beberapa petani tidak melakukan proses fermentasi biji kakao langsung dikeringkan, (iii) proses penjemuran biji berakhir dengan kadar air > 10 persen padahal anjuran harus mencapai 7-8 persen (kadar air simpan). Kekurangan-kekurangan dalam penanganan pasca panen tersebut menyebabkan masih rendahnya mutu kakao Indonesia. Seperti dikemukakan oleh Joko Roesmanto (1991) bahwa biji kakao yang difermentasi tidak sempurna selain dapat menyebabkan tidak mempunyai

(10)

aroma juga mempunyai rasa pahit (bitter), dan sepet (astringent). Pengeringan yang berjalan lambat (umumnya terjadi pada musim hujan) akan menyebabkan biji kakao bulukan (mouldy) dan aromanya dapat berubah. Disamping itu, penyimpanan biji kakao dengan kadar air > 8 persen dapat menyebabkan bulukan dan mengundang penyebaran hama gudang.

Beberapa permasalahan petani untuk menerapkan fermentasi secara baik adalah (i) pembeli di tingkat petani tidak membedakan antara harga kakao terfermentasi dengan yang tidak, dalam hal ini yang dijadikan ukuran pembeli adalah kadar air biji dimana semakin rendah kadar air harga jual semakin tinggi, (ii) adanya berbagai kebutuhan yang mendesak menuntut petani untuk mendapatkan uang cash secara cepat, (iii) keadaan fluktuasi harga kakao yang cukup tajam dan relatif pendek tergantung kepada nilai tukar dollar/mata uang asing, dan (iv) pada waktu tertentu, jumlah hasil panen hanya sedikit sehingga tidak ekonomis apabila dilakukan fermentasi.

Pemasaran

Petani menjual hasil panen kakao dalam bentuk biji asalan yaitu biji kering tingkat petani dengan kadar air sekitar 12 persen. Gambar 1 menunjukkan bahwa petani menjual kakao ke pedagang pengumpul/bakul (10%) yang berkeliling mendatangi rumah-rumah petani, tetapi penjualan paling banyak dilakukan ke pedagang kecil (40%) atau langsung ke pedagang besar (50%) yang dilakukannya sambil berbelanja ke pasar. Pedagang pengumpul menjual kakao biji ke pedagang secara langsung pada hari yang sama dengan tidak memberikan perlakuan apapun ke pedagang besar. Di pedagang besar, kakao mengalami proses pencampuran, pengeringan dengan kadar air akhir antara 9-10 persen, dan proses pengarungan. Pedagang besar baru mengirim kakao ke eksportir apabila volume kakao biji sudah terkumpul cukup untuk proses pengiriman, untuk itu mereka bisa juga bekerja sama dengan beberapa pedagang lainnya. Margin tataniaga pedagang pengumpul (bakul) sekitar Rp 95 sampai Rp. 500, pedagang (besar/kecil) antara Rp 50 sampai Rp 100 per kilogram kakao biji. Biaya yang dikeluarkan pedagang besar terdiri atas upah tenaga kerja untuk perlakuan, retribusi, transportasi, dan upah bongkar muat.

Dalam pemasaran kakao, umumnya telah terjadi keterkaitan baik antara petani dengan pedagang tertentu maupun antara pedagang dengan eksportir tertentu. Bentuk keterkaitan yang paling umum adalah pemberian bantuan pinjaman modal usaha. Sedangkan faktor pertimbangan lain untuk memilih pembeli adalah tingkat kepercayaan

(11)

petani/penjual kepada pembeli terutama obyektivitas dalam penentuan kadar air, penimbangan, dan ketepatan waktu pembayaran.

Gambar 1. Saluran rantai pemasaran kakao

Proses penanganan pasca panen kakao terakhir dilakukan oleh pihak eksportir yaitu proses penjemuran, pembersihan kotoran, pemisahan biji dempet, pengepakan

(packing), dan pengasapan (fumigasi). Semua perlakuan tersebut diarahkan untuk

mendekati mutu kakao biji standar ekspor, yaitu: (I) kadar air maksimal 7,5 persen; (ii) kadar jamur maksimal 4 persen; (iii) kadar insektisida maksimal 1 persen; dan (iv) jumlah biji per 100 gram maksimal 110 biji (Askindo,1997).

