1 MODEL PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF BERBASIS TRIPLE
HELIX BAGI UKM DI PROVINSI JAWA BARAT
Sintha Wahjusaputri1, Somariah Fitriani2, Ahmad Diponegoro3,Tashia Indah N4
University of Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Warung Buncit Raya Street no 17, South Jakarta, Indonesia,
[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
This objective of study is to elaborate the pattern of creative economy development based on Triple Helix for small medium sized enterprises in West Java. The main issue is that there have not been any synergies between the three actors of the Academic, Business and Government (ABG) sectors in developing the creative economy for SMEs. The research employed Analytical Hierarchy Process approach (AHP), which aims to synthesize comparisons of decision-making judgment and solve complex problems in order to develop the weight or priority of SMEs that have successfully implemented a triple helix model as best practice. The research is expected to design Triple Helix model in developing creative economy for SMEs in West Java Province. Academics as knowledge and technology resource focus on producing findings and innovative applications. Businesses capitalize on providing economic benefits and social benefits for society, while the Government guarantees and maintains stability of the relationship with conducive regulation.
Keywords: Model Triple Helix Model, SMES, creative economy, Analytical Hierarchy Process
Latar Belakang Masalah
Saat ini Indonesia menghadapi Masyarakat Economic Asean (MEA), dengan diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) pada tahun 2015, sehingga bagi pelaku usaha dituntut untuk bisa inovatif dalam menjalankan usahanya. Triple helix merupakan suatu pendekatan yang menguraikan tentang bagaimana sebuah inovasi muncul dari adanya hubungan yang seimbang, timbal balik, dan terus menerus dilakukan antar akademisi (perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan), pemerintah (government), dan para pelaku/sektor bisnis (entreprises). Sinerginitas ketiga komponen tersebut dikenal dengan istilah ABG (Academic, Business, and Government).
Pendekatan triple helix diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff (1995), menekankan bahwa interaksi ketiga kompenen ABG merupakan kunci utama bagi peningkatan kondisi yang kondusif bagi lahirnya inovasi, ketrampilan, kreativitas, ide dalam pengembangan ekonomi kreatif bagi UKM. Permasalahan dalam kerjasama antar pihak dalam model triple helix pada kluster-kluster ekonomi
2 kreatif bagi UKM terjadi di daerah Padurenan Kudus dan Troso Jepara, Jawa Tengah, yang diidentifikasi oleh penelitian Prabawani et al. (2017), meskipun pola triple helix telah lama terbentuk, masih kurang berdampaknya knowledge hubs bagi inovasi usaha kalangan UKM sebagaimana yang diharapkan. Hal ini diduga, selain karena lebih diutamakannya faktor input modal, terutama akibat tidak adanya mekanisme inovasi, transfer teknologi, inkubasi serta riset yang tepat untuk diterapkan. Dalam penelitian oleh Hamsani and Khairiyansyah (2018) dikaji sinergi kerjasama para aktor ABG (Academic, Business, and Government) dalam sektor ekonomi kreatif di Kota Pangkalpinang, Riau, disimpulkan bahwa kerjasama belum mencapai maksimal karena unsur A (akademik) kurang terlibat dalam memberikan bantuan meskipun unsur G (pemerintah) telah memberikan banyak bantuan kepada industry kreatif. Oleh karena itu dunia akademik menjadi aktor yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan. Peran universitas sangat penting sebagai kunci dalam pengembangan ekonomi lokal di kota Jatinangor, Jawa Barat, yaitu sebagai leader pembentukan ikatan sosial. Dalam riset oleh Supriadi (2012) ditemukan bahwa keberhasilan kerjasama para aktor ABG sangat ditentukan oleh faktor-faktor kohesivitas, kepemimpinan, saling memahami, kepercayaan, informasi, dan transparansi dalam proses kerjasama. Kohesivitas dapat terbentuk beradasarkan adanya pengenalan dan saling memenuhi kebutuhan antar aktor dalam membentuk ikatan sosial yang kuat. Dalam laporan Rudito (2014), dari pengalaman penerapan program CSR di daerah Pangalengan, Jawa Barat, ditemukan bahwa melalui pendekatan pemahaman kultural masyarakat, dapat memperkecil resistensi masyarakat. Dengan prinsip pendekatan yang sama, pemahaman kultural ini dapat diterapkan untuk mengambangkan kerjasama dalam konteks triple heliks, khususnya untuk diterapkan di daerah pedesaan. Ramadini & Nasution (2016) mengidentifikasi berbagai kondisi dan permasalahan sektor UKM yang bergerak d bidang industri batik, tenun serta bordir yang berada di wilayah Kota Medan, Sumatera Utara, dan sekitarnya dalam konteks menghadapi persaingan pasar ASEAN. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa yang menjadi hambatan utama dalam berkompetisi adalah ketersediaan tenaga terampil, kemampuan entrepreneurship sera kemampuan melakukan penetrasi pasar. Selain itu support dari pemerintah dalam menunjang ketersedian mesin produksi juga dipandang penting dalam menunjang kemampuan berkompetisi. Berdasarkan pengalaman yang dilaporkan oleh Purnomo et al. (2015) pada penerapan kerja sama aktor-aktor ABG triple heliks di Majalengka, Jawa Barat, ditunjukkan bahwa konsistensi bantuan bimbingan dari pihak universitas dalam kurun waktu yang relatif panjang kepada UKM menjadi faktor signifikan bagi perkembangan industri UKM yang dibantu. Keterlibatan berbagai unsur komunitas termasuk pondok pesantren dan kelompok pemberdayaan wanita turut mendukung keberhasilan kolaborasi ABG yang terbentuk. Keberhasilan yang semula hanya dicapai segelintir usaha UKM di daerah kemudian dijadikan model pengembangan yang diterapkan pada usaha-usaha UKM yang ada di daerah sekitarnya. Saefuloh (2011) menyatakan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi harus memberikan keseimbangan pertumbuhan ekonomi baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Wasistiono dan Tahir (2008) menyatakan bahwa kemerosotan ekonomi kreatif bagi UKM adalah hasil dari ketidakkonsistenan dalam mengatur pembangunan pertumbuhan produk desa.
3 Tingkat urbanisasi yang tinggi, menunjukkan perkembangan yang terus meningkat menyebabkan pembangunan lemah. Berdasarkan berbagai pengalaman empiris di berbagai daerah mengenai penerapan konsep triple helix, maka dapat dikatakan bahwa tantangan dan peluang berbeda antar satu daerah dengan yang lainnya. Penelitian Herliana (2015), mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pengembangan ekonomi kreatif bagi UKM di wilayah Jawa Barat berbasis triple helix, yaitu meliputi: (1) Sumber daya manusia yang memeliki dampak luas bagi kapabilitas UKM untuk dapat maju, bertahan, atau gagal; (2) Pemasaran yang masih menjadi kendala bagi kalangan UKM; (3) Ketersediaan kapital dan teknologi bagi usaha-usaha yang ingin meningkatkan baik volume maupun kualitasnya dalam merespon persaingan; (4) Manajemen organisasi yang cenderung berbasis keluarga dan lambat untuk mengadopsi manajemen modern; (5) Dukungan ketersediaan infrastruktur dimana tempat UKM berdomisili; (6) Upaya untuk melakukan pertnership serta legalitas usaha; (7) Tingkat kompetisi yang cenderung tinggi, mengingat usaha UKM pada umumnya memiliki barrier entry yang minimal, sehingga memudahkan bermunculannya kompetitor usaha sejenis. Menurut hasil wawancara tim peneliti, Somaria, Sintha, Diponegoro dan Tashia (2018), pengembangan UKM dengan model triple helix, permasalahan yang terjadi di Jawa Barat, khususnya di Banten dan Bandung adalah: (1) Kemampuan melakukan inovasi dan daya saing masih lemah, sehingga berdampak pada kinerja pelaku UKM di Wilayah Banten dan Bandung; (2) Kualitas dan kuantitas industi kreatif saat ini masih lemah karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM) masih lemah terutama lemahnya kapabilitas inovasi para pelaku usaha UKM; (3) Perkembangan perubahan teknologi yang begitu cepat, sehingga industri harus menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi tersebut; (4) Perubahan lingkungan yang cepat yang disebabkan adanya kreativitas dan inovasi usaha; (5) Kecerdasan konsumen untuk memenuhi kebutuhan, sehingga diperlukan inovasi dalam memenuhi harapan konsumen; (6) Perubahan selera pasar dan teknologi yang membutuhkan produk dan pelayanan cepat.
Menghadapi fenomena di atas, untuk membantu memecahkan persoalan yang kompleks maka metode penelitian menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan metode yang mensintesis perbandingan judgment pengambil keputusan berpasangan pada setiap level hirarki keputusan dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas.
