• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan itu telah dimuat dalam bentuk buku ataupun jurnal. Adapun beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini akan dikemukakan sebagai berikut. Dalam bentuk jurnal dilakukan oleh Siti Hariti Sastriyani, dengan judul “Studi Gender dalam Komik-komik Perancis Terjemahan”, dalam Diksi Jurnal Ilmiah bahasa dan Sastra , dan Pengajarannya, Volume 16, Nomor 2, halaman 123-132. Jurnal ini sangat membantu penulis dalam memahami karakter tokoh lewat gender dalam komik.

Penulisan dalam bentuk Buku dilakukan oleh (1) Alfi Satiti yang berjudul Mewaspadai Misteri Gila Naruto terbit 2009. Buku ini merupakan panduan praktis menonton Naruto. Panduan tersebut merinci dan mengatur jadwal harian anak, mempelajari, membimbing dan mengarahkan bakat serta minat anak.

Penelitian ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam memahami dampak psikologi anak lewat komik. (2) Selanjutnya Imam Musbikin menulis buku dengan judul Anakku Diasuh Naruto. Buku ini memberikan informasi tentang bagaimana kepedulian terhadap kesehatan dan kecerdasan jiwa generasi muda dengan

(2)

menyajikan uraian memikat dan menyeluruh tentang fenomena komik/animasi Naruto bagi kesehatan dan psikologi (mentalis) anak. Buku yang ditulis Imam Musbikin sangat membantu penulis dalam memahami manga atau komik tentang Naruto. Dengan demikian diketahui bahwa pembicara tentang Nilai moral dalam komik Naruto, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang Nilai Moral dalam Komik Naruto dalam pendekatan sosiologi sastra.

2.2 Konsep

2.2.1 Nilai Moral

Nilai moral mencerminkan siapa diri kita yang sebenarnya, nilai moral merefleksikan siapa diri kita yang seharusnya. Nilai moral itu mendemonstrasikan bagian terbaik atau terburuk dari diri kita. Pertama, kita harus mengembalikan masalah ke tempat kedudukan semula yakni perbedaan nilai moral yang seharusnya. Kita harus tahu apa tolak ukur nilai moral.

Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasysrakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.

(3)

Dilihat dari segi bentuk isi karya sasra moral merupakan unsur isi yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, berupa makna yang terkandung dalam sebuah karya. Makna moral biasanya menyarankan pengertian ajaran tentang baik buruk berupa perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.

Namun tidak jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang lain, atau bangsa yang lain. Padangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanya.

Velazquez memberikan pemaparan pendapat para ahli etika tentang lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral (2005: 9-10).

Kelima ciri tersebut adalah :

1) Standar moral berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara serius atau benar-benar menguntungkan manusia. Contoh standar moral yang dapat diterima oleh banyak orang adalah perlawanan terhadap pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, dan pelanggaran hukum.

2) Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu. Meskipun demikian, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya.

3) Standar moral harus lebih diutamakan dari pada nilai lain termasuk kepentingan diri. Contoh pengutamaan standar moral adalah ketika lebih memilih menolong

(4)

orang yang jauh di jalan, ketimbang ingin cepat sampai tempat tujuan tanpa menolong orang tersebut.

4) Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Dengan kata lain, pertimbangan yang dilakukan bukan berdasarkan keuntungan atau kerugian pihak tertentu, melainkan memandang bahwa setiap masing-masing pihak memiliki nilai yang sama.

5) Standar moral diasosiakan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu. Emosi yang mengasumsikan adanya standr moral adalah perasaan bersalah, sedangkan kosakata atau ungkapan yang mempresentasikan adanya standar moral yaitu “ini salah saya”, “saya menyesal”, dan sejenisnya.

Dari kelima standar moral tersebut, nilai moral dalam komik Naruto lebih ditekankan pada standar moral yang keempat yang tidak memihak. Moral dalam karya sastra seperti komik Naruto biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang, tentang nilai-nilai kebenaran. Ia berupa petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, melalui cerita, sikap dan tingkah-tingkah tokohnya.