Perubahan Intensifikasi Usahatani

Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 diperkirakan akan mempengaruhi intensifikasi usahatani kako, pengaruh tersebut dapat dilihat dari perubahan penggunaan pupuk, pestisida, dan jumlah tenaga kerja usahatani. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum krisis jenis pupuk yang digunakan petani hanya empat jenis yaitu Urea, TSP/SP-36, KCL dan ZA tetapi setelah krisis ditemukan 13 persen petani menggunakan pupuk NPK dengan takaran 102 kg dan 9 persen petani menggunakan pupuk kandang dengan takaran 817 kg/ha/tahun. Jumlah takaran pupuk juga mengalami peningkatan yaitu pupuk Urea meningkat 50 persen (dari 171 kg menjadi 257 kg), TSP/SP-36 meningkat 99 persen (dari 88 kg manjadi 175 kg), dan pupuk KCL meningkat 142 persen (dari 80 kg manjadi 194 kg)/ha/tahun. Setelah krisis, tingkat efisiensi mengendalikan OPT terlihat lebih baik dibandingkan sebelum krisis. Perubahan ini terlihat dari adanya penurunan jumlah takaran insektisida yaitu insektisida cair menurun sebanyak 17 persen (dari 1,2 l menjadi 1,0 l), dan insektisida tepung turun sebanyak 36 persen (dari 1,1 kg menjadi 0,7 kg)/ha/tahun. Sebaliknya jumlah persentase petani yang menggunakan insektisida menjadi meningkat, bahkan ditemukan 28 persen

Petani 10% pengumpulPedagang Pedagang kecil Pedagang besar Eksportir 5%

45%

50%

5% 100%

(12)

petani mulai menggunakan herbisida untuk menekan populasi hama dengan takaran 3,4 l/ha/tahun.

Tabel 2. Masukan input usahatani kakao sebelum (th.1996) dan sesudah krisis (th.1998)

Uraian Sebelum krisis Sesudah krisis

(Satuan/ha/tahun) 1. Takaran pupuk (kg): -Urea 171(75) 1) 257(70) -TSP/SP-36 88(69) 175(53) -KCL 80(55) 194(48) -ZA 237(30) 107(12) -NPK - 102(13) -Pupuk kandang 2) - 817(9) 2. Takaran Pestisida: 3) -Insektisida cair (lt) 1,2(49) 1,0(59) -Insektisida tepung (kg) 1,1(15) 0,7(28) -Herbisida (Lt) - 3,4(28)

3. Curahan tenaga kerja (HOK):

-Dangir/penyiangan 33(100) 29(100)

-Pemangkasan 40(100) 45(100)

-Pemupukan 12(100) 14(100)

-Pengendalian hama penyakit 5(100) 6(100)

-Panen/pasca panen 24(100) 24(100) Total: 114(100) 119(100) 4. Produktivitas: -Kg/ha/tahun 1 266 1 353 -Kg/pohon/tahun 1,37 1,43 Keterangan:

1) Angka dalam kurung menyatakan persentase petani pengguna

2) Kotoran kambing, sapi, dan ayam

3) Decis, azodrin, teodan, gromoxon, roundup, dan polaris

Sesudah krisis ekonomi, total curahan tenaga kerja meningkat sebanyak 4,4 persen (dari 114 HOK menjadi 119 HOK)/ha/tahun. Kegiatan usahatani yang mengalami peningkatan serapan tenaga kerja adalah kegiatan pengendalian hama penyakit (20%), pemupukan (17%), dan kegiatan pemangkasan (13%). Sebaliknya kegiatan pendangiran/penyiangan mengalami penurunan sebanyak 13 persen dikarenakan petani telah mulai mengandalkan kepada penggunaan herbisida yang ternyata lebih hemat biaya (low cost technology).

Perubahan Produksi dan Pendapatan Usahatani

Sesudah krisis nilai intensifikasi usahatani kakao mengalami peningkatan, terlihat dengan peningkatan masukan usahatani berupa pupuk, pestisida, dan curahan tenaga kerja untuk pemeliharaan. Tabel 2 menunjukkan bahwa peningkatan penerapan

(13)

intensifikasi dapat meningkatkan produktivitas kakao sebanyak 6,7 persen (dari 1.266 kg menjadi 1.353 kg)/ha/tahun atau meningkat sebanyak 4,4 persen (dari 1,37 kg menjadi 1,43 kg)/pohon/tahun.

Pendapatan usahatani sangat dipengaruhi oleh perubahan harga dari input dan output usahatani. Tabel 3 menunjukkan bahwa setelah krisis, harga pupuk mengalami peningkatan yaitu KCL (52%), ZA (38%), TSP/SP-36 (25%) dan UREA (10%). Jenis insektisida juga mengalami kenaikan yaitu teodan (44%) sedangkan decis, azodrin, dan sevin mengalami kenaikan sama sebesar 20 persen. Upah tenaga kerja mengalami kenaikan sebanyak 50 persen (dari Rp 10.000 menjjadi Rp 15.000)/Hari Orang Kerja. Harga kakao mengalami kenaikan paling drastis yaitu sebanyak 183 persen (dari Rp 4.000 menjadi Rp 11.300)/kg biji asalan.