Tujuan penelitian ini diharapkan bahwa: (1) Model triple helix merupakan penggerak lahirnya kreativitas, ide, dan ketrampilan dalam strategi pengembangan UKM menuju ekonomi kreatif; (2) Model triple helix diformulasikan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas proses knowledge transfer berkolaborasi dengan pihak UKM, Perguruan Tinggi, Pemerintah, dan Industri; (3) Kerjasama yang baik antara perguruan tinggi, pemerintah dan industri dapat mendorong kemampuan inovasi dengan menciptakan interaksi dan komunikasi yang dinamis.
4 Kajian Teori
1. Triple Helix
Teori Triple Helix, yang dipopulerkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff (1995), adalah suatu pendekatan dalam menciptakan sinergi kerjasama dari tiga aktor yaitu akademik (A), bisnis (B), dan pemerintah (G) untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Dari sinergi yang terbangun diharapkan dapat muncul sirkulasi pengetahuan antar aktor yang terlibat untuk melahirkan berbagai inovasi pengetahuan yang memiliki potensi untuk dikapitalisasi atau ditransformasi menjadi produk maupun jasa yang memiliki nilai ekonomis. Dalam perkembangan empirisnya di berbagai belahan dunia muncul berbagai aktor-aktor diluar unsur ABG yang disebutkan tadi yang ikut memberi pengaruh signifikan bagi dinamika interaksi ketiganya. Dengan adanya aktor-aktor yang muncul kemudian ini diperlukan suatu model yang merupakan pengembangan dari model Triple Helix, sebagai pisau analisis dalam mengembangkan berbagai model kebijakan kerjasama knowledge-based economy. Leydersdorff (2012) berpandangan bahwa model Triple Helix secara teoretis dapat diekspansi menjadi model-model quadruple-helix, dan seterusnya hingga n-tuple helix tanpa ada batasan. Meski demikian juga Leydersdorff (2012) memberi catatan bahwa atas alasan metodologis hendaknya pengembangan model Triple Helix dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan agar memberikan daya penjelas. Lucy Yang Lu (2008) dan Etzkowitz (2008) mengemukakan ada tiga tahap munculnya model inovasi Triple Helix yaitu: 1)Transformasi internal masing-masing heliks; 2) Pengaruh satu heliks terhadap yang lain; 3) Penciptaan hamparan baru jaringan trilateral; 4) Organisasi dari interaksi di antara ketiga heliks tersebut. Menurut Etzkowitz dan Ranga (2008), proses evolusi dalam model triple helix melibatkan transisi dari tahap 'statist' di mana pemerintah mengontrol akademisi dan industri, ke hubungan negara laissez-faire antara ketiga lingkup institusional; dan akhirnya ke tahap hibrida di mana setiap lingkup institusional menyimpan karakteristik khasnya sendiri, dan pada saat yang sama mengambil peran yang lain.
Gambar 1. Model Sinergi Triple Helix Sumber: Etzkowitz and Leydesdorff (2008)
Konsep quadruple-heliks disarankan pertama kali oleh Carayannis & Campbell (2009) dengan menambahkan helix keempat dari model Triple Helix yang telah ada. Helix keempat ini diidentifikasi sebagai heliks yang terasosiasi dengan ‘media’, ‘industri kreatif’, ‘budaya’, ‘nilai-nilai’, ‘gaya hidup’, dan ‘seni’. Alasan ditambahkannya heliks keempat tersebut adalah karena nilai-nilai dan
5 budaya, di satu sisi, dan bagaimana realitas publik terbentuk dan dikomunikasikan oleh media, di sisi yang lain, memberikan dampak bagi sistem inovasi sebuah komunitas atau negara. Peran media sangat penting dalam membentuk atau mengarahkan inovasi apa yang menjadi prioritas dalam sebuah negara. Adapun konsep quintuple-helix juga disarankan oleh Carayannis & Campbell (2010) dimana heliks kelima merupakan penekanan aspek lingkungan alami (ekologi sosial) dari masyarakat dan ekonomi bagi pengetahuan produksi dan sistem inovasi. Dalam hal ini kesetimbangan yang bersinambung antara arah perkembangan masyarakat dan ekonomi dengan lingkungan alami dimana mereka berada dipandang sebagai suatu hal yang esensial bagi keberlangsungan peradaban manusia. Oleh karena itu lingkungan alamiah juga dipandang sebagi sebuah penggerak bagi kemajuan sistem inovasi sebuah masyarakat atau negara. Apabila quadruple-helix dipandang sebagai konstekstualisasi dati triple-helix, maka quituple-helix dapat dipandang sebagai kontekstualisasi quadruple-helix. Anja Beate Svensson (2015), mengatakan bahwa pada sistem inovasi regional, teori Triple Helix membangun kerangka konseptual dan melalui wawancara mendalam dengan berbagai aktor Mewakili lembaga penelitian, universitas, industri dan sektor publik, bahan empiris memahami bagaimana sebuah sistem berkembang di daerah yang diprioritaskan oleh faktor politik. Chesbrough (2008), mengatakan bahwa triple helix adalah sebuah produk kebijakan pemerintah. Model triple helix ini merupakan penelitian kualitatif karena menggambarkan perilaku-perilaku sosial dalam masyarakat.