Dalam kamus psikologi Chaplin (2001), disebutkan bahwa “Moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.

Sementara Kohlberg dalam Monks dan Rahayu Hotituna (2006 : 312) meneliti penilaian moral dalam perkembangannya, jadi apa yang dianggap baik

(5)

(seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam stadium yang berbeda-beda.

Berdasarkan defenisi di atas, dapatlah disimpulkan bahwa “Moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran.Nilai moral tidak terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran, misalnya, merupakan suatu nilai moral, tetapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan pada nilai lain, seperti nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan pada nilai manusiawi lebih umum, misalnya, cinta antara suami-istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat “pramoral”. Nilai-nilai itu mendahului tahap moral, tapi bisa mendapat bobot moral.

Walaupun nilai moral biasanya menumpang pada nilai-nilai lain, namun ia tampak sebagai suatu nilai baru, bahkan sebagai nilai yang paling tinggi. Menurut Bertens (2007: 142-147) nilai moral mempunyai ciri-ciri (1) berkaitan dengan tanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan, (4) bersifat formal.

1. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita

Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia tetapi hal yang sama dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Khusus menandai nilai moral bahwa nilai ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia

(6)

bertanggung jawab. Nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Karena itu harus kita katakan bahwa manusia itu sendiri menjadi sumber nilai moralnya. Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral, tidak lagi merupakan nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari keputusan bebas manusia. Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandaikan peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya nilai-nilai intelektual dan estetis.

2. Berkaitan dengan Hari Nurani

Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya, seolah-olah “minta” supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi musik, atau cara lain. Kalau sudah jadi, lukisan “minta” untuk dipamerkan dan musik “minta” untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menetang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai-nilai-nilai moral.

Hati nurani dapat diberi batasan sebagai keputusan praktis akalbudi yang mengatakan bahwa suatu perbuatan individual adalah baik dan harus dikerjakan

(7)

suatu perbuatan buruk. Menurut Poespoprodjo (1999:243). Ada tiga hal yang tercakup dalam hati nurani, yaitu:

”a. Intelek sebagai kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan individual benar dan salah. b. Proses pemikiran yang di tempuh secara intelek guna mencapai keputusan semacam itu. c. Keputusannya sendiri merupakan kesimpulan proses pemikiran.”

Hati nurani dapat menjadi penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang akan datang, mendorong kita untuk melakukannya atau menghindarinya, karena keputusan hati nurani adalah keputusan intelek dan keintelekan bias salah karena memakai premis-premis yang menarik sebuah kesimpulan yang tidak logis.

3. Mewajibkan

Berhubungan erat dengan ciri mewajibkan adalah bahwa nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolute dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan yang bermutu tinggi.

Orang yang tidak mempunyai nilai-nilai ini tetap merupakan manusia yang sungguh-sungguh dan lengkap. Tetapi diharapkan dan malah dituntut bahwa setiap orang menjunjung tinggi dan mempraktekkan nilai-nilai moral. Orang yang tidak mempunyai nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia. Apalagi, setiap orang diharapkan menerima semua nilai moral dan menolak nilai moral lainnya. Tidak mungkin, misalnya, seseorang mengatakan: “saya menerima kejujuran dan

(8)

kesetiaan sebagai nilai dalam hidup saya, tetapi keadilan saya tolak.” Nilai-nilai moral mewajibkan manusia dengan cara demikian agar setiap orang harus menerima semuanya.

4. Bersifat Formal

Nilai moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral merupakan nilai-nilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti yang sudah menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa nilai-nilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari Nilai-nilai-Nilai-nilai lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang lain dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral bernilai ekonomis. Seorang seniman berperilaku moral pada saat ia berkecimpung dalam nilai-nilai estetis.

