• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Pedikulosis di Pesantren X, Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektivitas Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Pedikulosis di Pesantren X, Jakarta Timur"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Efektivitas Penyuluhan Terhadap

Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai

Pedikulosis di Pesantren X, Jakarta Timur

Dita Permatasari, Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi 1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

2. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dam Kelamin, Rumah Sakit Ciptomangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

E-mail: permatasari.dita@yahoo.com

Abstrak

Pengetahuan mengenai pedikulosis kapitis yaitu penyebab dan gejala yang ditimbulkannya, penting untuk diketahui masyarakat supaya kasus pedikulosis bisa dideteksi dan ditangani secara dini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan responden mengenai pedikulosis kapitis. Bentuk penelitian ini adalah studi pre-post. Data penelitian diambil pada 22 Januari 2011 di Pesantren X, Jakarta Timur. Seluruh santri diikutsertakan dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai penyebab dan gejala pedikulosis. Survei dilakukan sebelum dan sesudah penyuluhan. Data diolah menggunakan program SPSS versi 11.5 dan diuji dengan marginal homogeneity. Responden terdiri atas 151 orang berusia 11-18 tahun. Responden laki-laki 88 orang (58,3%) dan perempuan 63 orang (41,7%). Sebelum penyuluhan, 13 orang (8,6%) responden memiliki tingkat pengetahuan sedang dan 138 orang lainnya (91,4%) memiliki tingkat pengetahuan kurang. Setelah penyuluhan, responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik menjadi 3 orang (2,0%), sedang 47 orang (31,1%), dan tingkat pengetahuan kurang menjadi 101 orang (66,9%). Melalui uji marginal homogeneity, didapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan. Disimpulkan penyuluhan kesehatan mengenai pedikulosis efektif meningkatkan pengetahuan responden.

Kata kunci: Pediculus humanus capitis; pedikulosis kapitis; pengetahuan santri; penyuluhan

The Effectiveness of Health Promotion in Improving Students’ Knowledge Level About Pediculosis atan Islamic Boarding School in East Jakarta.

Abstract

Knowledge about pediculosis capitis, especially about the causative agent and the symptoms, are important for public in order to detect and manage pediculosis early if it happened. This research is purposed to observe the effectivity of health promotion in increasing respondents’ knowledge about pediculosis capitis. This research is a pre-post study. The data was taken on January 22, 2011 at ‘X’ Islamic High School, East Jakarta. All of the students

(2)

were included in this study and filled the questionnaire about pediculosis capitis causative agent and symptoms. The survey was taken before and after the health promotion. The data was processed using SPSS program version 11.5 and checked using marginal homogeneity test. There were 151 respondents aged between 11-18 years old. The respondents consisted of 88 boys (58,3%) and 63 girls (41,7%). Before the health promotion, 13 respondents (8,6%) had fair knowledge and the remaining 138 (91,4%) had poor knowledge. After the health promotion, the amount of respondents who had good knowledge increased to 3 respondents (2,0%), fair knowledge 47 respondents (31,3%), and poor knowledge decreased to 101 respondents (66,9%). Using marginal homogeneity test, the value of p<0,01 was obtained, which means there is a significant difference between the knowledge before and after the health promotion. It is concluded that the health promotion is effective in increasing respondents’ knowledge.

Keywords: health promotion; pediculosis capitis; Pediculus humanus capitis; student’s knowledge

Pendahuluan

Pedikulosis kapitis adalah penyakit karena infestasi kutu kepala yaitu Pediculus humanus var.

capitis. Penyakit tersebut terdapat di seluruh dunia dan menyerang manusia dari berbagai gender,

usia, ras, serta kelas sosioekonomi. Golongan yang lebih rentan terhadap infestasi P.h.capitis adalah orang-orang yang hidup di lingkungan padat serta yang berada pada higienitas yang inadekuat.