2. UKM (Usaha Kecil dan Menengah)
Peranan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia sebagai salah satu pendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Kontribusi sektor UKM terhadap produk domestik nasional pada tahun 2016 bertumbuh sebesar 60,34 % dengan jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor ini adalah meningkat sebesar 97,22 %. (CNN Indonesia, 2016). Hal ini menjelaskan bahwa UKM tidak hanya berperan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi memiliki kontribusi yang besar dalam mengatasi masalah pengangguran. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah suatu bentuk usaha yang dilihat dari skalanya usaha rumah tangga dan usaha kecil hanya mempunyai jumlah pegawai antara 1- 19 orang. Sementara usaha menengah mempunyai pegawai antar 20-99 orang (BPS, 2004). Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bidang yang memberikan kontribusi yang segnifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan daya serap UKM terhadap tenaga kerja yang sangat besar dan dekat dengan rakyat kecil. Statistik pekerja Indonesia menunjukan bahwa 99,5 % tenaga kerja Indonesia bekerja di bidang UKM (Kurniawan, 2009).Lebih lanjut dikatakan oleh Kurniawan bahwa UKM perlu dikembangkan karena: (1) UKM menyerap banyak tenaga kerja; (2) UKM memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang pada tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati rangking kedua setelah ekspor dari kelompok aneka industry; (3) Adanya urgensi untuk struktur ekonomi yang berbentuk piramida, yang menunjukkan adanya ketimpangan yang lebar antara pemain kecil dan besar dalam ekonomika Indonesia. Hal ini sepenuhnya disadari oleh pemerintah, sehingga UKM termasuk dalam salah
6 satu fokus program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan pemerintah terhadap UKM dituangkan dalam sejumlah Undang-undang dan peraturan pemerintah. Dari alasan pertama di atas jelaslah bahwa dengan adanya UKM dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia, padahal pengangguran yang tinggi adalah penyumbang terbesar dalam penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia, demikian juga yang terjadi di propinsi Sumatra Selatan (Sripo, 2010). Hasil penelitian Chowdhury et al. (2013) menunjukkan bahwa keberhasilan pengusaha UKM ditentukan oleh faktor infrastruktur, lingkungan politik suara, akses ke pasar, dan modal. Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor ini akan menghambat keberhasilan kinerja usaha UKM.
3. Ekonomi Kreatif
Sejak tahun 2009, model pengembangan ekonomi kreatif Indonesia menggunakan triple helix, dimana memerlukan sinergi dan kemitraan antara tiga aktor utama: pemerintah, industri, dan intelektual (tim ahli dari kalangan akademisi dan publik). Namun, tren kini menunjukkan partisipasi aktif dari komunitas kreatif di berbagai daerah terus bergeliat. Dan saat ini koleborasi triple helix berkembang menjadi quadruple helix, dengan penambahan unsur komunitas. Menanggapi perkembangan selanjutnya yang diharapkan ekonomi kreatif dapat bertumbuh cepat, maka kolaborasi hexa-helix antara pemerintah, swasta, intelektual, komunitas kreatif, media dan investor perlu untuk diterapkan saat ini hingga membentuk situasi industry kreatif yang sehat sehingga dalam waktu yang relatif singkat ekonomi kreatif menjadi sektor yang berpeluang meningkatkan daya saing ekspor produk. Pondasi Ekonomi kreatif adalah sumber daya insani (people) Indonesia yang merupakan elemen terpenting dalam ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif tercipta dari pemanfaatan serta keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu untuk bisa membuat lapangan pekerjaan baru dan juga bisa menciptakan kesejahtraan di daerah. Keunikan ekonomi kreatif yang menjadi ciri bagi hampir seluruh sektor ekonomi kreatif yang terdapat dalam industry kreatif- adalah peran sentral sumber daya insani sebagai modal insani disbanding faktor-faktor produksi lainnya. John Howkins (2009) merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah ekonomi kreatif, melalui bukunya yang berjudul “Creative Economy, How People Make Money from Ideas”. Ekonomi kreatif adalah penciptaan nilai tambah yang berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber daya manusia (orang kreatif) dan berbasis ilmu pengetahuan, termasuk warisan budaya dan teknologi.” (Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025). Departemen Perdagangan Republik Indonesia, tahun 2008 mendefinisikan Ekonomi Kreatif di Indonesia sebaga ndustri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan.