2.2.2 Kebudayaan Jepang

Dalam kenyataan yang sesungguhnya kebudayaan Jepang dan Indonesia merupakan suatu bangsa Asia yang kurang lebih memiliki kesamaan sifat. Salah satunya adalah masyarakat Jepang juga menilai budaya gotong royong, serta memiliki suatu mentalitas yang berorientasi vertikal kearah atasan, yaitu kearah orang-orang senior dan orang-orang berpangkat tinggi. Tetapi perbandingannya bangsa Indonesia sangat sulit meniru orang Jepang. Hal ini disebabkan

(9)

kebudayaan Jepang mempunyai beberapa sifat yang tidak ada dalam kebudayaan Indonesia, sedangkan suatu persentase besar orang Jepang mempunyai sifat-sifat yang jelas tidak atau belum dimiliki oleh suatu persentase besar orang Indonesia. Koentjaraningrat (1990 : 91). Sifat-sifat itu adalah :

“1) Keseragaman amat besar dari kebudayaan Jepang, 2) Pendorong Psikologis yang memberi motivasi kepada orang Jepang untuk membangun suatu abad yang lalu, 3) Kesiap-siagaan mental orang Jepang pada saat pembangunan dimulai terutama karena sifat hemat mereka, 4) Sistem hukum adat waris dalam masyarakat Jepang sesuai untuk memecahkan masalah tenaga kerja pada permulaan pembangunan, 5) Agama Shinto yang amat mendorong kekuatan manusia dalam dunia yang panah ini cocok untuk pembangunan.”

Berbeda dengan kebudayaan Indonesia yang terdiri dari banyak kebudayaan suku-suku bangsa yang amat berbeda satu dengan yang lain, yang mengenal banyak agama yang berbeda-beda, yang mengenal banyak bahasa dan logat yang sulit dipahami oleh orang yang tidak memakainya, maka kebudayaan, agama dan bahasa Jepang adalah seram dan dipahami oleh semua orang Jepang. Sifat keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia satu sisi sangat menguntungkan, tetapi untuk dapat memudahkan penyusunan rencana kebijaksanaan sangat sulit. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Koentjiraningrat (1990 : 91), “Suatu bangsa yang seragam kebudayaannya lebih dapat mengembangkan suatu tujuan nasional yang satu; sebaliknya suatu bangsa dengan suatu tujuan nasional yang seragam dan jelas akan lebih mudah untuk dikembangkan identitasnya, dan identitas jelas

(10)

memudahkan pengembangan motivasi yang perlu untuk mendorong dan memberi semangat kepada usaha jerih payahnya dalam membangun.”

2.2.3 Pandangan Moral Bagi Jepang

Dalam pergaulannya dengan bangsa-bangsa di Asia, bangsa Jepang berambisi untuk menjadi pemimpin. Mereka pada umumnya menganggap dirinya berhak untuk memegang peranan sebagai satu-satunya bangsa di Asia yang telah mencapai masyarakat yang makmur. Ambisi tersebut sudah mereka miliki sejak lama dan sulit dihapuskan oleh kekalahan besar yang dialami dalam perang dunia ke-II. Serta cendekiawan Jepang ambisi tersebut hidup, walaupun mereka mencita-citakan suatu kepemimpinan yang bertanggung jawab dan kooperatif. (Koenjtraningrat, 1990 : 99). Umumnya mereka juga mengerti semua bangsa di Asia ingin mencapai suatu perbaikan dari taraf kemakmuran mereka melalui pembangunan ekenomi, bahkan ada beberapa cendekiawan Jepang begitu progresif mengemukakan agar bangsa-bangsa dan Negara-negara begitu yang sedang berkembang hendaknya jangan didorong dengan bantuan ekonomi, melainkan justru dengan ajakan untuk ikut serta sebagai teman dalam usaha.

