• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC

EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR

PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG

RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN

KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN

INFARK MIOKARD AKUT (IMA)

AA AYU DWI ADELIA YASMIN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

TESIS

NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC

EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR

PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE) YANG

RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN

KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN

INFARK MIOKARD AKUT (IMA)

AA AYU DWI ADELIA YASMIN 1014138102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION

(MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC

EXCURSION (TAPSE) YANG RENDAH SEBAGAI

PREDIKTOR KEJADIAN KARDIOVASKULAR MAYOR

PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA)

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

AA AYU DWI ADELIA YASMIN 1014138102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 9 FEBRUARI 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. Ketut Rina Sp.PD, SP.JP (K) Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH NIP. 19470610 197802 1 002 NIP. 19560707 198211 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik-Combine Degree Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Direktur

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195902151985102001 Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 9 Februari 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 316/ UN14.4/ HK/ 2015, Tanggal 29 Januari 2015

Ketua : DR. dr. I Ketut Rina Sp.PD, Sp.JP (K) Anggota :

1. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana Sp.PD-KGH 2. Prof. DR. dr. I Wayan Wita, Sp.JP (K)

3. DR. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes 4. dr. Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K)

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang berjudul “Nilai Mitral Annular Plane

Systolic Excursion (MAPSE) dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion

(TAPSE) yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien Infark Miokard Akut (IMA)” tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak, sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree).

3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined

degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah

memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).

4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.

5. Kepala Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran VaskularFakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama pembuatan tesis.

6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Wayan Wita, SpJP(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.

(7)

7. DR. dr. I Ketut Rina, Sp.PD, Sp.JP (K) selaku pembimbing pertama yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga, serta perhatian yang tinggi untuk memberikan dorongan, bimbingan, dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

8. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH selaku pembimbing kedua yang dengan kesediaan penuh meluangkan waktu, tenaga, dan perhatian yang tinggi untuk membimbing penulis dengan sabar, terutama dalam masalah statistik, sehingga penulis dapat mengerti dengan baik dan menyelesaikan tesis ini.

9. dr. Ketut Badjra Nadha, Sp.JP (K) selaku Ketua Divisi Non Invasif yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga berhubungan dengan penelitian ini serta menjadi salah satu observer dalam pengukuran nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang merupakan variabel sentral dalam penelitian ini sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. 10. Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan, ijin, serta fasilitas kepada penulis untuk dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular serta menyelesaikan tesis ini.

11. Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis ini yang telah memberikan pemecahan serta masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini.

12. Yang teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta, Ir. IGA Ngurah Oka dan AA Ayu Indrawaty SS, yang telah memberikan, doa, kasih sayang tanpa batas, semangat, dan dukungan moril materil kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini sehingga dapat dijalani dengan lancar. 13. dr. IB Rangga Wibhuti, Sp.JP, sebagai senior dan rekan seperjuangan yang

telah banyak memberikan semangat untuk berjuang menyelesaikan tesis ini, serta mau meluangkan waktu dan tenaga untuk menjadi salah satu observer dalam pengukuran nilai MAPSE dan nilai TAPSE sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik.

14. dr. Vianney Tedjamulia, sebagai rekan PPDS yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, dari memasukkan variabel MAPSE dan TAPSE ke alat ekokardiografi sehingga memudahkan dalam pengukuran, memberikan program-program praktis yang memudahkan penulis dalam penyusunan tesis, serta mau meluangkan waktu dan tenaga untuk menjadi salah satu observer dalam pengukuran nilai MAPSE dan nilai TAPSE sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik.

15. Rekan-rekan residen kardiologi yang saya cintai, terutama satu-satunya teman seangkatan saya, dr. Putu Agus Wismantara, yang telah berjuang bersama-sama dari awal masa pendidikan yang sangat berat ini, baik dalam suka maupun duka. Kepada teman-teman PPDS yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, antara lain dr. Kiki, dr. Wulan, dr. Mirah, dr. Widya, dr. Hendy, dr. Rani, dr. Cindy, dr. Suma, dan dr. Sudiarta. Kepada rekan-rekan karaoke dan jalan-jalan Karna (dr. Tumas, dr. Widya, dr. Mirah, dr. Laurentia, dr. Sany Sp.JP, dr. Eko, Sp.JP, dan lain-lain) yang

(8)

telah memberikan senyuman dan keceriaan sehingga menguatkan saya dalam menjalani proses pendidikan ini.

16. Teman-teman sekretariat tercinta, Mbak Candra, Mbak Dian, Mbak Andi, dan Pak Ketut yang selalu mendukung, membantu, dan bekerja sama dalam segala hal selama pendidikan spesialis ini.

17. Teman-teman perawat di UGD, ICCU, dan Poliklinik PJT yang bersama-sama bahu-membahu dalam bekerja sehingga membuat masa pendidikan ini menyenangkan bila bekerja bersama kalian.

Akhir kata, dengan iringan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang diberikan kepada penulis, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Denpasar, 9 Februari 2015

Penulis,

(9)

ABSTRAK

NILAI MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) DAN TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (TAPSE)

YANG RENDAH SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN

KARDIOVASKULAR MAYOR PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA)

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang utama di negara maju serta menjadi masalah kesehatan yang sangat penting di negara berkembang. Penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kanan pada pasien IMA diketahui berhubungan dengan prognosis yang buruk. Nilai Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) merupakan parameter ekokardiografi sederhana yang menunjukkan fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan, serta dapat diperoleh dengan mudah pada pasien-pasien dalam kondisi kritis atau gawat darurat. Belum terdapat studi yang meneliti nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada

populasi pasien IMA sebagai satu entitas klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor

kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA.

Penelitian ini merupakan studi observasional kohort prospektif yang mengikutsertakan 72 pasien IMA sebagai subjek penelitian berdasarkan

consecutive sampling. Pengambilan gambar MAPSE dan TAPSE dilakukan dalam

24 jam pertama setelah pasien masuk rumah sakit menggunakan ekokardiografi transthorakal dengan alat GE Vivid E Portable Ultrasound Machine dan GE 3S

Ultrasound Probe. Selanjutnya, dilakukan observasi terhadap adanya kejadian

kardiovaskular mayor yang terdiri dari kematian kardiovaskular dan/atau gagal jantung dan/atau syok kardiogenik dan/atau aritmia maligna dan/atau angina pasca infark selama perawatan di rumah sakit.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai MAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor sebesar hampir 7 kali lipat (HR = 6,68, 95% CI = 2,37-18,83, nilai p = <0,0001), nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor sebesar 3 kali lipat (HR = 3,29, 95% CI = 1,10-9,84, nilai p = 0,033), dan gabungan keduanya merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor sebesar 4 kali lipat (HR = 4,26, 95% CI = 1,52-11,93, nilai p = 0,006) pada pasien IMA yang dirawat di RSUP Sanglah.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai MAPSE yang rendah, nilai TAPSE yang rendah, dan gabungan keduanya merupakan prediktor independen kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

Kata Kunci: Infark Miokard Akut, Mitral Annular Plane Systolic Excursion dan

(10)

ABSTRACT

DECREASED MITRAL ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION (MAPSE) AND TRICUSPID ANNULAR PLANE SYSTOLIC EXCURSION

(TAPSE) AS PREDICTORS OF MAJOR CARDIOVASCULAR EVENTS IN ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION (AMI)

Acute Myocardial Infarction (AMI) is a leading cause of morbidity and mortality in developed countries, as well as emerged as a very important health problem in developing countries. Decreased left ventricular systolic function and right ventricular systolic function were known to be associated with poor prognosis in IMA. Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) and Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) were the simple echocardiograpic parameters that indicates left and right ventricular systolic function, and can be easily obtained in patients in critical care or emergency settings. There has been no study that examines the decreased MAPSE and TAPSE as predictors of major cardiovascular events in AMI population as one clinical entity. The purpose of this study was to determine decreased MAPSE and TAPSE as a predictor of major cardiovascular events in AMI patients.

This study was a prospective cohort observational study that enrolled 72 patients with AMI as the subject of research by consecutive sampling. MAPSE and TAPSE were obtained within the first 24 hours after admission using transthoracal echocardiography with a GE Vivid E Portable Ultrasound Machine and 3S GE Ultrasound Probe. Then, we did the observation of the presence of major cardiovascular events, which consist of cardiovascular death and / or heart failure and / or cardiogenic shock and / or malignant arrhythmias and / or post-infarction angina during hospitalization.