Golongan usia yang paling banyak menderita pedikulosis kapitis adalah anak usia sekolah. Prevalensi pedikulosis kapitis pada anak usia sekolah di Bordeaux, Perancis sebesar 49%, di Bristol 25%, Jerussalem 20%, dan Malaysia 35%.1,2 Pada anak usia 7-8 tahun di Inggris, prevalensinya sebesar 58%.3 Kasus baru di Amerika Serikat diperkirakan antara 6-12 juta pertahun.1 Pedikulosis kapitis juga dinyatakan sebagai penyakit ketiga paling sering oleh 92 tempat penitipan anak di Australia yang memantau secara jangka panjang.1 Survei lain di Korea menunjukkan bahwa prevalensi pedikulosis kapitis lebih tinggi di panti asuhan anak usia 6-18 tahun dibandingkan di rumah singgah gelandangan. Anak panti asuhan yang terkena sebanyak 27,1 % dari seluruh anak panti asuhan, dengan persentase pada anak laki-laki sebesar 23,5% dan anak perempuan sebesar 32,1%.4

Di Indonesia prevalensi pedikulosis pada anak kelas 3-6 SD di Riau adalah 39,3%.5 Di Sumatra Barat, didapatkan prevalensi sebesar 51,92% di antara anak-anak kelas 4-6 SD.6 Persentase yang lebih tinggi didapatkan dari sebuah pesantren di Yogyakarta di mana 71,3% santri putri di pesantren tersebut terinfestasi P.h.capitis.7

(3)

Pedikulosis menimbulkan rasa gatal yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan tidur, serta penurunan kinerja. Karena gatal, penderita sering menggaruk yang mengakibatkan ekskoriasi dan infeksi sekunder. Pada infeksi berat, ekskoriasi berubah menjadi ulkus disertai demam.

Untuk mencegah efek yang semakin berat pada penderita, diperlukan pengetahuan mengenai pedikulosis kapitis, termasuk mengenai karakteristik P.h.capitis serta gejala pedikulosis kapitis. Penyuluhan merupakan salah satu bentuk pemberian informasi yang dapat dilakukan.

Di Jakarta Timur terdapat pesantren yang memiliki banyak santri. Para santri tersebut hidup bersama dan lingkungan mereka termasuk hunian padat yang merupakan risiko tinggi terinfestasi pedikulosis kapitis.

Untuk mencegah dan mengobati pedikulosis, santri perlu diberikan pengetahuan dalam bentuk penyuluhan kesehatan. Selanjutnya dilakukan survei untuk mengetahui apakah penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan mereka. Pengetahuan yang diberikan meliputi morfologi, siklus hidup, gejala, penularan, pemberantasan dan pencegahan. Karena keterbatasan penelitian, pengetahuan yang dievaluasi hanyalah mengenai P.h.capitis dan gejala pedikulosis.

Masalah utama yang diangkat pada penelitian ini adalah apakah penyuluhan yang diadakan di pesantren X efektif meningkatkan pengetahuan santri mengenai P.h.capitis dan gejala yang ditimbulkan. Hipotesis yang diajukan adalah penyuluhan yang diadakan di pesantren X efektif meningkatkan pengetahuan santri mengenai P.h.capitis dan gejala yang ditimbulkan. Selain untuk melihat efektivitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan santri mengenai

P.h.capitis dan gejala yang ditimbulkan, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui

karakteristik demografis santri pesantren X, mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai

P.h.capitis dan gejala yang ditimbulkan sebelum dan setelah penyuluhan, dan meningkatkan

pengetahuan santri mengenai P.h.capitis dan gejala yang ditimbulkan.

Tinjauan Teoritis

(4)

seperti juga P.h.corporis dan Phthirus pubis.8 P.h.capitis merupakan anggota famili Pediculidae

dan menyerang manusia.9

P.h.capitis betina memiliki tubuh dengan panjang sekitar 1,2-3,2 milimeter sementara yang

jantan berukuran lebih kecil. Bentuk tubuh P.h.capitis adalah memanjang dengan perbandingan panjang:lebar sekitar 2:1.9 Bagian dorsoventral tubuh P.h.capitis pipih. P.h.capitis tidak memiliki sayap. Alat gerak P.h.capitis yaitu 3 pasang kaki dengan cakar pada ujungnya yang didesain untuk menggenggam rambut kepala.10 Warna tubuh P.h.capitis adalah abu-abu namun setelah mengisap darah akan berubah menjadi kemerahan.9

P.h.capitis berkembang biak dengan cara bertelur. Telur P.h.capitis berbentuk oval dan pada

salah satu ujungnya terdapat struktur operkulum.8 Warna telur P.h.capitis adalah abu-abu dan berkilat.9 Telur yang terletak pada jarak lebih dari 1 cm dari pangkal rambut kemungkinan besar adalah telur yang sudah tidak hidup.10

P.h.capitis merupakan ektoparasit obligat manusia. Seluruh siklus hidupnya berjalan di tubuh

manusia. Tahap-tahap dalam siklus hidup P.h.capitis yaitu telur, larva, nimfa, serta stadium dewasa.9 Telur P.h.capitis menetas setelah 5-10 hari.10 Telur yang ditinggalkan oleh larva

P.h.capitis tetap menempel di rambut dan letaknya mengikuti pertumbuhan rambut. P.h.capitis

dalam tahap nimfa terlihat mirip dengan stadium dewasa. Nimfa P.h.capitis akan menjadi dewasa setelah 8-10 hari.8 Sebelum kopulasi, P.h.capitis harus mengisap darah terlebih dahulu.10 Sekitar 24 jam setelah kopulasi, P.h.capitis betina akan mengandung telur dan mengeluarkannya 6-10 hari kemudian.8 Telur yang dikeluarkan diletakkan pada bagian rambut yang dekat dengan kulit kepala. Seekor P.h.capitis betina dapat mengeluarkan 5-10 telur sekaligus.10

Di kulit kepala manusia, P.h.capitis dapat hidup selama 30 hari. Di luar kepala manusia,

P.h.capitis dapat bertahan hidup sampai 4 hari meski pada umumnya akan mati setelah 1-2 hari.

Telurnya dapat bertahan hingga 10 hari selain di kepala manusia.10

P.h.capitis mendapatkan nutrisi dengan cara menusuk kulit kepala dan mengisap darah manusia.

Pada saat menusuk dan mengisap, saliva P.h.capitis terekspos dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada kulit manusia. Selain saliva, kotoran P.h.capitis juga dapat menimbulkan reaksi serupa pada manusia.10 Predileksi infestasi P.h.capitis adalah bagian oksiput dan

(5)

retroaurikular.

Pedikulosis kapitis dapat bersifat asimptomatik, namun gejala yang sering dikeluhkan adalah gatal-gatal. Krusta hemoragik kecil juga dapat timbul akibat pengisapan darah.10 Komplikasi yang dapat timbul umumnya adalah akibat dari garukan yang berlebihan. Garukan yang berlebihan menimbulkan erosi, ekskoriasi, serta infeksi sekunder. Pada infeksi sekunder berat, dapat ditemukan plika pelonika yaitu rambut yang bergumpal akibat pus dan krusta yang banyak.9 Pembengkakan kelenjar getah bening juga dapat terjadi karena infeksi sekunder. Malaise dan demam rendah dapat terjadi jika infestasi luas.8

Menurut KBBI, penyuluhan adalah “proses, cara, perbuatan menyuluh; penerangan”. Maulana11 mengatakan bahwa penyuluhan kesehatan diartikan sebagai pendidikan mengenai kesehatan melalui penyebaran pesan dan penanaman keyakinan agar yang diberi penyuluhan mengerti dan mau melakukan saran yang disampaikan dalam pendidikan tersebut. Karena tujuannya adalah memengaruhi masyarakat, orang yang memberi penyuluhan harus menguasai tidak hanya materi yang akan disampaikan namun juga teknik berkomunikasi yang baik. Efektivitas penyuluhan dapat ditingkatkan dengan memilih media yang lebih berpengaruh atau mengombinasikan media yang digunakan untuk menyuluh. Dale, seperti dikutip Gondodiputro,12 mengelompokkan media penyuluhan kesehatan ke dalam 11 macam, dari yang kurang efektif hingga paling efektif yaitu kata-kata, tulisan, rekaman, film, televisi, pameran, field trip, demonstrasi, sandiwara, benda tiruan, dan benda asli. Meski banyak jenis media yang dapat digunakan, tingkat kesulitan dan biaya produksi harus tetap dipertimbangkan. Data sekunder berupa hasil pretest dan posttest dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas penyuluhan.

Menurut KBBI, pengetahuan adalah “Segala sesuatu yang diketahui; kepandaian; segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal”. Pengetahuan sangat memengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, penghasilan, dan sosial budaya.13

Pesantren X memiliki 220 santri. Sebanyak 120 orang merupakan santri madrasah tsanawiyah dan 100 orang merupakan santri madrasah aliyah. Kebanyakan santri berasal dari Jakarta dan sekitarnya dengan kondisi sosioekonomi keluarga menengah ke bawah. Jumlah guru pesantren X adalah 36 orang dan jumlah pengurus pesantren 15 orang.

(6)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain pre-post study dengan intervensi berupa penyuluhan kesehatan. Penelitian dilakukan di Pesantren X di Jakarta Timur dengan pengambilan data pada 22 Januari 2011. Populasi target adalah santri pesantren. Populasi terjangkau adalah santri Pesantren X di Jakarta Timur. Sampel penelitian adalah seluruh santri Pesantren X (total populasi) yang berada di lokasi saat pengambilan data.

Kriteria inklusi penelitian ini adalah seluruh santri pesantren X, Jakarta Timur yang terdaftar pada tanggal 22 Januari 2011. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah santri pesantren X Jakarta Timur yang tidak hadir pada saat pengambilan data yaitu pada tanggal 22 Januari 2011. Kriteria

drop out adalah santri tidak mengikuti posttest. Besar sampel sama dengan jumlah santri

Pesantren X yang memenuhi kriteria inklusi dan bebas dari kriteria eksklusi.

Pada penelitian ini, penyuluhan merupakan variabel bebas sementara tingkat pengetahuan santri merupakan variabel terikat. Variabel perancu adalah faktor-faktor lain yang memengaruhi tingkat pengetahuan yaitu tingkat pendidikan, kondisi sosial dan budaya, kepercayaan, pengalaman, serta penghasilan.

Proses pengambilan data diawali dengan memberikan penjelasan kepada subjek terlebih dahulu. Setelah pemberian penjelasan, subjek diminta kesediaannya untuk berpartisipasi. Subjek berhak menolak untuk ikut serta dalam penelitian. Langkah selanjutnya adalah pengisian pretest oleh subjek. Setelah pelaksanaan pretest, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Subjek kemudian diberikan penyuluhan oleh narasumber yang ahli dalam materi yang diberikan serta dalam memberikan penyuluhan. Kuesioner posttest dibagikan setelah penyuluhan dan diisi oleh subjek. Pertanyaan pada kuesioner posttest sama dengan pertanyaan pada pretest. Setelah diisi, posttest dikumpulkan. Kuesioner posttest kemudian diperiksa kelengkapannya. Subjek yang telah menyelesaikan kuesioner dan mengikuti penyuluhan diberikan souvenir oleh peneliti sebagai tanda terima kasih. Data pribadi subjek dijaga kerahasiaannya.

Data diolah menggunakan program SPSS 11.5 dan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis data dilakukan dengan uji marginal homogeneity. Setelah itu, hubungan antarvariabel dianalisis.

(7)

Laporan penelitian ini ditulis dalam bentuk skripsi dan diajukan pada pembimbing riset untuk digunakan pada ujian skripsi program pendidikan dokter umum.

Kelengkapan dan kesesuaian data yang diperoleh dari kuesioner segera diperiksa setelah pengambilan data. Setelah diverifikasi, data yang diperoleh dikelompokkan ke dalam skala nominal, ordinal, atau numerik. Karakteristik responden dikelompokkan ke dalam data ordinal serta nominal. Tingkat pengetahuan responden juga dikelompokkan ke dalam data ordinal.

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui penyajian distribusi frekuensi dari analisis distribusi variabel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

Pada penelitian ini juga digunakan batasan responden untuk kata responden dan pengetahuan. Responden adalah santri pesantren X yang mengisi kuesioner pretest dan posttest, sementara pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui oleh responden, dalam penelitian ini yaitu mengenai karakteristik P.h.capitis dan gejala pedikulosis. Pengetahuan diukur dengan data hasil pengisian kuesioner. Klasifikasi tingkat pengetahuan berdasarkan skor yaitu baik jika skor ≥ 80, sedang jika skor 60-79, dan kurang jika skor ≤ 59.

Hasil Penelitian

Pada penelitian ini, diperoleh sebanyak 151 responden dari 220 santri pesantren X karena sebagian santri sedang pulang ke rumah untuk liburan.

(8)

Tabel 1. Karakteristik Demografis Responden

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pengetahuan responden meningkat setelah diberikan penyuluhan. Pada uji marginal homogeneity terdapat perbedaan bermakna yang berarti penyuluhan efektif untuk meningkatkan pengetahuan responden.

Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai P.h.capitis dan Gejala Pedikulosis

Penyuluhan

Tingkat Pengetahuan

Uji

Baik Sedang Kurang

Sebelum 0 13 (8,6%) 138 (91,4%) Marginal

homogeneity

p<0,01

Sesudah 3 (2,0%) 47 (31,1%) 101 (66,9%)

Variabel Kategori Jumlah

Usia 11-12 13-14 15-16 17-18 14 (9,3%) 48 (31,7%) 55 (36,5%) 34 (22,5%)

Jenis kelamin Laki-laki 88 (58,3%)

Perempuan 63 (41,7%)

Tingkat Pendidikan Tsanawiyah 76 (50,3%)

(9)

Dari tabel 3 tampak bahwa semua skor meningkat kecuali skor pada nomor 5. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengerti materi penyuluhan yang ditanyakan pada hampir semua nomor kecuali nomor 5.

(10)

Tabel 3. Skor Jawaban terhadap Pertanyaan Mengenai P.h.capitis dan Gejala Pedikulosis

Pertanyaan Skor total Skor

maksimal Pretest Posttest

Ciri-ciri tuma adalah… 475 (62,9%) 574 (76,0%) 755 Tuma memiliki kaki

sebanyak…

160 (21,2%) 360 (47,7%) 755

Tuma dapat bertahan hidup di luar kulit kepala selama …

180 (23,8%) 240 (31,8%) 755

Telur tuma dapat bertahan hidup di luar rambut selama…

130 (17,2%) 175 (23,2%) 755

Warna telur tuma yang belum menetas adalah…

230 (30,5%) 210 (27,8%) 755

Gatal akibat gigitan tuma umumnya terjadi di bagian…

401 (53,1%) 520 (68,9%) 755

Gatal akibat tuma disebabkan oleh…

396 (52,5%) 469 (62,1%) 755

Gigitan tuma kepala dapat mengakibatkan...

194 (25,7%) 560 (74,2%) 755

Pada orang dengan jumlah tuma kepala yang banyak dapat

mengalami...

268 (35,5%) 276 (36,6%) 755

Telur diletakkan oleh tuma di....

(11)

Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan penyuluhan, yaitu pada saat pretest, tidak ada responden yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai P.h.capitis dan gejala pedikulosis. Sementara itu, responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang yaitu sebanyak 8,6% dan yang memiliki pengetahuan kurang yaitu sebanyak 91,4%.

Rendahnya pengetahuan responden mengenai P.h.capitis serta gejala pedikulosis dikarenakan kurangnya pajanan mereka terhadap informasi mengenai topik tersebut. Dalam kesehariannya, responden tidak memasukkan materi mengenai pedikulosis ke dalam diskusi mereka. Selain itu, madrasah aliyah Pesantren X tidak memiliki program Ilmu Pengetahuan Alam dan mata pelajaran Biologi sehingga para santri tidak mendapat materi mengenai pedikulosis dalam kegiatan akademis mereka. Poskestren juga tidak memiliki program edukasi kesehatan untuk responden mengenai pedikulosis. Ketersediaan media lain bagi responden untuk mengakses informasi seperti televisi dan internet juga sangat terbatas.

Kurangnya pemberian informasi mengenai pedikulosis menggambarkan kurangnya perhatian masyarakat terhadap pedikulosis. Heukelbach pada tahun 2003 menemukan bahwa ada suatu pusat pelayanan kesehatan primer di lingkungan masyarakat miskin di mana para dokternya tidak menyadari sama sekali bahwa ada penyakit ini pada para pasiennya.3 Ini menunjukkan kurangnya kewaspadaan dan perhatian manusia terhadap pedikulosis kapitis.

Pengetahuan yang kurang memadai mengenai masalah kesehatan masih banyak ditemukan pada berbagai populasi pesantren. Saroh14 menemukan bahwa sebagian besar santri putri di suatu pesantren di Tegal memiliki pengetahuan mengenai skabies yang kurang baik. Hasil penelitian oleh Rubaiah15 terhadap santri suatu pesantren di Demak juga memaparkan hal yang serupa. Pengetahuan yang tidak baik mengenai perilaku seksual juga lebih banyak ditemukan dibandingkan pengetahuan yang sudah baik di antara santri di suatu pesantren di Tapanuli, seperti yang didapatkan dari penelitian Asfriyati.16

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penyuluhan yang dilakukan cukup efektif dalam meningkatkan pengetahuan responden mengenai P.h.capitis dan gejala pedikulosis (p<0,01). Terjadi peningkatan persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik dari 0

(12)

sebelum penyuluhan menjadi 2,0% setelah penyuluhan. Persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang juga meningkat dari 8,6% sebelum penyuluhan, menjadi 31,1% sesudah penyuluhan. Sementara itu, persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang menurun dari 91,4% sebelum penyuluhan menjadi 66,9% setelah penyuluhan.

Peningkatan pengetahuan berarti responden memahami materi yang disampaikan dengan baik. Pada penelitian ini, responden adalah santri yang sering menerima materi pelajaran di kelas, sehingga terbiasa menyimak untuk mendapatkan informasi dengan baik. Selain itu, penyuluhan diberikan menggunakan kombinasi dari beberapa media sehingga dapat meningkatkan efektivitasnya. Media yang digunakan berbentuk kata-kata yang diucapkan oleh narasumber dan tulisan yang dipaparkan melalui slideshow. Narasumber yang memberikan materi penyuluhan juga ahli dalam berkomunikasi, sehingga pesan yang diberikan dapat ditangkap oleh responden. Meski terjadi peningkatan pengetahuan, perubahan perilaku yang diharapkan belum tentu terjadi. Pada tahun 1996, Riswandi17 menggunakan beberapa metode untuk menanggulangi pedikulosis di suatu pondok pesantren di Jakarta Selatan, antara lain memberikan penyuluhan kepada para santri putri secara massal maupun perseorangan. Selain itu, pemasangan poster yang diganti seminggu sekali serta pemberian sisir dan handuk juga dilakukan. Berdasarkan metode tersebut, pada saat evaluasi didapatkan peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan terhadap pedikulosis. Pemasangan poster yang merupakan peringatan secara berkala serta penyuluhan perseorangan yang merupakan pendekatan yang lebih personal, dapat diikuti untuk membentuk perilaku baik responden. Evaluasi juga harus dilakukan untuk menilai perubahan perilaku.

Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa setelah penyuluhan terjadi peningkatan skor total responden meski pada salah satu pertanyaan terdapat penurunan skor total responden. Penurunan tersebut bisa dikarenakan beberapa hal, misalnya ada materi yang ditanyakan di kuesioner namun kurang dijelaskan dalam penyuluhan, tidak adanya handout ataupun sesi tanya jawab untuk mencocokkan persepsi, responden menjawab asal-asalan, atau responden tertukar dalam menandai pilihan jawaban. Tingkat pengetahuan yang baik sudah dicapai oleh sebagian responden setelah penyuluhan, namun penyuluhan harus diberikan kembali dengan beberapa modifikasi agar jumlah responden yang mencapai tingkat pengetahuan baik bertambah dan pengetahuan yang diterima dapat dipertahankan.

(13)

Kesimpulan

1. Karakteristik santri pesantren X, Jakarta Timur yang menjadi responden adalah laki-laki sebanyak 88 orang (58,3%) dan perempuan 63 orang (41,7%) yang terdiri atas remaja berusia 11 hingga 18 tahun. Dari 151 santri tersebut, 76 orang (50,3%) di antaranya berasal dari jenjang pendidikan madrasah tsanawiyah dan 75 orang (49,7%) lainnya dari madrasah aliyah.

2. Sebelum penyuluhan, tidak ada responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pedikulosis, 13 orang (8,6%) memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 138 orang (91,4%) memiliki tingkat pengetahuan kurang. Setelah penyuluhan, 3 orang (2,0%) memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pedikulosis, 47 orang (31,1%) memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 101 orang (66,9%) memiliki tingkat pengetahuan kurang. 3. Penyuluhan cukup efektif meningkatkan pengetahuan santri.

Saran

1. Penyuluhan diadakan kembali dengan tujuan untuk menjaga pengetahuan yang telah dimiliki santri tidak dilupakan.

2. Penyuluhan berikutnya menggunakan media yang lebih beragam supaya materi yang diberikan lebih mudah ditangkap dan diingat.

3. Penyuluhan berikutnya dilanjutkan dengan sesi tanya jawab atau diskusi untuk mencocokkan persepsi.

4. Penyuluhan juga ditujukan kepada para pengajar di pesantren supaya materi bisa disampaikan kepada santri pada tahun-tahun berikutnya.

Kepustakaan

(14)

2. Bachok N, Nordin RB, Awang CW, Ibrahim NA, Naing L. Prevalence and associated factors of head lice infestation among primary schoolchildren in Kelantan, Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2006; 37:536-43.

3. Heukelbach J, Feldmeier H. Ectoparasites-the underestimated realm. The Lancet. 2004; 363(9412): 889-91.

4. Ree H, Yong T, Shin H, Shin C, Lee I, Seo S, et al. Mass treatment of head louse infestation with Summitrin powder in primary schools in Korea. The Korean Journal of Parasitology. 1992;30(4):349-54.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian pedikulosis kapitis pada murid kelas III, IV, V dan VI SDN 09 Tebing Tinggi Okura kecamatan Rumbai Pesisir Pekanbaru [inpress]. 6. Elvi R. Infestasi Pediculus humanus capitis murid kelas IV, V dan VI SDN 020 Tiga Batur

kecamatan Sungai Tarab kabupaten Tanah Datar dan faktor yang mempengaruhinya [skripsi]. Padang: Universitas Andalas; 1997.

7. Restiana R. Hubungan berbagai faktor risiko terhadap angka kejadian pedikulosis kapitis di asrama [disertasi]. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; 2010.

8. Harper J, Oranje A, Prose N. Textbook of Pediatric Dermatology. Edisi Kedua. Massachusetts: Blackwell; 2006.

9. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010.

10. Wolff K, Katz SI, Goldsmith LA, Gilchrest B, Goldsmith L, et al. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi Ketujuh. New York: McGraw-Hill; 2007.

11. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2007.

12. Gondodiputro S. Perencanaan penyuluhan penyakit tidak menular. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2007.

13. Widianti E, Sriati A, Hernawaty T. Pengetahuan pasien mengenai gangguan psikosomatik dan pencegahannya di Puskesmas Tarogong Garut. Bandung: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran; 2007.

14. Saroh S. Gambaran tingkat pengetahuan santri putri tentang penyakit kulit skabies di pondok pesantren Ma'haduttholabah Babakan Lebaksiu kabupaten Tegal. Jakarta: UIN Syarif

(15)

15. Rubaiah A. Hubungan pengetahuan, sikap, dan praktek kebersihan diri para santri dengan kejadian skabies di pondok pesantren Darut Tauhid Mutih Kulon, kecamatan Wedung, kabupaten Demak [skripsi]. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2006. 16. Asfriyati, Sanusi SR, Siregar FA. Perilaku seksual remaja santri di pesantren Purba Baru

Tapanuli Selatan serta faktor-faktor yang memengaruhinya [laporan penelitian dosen muda]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2004.

17. Riswandi SF. Efek penyuluhan terhadap penanggulangan penyakit pedikulosis kapitis di dua pondok pesantren [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1996.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Demografis Responden
Tabel 3. Skor Jawaban terhadap Pertanyaan Mengenai P.h.capitis  dan Gejala Pedikulosis

Referensi

Dokumen terkait

Tahap 1 (Pengumpulan data dan analisa) Tahap 1 ini dibagi menjadi beberapa fase. Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk film dokumenter Kain

aliansi yang dilakukan Jepang dengan Amerika Serikat terutama dalam bidang militer dapat memperkuat keamanan kawasan serta Jepang itu sendiri karena jaminan

Sebuah bangsa yang memiliki militer yang kuat dapat memproyeksikan dirinya sebagai kekuatan yang tidak bisa diabaikan.Di sisi lain, Indonesia sadar dengan kondisi

Pandangan masyarakat lingkungan pekerjaan dokter dan perawat merupakan hal yang sangat dibedakan, namun secara normatif lingkup dan batas-batas kewenangan dokter dan perawat

Lokasi penelitian adalah di kawasan Kecamatan Samarinda Kota yang terdiri dari 5 kelurahan, yaitu Kelurahan Bugis, Kelurahan Karang Mumus, Kelurahan Pasar Pagi,

Tujuan dibentuknya peraturan daerah tersebut adalah menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat, melindungi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat,

Bagi pemegang saham, menurunnya kondisi keuangan perusahaan dianggap dapat menurunkan profit yang akan didapatkan, sehingga investor akan beraksi secara cepat terhadap