Sebaliknya, gagasan-gagasan yang progresif dan praktis tidak akan pernah dapat dilaksanakan. Dalam Koentjaningrat (1990 : 100) “Bangsa Jepang menganggap bahwa bangsa-bangsa yang sedang berkembang sangat sulit untuk dijadikan patner karena mentalitasnya yang tidak sesuai dengan irama kehidupan ekonomi modern yang menjadi landasan kehidupan manusia dalam negara yagn

(11)

telah maju seperti Jepang.” Sejalan dengan itu Koentjaningrat (1990 : 10) mengatakan :

”Paham moral pada orang Jepang berbeda isinya dengan apa yang diasosiasikan dengan istilah moral tersebut. Menurut orang Jepang faham “moral” mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a) Bertanggung jawab sampai sejauh-jauhnya, kalau perlu ia dengan diri sendiri terhadap suatu tugas yang telah disanggupi, b) Loyalitas mutlak terhadap kesatuan sosial yang sudah dipilih untuk diikuti.”

Jepang mengenal moral pengabdian diri bushi sesuai dengan pendapat Situmorang (2011 : 90) pengabdian diri bushi dibagi dua periode, yaitu ; a. moral pengabdian diri bushi periode awal zaman feodal dan b. moral pengabdian periode akhir feodalisme di jepang.

a. Moral pengabdian diri bushi perioe awal feodalisme muncul untuk membedakan arti dengan petani. Dimana pada awalnya mereka hidup dengan masyarakat Kizoku (bangsawan) pekerjaan sehari-hari mereka adalah menbidangi seni. Sedangkan bushi memiliki profesi sebagai ahli perang.

Pada zaman Kamakura dan Muromachi istilah bushido belum dikenal. Istilah yang dikenal pada masa itu adalah “tsumanomo nomichi” yang berarti keterampilan berperang.

Menurut Situmorang (2011 : 91) kesetiaan bushi periode awal ini, dipengaruhi atas : “a. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikutnya, b. Ikatan yang didasarkan pada hubungan darah / keluarga dan wilayah (Ie).”

(12)

Adapun isi dari perjanjian tuan dan pengikutnya adalah Ongko (pemberian) dengan hook (pelayanan) di pihak lain, yang melahirkan kekuatan kelompok. “Ongko” sebagai tuan berarti berkah, dan “hoko” sebagai pengikut mengandung makna pengabdian yang mempunyai warna, “mujoken” (tidak abadi).

Selain itu pandangan bushi oleh Watsuji Tetsuro (1976) dalam Situmorang (2011: 93) mengatakan, bahwa pandangan bushi akan adanya reinkarnasi, mengakibatkan bushi mempunyai cita-cita menjadi abadi tuannya selama tujuh kali dalam reinkarnasi tersebut, sehingga melahiran pengabdian yang mutlak dari anak buah terhadap tuan. Wujud dari pengabdian mutlak ini adalah keberanian mengorbankan jiwa raga tuan.

Di negara Jepang, keluarga bushi yang berani mengabdikan jiwa raga terhadap tuannya sangat disegani. Karena bushi yang disegani tersebut tidak hanya hebat di medan tempur, tetapi juga setia terhadap tuannya. Kesetiaan tersebut adalah kesetiaan mengabdikan jiwa raga termasuk kesetiaan melakukan bunuh diri karena kematian tuannya. Jika tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada yang berani mengikuti kematian tuannya, maka bushi itu disebut pengecut, sehingga akan menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut dan akhirnya bushi tersebut memilih untuk bunuh diri mengikuti kematian tuannya dalam masyarakat bushi disebut Junshi.

b. Moral pengabdian diri bushi periode akhir zaman Edo sangat kontras jika dibandingkan pengabdian diri bushi pada periode awal feodalisme. Zaman

(13)

Edo merupakan perpaduan dari kesetiaan pengaabdian diri bushi, zaman feudal dengan Keshogunan Tokugama.