In this study, it was found that decreased MAPSE is a predictor of major cardiovascular events by almost 7-fold (HR = 6.68, 95% CI = 2.37-18.83, p = <0.0001), decreased TAPSE is a predictor of major cardiovascular events by 3-fold (HR = 3.29, 95% CI = 1.10-9.84, p = 0.033), and combination of both is a predictor of major cardiovascular events by 4-fold (HR = 4.26, 95% CI = 1.52-11.93, p = 0.006) in patients with AMI that were treated at Sanglah General Hospital.

This study concludes that the decreased MAPSE, decreased TAPSE, and a combination of both were independent predictors of in-hospital major cardiovascular events in patients with AMI.

Keywords: Acute Myocardial Infarction, Mitral Annular Plane Systolic Excursion and Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR. ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ...v

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

(12)

2.2 Patofisiologi Infark Miokard Akut ... 10

2.3 Klasifikasi Klinis pada Infark Miokard Akut... 12

2.4 Diagnosis Infark Miokard Akut ... 13

2.5 Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akut ... 15

2.6 Komplikasi pada Infark Miokard Akut ... 16

2.7 Fungsi Sistolik Ventrikel yang Normal... 17

2.8 Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri setelah Infark Miokard Akut ... 18

2.9 Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan setelah Infark Miokard Akut ... 19

2.10Parameter Ekokardiografi untuk Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akur ... 21

2.11Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) ... 24

2.12Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) ... 29

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ... 34

3.2 Kerangka Konsep ... 36

3.3 Hipotesis Penelitian ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 38

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

4.3 Penentuan Sumber Data ... 40

(13)

4.3.1.1 Populasi Target ... 41 4.3.1.2 Populasi Terjangkau ... 41 4.3.1.3 Sampel Penelitian ... 41 4.3.2 Penentuan Sampel ... 41 4.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 41 4.3.2.2 Kriteria Eksklusi ... 41 4.3.2.3 Jumlah Sampel ... 41 4.4Variabel Penelitian ... 42 4.4.1 Variabel Bebas ... 42 4.4.2 Variabel Tergantung ... 42 4.4.3 Variabel Kendali ... 42

4.4.4 Hubungan Antar Variabel ... 43

4.4.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 43

4.5 Bahan Penelitian ... 50

4.6 Instrumen Penelitian ... 50

4.7 Prosedur Penelitian ... 51

4.7.1 Tata Cara Penelitian ... 51

4.7.2 Alur Penelitian ... 53

4.8 Analisis Data ... 55

BAB V HASIL PENELITIAN... 58

5.1 Analisis Reliabilitas ... 59

(14)

5.3 Karakteristik Subjek Penelitian ... 65

5.4 Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA ... 68

5.5 Pengaruh nilai MAPSE yang Rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit setelah Dikontrol dengan Variabel Lain ... 70

5.6 Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA... 71

5.7 Pengaruh nilai TAPSE yang Rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit setelah Dikontrol dengan Variabel Lain ... 73

5.8 Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA ... 74

5.9 Pengaruh nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang Rendah terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit setelah Dikontrol dengan Variabel Lain... 75

BAB VI PEMBAHASAN ... 77

6.1 Analisis Reliabilitas ... 79

6.2 Analisis Kurva ROC ... 82

(15)

6.4 Nilai MAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada

Pasien IMA ... 88

6.5 Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA... 90

6.6 Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor saat Perawatan di Rumah Sakit pada Pasien IMA ... 92

6.7 Keterbatasan Penelitian ... 94

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 96

7.1 Simpulan ... 96

7.2 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 2.1 Definisi Universal IMA... 9

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian (Berdasarkan Kategori Nilai MAPSE) ... 65

5.2 Karakteristik Subyek Penelitian (Berdasarkan Kategori Nilai TAPSE) ... 67

5.3 Hasil Analisis Cox Regression Nilai MAPSE yang Rendah sebagai

Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA ... 71

5.4 Hasil Analisis Cox Regression Nilai TAPSE yang Rendah sebagai

Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA ... 73

5.5 Hasil Analisis Cox Regression Nilai MAPSE dan Nilai TAPSE yang Rendah sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor pada Pasien IMA ... 78

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Patofisiologi IMA ... 11

2.2 Waktu Pelepasan Biomarker Setelah Onset IMA ... 15

2.3 Cara Pengukuran MAPSE melalui Apical-four Chamber View ... 25

2.4 Cara Pengukuran TAPSE ... 30

3.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 36

4.1 Rancangan Penelitian ... 39

4.2 Hubungan antar Variabel ... 43

4.3 Alur Penelitian ... 54

5.1 Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) ... 60

5.2 Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement antara Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) ... 61

(18)

5.3 Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai TAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan

Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) ... 62

5.4 Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement antara Nilai TAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan Observer 3 (Kanan Atas), serta Observer 2 dan Observer 3 (Bawah) ... 63

5.5 Kurva ROC dalam Menentukan Cut-off Point Nilai MAPSE yang rendah (kiri) dan Nilai TAPSE yang rendah (kanan) ... 64

5.6 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian

Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai MAPSE yang Rendah 68

5.7 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian

Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai TAPSE yang Rendah . 71

5.8 Kurva Estimasi Survival Kaplan Meier Terjadinya Kejadian

Kardiovaskular Mayor Pada IMA Berdasarkan Nilai MAPSE yang Rendah dan Nilai TAPSE yang Rendah ... 74

(19)

DAFTAR SINGKATAN

ACC/AHA : The American College of Cardiology/American Heart

Association

ADA : American Diabetes Association APVD : Atrioventricular Plane Displacement CABG : Coronary Artery Bypass Grafting

CK : Creatine Kinase

DM : Diabetes Melitus

DWI : D Wave Integral

EF : Ejection Fraction

EKG : Elektrokardiografi

ESC : The European Society of Cardiology

GISSI-3 : Gruppo Italiano per lo Studio della Soprawivenza

nell’Infarto Miacardico

GRACE : The Global Registry in Acute Coronary Events

HT : Hipertensi

IMA : Infark Miokard Akut

IMT : Indeks Massa Tubuh

LAD : Left Anterior Descending

MAPSE : Mitral Annular Plane Systolic Excursion MPI : Myocardial Performance Index

(20)

NSTEMI : Non ST-Elevation Myocardial Infarction

OPERA : Observatoire sur la Prise en charge hospitaliere, l’Evolution a un an et les caRacteristiques de patients pre´sentant un infArctus du myocarde avec ou sans onde Q PCI : Percutaneous Coronary Intervention

RCA : Right Coronary Artery

ROC : Receiving Operating Characteristic

SKA : Sindroma Koroner Akut

SPVDW : Standardized Peak Velocity of the D Wave STEMI : ST-Elevation Myocardial Infarction TAM : Tricuspid Annular Motion

TAPSE : Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion TIMI : The Thrombolysis in Myocardial Infarction TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

UAP : Unstable Angina Pectoris WMSI : Wall Motion Score Index

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Informasi Pasien dan Formulir Persetujuan ... 105

2. Lembar Pengumpulan Data ... 109

3. Hasil Pemeriksaan Ekokardiografi Bedside ... 111

4. Cara Pemeriksaan Laboratorium untuk Penunjang Tesis ... 112

(22)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang disebabkan oleh kejadian iskemia miokard yang akut. SKA dapat diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST-Elevation Myocardial

Infarction (NSTEMI), dan ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Hingga

saat ini sudah terdapat banyak kemajuan dalam pemahaman patofisiologi penyakit arteri koroner serta perbaikan dalam penatalaksanaan dan pencegahannya. Namun, SKA masih merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas yang utama di negara maju serta menjadi masalah kesehatan yang sangat penting di negara berkembang.

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan suatu kondisi nekrosis miokardial yang disebabkan oleh iskemia. Berdasarkan hasil pemeriksaan EKG, secara umum IMA dapat diklasifikasikan menjadi STEMI dan NSTEMI. Berdasarkan data yang diperoleh dari Registry GRACE (The Global Registry in Acute Coronary Events), diketahui bahwa frekuensi diagnosis STEMI adalah 30%, sedangkan frekuensi diagnosis NSTEMI adalah 25% dari keseluruhan SKA. Kedua kondisi klinis tersebut diketahui memiliki patogenesis yang sama. Terapi yang diberikan juga serupa, yaitu untuk mengatasi dan mencegah terjadinya ruptur plak atherosklerosis, walaupun adanya ST elevasi pada gambaran EKG menyebabkan keputusan untuk melakukan terapi reperfusi diambil dengan lebih segera dibandingkan dengan pasien NSTEMI (Dziewierz dkk., 2009).

(23)

Data yang diperoleh dari Registry OPERA (Observatoire sur la Prise en charge hospitaliere, l’Evolution a un an et les caRacteristiques de patients pre´sentant un infArctus du myocarde avec ou sans onde Q) menemukan bahwa luaran di rumah sakit dan luaran klinis jangka panjang pada pasien NSTEMI dan STEMI adalah sama. Oleh karena itu, definisi universal IMA yang dikemukakan oleh ESC (European Society of Cardiology) dan ACC (American College of

Cardiology), yang menggabungkan STEMI dan NSTEMI menjadi satu entitas

klinis dianggap sudah tepat (Montalescot dkk., 2007).

Morbiditas dan mortalitas yang terjadi pada penderita IMA sangat dipengaruhi oleh berbagai komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA. Komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi mekanik, aritmia, iskemik, inflamasi, dan embolik. Kejadian kardiovaskular mayor merupakan komplikasi IMA yang berhubungan secara langsung dengan tingkat survival pasien. Disfungsi ventrikel kiri yang menyebabkan kegagalan pompa jantung merupakan prediktor mortalitas terpenting pada pasien IMA. Syok kardiogenik merupakan prediktor utama kematian di rumah sakit, dan didapatkan prevalensi syok kardiogenik yang serupa pada kelompok pasien NSTEMI dan STEMI. Komplikasi IMA yang juga berhubungan dengan tingkat survival adalah berbagai aritmia maligna yang dapat menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien, contohnya takiaritmia supraventrikular dan takiaritmia ventrikular yang menetap, serta blok atrioventrikular derajat tinggi. Komplikasi iskemik yang termasuk dalam kejadian kardiovaskular mayor adalah angina pasca infark, yang mengambarkan adanya

(24)

suatu perluasan infark, infark berulang pada teritori arteri koroner yang lain, atau reoklusi pada arteri koroner yang berhubungan dengan infark. Angina pasca infark harus dibedakan dengan nyeri dada yang tidak disebabkan oleh kausa iskemia, seperti perikarditis atau emboli paru (Abu-Assi dkk., 2010, Nonogi, 2002, Mullasari dkk., 2011).

Stratifikasi risiko yang efektif merupakan suatu bagian yang integral terhadap penatalaksanaan IMA. Sistem stratifikasi sebaiknya dikerjakan pada seluruh pasien yang datang dengan presentasi IMA dengan menggunakan alat yang sederhana dan dapat dilakukan bedside sehingga dapat ditentukan manajemen yang sesuai, keputusan untuk terapi intervensi, dan penentuan prognosis pasien. Sistem skoring yang banyak digunakan untuk stratifikasi risiko antara lain skor

The Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) dan skor GRACE yang

menggabungkan kriteria klinis, komorbidiras, parameter hemodinamik, perubahan segmen ST, dan nilai troponin untuk memprediksi risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien IMA (Masood dkk., 2009).

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan dalam situasi klinis dan efektif untuk stratifikasi risiko pasien-pasien IMA. Parameter-parameter ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan risiko mortalitas atau infark miokard berulang pada saat perawatan di rumah sakit dan 6 bulan pasca dipulangkan dari rumah sakit. Kekuatan stratifikasi prognostik parameter ekokardiografi lebih bermakna bila dibandingkan dengan skor klinis yang telah banyak direkomendasikan, contohnya skor TIMI dan GRACE. Pada kondisi IMA, direkomendasikan untuk melakukan

(25)

pemeriksaan ekokardiografi transthorakal dalam 24-48 jam pertama.(Bedetti dkk., 2010, Flachskampf dkk., 2011).

Berdasarkan berbagai penelitian, sudah terbukti bahwa prognosis setelah kejadian IMA sangat berhubungan dengan derajat disfungsi ventrikel kiri yang terjadi. Fungsi ventrikel kiri biasanya digambarkan dengan fraksi ejeksi (ejection

fraction/EF). Pengukuran EF menggunakan metode M-mode secara linear kurang

reliabel bila dilakukan pada kondisi kontraksi ventrikel kiri yang asimetris akibat abnormalitas gerakan dinding jantung regional yang sering terjadi setelah IMA. Pengukuran EF menggunakan metode biplane dua dimensi dapat digunakan pada kasus kontraktilitas ventrikel kiri yang asimetris, namun metode tersebut membutuhkan kualitas gambar yang baik untuk dapat mengidentifikasi tepian endokardial secara adekuat (Nammas & El-Okda, 2012).

Pemendekan longitudinal ventrikel kiri merupakan suatu komponen yang penting dalam fungsi pompa jantung. Pada fase sistolik, annulus katup mitral bergerak menuju apeks jantung yang relatif tidak bergerak (Manouras dkk., 2009). Komponen tersebut dapat dievaluasi dengan pengukuran pada long-axis, M-mode

derived, Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) (Hu dkk., 2013a).

MAPSE dapat menggambarkan fungsi longitudinal ventrikel kiri secara global, walaupun terdapat kontraksi ventrikel kiri yang asimetris pada IMA. Hal tersebut disebabkan karena MAPSE diukur pada empat area yang berbeda pada ventrikel kiri, yaitu regio septal, lateral, anterior, dan inferior. Pemeriksaan MAPSE juga tidak memerlukan kualitas gambar yang baik, karena sifat bidang atrioventrikular yang sangat echogenik, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat pada

(26)

kondisi gawat darurat. Penelitian yang dilakukan oleh Nammas & El-Okda menunjukkan bahwa nilai MAPSE < 10 mm yang diukur dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit akibat STEMI dapat digunakan untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor pada saat perawatan di rumah sakit dengan sensitivitas 72,7%, spesifisitas 91,5%, nilai prediktif negatif 91,5%, dan nilai prediktif positif 72,7% (Nammas & El-Okda, 2012).

Penilaian fungsional pada ventrikel kanan lebih sulit dilakukan dibandingkan pada ventrikel kiri, karena ventrikel kanan memiliki bentuk yang lebih kompleks. Walaupun sudah terdapat teknik terbaru untuk menilai fungsi ventrikel kanan seperti ekokardiografi tiga dimensi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) kardiak, dibutuhkan keahlian dan biaya yang tinggi untuk memanfaatkan modalitas tersebut, sehingga tidak praktis untuk dilakukan pada kondisi gawat darurat. Pergerakan annulus katup trikuspid yang dinilai menggunakan M-mode, yang disebut juga dengan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) merupakan metode yang sederhana dan digunakan secara luas untuk menilai fungsi ventrikel kanan menggunakan pemeriksaan ekokardiografi transthorakal. Penelitian yang dilakukan oleh Lossnitzer dkk. juga menunjukkan adanya korelasi yang baik antara nilai TAPSE dan EF ventrikel kanan yang diukur menggunakan MRI (r= 0,52; p <0,001) (Bruhl dkk., 2011, Lossnitzer dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Lamia dkk. memperoleh hasil bahwa penurunan TAPSE juga berhubungan dengan prognosis buruk pada pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi pulmonal, dan gagal jantung (Lamia dkk., 2007).

(27)

Sebuah penelitian eksperimental menunjukkan bahwa fungsi ventrikel kanan dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas septum ventrikel kiri yang ditransmisikan melalui interaksi sistolik ventrikel. Berdasarkan studi tersebut, diketahui bahwa septum intraventrikuler, yang telah lama dianggap sebagai bagian fungsional dari ventrikel kiri, sebenarnya berkontribusi terhadap fungsi sistolik kedua ventrikel. Terdapat istilah ventricle interdependence yang mendeskripsikan suatu konsep bahwa bentuk, ukuran, dan komplians dari salah satu ventrikel dapat mempengaruhi bentuk, ukuran, dan hubungan tekanan-volume pada ventrikel yang lain melalui interaksi mekanik secara langsung (Haddad dkk., 2008, Lamia dkk., 2007). Penelitian GISSI-3 echo substudy yang dilakukan oleh Popescu dkk. juga menunjukkan bahwa nilai TAPSE lebih rendah secara signifikan pada pasien dengan EF ventrikel kiri <45% dibandingkan pasien dengan EF ventrikel kiri ≥45% yang diukur dalam 24-48 jam pertama pasca kejadian IMA (Popescu dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Hayrapetyan dkk. menunjukkan bahwa penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan yang ditunjukkan dengan nilai TAPSE bila dikombinasikan dengan penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan dengan nilai Myocardial Performance Index (MPI) dapat menambah nilai prognostik untuk memprediksi luaran pada pasien STEMI dibandingkan dengan hanya memeriksa hanya salah satu parameter saja (Hayrapetyan dkk., 2014).