Tujuan akhir petani dalam usahatani adalah untuk memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran sekecil mungkin. Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah krisis ekonomi terjadi kenaikan nilai masukan usahatani sebanyak 63 persen (dari Rp.1.441 ribu menjadi Rp.2.353 ribu)/ha/tahun, terdiri atas kenaikan upah tenaga kerja (56%), sarana produksi (14%) dan biaya lainnya (11%).

Tabel 3. Harga input dan output Usahatani sebelum (th.1996) dan sesudah krisis (th.1998)

Uraian Sebelum Sesudah Perubahan (%)

(Rp/satuan) 1. Harga pupuk: -Urea 410 450 40(10)2) -TSP/SP-36 500 625 125(25) -KCL 660 1.000 340(52) -ZA 450 620 170(38) -NPK - 1) 1.800 - -Pupuk kandang - 30 - 2. Harga insektisida: -Decis 10.000 12.000 2.000(20) -Teodan 12.500 18.000 5.500(44) -Azodrin 10.000 12.000 2.000(20) -Sevin 10.000 12.000 2.000(20) 3. Harga herbisida: -Polaris - 15.000 - -Rondup - 25.000 - -Gromoxon - 35.000 -

4. Upah tenaga kerja 10.000 15.000 5.000(50)

5. Harga kakao 4.000 11.300 7.300(183)

Keterangan:

1) Belum digunakan petani

(14)

Namun perubahan harga jual kakao sangat drastis dan mampu mengangkat nilai produksi dan pendapatan usahatani cukup tinggi, yaitu pendapatan A meningkat 258 persen (dari Rp.3.624 ribu menjadi Rp.12.990 ribu) dan pendapatan B meningkat 205 persen (dari Rp.4.754 ribu menjadi Rp.14.515 ribu)/ha/tahun. Dilihat dari kelayakan usaha, usahatani sebelum krisis memperoleh nilai B/C rasio 2,5 sedangkan setelah krisis menjadi 5,5 atau meningkat sebanyak 120 persen.

Tabel 4. Pendapatan usahatani kakao sebelum (th.1996) dan sesudah krisis (th.1998)

Uraian Sebelum krisis Sesudah krisis Perubahan (%)

(Rp.1 000/ha/tahun) A. Pengeluaran 1. Sarana produksi: -Pupuk 292 298 -Pestisida 8 43 Total (1): 300 341 14 2. Tenaga kerja -Keluarga 1 130 1 525 -Upah 11 260 Total (2): 1 141 1 785 56 3. Biaya lainnya: 1) 205 227 11 Total (1+2+3): 1 441 2 353 63 B. Produksi: 2) -Fisik (kg) 1 266 1 353 7 -Nilai (rp) 5 065 15 343 203 C. Pendapatan: 3) -(A) 3 624 12 990 258 -(B) 4 754 14 515 205 B/C Rasio 2,5 5,5 120 Keterangan:

1) Nilai penyusutan dan bunga bank pengeluaran tunai

2) Biji kering tingkat petani (kadar air ± 12%)

3) A= tenaga kerja keluarga diperhitungkan

B= tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan

Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa krisis ekonomi justru memberikan pengaruh positif terhadap kinerja usahatani kakao Indonesia. Peningkatan pendapatan usahatani menguatkan aspek permodalan petani yang selama ini sangat lemah. Petani menjadi lebih bergairah dalam mengembangkan produksi kakao dengan semakin intensifnya pemeliharaan tanaman. Namun demikian, pengaruhnya belum menyentuh upaya-upaya perbaikan kualitas kakao terutama perbaikan proses fermentasi. Untuk itu masih perlu mencarikan solusinya agar mutu perkakaoan Indonesia semakin baik mempunyai daya saing tinggi di pasar Internasional.

(15)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Tanaman kakao rakyat mayoritas (92%) ditanam dengan sistem polikultur, ditanam diantara tanaman tahunan yang terlebih dulu ada. Sistem pertanaman tersebut sedikit banyak dapat menimbulkan permasalahan dalam upaya peningkatan intensifikasi kakao karena jarak tanam menjadi kurang teratur, kurang efisiennya dalam pemupukan, kesulitan mengatur kelembaban udara, dan lebih sulit dalam pengendalian hama penyakit. Untuk itu diperlukan adanya teknologi spesifik lokasi merupakan hasil penyesuaian dari teknologi yang bersifat umum terhadap keadaan bio-phisik lingkungan yang ada.