Ajaran Tokugawa ini menuntut para bushi anak buah lebih berpikir rasional melakukan pengabdiannya. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Hamzon Situmorang (2011 : 105), bahwa kesetiaan bushi yang diajarkan Tokugawa melalui Kangakusha adalah menyadari kesadaran hubungan atas dan bawah, dimana Shogun adalah puncak penerima pengabdian yang tertinggi. Kemudian bushi diajarkan untuk berpikir rasionil.” Artinya bushi dilarang elakukan junshi dan adauchi, apabila bushi melakukan junshi maka wilayah akan direbut oleh Keshogunan.

Pelajaran konfusionisme untuk dasar kekuasaan, sebagai konsep dipilih untuk menciptakan struktur kekuasaan, dimana Shogun berada pada posisi tertinggi, juga sebagai pusat pengabdian seluruh masyarakat Jepang. Pelajaran tersebut disebut Kangaku, kemudian disempurnakan dengan Sushigaku. Mereka mengembangkan ajaran dotoku (moral), yang mengajarkan pasrah untuk menerima bagian masing-masing itu disebut gorin (lima etika) yaitu hubungan tuan dan anak buah, orang tua dan anak, suami dan istri, abang dan adik, dan juga menjelaskan hubungan orang yang sederajat (Hamzon Situmorang, 2011 : 105).

Selain itu, masyarakat Jepang sekarang tidak mempercayai satu ajaran agama, mereka mempercayai banyak Tuhan. Yang paling dominan adalah pengaruh budhist dan ajaran konfusius dan shintois. Sampai sekarang kesetiaan yang

(14)

berisikan “chu” dan balasnya “giri” masih beriaku di Jepang, yaitu pengabdian bawah terhadap atas masih kuat di Jepang. Hal ini dapat dilihat dalam dunia usaha di Jepang, yaitu “Karoshi” (mati karena kebanyak bekerja).

Penelitian tentang pengaruh karya sastra Jepang di Indonesia, dalam hal ini komik Naruto terhadap pembaca anak-anak di Indonesia. Dalam karya sastra walaupun bersifat fiksi namun juga menggambarkan pikiran dan budaya dimana karya sastra tersebut dibuat. Oleh karena itu ukuran nilai baik buruk yang ada dalam karya manga adalah ukuran Jepang. Oleh karena itu banyak hal yang tidak cocok dengan ukuran nilai bangsa Indonesia. Untuk mengetahui pengaruh baik buruk atau untuk rugi dari mangga Naruto apabila dikonsumsi anak-anak Indonesia, maka harus diadakan penelitian lapangan di kalangan anak-anak Indonesia khususnya pecinta Naruto. Apalagi sekarang teknologi semakin maju maka manga tersebut bukan hanya disampaikan berupa bahan bacaan tetapi juga sudah disiarkan di TV dan bahkan sudah dikemas berupa kaset Playstation. Sehingga banyak anak-anak baik di perkotaan maupun di pedesaan dapat setiap saat menonton/membacanya. Setelah dilakukan penyebaran angket secara tertutup kepada pembaca anak Indonesia, dari komik Naruto. Setelah angket disebar maka didapat hasil , bahwa nilai moral semangat hidup mendapat respon paling banyak dari kalangan pembaca anak.

Dari hasil angket dapat diambil suatu temuan dari komik Naruto ini. Ternyata komik Naruto memberikan nilai yang positif yang cukup tinggi terhadap pembaca anak Indonesia, disamping efek negatif lainnya. Selain itu jika dibandingkan dengan nilai moral Jepang yang menganut faham moral diri bushi, yang berarti pengorbanan

(15)

diri, dapat memberikaan kontribusi yang positif bagi anak Indonesia, sehingga nilai yang positif ini, memberikan motivasi yang tinggi kepada pembaca anak untuk dapat meniru apa yang pantas dan di pertahankan guna mengembangkan kecerdasan moral anak, yang terbentuk dari empati, rasa saling menghargai dan menghormati orang lain, kontrol diri, dan rasa keadilan.

2.2.4 Komik sebagai genre

Berhadapan dengan komik selama ini terkonotasikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak serius, hiburan ringan, lucu, dan lain-lain yang tidak selalu memberatkan. Apalagi saat sekarang ini komik merupakan salah satu bacaan yang paling digemari, bukan saja oleh pembaca anak-anak, tetapi juga orang dewasa.

Sebagai sebuah bacaan, komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil deretan gambar dalam panel-panel anak (kotak) dengan sedikit tulisan yang ditempatkan dalam balon-balon.

Menurut Franz dan Meier (dalam Nurgiyantoro 2005 : 410) “Komik adalah cerita bertekanan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata. Hampir seluruh teks komik tersusun dari hubungan antara gambar (lambang) visual dan kata-kata (lambang verbal).

(16)

Sejalan dengan itu Nurgiyantoro (2005 : 409) komik dapat dikategorikan sebagai kesusastraan (Sastra anak) popular yang memiliki keunikan tersendiri karena gambar-gambar.

Fungsi kata-kata adalah untuk menjelaskan melengkapi dan memperdalam penyampaian gambar dan teks secara keseluruhan, maka antara gambar dan kata erat – padu serta merupakan satu kesatuan. Kata-kata biasanya ditampilkan dalam gelembung-gelembung yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga serasi dengan gambar-gambar. Balon-balon teks itu dapat berupa ujaran atau pikiran dan perasaan tokoh (teks gelembung bicara dan gelembung pikiran).

Macam komik menurut Nurgiyantoro (2005: 434-438) dibagi atas (1) komik strip dan komik buku, (2) komik umur dan komik petualangan, (3) komik biografi dan komik ilmiah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, komik adalah kategori kesusastraan sastra anak yang memiliki keunikan tersendiri karena gambar-gambar yang ditekankan pada gerak dan tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar yang dibuat secara khas dengan paduan kata-kata yang berfungsi untuk menjelaskan, melengkapi dan memperdalam penyampaian gambar dan teks secara keseluruhan.

(17)

2.3 Landasasan Teoretis

2.3.1 Sastra Anak

Sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak “dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa” (Sarumpaet 1976:23). Dengan demikian, secara praktis, sastra anak adalah satra terbaik yang mereka baca dengan karateristik berbagai ragam, tema, dan format. Dilihat dari temanya, karya sastra anak juga beragam. Ditinjau dari ukurannya, kita menemukan bacaan anak dari berukuran mini terkecil hingga raksasa terbesar. Gaya ilustrasi juga menambah variasi pada sastra anak. Stewig (1980) dalam Nurgiyantoro (2005:4) sebelumnya juga menegaskan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka memperoleh kesenangan. Selain itu, bacaan sastra juga mampu menstimulasi imajinasi anak, mampu membawa ke pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain bahwa orang tersebut sama dengan kita.

Isi kandungan sastra anak dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan anak, pengalaman dan pengetahuan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak, pengalaman dan pengetahuan anak sesuai dengan dunia anak sesuai dengan perkembangan emosi dan kejiwaanya. Nurgiyantoro (2005:6) mengatakan, “satra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak dan pada umumnya berangkat dari fakta yang kongret dan mudah diimajinasikan.” Anak sebagai pusat pemilik kebutuhan dan pusat perhatian harus

(18)

mewarnai buku bacaan yang memang ditulis dan disediakan untuknya. Sastra anak tidak harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang berbagai peristiwa yang mesti melibatkan anak. Satra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupunkehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain.

2.3.2 Genre Sastra Anak

Dalam penulisan ini apa yang disebut dengan genre mengacu kepada jenis, tipe, atau kelompok dalam sastra berdasarkan pada bentuknya : ragam sastra (KBBI, 2003:354). Selain berdasarkan pada bentuk, pengelompokan genre sastra ini juga didasarkan pada bahasa dan isinya. Antara bentuk dan bahasa sepertinya mengandung pengertian yang sama, tetapi dalam hal ini, penulis membedakannya. Bentuk ini mengacu kepada tipografi, sedangkan bahasa mengacu pada gaya bahasa yang digunakan dalam sastra.

Lukens (2003) dalam Nurgiyantoro (2005:13) mendefenisikan genre sebagai suatu macam atau tipe kesastraan yang memilki seperangkat karakteristik secara umum. Genre penting diungkapkan dalam sastra anak. Selanjutnya Lukens memaparkan bahwa : 1) untuk memberi kesadaran kepada kita bahwa kenyataannya terdapat berbagai genre sastra anak selain cerita atau lagu-lagu bocah yang telah familiar, telah dikenal, dan diakrabi, 2) elemen struktural sastra dalam tiap genre berbeda; 3) memperkaya wawasan terhadap adanya kenyataan

(19)

sastra yang bervariasi, yang kemudian dapat dimanfaatkan memilihkannya untuk anak (Nurgiyantoro, 2005 : 13-14).

Dengan demikian, munculnya genre dalam sastra anak ini terjadi karena sastra anak ini jumlahnya sangat beragam secara karakteristik, sehingga genre sastra anak dengan sastra dewasa tentu saja berbeda. Akan tetapi, dalam genre yang penulis uraikan ini menggunakan dasar genre sastra dewasa, yang pengelompokannya cenderung berdasarkan pada ragam bentuk dan bahasanya. Harus diakui bahwa sastra anak yang tumbuh dan berkembang di negeri ini sebenarnya sangat beragam, tetapi penelitian genre setiap karakteristik dalam sastra anak masih sangat kurang, bahkan belum ada. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam mengidentifikasi ragam dan jenisnya, penulis menggunakan genre sastra dewasa untuk mengelompokkan ragam dalam sastra anak

Sebagai sebuah bacaan komik hadir dengan keunikannya sendiri, tampil dengan deretan gambar dalam panel-panel kotak gambar dengan sedikit tulisan tangan yang ditempatkan dalam balon-balon. Gambar-gambar komik itu sendiri pada umumnya sudah “berbicara”, dan dibuat menjadi deretan gambar yang menampilkan alur cerita. Bagi pembaca anak hal itu terlihat menguntungkan karena tidak harus terfokus membaca tulisan dan lebih banyak menatap gambar-gambarnya daripada tulisannya. Genre satra anak dalam berbagai hal berbeda dengan satra dewasa , dan salah satunya adalah masih dominannya unsur gambar dalam sastra anak, dan salah satunya adalah masih sangat dominannya unsur gambar dalam sastra anak. Mengingat buku-buku yang “penuh” gambar tersebut pada umumnya bertujuan untuk

(20)

merangsang membaca, mengembangkan daya imajinasi, dan mengembangkan rasa keindahan, sedangakan hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada komik, maka komik pun dapat dikategorikan sebagai salah satu genre sastra anak.

Selain itu, di samping untuk menyajikan cerita, komik juga mampu untuk mengekspresikan berbagai gagasan, pemikiran atau maksud-maksud tertentu sebagai mana halnya dengan karya sastra. Gagasan yang di ungkapkan juga dapat bervariasi: cerita fiksi, cerita binatang, cerita faktual dan historis, biografi, dan ide-ide faktual untuk menyindir atau menempilkan cerita lucu. Kesemua itu dikemas dalam gambar-gambar yang berisi tulisan tangan singkat yang ditampilkan secara menarik. Jadi, menikmati komik berarti menikmati gambar dan sekaligus cerita verbal dan keduanya bersifat saling menguatkan dan melengkapi.

2.3.3 Sosiologi Sastra

Kajian sosiologi sastra dilatarbelakangi oleh fakta bahwa, keberadaan karya sastra tidak terlepas dari realita sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sesuai dengan pendapat Sapardi Djoko Damono (1979: 38), bahwa karya tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra dan masyarakat.

Sebagai salah satu kajian dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra dengan menilai sastra dari segi kemasyarakatan. Sejalan dengan itu pandangan Swingewood dalam Sapardi Djoko Damono (2002:11) bahwa dalam melakukan sosiologi terhadap karya sastra, kritikus

(21)

harus berhati-hati mengartikan “slogan” sastra cerminan masyarakat. Selanjutnya slogan itu merupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya.

Selanjutnya Wellek dan Warren (1993: 111) juga membuat tiga tipe dalam pendekatan sosiologi sastra, yaitu :

1. Sosiologi pengarang, yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang.

2. Sosiologi karya sastra, yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. 3. Sosiologi sastra, yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya

sastra.

Teori ini ditekankan pada tipe kedua yaitu sosiologi karya, karena teori ini mendukung bagaimana nilai moral yang ada dalam komik Naruto dan yang ada dalam sebuah karya sastra.

2.3.4 Resepsi Sastra

Resepsi sastra berasal dari kata rezeptionnaesthetik yang sejajar sebagai penerimaan estetik. Istilah itu pada mulanya digunakan oleh Franco Maregalli pada tahun 1980.

Mana Sikana (2009:304) mengatakan, “Teori resepsi bermakna pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggung terhadap bacaannya.” Artinya teori ini berhubungan dengan cara dan teknik membaca, melihat tanggapan pembaca, dan

(22)

reaksi pembaca yang pada akhirnya pembaca dapat memahami makna dari bacaannya.

Dalam teori respon pembaca atau resepsi ini, Mana Sikana (2009:312) merumuskan beberapa faktor penerimaan tentang teori resepsi yang bisa diterima oleh masyarakat pembaca, seperti : (1) faktor intelektual, (2) faktor perasaan atau emosi, dan (3) faktor gender. Dalam hubungannya dengan hakekat karya dan hakekat pembaca memerlukan adanya suatu cara penerimaan tertentu. Umar Junus (1985:115) membuat dua klasifikasi pembaca yaitu : (1) Pembaca biasa dan (2) Pembaca ideal.

Sejalan dengan hal di atas, Iser dalam Umar Junus (1985:36) membuat tiga langkah bagaimana hubungan teks dan pembaca, yaitu :

1. Sketsa tentang kelainan suatu teks yang membedakannya dengan teks-teks sebelumnya;

2. Pengenalan dan penganalisaan kesan dasar dari suatu teks;

3. Pembaca memiliki kekuasaan sendiri dalam menafsirkan sendiri apa yang dibacanya lewat teks.

Teori Iser ini peneliti jadikan untuk dapat mengetahui hasil resepsi pembaca anak Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut hasil rekapitulasi kuisioner tertutup kepentingan atribut untuk Kipas angin KAD-927 PL dapat dilihat pada tabel 4.5.. Tabel 4.5 Rekapitulasi Kuesioner

Besar kecil profitabilitas yang didapatkan suatu perusahaan akan memengaruhi nilai perusahaan dengan melihat profitabilitas sebagai ukuran dan kinerja perusahaan

Berdasarkan Gambar 2.2 tentang model penelitian dapat dijelaskan bahwa topik mengenai ekoleksikon nijo pada guyub tutur Lio-Flores dalam pengobatan tradisional,

Penelitian Laksminy menjelaskan strategi transfer bahasa dari orang tua kepada anak, bahasa mana yang akan dipilih dalam lingkungan keluarganya, namun dalam

Kondisi populasi yang heterogen dan adanya dependensi mengakibatkan banyak konfigurasi yang berbeda pada setiap wilayah cacah sehingga sampling stratifikasi

Dari hasil diatas, maka dapat disimpulkan belajar passing sepakbola dengan penerapan possession game sudah terlaksana dengan baik, ini dibuktikan pada tabel 5 ada

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Skripsi ini menggambarkan tentang pelaksanaan penanggulangan bencana melalui program Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB) sebagai upaya mitigasi bencana di Kota Malang