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, akan dilakukan penelitian mengenai peranan nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA selama perawatan di

(28)

rumah sakit. Penelitian ini dilakukan karena belum terdapat studi yang meneliti penurunan fungsi ventrikel kiri dan kanan yang ditunjukkan oleh nilai MAPSE dan TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada populasi pasien IMA sebagai satu entitas klinis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rangkuman konsep diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Apakah nilai MAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA?

1.2.2 Apakah nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA?

1.2.3 Apakah gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui nilai MAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

(29)

1.3.2.2 Mengetahui nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

1.3.2.3 Mengetahui gabungan nilai MAPSE yang rendah dan nilai TAPSE yang rendah sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah

Jika pada penelitian ini terbukti bahwa nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah, serta gabungan keduanya merupakan prediktor kejadian kardiovaskular mayor saat perawatan di rumah sakit pada pasien IMA, maka penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan:

1.4.1.1 Sebagai data dasar dan sebagai pedoman stratifikasi risiko pasien IMA. 1.4.1.2 Sebagai dasar untuk memperkaya bukti ilmiah mengenai penggunaan nilai MAPSE dan nilai TAPSE yang rendah untuk memprediksi prognosis pasien IMA.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Memberikan kontribusi berkaitan dengan penggunaan nilai MAPSE dan nilai TAPSE sebagai parameter ekokardiografi yang sederhana untuk stratifikasi risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA.

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Infark Miokard Akut

Definisi infark miokard adalah kematian sel miokard yang disebabkan oleh kondisi iskemia yang berkepanjangan. Dengan menggunakan mikroskop, infark miokard dapat dikategorikan sebagai suatu proses nekrosis koagulasi. Pada eksperimen hewan, kematian sel dapat terjadi dalam waktu 20 menit setelah oklusi pada arteri koroner, namun penyelesaian proses infark dapat membutuhkan waktu hingga 2-4 jam. Adanya sirkulasi kolateral atau kondisi oklusi intermiten pada arteri koroner dengan lesi culprit dapat menyebabkan pemanjangan proses infark miokard (Senter & Francis, 2009).

Konsensus internasional saat ini menyatakan bahwa istilah IMA dapat digunakan bila terdapat bukti adanya nekrosis miokard pada kondisi klinis yang konsisten dengan iskemia miokard. Definisi universal IMA dapat dilihat pada tabel 2.1 (Steg dkk., 2012).

Tabel 2.1

Definisi Universal IMA (Steg dkk., 2012)

1. Deteksi adanya kenaikan dan/atau penurunan nilai biomarker kardiak (terutama troponin) dengan minimal satu nilai diatas persentil 99 dari batas atas nilai referensi ditambah minimal salah satu dari kriteria dibawah ini: - Gejala-gejala iskemia.

- Perubahan segmen ST-T yang baru/diperkirakan baru atau LBBB baru. - Perubahan gelombang Q patologis pada Elektrokardiografi (EKG).

- Bukti pada pemeriksaan pencitraan bahwa terdapat hilangnya area miokard viabel yang baru, atau abnormalitas regional pada dinding miokard yang baru.

- Identifikasi thrombus intrakoroner menggunakan pemeriksaan angiografi atau otopsi.

2. Kematian kardiak dengan gejala yang mengarah kepada iskemia miokard dan terdapat perubahan EKG yang diduga baru atau LBBB baru, namun

(31)

kematian terjadi sebelum terdapat nilai biomarker jantung dalam darah atau sebelum nilai biomarker jantung mengalami peningkatan.

3. Thrombosis pada stent yang berhubungan dengan infark miokard yang terdeteksi menggunakan angiografi koroner atau otopsi pada kondisi iskemia miokard disertai peningkatan dan/atau penurunan nilai biomarker jantung dengan minimal satu nilai diatas persentil 99 dari batas atas nilai referensi.

2.2 Patofisiologi Infark Miokard Akut

Definisi infark merupakan kematian jaringan yang disebabkan oleh kondisi iskemia. IMA terjadi bila area iskemia miokard yang terlokalisir menyebabkan terbentuknya area nekrosis. Hampir seluruh kasus IMA disebabkan oleh proses atherosklerosis yang berhubungan dengan thrombosis pada arteri koroner. Pada kondisi ruptur plak atherosklerosis, terjadi proses aktivasi dan agregasi platelet, pengeluaran thrombin, dan pada akhirnya menyebabkan pembentukan thrombus. Adanya thrombus akan menyebabkan terganggunya aliran darah koroner sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Kondisi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen yang berat dan persisten akan menyebabkan terjadinya nekrosis miokardial. Bila terbentuk thrombus yang bersifat oklusif akan terjadi STEMI, sedangkan bila thrombus yang terbentuk tidak bersifat oklusif akan terjadi NSTEMI atau UAP (Antman & Braunwald, 2007, Aaronson dkk., 2012, Topol & Werf, 2007).

(32)

Gambar 2.1

Patofisiologi IMA (Aaronson dkk., 2012)

Iskemia yang berat dan berkepanjangan menyebabkan terbentuknya area nekrosis yang mencakup seluruh ketebalan dinding miokard, yang disebut juga dengan infark transmural. Iskemia yang tidak terlalu berat namun berkepanjangan dapat terjadi pada kondisi-kondisi tertentu, antara lain: 1) Oklusi arteri koroner yang diikuti oleh reperfusi spontan; 2) Infarct-related artery yang tidak teroklusi secara komplet; 3) Oklusi arteri koroner terjadi secara komplet, namun terdapat suplai aliran darah dari kolateral sehingga mencegah terjadinya iskemia yang komplet; 4) Kebutuhan oksigen pada area miokardium yang terkena tidak terlalu besar. (Aaronson dkk., 2012).

(33)

Pada area miokard, baik yang terjadi infark maupun tidak akan mengalami perubahan-perubahan yang progresif dalam waktu beberapa jam, hari, dan minggu setelah terjadinya thrombosis pada arteri koroner. Perubahan makroskopis pada miokardium sulit untuk diidentifikasi hingga 6-12 jam setelah onset nekrosis. Pada awalnya, miokardium di area yang mengalami infark akan tampak pucat dan sedikit membengkak. Dalam waktu 18 hingga 36 jam pasca infark, miokardium akan berwarna cokelat atau merah keunguan dengan eksudat serofibrin yang terdapat di miokardium pada kondisi infark transmural. Perubahan tersebut akan bertahan dalam waktu 48 jam, setelah itu area infark akan menjadi berwarna abu-abu dengan garis-garis halus kekuningan akibat infiltrasi neutrofil pada bagian perifernya (Antman & Braunwald, 2007, Aaronson dkk., 2012).

2.3 Klasifikasi Klinis pada Infark Miokard Akut

Untuk menentukan strategi penatalaksanaan segera pada kondisi IMA, contohnya terapi reperfusi, biasanya dilakukan klasifikasi IMA dengan menggunakan kriteria EKG. STEMI didefinisikan sebagai pasien dengan nyeri dada atau gejala iskemik yang lain serta terdapat elevasi segmen ST pada dua sadapan yang berhubungan, dengan kriteria elevasi segmen ST ≥ 0,2 mV pada sadapan V2-V3 (pada pria); ≥ 0,15 mV pada sadapan V2-V3 (pada wanita); dan ≥ 0,1 mV pada sadapan yang lain. Di lain pihak, pasien dengan gejala iskemik dan peningkatan biomarker namun tanpa adanya elevasi segmen ST digolongkan sebagai penderita NSTEMI. Klasifikasi tersebut berguna secara klinis, karena pasien dengan STEMI biasanya akan langsung dirujuk ke laboratorium kateterisasi atau diberikan terapi fibrinolitik untuk tujuan revaskularisasi segera,

(34)

sedangkan perujukan pasien dengan NSTEMI ke laboratorium kateterisasi biasanya tidak terlalu mendesak dan tergantung dari skor stratifikasi risiko yang berhubungan (Thygesen dkk., 2012, Senter & Francis, 2009).

2.4 Diagnosis Infark Miokard Akut

IMA merupakan suatu sindrom klinis yang membutuhkan penilaian parameter subjektif dan objektif untuk dapat menegakkan diagnosis. Diagnosis IMA harus dibuat dengan cepat dan akurat, agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang optimal. Evaluasi awal yang dilakukan pada pasien yang diduga menderita IMA sebaiknya meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah, pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan biomarker kardiak (Panjrath dkk., 2008).

Gejala klasik IMA adalah nyeri dada retrosternal dengan kualitas tumpul dan intensitas yang berat, dapat menjalar ke rahang, leher, bahu, punggung, atau kedua tangan. Keluhan pada saluran pencernaan seperti mual dan muntah dapat terjadi pada IMA inferior. Pasien juga dapat mengeluhkan keringat dingin yang menyertai keluhan nyeri dada. Adanya faktor risiko, seperti merokok, peningkatan kadar kolesterol, Diabetes Melitus (DM), hipertensi, dan riwayat keluarga merupakan faktor suportif yang dapat meningkatkan kecurigaan akan kondisi IMA (Topol & Werf, 2007, Antman & Braunwald, 2007).

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan secepat mungkin pada pasien yang diduga menderita IMA untuk menegakan diagnosis. Adanya perubahan gelombang T yang tinggi dan hiperakut merupakan manifestasi pertama dari oklusi arteri koroner yang akut. Adanya elevasi segmen ST pada gambaran EKG menunjukkan suatu STEMI, sedangkan adanya depresi segmen ST atau inversi

(35)

gelombang T dapat menunjukkan suatu NSTEMI atau UAP. Pasien dengan EKG yang normal namun dengan gejala yang sugestif terhadap IMA sebaiknya menjalani observasi dengan durasi yang lebih lama untuk memperoleh EKG serial atau pemeriksaan lebih lanjut (Topol & Werf, 2007).

Biomarker jantung merupakan salah satu komponen yang penting pada evaluasi awal pasien-pasien yang diduga menderita IMA. Biomarker jantung merupakan makromolekul intraseluler yang dikeluarkan menuju sirkulasi akibat jejas pada miokardial, sehingga dapat terdeteksi di darah tepi. Marker tersebut akan dikeluarkan dengan cepat menuju darah setelah episode IMA, sehingga konsentrasi biomarker pada plasma biasanya berhubungan dengan luasnya area infark. Biomarker jantung yang sering digunakan untuk evaluasi pasien-pasien dengan kecurigaan IMA adalah CK-MB dan Troponin (I dan T). CK-MB merupakan salah satu dari tiga isoenzim Creatine Kinase (CK). CK terdiri dari dua subunit, yaitu B yang paling banyak terdapat pada jaringan otak dan M yang paling banyak terdapat di jaringan otot. Kombinasi dari kedua subunit tersebut akan menghasilkan tiga isoenzim CK, yaitu BB, MB, dan MM. CK-MB akan terdeteksi di sirkulasi dalam waktu 4-6 jam setelah onset IMA, mencapai puncak dalam waktu 12-24 jam, dan kembali ke kadar baseline dalam 2-3 hari. Pada kondisi IMA, kadar CK-MB biasanya meningkat 10-20 kali lipat dari nilai normal. Troponin T dan troponin I merupakan marker yang sangat spesifik untuk suatu jejas pada miokardial. Kadar troponin biasanya terdeteksi dalam waktu 4-6 jam setelah onset IMA. Pada kasus IMA, troponin biasanya meningkat 20-50 kali nilai normal. Peningkatan troponin juga dapat terjadi pada

(36)

kondisi klinis yang lain. Oleh karena itu, peningkatan kadar troponin harus selalu diinterpretasikan berdasarkan konteks situasi klinis. Bila hasil biomarker jantung tidak mengalami peningkatan pada sampel darah yang pertama, dapat dilakukan pemeriksaan serial dalam waktu 6-9 jam dan setelah 12-24 jam (Panjrath dkk., 2008, Katritsis dkk., 2013, Daga dkk., 2011).

Gambar 2.2

Waktu Peningkatan Biomarker setelah Onset IMA (Antman & Braunwald, 2007)

2.5 Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akut

Panduan yang dikeluarkan oleh ACC/AHA dan ESC mengenai SKA telah merekomendasikan stratifikasi risiko secara dini dengan menggunakan berbagai skor risiko klinis untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi. Semua skor risiko yang telah tersedia, seperti skor TIMI dan GRACE memiliki nilai prediktif yang relatif tinggi terhadap mortalitas saat perawatan di rumah sakit serta dalam waktu 1 dan 12 bulan. Stratifikasi risiko

(37)

yang akurat sangat penting untuk evaluasi pasien dengan SKA untuk pengambilan keputusan yang sesuai mengenai pemilihan tempat dan tingkat perawatan, kebutuhan akan intervensi terapeutik, serta lama rawat. Secara umum, pasien yang memiliki faktor risiko multipel untuk menderita IMA, usia tua, angina pada saat istirahat, terdapat riwayat tindakan revaskularisasi sebelumnya, terdapat perubahan segmen ST-T yang dinamis, serta peningkatan biomarker jantung yang mengindikasikan adanya nekrosis miokardial termasuk dalam kelompok pasien berisiko tinggi (Bedetti dkk., 2010, Daga dkk., 2011).

2.6 Komplikasi pada Infark Miokard Akut

Sebagian besar mortalitas yang disebabkan oleh IMA merupakan akibat dari perubahan-perubahan patofisiologi yang terjadi pada kondisi IMA. Tingginya angka komplikasi akibat IMA menyebabkan dibutuhkannya penegakkan diagnosis segera dan penatalaksanaan yang agresif untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA secara umum dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi mekanik, aritmia, iskemik, inflamasi, dan embolik. Disfungsi ventrikel kiri yang menyebabkan kegagalan pompa jantung merupakan prediktor mortalitas terpenting pada pasien IMA. Definisi dari kegagalan pompa jantung merupakan kondisi dimana curah jantung tidak mencukupi untuk perfusi berbagai organ tubuh karena adanya disfungsi kontraktilitas ventrikel kiri yang akut akibat IMA. Syok kardiogenik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah arteri disertai hipoperfusi jaringan (Nonogi, 2002). Angka mortalitas dalam 30 hari pada pasien IMA dengan syok kardiogenik pada penelitian GUSTO I adalah 58%. Komplikasi iskemik yang sering terjadi

(38)

pada pasien IMA adalah angina pasca infark. Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya angina pasca infark adalah adanya ruptur pada plak atherosklerosis. Pasien IMA dengan komplikasi angina pasca infark memiliki prognosis yang lebih buruk untuk terjadinya kematian mendadak dan reinfark. Komplikasi lain yang juga dapat terjadi pada pasien IMA adalah aritmia. Mekanisme utama yang mendasari terjadinya aritmia pada pasien IMA adalah

re-entry yang disebabkan oleh inhomogenitas elektrik pada miokardium yang

mengalami iskemik. Aritmia juga dapat disebabkan oleh reperfusi akibat proses

washout dari berbagai substansi seperti laktat, kalium, dan substansi metabolik

toksik yang sebelumnya berakumulasi pada zona iskemik. (Mullasari dkk., 2011). 2.7 Fungsi Sistolik Ventrikel yang Normal

Ventrikel kanan dan kiri memiliki korelasi yang erat karena dihubungkan dengan septum interventrikular yang terutama berfungsi sebagai bagian ventrikel kiri pada jantung yang normal. Selain itu, ventrikel kanan dan kiri juga diselubungi oleh satu perikardium (Bluzaitė dkk., 2012). Terdapat istilah ventricle

interdependence yang mendeskripsikan suatu konsep bahwa bentuk, ukuran, dan

komplians dari salah satu ventrikel dapat mempengaruhi bentuk, ukuran, dan hubungan tekanan-volume pada ventrikel yang lain melalui interaksi mekanik secara langsung (Haddad dkk., 2008). Perbedaan antara ventrikel kanan dan kiri tidak hanya meliputi perbedaan bentuk dan ketebalan, namun juga termasuk adanya perbedaan konsentrasi dan orientasi miofibril jantung. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan yang kompleks dalam cara masing-masing ventrikel mengejeksikan darah (Bruhl dkk., 2011).

(39)

Kemampuan memompa pada ventrikel kiri dipengaruhi oleh performa diastolik (kemampuan ventrikel kiri untuk terisi darah) dan performa sistolik (kemampuan ventrikel kiri untuk mengejeksikan darah). Kontraktilitas miokard merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi performa sistolik ventrikel kiri secara signifikan. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi performa sistolik ventrikel kiri adalah beban jantung dan konfigurasi ventrikel (Fukuta & Little, 2008).

Proses kontraksi ventrikel kanan berjalan secara sekuensial, dimulai dari kontraksi bagian inlet dan miokardium yang bertrabekulasi, dan diakhiri dengan kontraksi infundibulum. Kontraksi ventrikel kanan dapat terjadi akibat 3 mekanisme yang terpisah, antara lain: (1) Pergerakan dinding bebas ventrikel kanan ke arah dalam yang menghasilkan bellows effect, (2) Kontraksi serat-serat longitudinal yang menyebabkan pemendekan aksis panjang jantung dan menarik annulus katup trikuspid menuju apeks, dan (3) Traksi dinding bebas ventrikel kanan akibat kontraksi ventrikel kiri. Pemendekan ventrikel kanan lebih signifikan secara longitudinal dibandingkan dengan radial. Berbeda dengan ventrikel kiri, pergerakan rotasional tidak berkontribusi secara signifikan terhadap kontraksi ventrikel kanan (Haddad dkk., 2008).

2.8 Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri setelah Infark Miokard Akut

Perubahan patofisiologi utama yang mendasari terjadinya disfungsi ventrikel kiri pada kondisi IMA adalah terjadinya kehilangan segmen-segmen fungsional pada miokardium. Derajat penurunan fungsi jantung pada infark miokard berhubungan secara langsung dengan luas kerusakan pada ventrikel kiri (Alam,

(40)

1991). Pada fase akut dari infark miokard, terjadi perubahan yang cepat pada fungsi ventrikel kiri yang dipengaruhi oleh luas dan reversibilitas kondisi iskemia, penggunaan terapi reperfusi, adanya edema, luasnya peregangan miokardial pasif, beban pada miokardial, dan faktor-faktor lain. Area yang mengalami infark akan meluas dalam waktu beberapa detik sejak onset iskemia. Selama beberapa jam sampai beberapa hari berikutnya, terjadi perluasan area infark di subendokardial, proses tersebut disebut dengan ekspansi infark. Sebagai respon terhadap hilangnya jaringan kontraktil secara bermakna, akan terjadi area hiperkinesia dan dilatasi pada ventrikel kiri dalam hitungan hari hingga minggu. Proses tersebut, yang diikuti dengan adanya regurgitasi katup mitral akibat proses dilatasi ventrikel dan diikuti oleh perubahan-perubahan biokimia dan neuroendokrin yang kompleks, merupakan inti dari suatu siklus yang disebut dengan remodelling infark. Tujuan pemeriksaan pencitraan pada IMA adalah menilai fungsi sistolik ventrikel kiri secara segmental dan global, adanya pembentukan thrombus intrakavitas, dan komplikasi mekanik lain akibat IMA Oleh karena itu, pada kondisi IMA, direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ekokardiografi dalam waktu 24-48 jam pertama (Flachskampf dkk., 2011).

2.9 Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan setelah Infark Miokard Akut

Pada kondisi IMA sering ditemukan adanya keterlibatan ventrikel kanan, dan paling sering berhubungan dengan infark miokard inferior. Disfungsi ventrikel kanan dapat ditemukan pada sepertiga pasien yang menderita infark miokard inferior (Bluzaitė dkk., 2012). Pada infark miokard akut di ventrikel kanan, pola disfungsi segmental yang terjadi tergantung pada arteri culprit. Pada keterlibatan

(41)

arteri koroner kanan (right coronary artery/RCA) proksimal terhadap cabang marginal (pada sistem arteri koroner yang dominan kanan), dapat terlihat hipokinesis segmenal pada dinding lateral dan inferior. Pada keterlibatan arteri posterior desenden, dapat terlihat hipokinesis pada segmen inferior. Pada infark miokard anterior yang melibatkan arteri koroner left anterior descending (LAD), biasanya terdapat hipokinesis ventrikel kanan yang terbatas pada dinding anterior (Haddad dkk., 2008).

Penurunan fungsi ventrikel kanan tidak hanya ditemukan pada kondisi infark miokard inferior, namun juga pada kondisi infark miokard akut di area yang lain. Hal tersebut disebabkan karena ventrikel kanan dan kiri tidak hanya terhubung secara anatomis, namun tergantung secara fungsional satu sama lain. Selama irama sinus normal, tegangan yang dihasilkan oleh kontraksi ventrikel kiri dan peningkatan gradien tekanan transseptal dari kiri kekanan pada saat fase sistolik berkontribusi terhadap fungsi sistolik ventrikel kanan. Hal tersebut dapat menjelaskan kausa terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kanan pada pasien-pasien dengan IMA anterior pada penelitian yang dilakukan oleh Karakurt & Akdemir (Karakurt & Akdemir, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Moller dkk., didapatkan bahwa pada kondisi IMA, fungsi ventrikel kanan berhubungan secara signifikan dengan fungsi ventrikel kiri. Pada penelitian tersebut juga diperoleh korelasi yang lemah antara Myocardial Performance Index (MPI) pada ventrikel kanan dengan Wall Motion Score Index (WMSI) global pada ventrikel kiri. (Moller dkk., 2001).

(42)

Terdapat beberapa bukti bahwa disfungsi ventrikel kanan berhubungan dengan prognosis yang buruk pada pasien-pasien pasca IMA yang disertai dengan disfungsi ventrikel kiri yang sedang hingga berat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Antoni dkk., diperoleh bahwa selain berdasarkan karakteristik klinis dan pengukuran fungsi ventrikel kiri menggunakan pemeriksaan ekokardiografi, fungsi ventrikel kanan dapat digunakan untuk memprediksi luaran yang buruk pada pasien pasca IMA secara signifikan. Selain itu, didapatkan nilai TAPSE yang lebih rendah secara bermakna pada pasien-pasien IMA yang mengalami disfungsi ventrikel kiri dibandingkan dengan tanpa disfungsi ventrikel kiri (Antoni dkk., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Bedetti dkk. juga menunjukkan bahwa pergerakan katup trikuspid pada fase sistolik dapat memberikan informasi prognostik yang signifikan bila dilakukan bersamaan dengan evaluasi fungsi ventrikel kiri dan memiliki nilai prediktif yang kuat pada pasien-pasien dengan SKA (Bedetti dkk., 2010).

2.10 Parameter Ekokardiografi untuk Stratifikasi Risiko pada Infark Miokard Akut

Pada fase akut dari infark miokard, pemeriksaan ekokardiografi harus dilakukan secepat mungkin untuk menilai fungsi regional dan global ventrikel kiri dan kanan serta untuk menyingkirkan kemungkinan adanya suatu komplikasi mekanik. Pemeriksaan ekokardiografi segera juga diindikasikan pada pasien yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak, hipotensi atau syok, gagal jantung akut, serta murmur yang baru. Pemeriksaan ekokardiografi juga dapat digunakan untuk stratifikasi risiko dan menentukan penatalaksanaan pada pasien

(43)

dengan IMA (Flachskampf dkk., 2011). Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling sederhana, murah, tidak membutuhkan banyak waktu pengerjaan, dan tersedia secara luas (Brand dkk., 2002). Berdasarkan berbagai penelitian, ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan dalam situasi klinis dan efektif untuk stratifikasi risiko pasien-pasien IMA. Parameter-parameter ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan risiko mortalitas atau infark miokard berulang pada saat perawatan di rumah sakit dan 6 bulan pasca dipulangkan dari rumah sakit. Kekuatan stratifikasi prognostik parameter ekokardiografi lebih bermakna bila dibandingkan dengan skor klinis yang telah banyak direkomendasikan, contohnya skor TIMI dan GRACE (Bedetti dkk., 2010).

Panduan mengenai SKA telah merekomendasikan agar pemeriksaan ekokardiografi dikerjakan secara rutin di unit gawat darurat untuk memperoleh diagnostik banding pada pasien-pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada dan untuk stratifikasi risiko pasien-pasien dengan SKA. Banyak parameter ekokardiografi yang diketahui berhubungan dengan prognosis pasien IMA, salah satunya adalah fungsi sistolik ventrikel kiri. Prognosis pasien setelah IMA sangat berhubungan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri. Fungsi sistolik ventrikel kiri paling sering dinyatakan dengan EF dan dapat diukur menggunakan pemeriksaan

radionuclide ventriculography, contrast cineangiography, dan ekokardiografi.

Adanya nilai EF ventrikel kiri yang ≤ 40% diketahui berhubungan dengan prognosis yang buruk. Adanya regurgitasi katup mitral yang teridentifikasi dari

(44)

pemeriksaan ekokardiografi pada fase awal IMA berhubungan dengan prognosis yang buruk (Bedetti dkk., 2010).

Pemeriksaan ekokardiografi transthorakal merupakan salah satu pemeriksaan pencitraan yang paling sering digunakan untuk menilai fungsi sistolik ventrikel kiri. Beberapa teknik ekokardiografi dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi global ventrikel kiri. Semua metode untuk menilai EF memerlukan operator yang berpengalaman, merupakan pemeriksaan yang subjektif dan mudah untuk terjadi variabilitas interobserver (Matos dkk., 2012). Pengukuran fractional shortening (FS) dan teknik Teichholtz memberikan hasil yang tidak reliabel bila terdapat kontraksi ventrikel kiri yang asimetris. Pengukuran EF dengan menggunakan ekokardiografi dua dimensi dapat mentoleransi kontraktilitas yang asimetris, namun membutuhkan gambaran tepi endokardial yang adekuat dan kualitas gambar yang baik, yang tidak dapat diperoleh pada semua pasien serta memerlukan operator yang berpengalaman untuk pengerjaannya (Brand dkk., 2002).

Parameter ekokardiografi lain yang juga memiliki nilai prognostik yang independen terhadap mortalitas dan perawatan di rumah sakit lanjutan akibat kondisi gagal jantung adalah WMSI. WMSI merupakan rerata dari skor pergerakan dinding jantung yang dihitung pada seluruh segmen dinding ventrikel kiri. Skor 1 melambangkan nomokinesia, skor 2 untuk hipokinesia, skor 3 untuk akinesia, dan skor 4 untuk diskinesia. Oleh karena itu, ventrikel kiri yang normal memiliki nilai WMSI 1, dan nilai yang lebih tinggi menunjukkan bahwa telah terjadi abnormalitas. Fungsi diastolik juga diketahui berpengaruh terhadap terapi

(45)

dan diagnosis setelah IMA. Adanya komplikasi mekanik yang ditimbulkan oleh kondisi IMA seperti regurgitasi katup mitral akibat iskemik dan ruptur pada dinding jantung juga berhubungan dengan prognosis yang buruk (Flachskampf dkk., 2011).

2.11 Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE)

Annulus katup mitral merupakan suatu komponen yang penting, dinamis, dan komponen yang menghubungkan kompleks katup mitral, atrium kiri, dan ventrikel kiri. Annulus katup mitral berfungsi untuk membantu penutupan katup serta pengisian ventrikel kiri secara efektif dan efisien. Annulus katup mitral memiliki bentuk dan pergerakan yang kompleks, dan pergerakannya diketahui berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri. Terdapat beberapa pemeriksaan pencitraan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi area dan dinamika annulus katup mitral, contohnya MRI dan ekokardiografi dua dimensi (Elnoamany & Abdelhameed, 2006).

MAPSE, atau yang sering disebut juga dengan Mitral Annulus Excursion (MAE), left Atrioventricular Plane Displacement (APVD), atau mitral ring

displacement merupakan suatu parameter ekokardiografi yang berguna untuk

menilai fungsi longitudinal ventrikel kiri secara klinis dan memiliki korelasi yang baik dengan fungsi sistolik global pada ventrikel kiri (Bergenzaun dkk., 2013). MAPSE pertama kali diukur pada tahun 1967 oleh Zaky dkk. yang mendeskripsikan suatu “curve contour” pada pemeriksaan ekokardiografi M-mode melalui annulus katup mitral. Mereka menemukan adanya deviasi dari nilai

(46)

normal pada pergerakan annulus katup mitral pasien dengan kelainan jantung (Zaky dkk., 1967).

MAPSE dapat diukur pada sebagian besar pasien tanpa membutuhkan kualitas gambar yang baik, karena annulus katup atrioventrikular memiliki ekogenitas yang tinggi (Hu dkk., 2013b). Oleh karena itu, pengukuran MAPSE dapat membantu untuk mengevaluasi fungsi sistolik ventrikel kiri pada kasus dengan sonographic window yang buruk. Studi klinis sebelumnya menunjukkan bahwa MAPSE yang menggambarkan pergeseran annulus katup mitral saat fase sistolik merupakan suatu parameter yang sensitif untuk menentukan abnormalitas ringan pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular stadium awal (Hu dkk., 2013a). Hal tersebut disebabkan karena pada kondisi patologis, contohnya iskemia atau hipertrofi miokardial, fungsi longitudinal ventrikel kiri dipengaruhi lebih awal dibandingkan komponen yang lain, yang bahkan dapat mengalami peningkatan akibat proses kompensasi (Elnoamany & Abdelhameed, 2006)

Gambar 2.3

Cara Pengukuran MAPSE melalui Apical-four Chamber View (Hu dkk., 2013a)

(47)

Pengukuran MAPSE dilakukan dengan menggunakan ekokardiografi

M-mode pada apical view. MAPSE dapat diukur dari empat area pada bidang

atrioventrikular yang berhubungan dengan dinding septal, lateral, anterior, dan posterior menggunakan apical four-chamber dan two-chamber view dengan ekokardiografi M-mode. Kursor M-mode harus selalu diletakkan paralel terhadap dinding ventrikel kiri. MAPSE harus diukur dari titik terendah pada akhir diastolik hingga penutupan katup aorta (dapat diperoleh pada akhir gelombang T pada elektrokardiogram). Pada umumnya, pengukuran MAPSE harus dilakukan dari annulus katup septal dan lateral (Hu dkk., 2013a)

MAPSE menunjukkan nilai pergeseran bidang annulus katup mitral menuju apeks, sehingga dapat menilai perubahan global dalam ukuran kavitas ventrikel kiri (searah long axis). Oleh karena itu, MAPSE dapat diinterpretasikan sebagai perubahan volume pada saat ejeksi serta ditunjukkan memiliki hubungan yang signifikan terhadap long-axis shortening dan ejection fraction (EF) pada berbagai kelompok pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang normal atau menurun. Rerata nilai normal MAPSE yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya untuk empat regio annulus (septal, anterior, lateral, dan posterior) berkisar antara 12 dan 15 mm, dan nilai MAPSE <8 mm berhubungan dengan LVEF yang menurun (<50%) dengan spesifisitas 82% dan sensitivitas 98%. Rerata nilai MAPSE ≥ 10 mm berhubungan dengan EF yang normal (≥ 55% dengan sensitivitas 90-92% dan spesifisitas 87%. Selain itu, rerata nilai MAPSE <7 mm dapat digunakan untuk mendeteksi nilai EF <30% dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 67% pada pasien kardiomiopati dilatasi dengan gagal jantung kongestif berat (Hu dkk.,

(48)

2013b). Penelitian yang dilakukan oleh Matos dkk. menunjukkan bahwa pengukuran MAPSE yang dilakukan oleh pengamat yang tidak terlatih merupakan prediktor yang sangat akurat terhadap EF yang ditentukan oleh operator ekokardiografi yang berpengalaman. Oleh karena itu, pengukuran MAPSE dapat menjadi suatu cara alternatif untuk menilai fungsi ventrikel kiri bila pemeriksaan ekokardiografi dilakukan tenaga yang kurang berpengalaman dan tidak terdapat ahli ekokardiografi yang tersedia dengan segera untuk memberikan konsultasi (Matos dkk., 2012). Hal yang serupa juga ditemukan pada studi yang dilakukan oleh Mjolstad dkk., yang menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai MAPSE yang diukur oleh dokter umum dengan kardiolog (Mjølstad dkk., 2012). Pada studi yang dilakukan oleh Bergenzaun dkk., MAPSE merupakan parameter yang sederhana untuk mengevaluasi fungsi ventrikel kiri dan dapat diperoleh dengan mudah di ruang intensif dengan variabilitas interobserver sebesar 4,4% dan variabilitas intraobserver sebesar 5,3% (Bergenzaun dkk., 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Sharif dkk. Menunjukkan bahwa MAPSE dapat digunakan untuk menggambarkan abnormalitas fungsi longitudinal sistolik ventrikel kiri dan pergerakan dinding jantung pada saat istirahat secara reliabel (Sharif dkk., 2011). MAPSE juga dapat digunakan sebagai indeks ekokardiografi yang sederhana dan sensitif untuk menilai abnormalitas miokardial yang melibatkan perubahan-perubahan longitudinal, terutama pada penyakit stadium awal. Selain itu, Willenheimer dkk. menemukan bahwa pasien dengan abnormalitas diastolik pada ventrikel kiri memiliki nilai MAPSE yang lebih

(49)

rendah dibandingkan pasien dengan fungsi diastolik yang sama, walaupun kedua kelompok tersebut memiliki nilai fractional shortening (FS) yang sama. Oleh karena itu, MAPSE juga diduga dapat menggambarkan fungsi diastolik pada ventrikel kiri (Hu dkk., 2013a).

Penelitian yang dilakukan oleh Nammas dan El-Okda menunjukkan bahwa nilai MAPSE < 10 mm yang diukur dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah sakit akibat STEMI dapat digunakan untuk memprediksi kejadian kardiovaskular mayor pada saat perawatan di rumah sakit dengan sensitivitas 72,7%, spesifisitas 91,5%, nilai prediktif negatif 91,5%, dan nilai prediktif positif 72,7%. Pengukuran MAPSE juga dapat merefleksikan fungsi longitudinal sistolik global pada ventrikel kiri walaupun terdapat kondisi kontraksi ventrikel kiri yang asimetris pada IMA karena dilakukan di empat regio ventrikel kiri yang berbeda, yaitu septal, lateral, anterior, dan inferior. Berdasarkan penelitian tersebut juga didapatkan nilai CKMB yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok pasien dengan nilai MAPSE < 10 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya area nekrosis miokardial yang lebih luas yang berhubungan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang lebih buruk (Nammas & El-Okda, 2012). Pada studi lain juga ditunjukkan bahwa pada pasien IMA, terdapat penurunan nilai MAPSE yang lebih bermakna pada area annulus yang berhubungan dengan dinding jantung yang mengalami infark (Elnoamany & Abdelhameed, 2006). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brand dkk., penurunan nilai MAPSE merupakan variabel prognostik yang signifikan dan independen pada pasien pasca IMA. Pengukuran MAPSE dapat dilakukan pada semua pasien dan dapat memfasilitasi proses

(50)

identifikasi kelompok pasien berisiko tinggi pada praktek klinis (Brand dkk., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Willenheimer dkk. menunjukkan bahwa penurunan nilai MAPSE < 10 mm merupakan suatu penanda disfungsi miokard, walaupun pasien tersebut memiliki gerakan dinding jantung regional yang normal. Hal tersebut disebabkan karena MAPSE terutama berhubungan dengan fungsi serabut miokardial longitudinal yang terdapat di area subendokardial, sedangkan abnormalitas gerakan dinding jantung regional yang dinilai secara visual terutama berhubungan dengan fungsi serabut miokardial sirkuler yang terdapat di regio subepikardial (Willenheimer dkk., 2002).

2.12 Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE)

Ventrikel kanan memiliki struktur yang kompleks dan bentuk yang asimetris, sehingga sulit dilakukan pengukuran EF untuk mengetahui fungsi sistoliknya. Berbeda dengan ventrikel kiri, kavitas ventrikel kanan tidak memiliki bentuk geometris tiga dimensi yang jelas dan solid sehingga sulit untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran EF menggunakan pemeriksaan radionuclide

angiography merupakan salah satu metode baku emas untuk menentukan fungsi

sistolik ventrikel kanan. Kaul dkk. menyatakan bahwa pergerakan bidang katup trikuspid dalam arah longitudinal dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi sistolik ventrikel kanan. Pergerakan bidang annulus katup trikuspid pada fase sistolik tidak dipengaruhi oleh struktur yang kompleks dan bentuk asimetris dari ventrikel kanan. Penelitian yang dilakukan oleh Ueti dkk. menunjukkan bahwa parameter yang menunjukkan pergerakan annulus trikuspid berhubungan secara signifikan dengan EF ventrikel kanan yang dihitung menggunakan radionuclide.

(51)

Parameter tersebut, diantaranya TAPSE, D Wave Integral (DWI), dan

Standardized Peak Velocity of the D Wave (SPVDW) dapat digunakan untuk

membedakan fungsi ventrikel kanan yang normal dan abnormal dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik (Ueti dkk., 2002). Pemeriksaan MRI kardiak juga merupakan salah satu baku emas untuk menilai EF venrikel kanan. MRI dapat digunakan untuk menentukan volume, fungsi, dan massa ventrikel kanan dengan tepat dan memiliki reprodusibilitas yang baik. Di lain pihak, penggunaan MRI kardiak secara rutin untuk menentukan volume dan fungsi ventrikel kanan membutuhkan banyak waktu untuk pengerjaan dan tidak tersedia secara luas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Speiser dkk., diperoleh bahwa pengukuran TAPSE menggunakan ekokardiografi memiliki korelasi yang baik dengan pengukuran TAPSE menggunakan MRI dengan variabilitas interobserver dan intraobserver yang baik. Pada penelitian tersebut juga diperoleh bahwa EF ventrikel kanan dapat dihitung secara semikuantitatif menggunakan nilai TAPSE dikalikan dengan 2,5 (Speiser dkk., 2012a).

TAPSE atau yang sering disebut juga dengan Tricuspid Annular Motion (TAM) merupakan suatu metode pada pemeriksaan ekokardiografi yang sederhana dan banyak digunakan untuk penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan. Selain itu, TAPSE juga sudah tervalidasi sebagai pemeriksaan yang baik untuk menilai fungsi sistolik ventrikel kanan berdasarkan berbagai penelitian yang menggunakan pemeriksaan MRI dan ekokardiografi (Bruhl dkk., 2011). TAPSE merupakan suatu metode untuk mengukur jarak pergerakan segmen annulus katup trikuspid pada fase sistolik di sepanjang bidang longitudinal. TAPSE dapat diukur

(52)

dari 4-chamber view dengan cara menempatkan kursor M-mode melalui lateral annulus katup trikuspid dan mengukur pergerakan longitudinal annulus pada puncak fase sistolik. Kontraksi ventrikel kanan terutama terjadi dalam arah longitudinal. Oleh karena itu, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa semakin besar pergerakan longitudinal bidang katup trikuspid pada saat fase sistolik, maka lebih baik juga fungsi ventrikel kanan. TAPSE merupakan parameter ekokardiografi yang sederhana, tidak membutuhkan kualitas gambar yang optimal, peralatan yang canggih, dan analisis yang lama. American Society of

Echocardiography merekomendasikan bahwa pengukuran TAPSE dapat

digunakan secara rutin sebagai metode yang sederhana untuk memperkirakan fungsi ventrikel kanan, dengan nilai referensi untuk gangguan fungsi sistolik ventrikel kanan adalah dibawah 16 mm (Rudski dkk., 2010b).

Gambar 2.4

Gambar

Gambar 4.1  Rancangan Penelitian  4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Gambar 4.3 Alur Penelitian Populasi Terjangkau
Gambar 5.1 Grafik Scatter Plot yang Menggambarkan Korelasi Nilai MAPSE  yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas), Observer 1 dan
Gambar 5.2 Kurva Bland-Altman yang Menggambarkan Limit of Agreement  antara Nilai MAPSE yang Diukur oleh Observer 1 dan Observer 2 (Kiri Atas),
+7

Referensi

Dokumen terkait

Satu unit pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan. Proses merujuk kepada kegiatan

Setelah melaksanakan kegiatan observasi dan orientasi di SMP N 39 Semarang praktikan mendapat pengetahuan dan pengalaman mengenai banyak hal yang berkaitan dengan

Bila dalam pengambilan keputusan secara aklamasi teijadi kemacetan (dead klock) yang berarti ada yang setuju dan tidak setuju, maka musyawarah diskors / ditunda untuk

PHP memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahasa pemrograman lain yang sejenis, yaitu mudah dibuat, dapat berjalan di sistem operasi yang berbeda dan memiliki sifat

Hendro Gunawan, MA

Dengan program aplikasi multimedia interaktif ini diharapkan agar pemakai tertarik untuk mencoba membuat origami dan dapat menambah

Tulisan ini akan membahas pokok penting gagasan Nietzsche yang berkaitan dengan hakekat manusia, yaitu Will to Power (kehendak untuk berkuasa) yang melandasi ungkapan

Skripsi dengan judul “ Penerapan Strategi PAILKEM untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Materi Dimensi Tiga Siswa Kelas X di MA At-Thohiriyah Ngantru Tahun