Krisis ekonomi memberikan pengaruh positif terhadap kinerja usahatani kakao rakyat. Ditemukan 30 persen petani mengaplikasikan pupuk baru yaitu NPK dengan dosis 102 kg/ha dan 9 persen petani menggunakan pupuk organik (kandang) 800 kg/ha/tahun. Takaran pupuk mengalami peningkatan yaitu Urea meningkat 50 persen (dari 170 menjadi 260 kg), TSP/SP-36 meningkat 99 persen (dari 90 menjadi 180 kg), dan pupuk KCL meningkat 142 persen (dari 80 menjadi 190 kg)/ha/tahun. Dalam mengendalikan gulma, mulai ditemukan 28 persen petani mampu menggunakan herbisida padahal harganya cukup mahal. Pada akhirnya, peningkatan intensifikasi dapat meningkatkan produktivitas kakao sebanyak 7 persen (dari 1.270 menjadi 1.350 kg)/ha/tahun atau sebanyak 4,4 persen (dari 1,37 kg menjadi 1,43 kg)/pohon/tahun.

Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan harga masukan

(input) dan pengeluaran (output) usahatani, namun demikian analisis usahatani

menunjukkan bahwa krisis ekonomi dapat menyebabkan peningkatan nilai pendapatan petani, yaitu pendapatan A (tenaga kerja keluarga diperhitungkan) meningkat sebanyak 258 persen (dari Rp 3,6 juta menjadi Rp 13,0 juta) sedangkan pendapatan B (tenaga keluarga tidak diperhitungkan) meningkat sebanyak 205 persen (dari Rp.4,8 juta menjadi Rp.14,5 juta)/ha/tahun.

Meskipun krisis ekonomi telah memberikan dampak cukup baik terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani kakao, tetapi pengaruhnya belum sampai kepada perbaikan kualitas kakao biji. Beberapa permasalahan yang dihadapi petani dalam penerapan proses fermentasi adalah; (i) pembeli di tingkat petani tidak membedakan antara harga kakao biji terfermentasi dengan yang tidak; (ii) karena berbagai kebutuhan yang mendesak, petani dituntut untuk memperoleh uang cash secara cepat; (iii) fluktuasi harga cukup tajam, tidak dapat diduga dan terjadi dalam

(16)

waktu yang relatif pendek; dan (iv) jumlah panen yang sedikit tidak ekonomis dilakukan fermentasi, ini terjadi pada masa panen biasa atau pada petani berlahan sempit. Untuk itu, dalam pola kemitraan, disamping membeli kakao dalam bentuk biji juga pengusaha melakukan pembelian dalam bentuk buah masak. Selanjutnya proses fermentasi dapat dilakukan oleh pengusaha dengan pertimbangan memiliki fasilitas lebih baik dibandingkan petani, disamping itu jumlah volume biji akan mencapai tingkat ekonomis untuk suatu proses fermentasi.

DAFTAR PUSTAKA

Askindo.1994. Biji kakao. Standar Nasional Indonesia (SNI).Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan.2000. Statistik Perkebunan Indonesia (1998-2000). Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Disbun Provinsi DT.I Sulawesi Selatan.1994. Laporan survei penggerek buah kakao (Conopomorpha cromerella) dan hama penyakit penting lainnya di Kabupaten Mamuju, Luwu, Wajo, dan Bone Provinsi Sulsel. Ujung Pandang.

Disbun Provinsi DT.I Sulsel.1997. Petunjuk teknis fermentasi biji kakao. Dinas Perkebunan Provinsi DT.I Sulawesi Selatan. Ujung Pandang.

Referensi

Dokumen terkait

Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan yang harus dipenuhi oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka penyediaan dana untuk

Praktikum konservasi pada sistem beban tidak seimbang yang telah dilakukan, dengan tujuan praktikum yaitu untuk mengevaluasi sistem kelistrikan dilihat dari keseimbangan beban yang

Hal ini ditunjukkan dari kronologi kasus Satyam, dimana pada mulanya Raju melakukan konspirasi untuk menggelembungkan laba, terlihat adanya kelemahan kontrol internal

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman

Grafik Efiniensi Penggunaan Ransum Kelinci R e x pada Tingkat Pakan dan Umur Potong yang Berbeda... Hal i n i

mikrokontrol Atmega8535 dan sensor air yang digunakan untuk mendeteksi ketinggian air lalu akan membaca nilai resistansi pada saat sensor terkena air, sensor akan mengirim data

Dan dengan kedua arti tersebut, maka desain instruksional juga memiliki arti sendiri, yaitu desain instruksional merupakan suatu pola pengajaran, pelajaran,

Perwakilan BPKP Provinsi Banten adalah salah satu entitas akuntansi di bawah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi