Situs Web Seni Rupa Bandung di Internet
SKRIPSI
Diajukan Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung
Oleh :
Widianto Nugroho NIM 17092006
Jurusan Seni Murni
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung 1999
Situs Web Seni Rupa Bandung di Internet
SKRIPSI
Diajukan Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung
Oleh : Widianto Nugroho NIM 17092006 Dosen Pembimbing : Drs. Yustiono Drs. Armahedi Mahzar, M.Sc.
Jurusan Seni Murni
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung 1999
Lembar Pengesahan Skripsi
Situs Web Seni Rupa Bandung di Internet
Skripsi oleh Widianto Nugroho
Disetujui dan disahkan :
Tanggal
Drs. Yustiono Pembimbing
Tanggal Drs. Armahedi Mahzar, M.Sc. Pembimbing
Tanggal Dr. Abay D. Subarna Koordinator
u n t u k Ayah (Alm.), Ibu dan kakakku, dan untuk De Aam
Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan kapada Allah SWT atas rahmat yang diberikanNya sehingga skripsi yang berjudul Situs Web Seni Rupa Bandung
di Internet ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan persyaratan untuk
mencapai gelar sarjana pada Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Situs Web Seni Rupa Bandung adalah suatu situs web dalam jaringan Internet yang berisi informasi mengenai dunia seni rupa di Bandung. Implementasi penyajian informasi tersebut di situs web dibagi-bagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1. Introduksi mengenai seni rupa di Bandung. Bagian ini berisi informasi mengenai ciri atau karakteristik seni rupa di Bandung.
2. Direktori Perupa. Bagian ini berisi informasi mengenai para perupa yang tinggal dan bekerja di Bandung.
3. Info Galeri. Bagian ini berisi informasi mengenai galeri dan museum seni rupa yang terdapat di Bandung.
4. Kalender Kegiatan. Bagian ini berisi informasi mengenai jadwal kegiatan seni rupa seperti pameran, diskusi dan lain sebagainya yang diselenggarakan di Bandung.
5. Web Project. Bagian ini berisi informasi menganai karya-karya eksperimental dari para perupa Bandung yang menggunakan WWW atau World Wide Web sebagai media.
Penulisan skripsi ini merupakan dokumentasi dari kegiatan tahap awal pembuatan situs web dimana pengumpulan dan penyajian informasi hanya sampai pada dua bagian pertama dari keseluruhan bagian di atas yaitu Introduksi dan Direktori Perupa. Karena keterbatasan waktu, tidak semua perupa di Bandung ditampilkan dalam Direktori Perupa.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
q Ketua Jurusan Seni Murni FSRD ITB Bapak Drs. Bambang Prasetyo, beserta staf.
q Bapak Drs. Yustiono dan Bapak Drs. Armahedi Mahzar, MSc., selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini.
q Bapak Dr. Abay D. Subarna selaku Koordinator Skripsi.
q Bapak Drs. Lengganu, Bapak Drs. Bambang Prasetyo, Bapak Drs. Hendrawan Riyanto, dan Bapak Drs. Asmudjo J. Irianto selaku dosen-dosen di Studio Seni Keramik Jurusan Seni Murni FSRD ITB yang masing-masing pernah menjadi dosen wali selama penulis menjadi mahasiswa.
q Bapak Dr. Ir. Onno W. Purbo selaku Kepala UPT Perpustakaan ITB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mempelajari jaringan komputer dan teknologi Internet di Perpustakaan Pusat ITB.
q Bapak Drs. Mahmudin dan Staf Perpustakaan Pusat ITB.
q Bapak Drs. Tisna Sanjaya, Dipl.Art. atas pinjaman buku-buku seni rupa.
q Ir. Ismail Fahmi, Ir. Joko Yuliantoro dan CNRG ITB.
q Ibu Dedeh, Ibu Teni dan Staf Tata Usaha Jurusan Seni Murni FSRD ITB.
q Staf Perpustakaan FSRD ITB.
q Pengelola Beasiswa ITB atas beasiswa yang terus-menerus penulis terima selama menjadi mahasiswa ITB.
q Ibunda Sartiah, kakanda Anto, adik-adik dan Lik Johar atas dukungan dan doanya.
q Adinda Aam Rahmawati, S.Si., Apt. dan keluarga di Kuningan, terima kasih atas doa dan kesabarannya.
q Rekan-rekan Team Digital Library ITB: Eldi, Nuri, Wahyu, Faisal, Azrul dan Revi.
q Rekan-rekan Network/System Administrator Perpustakaan Pusat ITB dan
CyberLib.
q Rista, Andrianto, Agus, Oman, Ali, Wisnu, Rifki, Ari, Agille, Erwin, Dikdik dan seluruh sahabat atas dukungannya selama ini.
q Tanto dan Ivan di Galeri Soemardja.
q Rekan-rekan mahasiswa Studio Seni Keramik FSRD ITB.
q Rekan-rekan mahasiswa FSRD angkatan ‘92 yang telah lama lulus dan meninggalkan penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bandung, Oktober 1999
Daftar Isi
Hal. Kata Pengantar Daftar Isi……….. Daftar Perupa………... Daftar Gambar...……….. -i -iii -vi -viii BAB I Pendahuluan……….. 11.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran.………... 1.2 Tujuan dan Sasaran.………... 1.3 Ruang Lingkup Masalah.………... 1.4 Metode Penyelesaian Masalah.……….….
1 2 2 6
BAB II Tinjauan Sejarah dan Estetik Seni Rupa di Bandung…... 8
2.1 Tinjauan Singkat Sejarah Seni Rupa Bandung………….. 2.1.1 Masa Kolonial dan Perjuangan Kemerdekaan…….. 2.1.2 Pendidikan Tinggi Seni Rupa dan Peranan
Sanggar-sanggar dalam Perkembangan Seni Rupa di Bandung……… 2.1.3 Latar Belakang Politis dalam Perbenturan Mahzab
Kesenian……… 2.1.4 Kelompok Decenta……… 2.2 Tinjauan Estetik Seni Rupa Bandung………
2.2.1 Gaya Formalisme dalam Seni Rupa Bandung……... 2.2.2 Tema Religius (Islam) dalam Seni Rupa Bandung... 2.2.3 Keragaman Media dan Perkembangan Seni Rupa
Kontemporer di Bandung……….. 8 9 12 16 17 20 21 22 23
BAB III Data Mengenai Para Perupa di Bandung……… 26
3.1 Data Perupa di Bandung……… 25
BAB IV Analisa Mengenai Seni Rupa di Bandung dan Arahan Penyusunan Situs Web Seni Rupa Bandung………... 86
4.1 Situasi dan Kondisi Kesenirupaan di Bandung………….. 4.1.1 Peranan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni Rupa…..
4.1.2 Kecenderungan Umum dalam Karya Para Perupa di Bandung……… 4.1.3 Peranan Para Akademisi Seni Rupa di Bandung…...
4.2 Dinamika Kehidupan Seni Rupa di Bandung……… 4.3 Arahan dalam Penyusunan Situs Web Seni Rupa Bandung………... 86 86 87 88 89 90
BAB V Perancangan danPembuatan Situs Web Seni Rupa
Bandung……….……. 92
5.1 Internet
5.1.1 Sejarah Internet………. 5.1.2 Konsep Internet dan Jaringan Komputer………….. 5.1.3 TCP/IP (Transmission Control Protocol dan
Internet Protocol)……….
5.1.4 Alamat IP dan Nama Domain……… 5.1.5 URL (Uniform Resource Locator)……… 5.1.6 World Wide Web……….. 5.1.7 HTML (Hypertext Markup Language)………. 5.1.8 Organisasi Situs Web……… 5.2 Perancangan dan Pembuatan Situs Web Seni Rupa
Bandung………. 5.2.1 Judul Situs Web………. 5.2.2 Menu Utama dan Organisasi Siuts Web……… 5.2.3 Alamat Situs Web……….. 5.2.4 Perangkat Lunak yang Digunakan……….
92 93 94 96 97 98 99 100 101 105 105 105 107 108
5.2.5 Perancangan Desain Visual………... 5.2.6 Unsur Pendukung……….. 5.3 Isi Situs Web Seni Rupa Bandung………….………
5.3.1 Halaman Pembuka/Halaman Depan………. 5.3.2 Halaman Introduksi……….. 5.3.3 Halaman Direktori Perupa Bandung………. 5.3.4 Halaman Info Galeri……….. 5.3.5 Halaman Kalender Kegiatan……….. 5.3.6 Halaman Web Projects……….. 5.3.7 Halaman Guestbook/Buku Tamu………..
108 111 112 112 113 114 116 118 118 120
BAB VI Kesimpulan dan Saran……….. 123
6.1 Kesimpulan……… 6.2 Saran………..
123 124 Daftar Pustaka……….. 125
Daftar Perupa
Hal.
A Abay Subarna………
Abdul Djalil Pirous……… Aceng Arif………. Achmad Sadali……….. Angkama Setjadipradja………. 26 27 29 30 33 B Bambang Ernawan……… Barli Sasmitawinata……….. But Muchtar……….. 35 36 38 C Chusin Setiadikara……… 40 D Diyanto……….. 42 E Edie Kartasubarna………. Erna Pirous……… 43 44 F Farida Srihadi……… 45 G G. Sidharta Soegijo………... 46 H Haryadi Suadi……… Hendrawan Riyanto………..………. Herry Dim………. 50 51 52 I Isa Perkasa………. 53 K Kaboel Suadi………. Kartono Yudhokusumo………. 54 57 M Mochtar Apin……… 58 N Nyoman Nuarta………. 60 P Popo Iskandar……… 63
R Rita Widagdo……… 65 S Sanento Yuliman………... Srihadi Soedarsono……… Sudjana Kerton……….. Sunaryo……….. 68 70 72 75 T T. Sutanto……….. Tisna Sanjaya……… 77 79 U Umi Dachlan………. 80 W Wahdi Sumanta………. 82 Y Yustiono……… 84
Daftar Gambar
No. Gambar Hal.
1. Homepage, halaman web dan situs web………...….. 103
2. Situs web bentuk hierarki……… 104
3. Situs web bentuk linier……… 105
4. Situs web gabungan bentuk hierarki dan linier………... 105
5. Organisasi Situs Web Seni Rupa Bandung……….……… 107
6. Letak fisik dari alamat Situs Web Seni Rupa Bandung………….. 108
7. Lingkungan kerja pada network Perpustakaan ITB……… 110
8. Rancangan desain visual halaman depan……… 110
9. Contoh tampilan desain visual halaman depan………...………… 111
10 Rancangan desain visual pada halaman-halaman dalam………… 111
11 Contoh tampilan desain visual pada halaman-halaman dalam….. 112
12 Tampilan Halaman Depan……….. 114
13 Tampilan halaman Introduksi………. 115
14 Tampilan halaman Direktori Perupa………... 116
15 Tampilan halaman informasi salah satu perupa dalam Direktori Perupa……….… 117
16 Tampilan halaman Info Galeri……… 118
17 Tampilan halaman informasi salah satu galeri dalam Info Galeri.. 118
18 Tampilan halaman Kalender Kegiatan……… 119
19 Tampilan halaman Web Projects……… 120
20 Tampilan halaman informasi salah satu web project dalam Web Projects……… 121
21 Tampilan halaman Guestbook atau Buku Tamu: form isian
guestbook……… 122
22 Tampilan halaman Guestbook Result: konfirmasi bahwa pesan telah masuk………. 123 23 Tampilan halaman Guestbook View: melihat dan membaca
Daftar Lampiran
Hal. Lampiran 1. Tampilan Halaman Depan……….…. 117 Lampiran 2. Tampilan halaman Introduksi………. 118 Lampiran 3. Tampilan halaman Direktori Perupa……….. 119 Lampiran 4. Tampilan halaman informasi salah satu perupa dalam
Direktori Perupa……….… 120 Lampiran 5. Tampilan halaman Info Galeri………... 121 Lampiran 6. Tampilan halaman informasi salah satu galeri dalam
Info Galeri……….. 122 Lampiran 7. Tampilan halaman Kalender Kegiatan………... 123 Lampiran 8. Tampilan halaman Web Projects……… 124 Lampiran 9. Tampilan halaman informasi salah satu web projects
dalam Web Projects……… 125 Lampiran 10. Tampilan halaman Guestbook atau Buku Tamu: form
isian guestbook………... 126 Lampiran 11. Tampilan halaman Guestbook Result: konfirmasi
bahwa pesan telah masuk………... 127 Lampiran 12. Tampilan halaman Guestbook View: melihat dan
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran
Kota Bandung sebagai salah satu kota besar memiliki tradisi intelektual yang khas dengan adanya perguruan tinggi teknik tertua di Indonesia. Keberadaan kaum intelektual di Bandung juga diperkaya oleh kehidupan kesenian dengan adanya aktivitas para seniman yang tinggal di kota ini. Jejak-jejak sejarah kehidupan kesenian khususnya seni rupa di kota ini dapat kita amati mulai dari sejak era kolonial. Alam pegunungan yang nyaman dan indah menjadi daya tarik bagi para wisatawan asing maupun para pelukis asing yang berdatangan untuk merekam keindahan tersebut. Kehidupan para pelukis asing berpengaruh pada perkembangan seni lukis di Bandung pada masa itu dengan tradisi akademik Barat yang memilih gaya ekspresi naturalistik.
Keakraban dengan acuan kaidah estetik Barat melalui para pelukis asing merupakan awal kepedulian seniman Bandung pada masa berikutnya terhadap akar tradisi seni rupa Barat dalam merintis perkembangan seni rupa Indonesia baru. Pendekatan rasional dan analitis dalam proses berkarya para pelukis ikut membentuk sikap akademik. Kehidupan kesenian dengan warisan tradisi akademik Barat yang tumbuh di ibukota Priangan ini menyebabkan seniman Bandung memiliki karakter tersendiri dalam sejarah kesenian di tanah air apabila dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia seperti Jakarta maupun Yogyakarta.
Terlepas dari perdebatan mengenai kaidah akademik Barat maupun perdebatan mengenai aliran Bandung dan aliran Yogya yang sempat menjadi polemik dalam wacana sejarah seni rupa di Indonesia, berbagai hal menyangkut kehidupan kesenian maupun perkembangan seni rupa yang terjadi
di Bandung merupakan aset berharga yang dimiliki oleh kota Bandung. Berbagai catatan dan informasi mengenai semua hal tersebut perlu dikumpulkan dan disusun dalam suatu sarana yang dapat diakses oleh mereka yang memerlukan. Sarana yang memungkinkan penyimpanan, penyajian dan dapat diakses oleh siapa saja dari sembarang tempat adalah dengan memanfaatkan jaringan Internet. Berdasarkan pemikiran tersebut penulis menyusun layanan informasi tentang para perupa dan kegiatan kesenirupan di Bandung dalam jaringan Internet. Layanan informasi ini berupa sebuah situs web. Web atau World Wide Web disingkat WWW adalah salah satu layanan terpopuler di dalam jaringan Internet. Untuk selanjutnya layanan informasi melalui web dalam jaringan Internet tentang para perupa dan kegiatan kesenirupan di Bandung ini disebut sebagai Situs Web Seni Rupa Bandung sesuai dengan judul skripsi ini.
1.2 Tujuan dan Sasaran
Tujuan dan sasaran yang hendak dicapai melalui penyusunan situs web ini adalah:
1. Menyusun informasi tentang seni rupa Bandung secara sistematis.
2. Membuat analisa mengenai seni rupa Bandung berdasarkan pendekatan sejarah dan pendekatan estetik.
3. Menampilkan informasi tersebut dengan memanfaatkan Internet sehingga dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja dari sembarang tempat.
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dunia kesenirupaan di Bandung merupakan suatu wilayah pembicaraan yang luas. Apabila diuraikan, dunia kesenirupaan di Bandung terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:
1. Ciri atau karakteristik seni rupa di Bandung
Kehidupan kesenian di kota Bandung memiliki ciri atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan ciri ataupun karakteristik kesenian di
kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ciri atau karakteristik tersebut dapat diidentifikasi melalui pendekatan sejarah dan pendekatan estetik.
a. Pendekatan sejarah
Pendekatan sejarah mengkaitkan dunia seni rupa Bandung dengan kurun waktu.
b. Pendekatan estetik
Pendekatan estetik berkaitan dengan masalah-masalah gaya atau aliran, ciri-ciri estetik, dan wujud visual karya seni.
2. Praktisi perorangan dan kelompok bidang seni rupa a. Perupa.
Secara garis besar seni rupa terbagi ke dalam tiga bidang utama yaitu seni murni, desain dan kriya. Perupa merupakan sebutan terhadap praktisi dari ketiga bidang seni rupa tersebut. Walaupun ketiganya memakai bahasa rupa yang sama, namun masing-masing memiliki tekanan arah yang berbeda. Secara lebih spesifik aktivitas perupa dibagi menjadi:
q Seniman atau perupa murni § Pelukis
§ Pematung
§ Seniman grafis atau pegrafis § Seniman keramik
q Pekriya
§ Pekriya keramik § Pekriya tekstil § Pekriya logam
q Perancang atau desainer § Perancang grafis § Perancang interior § Perancang produk
Pengertian ‘perupa Bandung’ dalam situs web ini adalah perupa yang tinggal dan bekerja di kota Bandung, atau yang pernah memberikan kontribusi berarti bagi pertumbuhan seni rupa di kota Bandung. Aktivitas kesenian yang dilakukan para perupa tersebut adalah aktivitas kesenian yang mengacu pada pencapaian kualitas estetik. Para perupa yang ditampilkan dipilih berdasarkan prestasi dan reputasinya. Ulasan-ulasan melalui buku-buku maupun media massa yang berisi kritik mengenai karya-karya dari masing-masing perupa merupakan salah satu tolok ukur dalam menilai reputasi perupa disamping pengalaman berpameran minimal di tingkat nasional, baik pameran tunggal maupun kelompok.
b. Organisasi perupa
Di Bandung terdapat beberapa organisasi perupa yang dibentuk oleh para perupa. Organisasi-organisasi tersebut sempat secara aktif turut meramaikan perkembangan seni rupa di Bandung.
c. Biro desain
Biro desain adalah suatu biro atau firma yang didirikan sesuai dengan tujuan dari profesi desainer atau perancang, yaitu memberikan pelayanan secara profesional kepada mereka yang membutuhkan jasa desainer. Perkembangan bidang desain ini tumbuh seiring dengan tuntutan perkembangan ekonomi.
d. Kritikus, pengamat dan sejarawan seni
Kritikus, pengamat dan sejarawan seni dalam seni modern turut berperan dalam melahirkan berbagai konsep-konsep estetik. Di Bandung tinggal beberapa orang kritikus, pengamat dan sejarawan seni. Diantara mereka ada yang bekerja secara independen, ada pula yang bekerja sebagai kurator di museum atau galeri seni, atau sebagai dosen. e. Dosen dan pengajar seni
Dosen sesungguhnya adalah bagian dari institusi pendidikan. Tetapi dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan, secara perorangan ia dapat
muncul mengungkapkan gagasan-gagasan pribadinya yang tentu saja dilandasi oleh kaidah-kaidah akademik.
3. Institusi atau lembaga
Institusi atau lembaga yang bergerak di bidang seni rupa. a. Museum dan galeri
Museum dan galeri berfungsi sebagai mata rantai yang menghubungkan seniman sebagai pelaku kesenian dengan masyarakat sebagai apresiator dalam pranata seni rupa modern. Secara ideal, museum seni rupa sebagaimana museum lainnya berfungsi sebagai sarana pendidikan.
b. Institusi pendidikan seni rupa
Dunia kesenirupaan modern memiliki hubungan yang erat dengan institusi pendidikan. Institusi pendidikan berperan dalam menghasilkan para praktisi bidang seni rupa baik itu para perupa, kritikus maupun pengajar seni.
q Pendidikan tinggi
Terdapat beberapa institusi pendidikan tinggi seni rupa di Bandung. Institusi tersebut ada yang merupakan bagian dari suatu Universitas atau Institut, ada pula yang berdiri sendiri.
q Pendidikan menengah
Pendidikan menengah yang dimaksud adalah sekolah-sekolah kejuruan tingkat menengah bidang seni rupa.
q Pendidikan non formal
Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah sanggar-sanggar atau studio-studio yang memberikan kursus atau pelatihan bagi mereka yang berminat untuk mengembangkan diri di bidang seni rupa.
Penyusunan Situs Web Seni Rupa Bandung ini akan berisi informasi mengenai keseluruhan komponen dalam dunia kesenirupaan di Bandung seperti disebutkan di atas. Tetapi usaha tersebut memerlukan proses dan waktu yang tidak sedikit. Pembuatan situs web ini juga akan mempertimbangkan bertambahnya data ketika situs web telah beroperasi. Berkaitan dengan hal
tersebut maka ruang lingkup masalah pada penulisan skripsi ini lebih dititikberatkan pada para perupa Bandung sebagai langkah awal dalam pengembangan Situs Web Seni Rupa Bandung ini selanjutnya.
1.4 Metoda Penyelesaian Masalah
Penyajian informasi dalam situs web ini didasarkan pada pendekatan historis dan pendekatan estetik. Agar tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik maka perlu disusun suatu metode penyelesaian masalah yang terencana dan sistematis. Penulis mencoba menyusun suatu program kerja yang diharapkan mampu memberikan hasil yang optimal. Adapun program kerja yang penulis susun terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Kegiatan pengumpulan data terdiri dari: a. Mencari data dari berbagai sumber.
q Dari nara sumber melalui wawancara. Nara sumber yang diwawancarai adalah mereka yang berkompeten dalam menentukan dan menilai nama-nama perupa yang akan disertakan. Pihak yang dianggap kompeten untuk penilaian tersebut adalah para kritikus atau penulis seni serta pengelola museum seni atau galeri. Kepada mereka diajukan daftar nama-nama Kemudian dilakukan cross check atas nama-nama yang diberikan baik oleh para kritikus atau penulis seni maupun pengelola museum seni atau galeri. Setelah itu dilakukan penelusuran dan pencarian informasi tertulis mengenai perupa yang namanya masuk dalam hasil cross check tersebut.
q Dari sumber tertulis berupa kaji pustaka. b. Klasifikasi data.
Setelah data-data terkumpul kemudian dilakukan proses klasifikasi. Proses ini meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:
q Penyuntingan dan pengolahan data yang diperoleh dari berbagai sumber.
q Pengorganisasian seluruh data yang diperoleh. c. Analisis.
q Menambahkan catatan-catatan dan analisa terhadap data-data yang telah diolah berdasarkan proeses klasifikasi data.
q Memberikan penilaian dan kesimpulan awal sebagai arahan bagi perancangan dan pembuatan situs web.
d. Merangkum seluruh data yang diperoleh beserta analisis dan menyusunnya dalam suatu tulisan. Tulisan ini merupakan materi yang akan dimasukkan ke dalam situs web.
2. Merancang dan Membuat Situs Web Kegiatan ini terdiri dari:
a. Merancang penyajian informasi di situs. b. Merancang desain visual dari situs web.
BAB II
Tinjauan Sejarah dan Estetik Seni Rupa di
Bandung
2.1 Tinjauan Singkat Sejarah Seni Rupa Bandung
Kota Bandung sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat memiliki kehidupan kesenian yang bergairah dan memiliki posisi yang khusus dalam peta kesenian di Indonesia khususnya seni rupa. Aktivitas seni rupa dalam berbagai bentuk tumbuh dan berkembang di kota ini yang mencakup seni lukis, patung, grafis, keramik, maupun bidang-bidang desain dan kriya. Tinjauan sejarah tentang seni rupa di Bandung berikut ini menelaah beberapa peristiwa penting yang menonjol mengenai dunia kesenirupaan di Bandung menurut kurun waktu tertentu. Kurun waktu tersebut adalah: pertama, pada dekade awal abad ke dua puluh sampai dengan dekade empatpuluhan yaitu masa kolonial dan perjuangan kemerdekaan; kedua, masa-masa awal berdirinya pendidikan tinggi seni rupa di Bandung pada dekade empatpuluhan sampai dengan dekade limapuluhan; ketiga terjadinya gejolak politik yang mengakibatkan terjadinya perbenturan mahzab kesenian pada dekade enampuluhan; dan yang terakhir mengenai pengaruh kelompok Decenta dalam seni rupa Bandung dalam dekade tujuhpuluhan.
Bidang seni rupa mencakup wilayah yang beragam terdiri dari bidang-bidang dalam lingkup seni murni, desain maupun kriya. Tetapi perkembangan dalam kurun waktu pertama, kedua dan ketiga lebih didominasi oleh perkembangan seni lukis, walaupun disiplin seni rupa lainnya mulai tumbuh sejak berdirinya perguruan tinggi seni rupa di Bandung. Perkembangan disiplin seni rupa selain seni lukis tampak lebih menonjol sekitar tahun tujuh puluhan sekitar munculnya kelompok Decenta. Pada beberapa bagian, perkembangan
seni lukis berkaitan erat dengan perkembangan di luar kota Bandung, seperti pada lukisan pemandangan alam, kemudian munculnya penentangan terhadap seni lukis pemandangan alam tersebut yang dimotori oleh Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau PERSAGI di tahun 1930-an.
2.1.1 Masa Kolonial dan Perjuangan Kemerdekaan
Pada masa penjajahan Belanda, kota Bandung terkenal sebagai tempat tinggal yang sejuk dan nyaman sehingga diminati para pengusaha perkebunan dan tuan tanah Belanda. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi kota Bandung yang terletak di dataran tinggi dengan dikelilingi oleh pegunungan. Dimulai dari awal abad ke dua puluh, kota Bandung mengalami perkembangan yang pesat berkat adanya perkebunan-perkebunan yang tersebar di wilayah dataran tinggi Priangan. Perkembangan ini menarik minat pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mendorong pembangunan kota Bandung dan menjadikannya kawasan perkotaan modern dengan berbagai sarana penunjangnya dan dapat mendorong peningkatan produksi perkebunan dan komoditas lainnya. Bahkan setelah melalui berbagai proses, pemerintah Hindia Belanda sempat berencana menjadikan kota Bandung sebagai pusat pemerintahan walaupun rencana ini akhirnya tidak terlaksana akibat datangnya krisis keuangan dan ekonomi yang melanda dunia, pecahnya Perang Dunia Pertama serta dimulainya pendudukan Jepang di Indonesia pada Perang Dunia Kedua.1
Pertumbuhan kota Bandung menjadi suatu kota yang modern berdampak pada tumbuhnya berbagai kegiatan masyarakatnya di berbagai sektor termasuk kegiatan kesenian dan kebudayan. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan Barat dan pihak yang memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan kebudayaan ini adalah komunitas Belanda di Bandung. Menurut kritikus seni rupa Almarhum Sanento Yuliman2, aktivitas seni rupa yang cukup menonjol di Indonesia pada masa ini adalah adanya seni lukis pemandangan
1
Kunto, Haryoto; 1984; Wajah Bandoeng Tempo Doeloe; Bandung: Penerbit PT Granesia.
2
Yuliman, Sanento; 1976; Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar; Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, hal 5.
alam. Keindahan panorama Bandung dengan kawasan pegunungannya yang indah juga turut menjadi perhatian para pelukis pemandangan alam ini.
Sanento mencermati adanya beberapa faktor yang menyebabkan tumbuhnya seni lukis pemandangan alam pada awal abad ini. Salah satu faktor yang terpenting ialah adanya sejumlah pelukis Belanda, baik yang didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan tugas resmi misalnya untuk melukis keadan alam, kota dan lain-lain di Indonesia; maupun yang datang karena semangat bertualang dan tertarik akan alam sekitar lautan teduh3. Ada pula seniman Belanda yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Para pelukis itu memperkenalkan kepada orang Indonesia seni lukis pemandangan alam yang di Negeri Belanda telah berkembang sejak tiga-empat abad yang lalu. Dengan demikian terdapat sejumlah orang Indonesia yang tertarik hendak menjadi pelukis pemandangan alam, seperti Abdulah Surio Subroto (1878-1941) yang sempat belajar di akademi seni rupa di Negeri Belanda, Mas Pirngadi (1865-1936), Wakidi (lahir 1889) dan lain-lain. Teknik dan gaya ini di masa kemudian dilanjutkan oleh pelukis Basuki Abdullah, Sukardji, Omar Basalamah, dan dari Bandung Wahdi Sumanta. Wahdi adalah pelukis pemandangan alam yang meneruskan gaya tahun tiga puluhan ini sampai sekarang di Bandung. Wahdi mendapatkan tempat yang istimewa di kalangan perupa Bandung.
Faktor lain yang menunjang perkembangan seni lukis pemandangan alam ini adalah cita-cita kelas menengah (borjuasi) Eropa. Di Eropa, seni lukis pemandangan alam berkembang bersama perkembangan kelas menengah itu. Kelas masyarakat ini, yang intinya adalah kaum saudagar dan pengusaha, kurang menyukai lukisan yang menggambarkan adegan cerita dari Injil dan kesusastraan klasik yang menjadi kegemaran kaum bangsawan. Mereka lebih menyukai lukisan yang menggambarkan hal-hal yang biasa saja, misalnya pemandangan alam. lebih-lebih lagi, pemandangan alam membawa mereka istirahat sejenak dari kesibukan dagang dan industri di kota yang bising dan
3
kotor. Para saudagar, pengusaha, pegawai Belanda, juga para wisatawan membawa cita rasa ini ke Indonesia. Lapisan teratas masyarakat Indonesia, yaitu golongan terpelajar yang banyak bergaul dengan orang Belanda, terpengaruh cita rasa ini.
Dengan demikian pada awal abad dua puluh terbentuklah konsumen lukisan pemandangan alam di Indonesia, yaitu saudagar, pengusaha, pegawai Belanda dan para wisatawan dan lapisan terpelajar Indonesia. Sudah tentu cita rasa konsumen ini meluas ke lapisan bawah masyarakat.
Faktor lain yang juga menyebabkan berkembangnya seni lukis pemandangan alam, ialah karena kebanyakan pelukis masa itu memang senang melukis pemandangan alam4. Kesenangan itu beserta hasil penjualan dan kekaguman masyarakat yang segera kagum melihat lukisan pemandangan alam yang nampak seolah-olah kenyataan, bagi pelukis merupakan imbalan yang cukup bagi jerih payah mereka. Sebagai contoh misalnya pelukis seperti Abdullah Surio Subroto, yang meluangkan banyak waktu untuk menyingkir dari kehidupan ramai, pergi ke tempat sepi di lereng Tangkuban Perahu untuk merenungi pemandangan alam dan dengan tekun melukisnya.
Seni lukis seperti yang dipraktekkan oleh para pelukis pemandangan alam di atas rupanya melahirkan penentangan dari kalangan pelukis yang berpendapat bahwa pelukis harus membebaskan dirinya dari kaidah-kaidah, agar jiwa bisa tercurah isinya dengan sebebas-bebasnya. Pendapat ini dilontarkan oleh Sudjojono. Bersama rekan-rekannya ia mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau disingkat PERSAGI pada tahun 1937 di Jakarta. Sementara itu di Bandung bekerja pelukis-pelukis Sjafei Soemardja, Affandi dan Hendra Gunawan. Di masa-masa kemudian Sjafei Soemardja dikenal sebagai pendidik seni rupa terkemuka, sedangkan dua lainnya dikenal sebagai pelukis penting.
Dengan datangnya masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) para pelukis menghadapi keadaan baru. Dalam usaha propaganda
4
membangunkan kebudayan Timur untuk memajukan “bangsa Asia Timur Raya,” Pemerintah militer Jepang mendirikan Keimin Bunka Sihoso atau Pusat Kebudayaan, yang menyediakan sarana untuk kegiatan kesenian. Para pelukis dan budayawan memanfaatkan sarana ini untuk mengembangkan diri dan melatih bakat-bakat muda, sekaligus untuk memperkenalkan seni lukis baru kepada masyarakat luas. Pada masa ini muncul sejumlah pelukis lainnya, diantaranya Otto Djaya, Kartono Yudhokusumo, Henk Ngantung, Rusli, Barli, Mochtar Apin, Dullah, Harijadi, Hendra Gunawan, Kusnadi Sujana Kerton, Trubus dan lain-lain. Kartono Yudhokusumo, Barli, Mochtar Apin, Hendra Gunawan, dan Sujana Kerton merupakan tokoh-tokoh penting seni rupa Bandung.
Pindahnya pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta sebagai akibat pergolakan politik dan militer pada tahun 1946 diikuti pula oleh hijrahnya para pelukis, dan Yogyakarta menjadi pusat kegiatan seni lukis. Sementara itu pada tahun 1947 di Bandung didirikan Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar yang merupakan bagian dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung. Lembaga inilah yang kemudian banyak memberikan karakter tersendiri terhadap perkembangan seni rupa di Kota Bandung.
2.1.2 Pendidikan Tinggi Seni Rupa, dan Peranan Sanggar-Sanggar dalam Perkembangan Seni Rupa Bandung
Pada waktu pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1943-1945, guru gambar Simon Admiral dan pelukis Ries Mulder yang keduanya berada dalam kamp tahanan Jepang di Indonesia, merencanakan kurikulum untuk pendidikan guru gambar yang ditujukan bagi pelajar-pelajar Indonesia5. Setelah Perang Dunia kedua berakhir dan Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, para tawanan perang pun dipulangkan ke negara masing-masing,
5
Muchtar, But dan Edie Kartasubarna Jurusan Seni Rupa FTSP ITB, dalam Sanento Yuliman; Setiawan Sabana, Penyunting; 1983; Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Indonesia. Bandung: Jurusan Seni Rupa FTSP-ITB; hal 15.
termasuk Simon Admiral pulang ke Negeri Belanda. Gagasan Simon Admiral selama berada dalam tawanan Jepang tersebut kemudian disusun rapi dan diajukan kepada Kementerian Pendidikan, Kesenian, dan Pengetahuan Pemerintah Kerajaan Belanda. Maka setelah disetujui diresmikanlah Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar atau dalam bahasa Belanda Universitaire
Leergang Voor de Opleiding voor Tekenleraren pada tanggal 1 Agustus 1947
sebagai bagian dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang berkedudukan di Bandung, atau yang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang. Disamping pendidikan untuk menjadi guru di sekolah menengah, pendidikan ini juga diarahkan untuk pembinaan kreativitas pribadi. Kurikulum asli berupa pendidikan yang lamanya tiga tahun, setara dengan pendidikan guru di Negeri Belanda. Materi pelajaran praktek meliputi gambar, anatomi, gambar garis, gambar irama, seni dekorasi, membuat sketsa pada papan tulis dan pekerjaan tangan. Materi pelajaran teori meliputi sejarah kesenian Barat dan Timur, sejarah kebudayaan umum, psikologi, pedagogi, geometri, perspektif, pengetahuan bahan dan filsafat. Sebagai tenaga pengajar direkrut orang-orang Belanda. Para pengajar asal Belanda ini bekerja sampai dengan tahun 1950. Ketika itu terdapat seorang guru Indonesia pertama bernama Sjafei Soemardja yang berijazah sekolah guru gambar dari Negeri Belanda. Soemardja kemudian mengepalai balai pendidikan ini dari tahun 1951 sampai 1961.
Para mahasiswa dari angkatan pertama diantaranya Mochtar Apin, Achmad Sadali, Edie Kartasubarna, Sudjoko dan Angkama. Dibawah pimpinan Soemardja mereka kemudian diarahkan menjadi tenaga pengajar di Balai ini setelah para pengajar dari Belanda pulang ke negara asalnya.
Pada tahun-tahun berikutnya Balai ini mengalami perubahan status. Ketika berdiri Institut Teknologi Bandung pada tahun 1959, Status dari Balai ini berubah menjadi Bagian Seni Rupa dalam Departemen Perencanaan dan Seni Rupa bersama-sama dengan Bagian Arsitektur. Sejak saat ini lembaga ini dikenal dengan sebutan Seni Rupa ITB, atau Seni Rupa Bandung. Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibukanya bidang-bidang keahlian
baru yaitu desain interior, produk, tekstil dan desain grafis, disamping bidang-bidang seni rupa murni. Perkembangan berikutnya secara berturut-turut sesuai dengan perubahan struktur organisasi ITB adalah perubahan status Bagian Seni Rupa menjadi Jurusan Seni Rupa di dalam lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Kemudian yang terakhir, perubahan status menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain, terdiri dari Jurusan Seni Murni, dan Jurusan Desain6.
Di luar lingkungan Seni Rupa ITB, berdiri sanggar-sanggar seni atau organisasi perupa yang didirikan oleh para perupa Bandung, diantaranya adalah Jiwa Mukti, didirikan tahun 1948 oleh Barli, Karnedi dan Sartono; kemudian Tjipta Pantjaran Rasa atau disingkat TPR, dibentuk pada tahun 1953 oleh R. Walujo, Abedy dan Angkama Setjadipradja. Kekuatan dalam hal metodologi dan estetika dari Seni Rupa ITB secara tidak langsung mempengaruhi sanggar-sanggar tersebut melalui pengajar maupun mahasiswa yang bergabung dengan sanggar. Mochtar Apin, salah seorang dari Seni Rupa ITB bergabung dengan Jiwa Mukti dan menjadi ketuanya dari tahun 1951-1952, selain itu Angkama yang telah mengajar di Seni Rupa ITB memiliki pengaruh yang kuat dalam TPR7.
Selain kedua sanggar tersebut di Bandung terdapat pula “Sanggar Seniman” yang dipimpin oleh Kartono Yudhokusumo. Sanggar Seniman berdiri pada tahun 1952 dan berada di luar pengaruh Seni Rupa ITB. Sanggar-sanggar seni tersebut dengan aktivitas keseniannya telah memacu perkembangan seni rupa di Bandung di samping adanya pendidikan tinggi Seni Rupa ITB.
Pada tahun 1954, pelukis-pelukis generasi baru dari Seni Rupa Bandung memperkenalkan diri mereka untuk pertama kalinya di ibukota Jakarta, dalam suatu pameran yang kontroversial pada saat itu dengan
6
Ibid, hal 17
7
Holt, Claire; 1967; Art in Indonesia: Continuities and Change; Ithaca: Cornell University Press.
memamerkan dua puluh sembilan lukisan di Balai Budaya.8 Hasil karya sebelas orang perupa diantaranya Mochtar Apin, Achmad Sadali, Edie Kartasubarna, Srihadi, Angkama, Popo Iskandar dan But Muchtar, dengan pengaruh seni modern Barat yang kental, terutama kubisme, menyebabkan suatu pertentangan pendapat dalam dunia seni Indonesia. Pameran itu mendapatkan kritik pedas dari seorang kritikus dan pelukis Trisno Sumardjo (1917-1969).
Dalam suatu tulisannya yang terkenal “Bandung mengabdi laboratorium Barat,” Sumardjo menulis, kesenian modern dapat dibagi dua macam yang berbeda: pertama, seni spontan dari tanah air, dilahirkan dari jiwa dan pengalaman Indonesia, sedangkan yang kedua adalah seni tiruan atau buatan di dalam gedung-gedung sekolah “laboratorium Barat” dimana pemikiran direkatkan. Kecaman itu ditujukan kepada Seni Rupa Bandung. Mahasiswa dari lembaga ini merupakan korban dari guru-guru asing yang menyokong “modernisme.” Kesenian mereka “dangkal,” “tidak berdarah” dan bernafaskan “udara laboratorium Eropa.” Trisno Sumardjo mengharapkan agar pelukis-pelukis muda dapat membebaskan diri mereka selekas mungkin dari pengaruh Barat dalam karya mereka, dan dengan demikian mereka dapat mengembangkan “pribadi sejati” sebagai bangsa Indonesia.
Demikian pula kritikus-kritikus lain seperti Sitor Situmorang yang juga menyerang dengan tidak kalah kerasnya. Dia berpendapat bahwa modernisme adalah mode yang dangkal yang diambil dari selera borjuis Barat. Lukisan Eropa yang sedang dalam krisis tidak lebih dari suatu sulapan, suatu permainan mode dengan perspektif, komposisi dan pertentangan warna. Seni modern ini tidak mengandung arti, tidak mempunyai pesan dan tidak memiliki gambaran dunia. Seni ini hanya merupakan ekspresi visual dari dunia pribadi pelukis dan tidak akan pernah dapat mengisi fungsi kebudayaan di Indonesia. Tetapi
8
Spanjaard, Helena; 1990; Bandung, The Laboratory of the West? dalam Modern Indonesian
Art: Three Generation of Tradition and Change 1945-1990; Joseph Fischer, Editor. Jakarta and
berbagai kecaman tersebut sesungguhnya telah menempatkan Seni Rupa ITB sebagai salah satu pusat perkembangan seni rupa di Indonesia.
2.1.3 Latar Belakang Politis dalam Perbenturan Mahzab Kesenian
Pada dekade limapuluhan secara lambat laun terlontar semangat kerakyatan dalam seni lukis. Kesadaran sosial dalam seni tentang kenyatan yang tetap pahit dalam kehidupan rakyat kecil Indonesia meskipun bangsa Indonesia sudah merdeka. Beberapa kritikus merasa gelisah melihat betapa sukarnya lukisan modern dipahami masyarakat luas. Mereka menyarankan agar para pelukis melukis secara realistis saja. Di dalam kalangan pelukis sendiri, khususnya di Yogyakarta tumbuh seni lukis realis. Hal ini tidak disia-siakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melihat hal tersebut sebagai peluang alat politiknya. Maka diutuslah Nyono dari komite sentral PKI di Jakarta untuk membina dan memanfaatkanya. Para seniman yang termakan oleh propaganda dan agitasi PKI sepakat untuk bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra yang berada dibawah naungan PKI. Dari sini pula ajaran politik sebagai panglima dicanangkan ke segala sektor kebudayaan, termasuk kesenian.9
Seni lukis abstrak dan kubisme yang dianut oleh sebagian besar perupa Bandung menjadi sasaran empuk cemoohan dari seniman Lekra. Ketegangan seniman kedua kota ini berakar pada perbedaan persepsi tentang seni rupa modern. Seniman Bandung, karena lebih intensif mengkaji informasi tentang seni rupa moden, percaya pada modernisme dan universalisme. Seni rupa modern Indonesia bagi mereka adalah bagian dari seni rupa modern dunia. Sementara itu pemahaman seniman Yogyakarta tentang seni rupa modern (dunia) sangat terbatas. Dibayangi sikap anti akademi dan tradisi sanggar, seniman Yogyakarta tidak merasa perlu mengkaji prinsip-prinsip seni rupa modern. Mereka mendasarkan karya-karya mereka pada lingkungan sekitar
9
Sudarmaji; 1974; Politik Sebagai Panglima dalam Seni Lukis; Jakarta: Pemda DKI. Hal 17-20
yang dipercaya membawa keindonesiaan dan juga kesenian tradisi lokal. Salah seorang pematung muda yang baru saja pulang ke Yogyakarta dari studinya di Negeri Belanda, Gregorius Sidharta mendapatkan berbagai intimidasi yang membuatnya tidak dapat mengembangkan diri dan berkesenian secara wajar termasuk melakukan kegiatan pameran. Ketika itu ia datang dengan menampilkan seni abstraknya. Untuk beberapa saat ia berhenti dari aktivitas keseniannya, tetapi setelah itu muncul tawaran dari But Muchtar di Bandung untuk mengajar seni patung di Seni Rupa ITB.10
Seni abstrak yang pada tahun limapuluhan mulai terasa pengaruhnya di Indonesia, oleh Lekra diklasifikasikan sebagai seni liberal yang membuahkan kapitalisme dan imperialisme. Pada saat inilah polemik dan perbenturan antara mazhab Bandung di satu sisi dan Yogya di sisi lainnya menjadi semakin tajam. Pada tahun 1965 meletus pemberontakan PKI yang gagal, sejak saat itu berakhirlah riwayat Lekra. Perubahan politik karena runtuhnya pengaruh komunisme membuat keyakinan para modernis di Bandung mendapat angin. Pemerintah yang sesudah tahun 1965 seperti tiba-tiba menoleh ke Barat, mensuplai seniman Bandung dengan informasi dan juga proyek-proyek patung monumental.
2.1.4 Kelompok Decenta
Indonesia pada dekade tujuhpuluhan mengalami perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat. Laju modernisasi terlihat hampir di semua segi kehidupan. Masyarakat Indonesia, walaupun terbatas pada mereka yang tinggal di kota-kota besar, mulai merasakan adanya suatu proses peralihan. Hal-hal yang bersifat tradisinonal telah banyak digantikan oleh unsur-unsur modern yang berasal dari Barat. Modernisasi tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pula masalah pola sikap, mentalitas dan pemikiran sebagian besar manusianya. Gejala profesionalisme semakin berkembang dalam
10
Supangkat, Jim; 1995; Lukisan, Patung dan Grafis G. Sidharta; Bandung: Rekamedia Muliprakarsa, hal 19.
berbagai disiplin dan keahlian, sehingga tuntutan dan persaingan juga menjadi semakin ketat. Kenyataan ini menggugah sekelompok perupa di Bandung yang terdiri dari para seniman dan desainer yang beberapa di antaranya merupakan staf pengajar di Seni Rupa ITB.
Mereka sering berkumpul dan mengangkat permasalahan tersebut sebagai topik pembicaraan di antara mereka. Dari seringnya berkumpul dan berdiskusi, lahirlah kesamaan pandangan dalam menyadari peran dan posisi mereka sebagai seniman dan desainer di tengah jamannya. Sebagai orang-orang yang memiliki pengetahuan, keahlian dan pengalaman di bidang seni rupa dan desain, mereka merasa terpanggil untuk menerapkan ilmunya di masyarakat. Kemudian mereka bersepakat untuk membentuk suatu kelompok. Tekad tersebut membutuhkan sarana untuk menampung, mengembangkan dan merealisasikan gagasan-gagasan kreatif serta dapat mendukung hubungan langsung dengan masyarakat.
Upaya tersebut harus didukung oleh pendanaan yang memadai. Karena pada saat itu dirasa sulit untuk mengharapkan dari uluran tangan dari pemerintah, badan-badan usaha maupun perorangan. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut diambil pilihan pemecahan masalah yang paling dekat dan akrab dengan bidang keahlian yang mereka miliki, yaitu dengan mengalihkan perhatian pada pemanfaatan ungkapan bentuk seni melalui benda-benda pakai, serta melalui pengerjaan bentuk pesanan untuk berbagai kebutuhan hidup pelengkap seperti rancangan tata ruang, relief, kaca timah, rancangan taman dan berbagai bentuk elemen estetis lainnya.
Pada tahun 1973 berdirilah suatu bengkel kerja (studio) yang diberi nama studio Decenta.11 Decenta adalah kependekan dari Design Center Association atau Perserikatan Pusat Desain dalam Bahasa Indonesia. Para perupa pendiri Studio Decenta ini adalah: A.D. Pirous, seorang pelukis dan pegrafis yang juga mengajar di Seni Rupa ITB; G. Sidharta, pematung yang
11
Muryanto, Eddy Prapto. 1987. Seni Grafis Studio Decenta di Bandung Sebagai Salah Satu
Pendukung Perkembangan Seni Grafis di Indonesia. Bandung: Skripsi Jurusan Seni Murni
kemudian juga berkarya seni grafis dan seni lukis; Sunaryo, seorang pematung, juga berkarya grafis dan melukis; T. Sutanto, pegrafis dan perancang grafis; Adrian Palaar, perancang interior; Diddo Kusdinar, pegrafis; Machmud Buchari, fotografer; dan Priyanto Sunarto, perancang grafis.
Dengan terbentuknya Studio Decenta terbuka suatu sikap profesionalisme baru di Indonesia yaitu dalam bidang seni dan bidang desain. Alasan kelompok Decenta memilih cara pemecahan masalah seperti membuat benda pakai adalah sebagai salah satu cara dalam memasyarakatkan wujud-wujud seni rupa serta membiasakan masyarakat untuk bergaul dengan bentuk-bentuk itu dalam kehidupan sehari-harinya. Kegiatan Decenta di bidang desain ini memberi pengaruh terhadap aktivitas seni murni.
Terdapat dua jenis kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Decenta yaitu kegiatan desain dan seni murni. Keduanya memiliki kaitan yang erat dan saling mempengaruhi. Kegiatan Decenta di bidang desain menjangkau hampir seluruh macam perancangan bentuk yang menggunakan unsur-unsur keindahan. Mulai dari desain tata ruang atau interior, tekstil, benda pakai kebutuhan sehari-hari, desain komunikasi visual hingga desain untuk sebuah bangunan secara penuh. Bahkan pada perkembangannya menjangkau desain untuk benda-benda cinderamata dan benda-benda kerajinan atau kriya.
Hasil finansial yang diperoleh dari kegiatan desain sebagian dipergunakan untuk keperluan lainnya termasuk seni murni. Karya-karya yang telah dibuat antara lain: Convention Hall, Gedung MPR/DPR RI, Gedung ASEAN, Pameran Produksi Indonesia, Festival Istiqlal, pembuatan Mushaf Al-Quran dan lain sebagainya yang tersebar di berbagai kota di Tanah Air. Selain itu Decenta juga telah merambah tingkat internasional, di antaranya adalah Milan International Fair, Asian Trade Fair 1978 di Manila, Oregon Trade Fair di Portland, Oregon, Amerika Serikat dan lain sebagainya. Kegiatan desain tersebut meliputi perancangan berbagai macam benda.
Kegiatan dalam bidang seni murni pun mengalami perkembangan yang baik. Dimulai oleh dukungan dana yang diperoleh dari keuntungan di bidang
desain, Decenta dapat membangun saran fisik untuk menunjang kegiatan seninya. Kegiatan Studio Decenta dalam bidang kesenian yang secara rutin diadakan antara lain kegiatan pameran seni lukis, patung, garfis, keramik dan lain sebagainya. Khusus mengenai seni grafis, seniman-seniman kelompok Decenta giat bekerja dalam seni grafis, khususnya cetak saring.
Dalam kegiatan pameran, Studio Decenta tidak membatasi pada karya-karya seni rupa modern saja, tetapi juga seringkali menampilkan jenis-jenis seni tradisonal. Selain pameran kegiatan lain yang juga seringkali diadakan adalah diskusi dan pemutaran slide atau film. Kegiatan tersebut diadakan dalam kurun tertentu dengan melibatkan seniman-seniman lain, pengamat seni dan masyarakat awam. Dalam kaitan dengan perkembangan seni rupa di Indonesia, Studio Decenta berperan dalam menggali unsur-unsur tradisi, membangun infrastruktur galeri, menumbuhkan dan mempopulerkan seni grafis selain sebagai biro desain.
2.2 Tinjauan Estetik Seni Rupa Bandung
Secara garis besar perkembangan seni rupa Bandung dari segi estetis dapat diilustrasikan dengan singkat sebagai berikut: diawali oleh berdirinya pendidikan tinggi Seni Rupa ITB, dengan kecenderungan kuat pada formalisme. Pada masa dengan jelas sekali nampak kesamaan bentuk dan isi dari lukisan para perupa Mochtar Apin, Achmad Sadali, Edie Kartasubarna, Srihadi, Angkama, Popo Iskandar dan But Muchtar yang berdasarkan pendidikan dari Ries Mulder.
Setelah itu melalui proses yang lebih bersifat personal dari masing-masing perupa mulailah muncul kecenderungan baru yang lebih menampakan keragaman gaya walaupun pertimbangan formal masih kuat mengakar. Salah satu kecenderungan yang cukup menonjol adalah munculnya lukisan bertemakan religius dalam hal ini Islam yang dipelopori oleh Achmad Sadali dan A.D. Pirous.
Kemudian dalam bingkai seni kontemporer bermunculanlah perupa-perupa muda yang membawakan gaya dan estetika kekinian sebagai tanggapan terhadap kondisi sosial disekelilingnya. Pertimbangan formal yang begitu kuat mengakar dalam generasi sebelumnya sudah tidak lagi menjadi permasalahan penting. Para peupa muda kemudian banyak yang mencoba menggunakan bahasa ungkap baru, yaitu instalasi.
2.2.1 Gaya Formalisme dalam Seni Rupa Bandung
Karya-karya dari masa awal para perupa “Aliran Bandung” seperti Mochtar Apin, Achmad Sadali, Edie Kartasubarna, Srihadi, Angkama, Popo Iskandar dan But Muchtar menunjukkan pengaruh yang kuat pendidikan kesenian Belanda dan kegemaran dari guru lukis Ries Mulder terhadap pelukis Perancis Francois Villon.12 Objek-objek lukisan merupakan kehidupan tenang, penelaahan gambar orang dan potret-potret bergaya kubis. Pengaruh dari Ries Mulder sendiri menjelma dalam bentuk-bentuk geometrik yang abstrak yang selalu disusun secara mosaik.
Bentuk-bentuk obyek dirombak menjadi motif yang datar, yang terjadi oleh perpotongan sejumlah garis lurus dan lengkung. Seluruh lukisan terjadi oleh garis yang membagi-bagi permukaan kanvas, serta warna-warna yang rata dengan mengisi bidang-bidang geometris yang terjadi oleh perpotongan garis. Dengan demikian yang segera nampak pada lukisan, atau yang menguasai penglihatan, ialah suatu susunan garis dan bidang geometris yang berwarna-warni, bentuk obyeknya tenggelam dalam jaringan perpotongan sejumlah garis lurus dan lengkung tersebut. Lukisan Srihadi Sudarsono “Wanita Duduk”, 1957, yang melukiskan lima sosok wanita hanya dalam impresi lewat belahan-belahan geometris, dalam penglihatan mengingatkan kepada kekayaan imaji dan konsepsi kubisme yang dibawa Picasso atau Braque.
12
Suparman, Tjetjep; 1977; Pengaruh Gaya Lukisan Jacques Villon pada Pelukis-Pelukis di
Seni Rupa Bandung (UI-ITB) pada Tahun 1950-1960; Skripsi Departemen Seni Rupa, FTSP
Penggunaan teknik warna tertentu dapat diperhatikan dalam hasil karya Mulder dan murid-muridnya. “Perahu” karya Ries Mulder, “Taman Sentral” dari Sadali, “Gadis yang Sedang Duduk” dari But Muchtar, “Figur” dari Mochtar Apin maupun “Atelier” oleh Popo Iskandar, kesemuanya merupakan representasi dari Aliran Bandung di masa itu. Pada lukisan-lukisan tersebut unsur-unsur rupa seperti garis, warna dan tekstur menjadi perhatian utama.
Kecenderungan formalisme ini walaupun seringkali dianggap sesuatu yang tidak lagi menghasilkan sesuatu yang baru tetapi masih mempunyai pengaruh pada beberapa perupa Bandung terutama mereka yang berada di lingkungan Seni Rupa ITB maupun alumninya. Selain itu formalisme di Bandung dapat dikatakan sebagai ciri khas kalangan akademi yang berada di Bandung yaitu Seni Rupa ITB.
2.2.2 Tema Religius (Islam) dalam Seni Rupa Bandung
Pada kecenderungan ini tercatat nama-nama Achmad Sadali dan A.D. Pirous. Ahmad Sadali pada tahun 1968 meninggalkan abstrak geometris. Kanvasnya memperlihatkan warna-warna cemerlang yang lebar-lebar dan tidak menggambarkan objek apapun. Dalam perkembangannya kemudian, kanvas Sadali menyuguhkan warna-warna yang lebih redup seperti warna tanah oker, biru dalam dan hitam. Tekstur memegang peranan penting. Tekstur ini nampak seolah-olah terjadi oleh bermacam tenaga dan proses dalam alam; penegangan dan pengerutan, peretakan dan pemecahan, pengelupasan dan penyobekan, pengikisan dan pelapukan, proses menua dan menghancur.
Pada lukisan Sadali dalam masa perkembangan ini tidak ada sapuan kuas lebar dan kuat yang merekam tenaga dan emosi pelukis, dan yang membuat pengamatan kita bergerak cepat. Segala retakan dan tekstur, berbagai coretan dan goresan yang bergetar dan pendek, menyebabkan setiap jengkal bidang lukisan Sadali merupakan rupa yang kaya dan menawan kita untuk mengamati dengan tenang dan cermat, untuk diam dan merenunginya. Keusangan dan kelapukan, ketuaan dan kelampauan, memang merupakan hal
yang pantas membuat kita termenung. Apalagi bila Sadali pada kanvasnya menempatkan lelehan dan sisa emas kemilau atau menempatkan bentuk yang kita tangkap sebagai lambang misalnya sepotong ayat suci dalam huruf Arab, segi empat hitam yang mengingatkan kepada Ka’bah, bentuk seperti gunungan (kekayon atau pohon hayat) atau gerak ke atas (vertikal).
Perhatian Sadali kepada tekstur sebagai elemen yang sangat penting dalam lukisannya, menyebabkan ia menggunakan cat yang tebal dan kadang-kadang merekatkan potongan kain pada kanvasnya. Tekstur yang makin menonjol ini membawanya kepada relief.13
A.D. Pirous, sejak 1970 mengambil kaligrafi Arab sebagai pokok lukisannya. Di sini kita menemukan seni lukis yang mengambil seni lain sebagai sumber ungkapan: seni tulis Arab pada manuskrip dan batu nisan, seperti banyak terdapat di Aceh, daerah kelahiran Pirous. Kadang-kadang Pirous mengambil suatu ayat suci, mencoba memadukan maknanya dengan seluruh elemen rupa lukisannya. Kadang-kadang dari kaligrafi itu ia hanya mengambil gerak dan iramanya.14
Kecenderungan tema-tema keagamaan seperti penggunaan kaligrafi dalam lukisan Achmad Sadali, A.D.Pirous maupun pelukis-pelukis lainnya kemudian memiliki tempat tersendiri dalam seni lukis kontemporer Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan adanya perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah, kalangan intelektual maupun masyarakat luas pada umumnya, dan dengan diselenggarakannya Festival Istiqlal di Jakarta.
2.2.3 Keragaman Media dan Perkembangan Seni Rupa Kontemporer di Bandung
Berbagai peristiwa sekitar konsep estetik dan seni rupa terjadi di sekitar tahun 1970-an. Di Bandung tumbuh aktivitas kesenian yang dimotori oleh
13 Yuliman, Sanento; Ayat Quran d an Sosok Batang; Mingguan Berita Tempo, 12 September
1987, Hal 69.
14
Furuichi, Yasuko (ed); Diverse Development in Indonesia, the Philipines, and Thailand; Tokyo: The Japan Foundation Asia Center.
kelompok Decenta. Dalam aktivitas studio Decenta, desain dan seni berjalan bersama-sama. Seni berkembang tanpa sikap membedakan seni tradisional dan seni modern. Dengan sangat intensif mereka menginformasikan seni kepada masyarakat luas dan mencari berbagai alternatif agar seni dapat tumbuh dan dapat diterima oleh masyarakat. Pada studio Decenta dapat dilihat kecenderungan diversifikasi medium yang dilakukan pada para perupa Bandung, misalnya pelukis mencoba medium seni grafis, pegrafis mencoba berkarya seni patung, atau pematung berkarya keramik dan membuat seni cetak dan lain sebagainya. Adanya diversifikasi medium ini sesungguhnya menandakan sikap para perupa yang tidak lagi memandang penting pembedaan seni berdasarkan medium. Disamping itu terdapat semangat pencarian “identitas” melalui penggalian kekayaan tradisi sebagai tema dalam berkarya. Identitas tersebut dalam arti pencarian karakter individual.
Sementara itu pada perkembangan lain para perupa dari akademi di Bandung dan Yogya bergabung dalam suatu pameran dengan judul “Pameran Seni Rupa Baru Indonesia” di Jakarta sebagai bentuk penolakan terhadap penyelenggaraan Bienal Seni Lukis Jakarta kedua pada tahun 1974. Hal penting yang kemudian muncul adalah mengenai peran dan posisi seni di masyarakat menyangkut digugatnya jiwa romantisime di kalangan seniman pada generasi sebelumnya yang melahirkan sikap art for art sake. Selain itu perdebatan mengenai dikotomi Yogya-Bandung dalam seni rupa Indonesia mulai pudar. Iklim kesenian baru mulai tumbuh dengan kondisi ekonomi dan politik yang berbeda dengan masa sebelumnya.
Perkembangan tersebut memerlukan pendefinisian seni rupa yang baru. Aspirasi inilah yang mendasari munculnya “Gerakan Seni Rupa Baru.” Selain definisi baru, secara eksplisit gerakan ini mengutarakan pula perlunya dasar pemikiran estetik dan studi sejarah seni rupa untuk perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, menggantikan perdebatan kebudayaan tentang identitas dan konfrontasi Barat-Timur. Gerakan ini mencoba menyeret perdebatan seni rupa ke lingkaran perdebatan seni rupa yang spesifik.
Pameran yang diselenggarakan gerakan ini, dari tahun 1975-1980, dan dari tahun 1987-1989, menandai berkembangnya karya-karya non-lukisan dan non-patung. Gerakan ini memperkenalkan idiom-idiom seni rupa kontemporer yang belum pernah disentuh oleh para perupa di Indonesia. Namun konsep di balik idiom-idiom baru ini kembali menunjukkan permasalahan definisi seni rupa Indonesia. Sampai dengan saat ini permasalahan ini kerapkali muncul dan diangkat sebagai wacana utama dalam berbagai diskusi kesenian maupun aktivitas pameran para perupa Bandung. Kegelisahan para perupa, yang umumnya para perupa muda di kota Bandung mendorong mereka untuk berkarya secara lebih kritis dengan kepekaan baru, dan tanggap terhadap kondisi sosial, budaya, politik serta lingkungan di sekitarnya.
BAB III
Data Mengenai Para Perupa di Bandung
3.1 Data Perupa di Bandung
Perupa terdiri dari para praktisi seni rupa termasuk kritikus, sejarawan dan teoritisi, serta dosen dan pengajar seni. Berikut ini adalah uraian mengenai masing-masing perupa terdiri dari para perupa yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia, dengan urutan nama yang disusun secara alfabetis:
A
Abay Subarna
Abay Subarna adalah salah satu perupa Bandung yang turut memperkuat trend seni lukis kaligrafis islami di Indonesia yang mulai tumbuh di awal dekade 1970-an. Abay pernah tinggal beberapa lama di Paris untuk menyelesaikan studi doktoral di Universitas Sorborne (1976-1983). Seni rupa dan arsitektur Islam, yang merupakan bidang studi akademiknya sangat memberikan warna dalam karirnya sebagai seorang pelukis.
Keakraban penelitiannya terhadap kaligrafi Islam telah sangat mudah mengimbas ke dalam karya seni lukisnya. Hal ini didukung dan dimungkinkan pula oleh bentuk dan gaya seni lukis abstrak yang berkembang di Bandung. Kekhasan bentuk abstrak seni lukis Bandung membuat gaya seni lukis kaligrafis islami dapat tumbuh dan berkembang secara serasi.
Dalam karyanya yang berjudul “Ayat Suci Berlatar Bongkah-Bongkah Bernuansa” dapat dicermati bagaimana kepiawaian Abay dalam mengolah kaligrafi dan unsur-unsur rupa. Karya ini terdiri dari empat baris tulisan Arab yang diambil dari kutipan ayat Al Quran yang disusun menghampar secara simetris di tengah bidang lukisan berbentuk bundar. Bidang bundar tersebut didominasi oleh retakan-retakan yang tampak menyerupai retakan tanah liat
yang diberi warna putih. Pada beberapa bidang nampak warna putih tersebut agak kecoklatan, sementara pada bagian lain terutama di sekitar huruf Arab warna putih yang dominan tersebut agak berwarna kebiru-biruan. Huruf Arab dari ayat suci sendiri berwarna keemasan. Pertimbangan formal tampak begitu kuat. Dalam lukisan ini dapat disaksikan adanya tertib rupa dalam bongkahan atau retakan dan ayat-ayat Al Quran.
Ayat-ayat suci Al Quran dengan jelas membawa pikiran ke dalam suasana islami. Pemahaman terhadap Al-Quran dan penghayatan terhadap ajaran Islam sangat menentukan kualitas dan makna dari lukisan-lukisan kaligrafis islami. Penghayatan Abay Subarna terhadap agama Islam yang dianutnya serta didukung pula oleh latar belakang pendidikannya menjadikan lukisan kaligrafis islami yang ditekuninya tidak berhenti pada ikon-ikon keagamaan semata.
Abay Subarna lahir d Limbangan, Garut, Jawa Barat. Setelah meraih gelar kesarjanaan dari Jurusan Seni Rupa ITB tahun 1969, Abay melanjutkan pendidikan di Universitas Sorborne, Paris, Perancis. Abay sering mengikuti pameran bersama di dalam dan luar negeri. Pameran tunggalnya diselenggarakan pada tahun 1993. Di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Abay mengajar beberapa mata kuliah teori dan sejarah seni.
Abdul Djalil Pirous
Abdul Djalil Pirous, yang terkenal dengan nama A.D. Pirous lahir pada tahun 1933 di Meulaboh, Aceh. Pada tahun 1955 ia memasuki Departemen Seni Rupa ITB. Pada tahun-tahun masa kuliahnya di ITB ia bergabung dengan Sanggar Seniman pimpinan Kartono Yudhokusumo. Setelah menyelesaikan studinya di ITB pada tahun 1964, Pirous bergabung menjadi pengajar di Seni Rupa ITB.
Pengaruh yang didapat Pirous pertama kali dalam perjalanan seni adalah gaya lukisan formalistik yang menjadi ciri khas Seni Rupa ITB pada masa-masa 1960-an. Lukisan-lukisan Pirous pada tahun-tahun tersebut
merupakan komposisi berbagai bentuk geometris yang disusun melalui pengulangan dan variasi bentuk.
Pada tahun 1969 A.D. Pirous berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar seni grafis dan desain grafis di Institut Teknologi Rochester, di Rochester, New York selama dua tahun. Setelah menyaksikan sebuah pameran tentang seni rupa Islam dari Timur Tengah yang digelar di Museum Seni Metropolitan, New York, Pirous mulai terilhami untuk mengeksplorasi kaligrafi Arab sebagai medium ekspresi baik dalam seni lukis maupun seni grafis.
Ketika melanjutkan studi di Amerika tersebut, Pirous mulai membuat etsa dengan menampilkan berbagai macam tekstur. Dalam periode ini dan setelah menyaksikan pameran seni kaligrafi Islam di New York tumbuh kerinduannya pada simbolisme dalam akar budaya tanah kelahirannya Aceh. Aceh dikenal dengan warisan budaya Islam yang sangat kaya. Karyanya yang dibuat pada tahun 1970 dengan teknik etsa mulai menampilkan kutipan ayat-ayat Al-Quran.15
Sekembalinya ke Indonesia, Pirous mulai bekerja sebagai desainer grafis dan kemudian mengepalai bagian desain grafis dari Seni Rupa ITB. Sampai sekarang Pirous aktif melukis disamping sebelumnya telah dikenal sebagai pegrafis. Pirous juga dikenal sebagai seorang pendidik dan pelopor bidang desain grafis di Indonesia.
Penemuan kembali tradisi budaya merupakan langkah yang signifikan dalam kerja seninya. Sejak itu Pirous secara konsisten mengguanakan kaligrafi Arab sebagai medium ekspresi baik dalam lukisan maupun grafis. Banyak karyanya memuat kutipan ayat Al-Quran. Kualitas sesungguhnya dari karya Pirous ada pada penghayatan emosional.16 Karyanya yang berjudul “Tumbuh” terdiri dari bentuk-bentuk keemasan menyerupai huruf Arab ditempatkan
15 Furuichi, Yasuko (ed); Diverse Development in Indonesia, the Philipines, and Thailand.
Tokyo: The Japan Foundatio n Asia Center; hal 216.
16
Supangkat, Jim; 1993; AD Pirous; Katalog The Fisrt Asia-Pasific Triennial of Contemporary
secara vertikal di tengah kanvas, nampak seperti sesuatu yang tumbuh dari dasar kanvas.
Di bidang desain Pirous bersama rekan-rekannya di Seni Rupa ITB pada tahun 1973 mendirikan studio Decenta. Decenta adalah kependekan dari Design Center Association atau Perserikatan Pusat Desain dalam Bahasa Indonesia.
Pirous telah berpameran di dalam dan luar negeri, serta telah mendapatkan penghargaan di antaranya medali perak pada Seoul International Art Competition pada tahun 1984, kemudian penghargaan seni untuk seni rupa kontemporer di Jakarta pada tahun 1985.
Aceng Arif
Aceng Arif adalah pelukis yang telah banyak memiliki pengalaman dalam seni lukis pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sebagai pelukis, ia pernah belajar dan mencari pengalaman di Kopenhagen, Denmark, dan sempat memamerkan karya-karyanya di beberapa kota di Indonesia, negara-negara Asia lainnya, dan Eropa. Setelah berumahtangga, Aceng memutuskan untuk mengundurkan diri dari kegiatan berkesenian. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri pada Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Setelah beberapa lama ia memutuskan untuk kembali melukis pada tahun 1989.17
Dalam sebuah pameran yang diselenggarakan pada tahun 1989, Aceng memamerkan lukisan-lukisannya yang ia beri judul hanya dengan huruf, dari A sampai Z, lalu AB, AC dan seterusnya. Dalam lukisan-lukisannya tersebut Aceng menjelajahi tekstur dengan ketebalan cat, torehan, dan tempelan tekstil semacam bahan karung atau goni. Ia juga memanfaatkan lelehan cat, lubang, jahitan, dan kaca cermin. Berbagai efek tampak acak, informal. Tetapi selalu ia dapat merangkumnya, membenahinya dalam tata rupa yang tertib, apik dan bersih. Bahkan tempelan tekstil yang tebal dan kasar itu menjadi apik dan rapi, dengan kerutan-kerutan yang beraturan.
17
Kritikus seni rupa terkemuka Almarhum Sanento Yuliman menuliskan interpretasi mengenai lukisan Aceng Arif dalam tulisan kritiknya di Mingguan Berita Tempo sebagai berikut:
Karya-karya Aceng Arif memberikan kesan terlalu dikemas, memperlihatkan kadar keberaturan yang jelas, sering pada tingkat di mana orang sukar merasakan hidup dan kehangatan. Aceng juga menggunakan bermacam bentuk bingkai diantaranya berupa lingkaran, belah ketupat, bentuk menyerupai kupu-kupu, bingkai yang sisi atasnya lebih panjang dari sisi bawah dan sebagainya. Lukisannya yang berjudul AE, kaya dengan bintik atau bercak warna-warni (emas, hijau, merah, dan lain-lain) mengingatkan kepada karya Aceng di masa lalu, tetapi nampak lebih matang, lebih terolah dan terkendali. Sejumlah lukisan Aceng lainnya dapat dikenali sebagai pemandangan alam, misalnya menyajikan pegunungan dengan guratan atau coretan-coretan putih, emas, merah, hijau, kuning turun dari puncak. Lukisan-lukisan tersebut orisinal, hidup, dan menarik oleh kadar khayal yang ditampilkannya.18
Aceng Arif lahir di Tasikmalaya tahun 1937. Lulus dari Departemen Perencanaan dan Seni Rupa ITB pada tahun 1967. Setelah itu melakukan studi lanjutan di Jurusan Seni Lukis pada Royal Academy Copenhagen, Denmark pada tahun 1971. Aceng Arif telah beberapa tahun tinggal di luar negeri dan mendapatkan banyak pengalaman kesenirupaan. Sampai sekarang bekerja di Bagian Perencanaan Pembangunan pada Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat. Sejak tahun 1972 sampai sekarang memberi kuliah seni rupa di Universitas Trisakti Jakarta.
Achmad Sadali
Ahmad Sadali adalah salah seorang pelukis terkemuka Indonesia yang juga perintis seni lukis abstrak di Indonesia. Selain itu ia dikenal pula sebagai seorang cendekiawan muslim dengan aktivitasnya dalam bidang sosial dan kemasyarakatan diantaranya sebagai Ketua Yayasan Pembina Masjid Salman ITB dan juga salah seorang pendiri Universitas Islam Bandung (Unisba).
Seni lukis Sadali berciri meditatif, simbolik dan sekaligus ekspresif. Sadali secara jelas menampakkan keseimbangan dalam lukisannya yang nampak didasari perhitungan yang cermat tanpa meninggalkan getaran
perasaan yang terekam dalam tarikan garis atau torehan spontan. Selain itu lukisan-lukisannya menampakkan pola-pola geometris, gunungan serta warna-warna dan bentuk yang syarat makna. Kemusliman Sadali juga menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan lukisan abstraknya. Gaya seni lukisnya ini bermula dari tahun 1968. Ia sendiri sering menyebut gaya lukisannya sebagai “abstrak meditatif” karena lukisannya memang lebih banyak berperan sebagai objek kontemplasi dan perenungan.19
Mengenai lukisan Sadali, kritikus seni rupa terkemuka Almarhum Sanento Yuliman dalam sebuah tulisan kritiknya menguraikan deskripsi sebagai berikut:
Permukaan lukisan Sadali sering diisi dengan bidang, batang, lempengan, torehan (geometris), bundaran, gunungan, bentuk terpecah, goresan keratan, noktah, bongkah, sisa-sisa (emas), tekstur, jalur-jalur serta simbol-simbol. Sadali memberi judul karya-karyanya langsung mengatakan yang disajikannya. Sebagai contoh karyanya yang berjudul “Empat Batang Melingkar Bersisa Emas, Latar Hijau Daun”. Yang terlihat memang empat batang yang disusun berkeliling menjadi segi empat. Pada batang-batang itu tampak sisa emas, berlatar hijau daun. Pada karya tersebut yang tampak sederhana, penglihatan tidak meluncur cepat mengikuti “sapuan lebar” yang membentuk batang. Berbagai ciri pada batang ini menahan penglihatan, hingga bergerak lambat, memperhatikan garis-garis pinggir yang sangat bervariasi, cat yang bertumpuk dan menebal di sana-sini, tekstur dan sebagainya. Penglihatan juga ditawan untuk memperhatikan hubungan antara sosok batang itu satu sama lain, antara sosok, latar dan format bidang.20
Lebih jauh Sanento memberikan interpretasi dan evaluasi atas karya-karya Sadali sebagai berikut:
Karya Sadali mempunyai sifat membawa penglihatan untuk berperilaku tenang dan merenungi. Kehadiran “sisa emas” menambah sifat ini. Kilau yang terang dan jernih ini berlawanan dengan warna sekitarnya yang cenderung redup: coklat, biru, hijau, merah tua, oker putih dan lain-lain. Kilau ini adalah “sisa-sisa” pada bidang, batang, atau bongkah yang tampak pecah tak beraturan, terkadang tampak kemilau. Emas yang tersisa, yang bertahan, atau yang pecah berantakan itu dapat ditafsirkan sebagai kejayaan, kekuasaan atau
18 Yuliman, Sanento; Yang Bertahan, Pergi, Balik Kembali; Mingguan Berita Tempo, 8 Juli
1989, Hal 67.
19 Yustiono; Achmad Sadali, Perintis Seni Lukis Abstrak Indonesia, dalam Mengenang Perintis
Seni Rupa Indonesia; Katalog Pameran; Bandung: IA-ITB; hal 47.
20
Yuliman, Sanento; Ayat Quran dan Sosok Batang; Mingguan Berita Tempo, 12 September 1987; hal 69.
terang rohani. Unsur lain yang terdapat dalam sejumlah lukisan Sadali adalah tulisan Arab, sehingga terdapat dua unsur yang atau dua macam faktor yang hadir bersama. Yaitu unsur atau faktor rupa dan unsur atau faktor kata. Hubungan atau interaksi antara kedua unsur atau faktor tersebut akan sulit dalam membentuk pengertian yang bulat apabila pengutamaan budidaya rupa mengabaikan pertalian semantik antara rupa dan kata dalam lukisan.21
Dalam sebuah tulisan mengenang Almarhum Sadali, kritikus seni rupa Yustiono menyebutkan adanya lima tahapan atau periode dalam perjalanan kesenian Sadali.22 Tahap pertama berupa upaya abstraksi pribadi yang berlangsung antara tahun 1949-53. Dalam masa ini sebagai mahasiswa Sadali bertolak dari cara melukis yang diajarkan kepadanya. Sebagaimana mahasiswa lainnya ia melukis pemandangan, alam benda, figur dan kombinasi dari ketiganya. Kemudian dalam tahap kedua yang meliputi masa antara 1953-56, lukisan telah diperlakukan sebagai “alam baru”. Tahap ini merupakan tahap yang semakin mendekat ke arah seni lukis abstrak. Tahap berikutnya meliputi tahap antara 1957-62. Karya-karyanya pada masa ini masih menampakkan objek alam dalam gaya yang mendekati Jacques Villon. Kecenderungan pada gaya Villon pada masa itu merupakan kecenderungan umum pada para pelukis hasil didikan Ries Mulder. Tahap keempat yang meliputi rentang waktu 1963-68 merupakan masa eksperimen pada bentuk lukisan yang sama sekali tidak menampilkan objek alam. Pada masa ini nampak kecenderungan pada gaya deStijl. Pada periode ini karyanya sangat sedikit. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh situasi politik yang tidak menentu. Tahap kelima merupakan masa paling panjang dan berlangsung antara 1968-87. Pada periode inilah Sadali mulai memasukkan unsur tulisan Arab dalam lukisan-lukisannya, selain penggunaan unsur tekstur dan warna emas yang menjadi ciri khas lukisannya. Tahap kelima ini juga menampakkan keragaman bentuk yang kaya dan menjadi bukti vitalitas Sadali.23
21 Yuliman, Sanento; Ayat Quran dan Sosok Batang; Mingguan Berita Tempo, 12 September
1987; hal 69.
22
Yustiono, Op. Cit.; hal 37
23