Di masa kini, ekonomi kreatif telah menjadi penting sebab bersumber pada kreativitas yang merupakan sumber daya terbarukan. Peran ekonomi kreatif ini akan menjadi semakin penting di masa mendatang, terutama saat sumber daya yang tidak terbarukan semakin terbatas atau langka. Kreativitas telah dan akan terus mengubah paradigma perekonomian yang biasa berpusat pada keterbatasan (scarcity) menjadi berpusat pada keberlimpahan (abundancy). Menurut definisi
7 Howkins (Pujiastuti, 2015), Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan outputnya adalah Gagasan. Ekonomi kreatif merupakan suatu proses menyeluruh yang melibatkan orang yang kreatif, industri kreatif, dan tempat yang kreatif. Definisi tersebut mengartikan bahwa gagasan adalah hal terpenting dari ekonomi kreatif. Jo Foord (2008) menyatakan bahwa harus ada integrasi antara lembaga publik dan swasta dengan pertumbuhan perusahaan dan tujuan sosial yang semakin populer di tingkat kota di dalam pengembangan ekonomi kreatif. Kegiatan promosi dan dukungan pengembangan industri kreatif membutuhkan perencanaan strategis. Pada saat yang sama pertumbuhan lapangan kerja industri kreatif mulai tidak menentu di pusat kota-kota industri kreatif sehingga dibutuhkan pengetahuan ekonomi yang lebih luas dan besar untuk mengatasinya
Metode Penelitian 1. Metode Penelitian
Salah satu metode penelitian yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Menurut Saaty (2008), AHP merupakan metode yang mensintesis perbandingan judgment pengambil keputusan berpasangan pada setiap level hirarki keputusan. Metode AHP ini dipergunakan untuk membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Lebih lanjut dikatakan oleh Saaty, hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
Gambar 2. Struktur Hierarki Sumber: Saaty (2008)
Saaty mengatakan, hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan
8 seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk mengelaborasi desain hirarki AHP menurut Saaty dan Luis (2008) yaitu dengan 1) mengidentifikasi keseluruhan sasaran, 2) mengidentifikasi sub sasaran, 3) mengidentifikasi kriteria yang dapat digunakan, 4) mengidentifikasi sub kriteria dari setiap kriteria yang digunakan, 5) mengidentifikasi aktor-aktor yang terkait, 6) mengidentifikasi tujuan, 7) mengidentifikasi aktor kebijakan, 8) mengidentifikasi pilihan-pilihan, hasil, atau alternatif, 9) mengambil hasil yang paling diinginkan dan membandingkan rasio dari manfaat terhadap biaya-biaya pembuatan keputusan, dan 10) melakukan analisa manfaat/biaya dengan menggunakan nilai-nilai marginal. Tahapan (Flowchart) penelitian, adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Tahapan Penelitian Model AHP 2. Tipe dan Sumber Data
Tipe data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer berupa transkrip wawancara kepada stakeholder yang terlibat dalam pengembengan UKM di wilayah Banten dan Bandung. Data sekunder berupa hasil transkrip hasil wawancara pada pengembangan model triple helix untuk UKM di wilayah Banten dan Bandung, yang digunakan untuk mendukung analisis dan penerapan model triple helix. Data primer didapatkan dengan melakukan wawacara dengan tiga responden, responden tersebut merupakan pihak yang memiliki kepentingan terhadap penerapan triple helix untuk pengembangan UKM di Wilayah Banten dan Bandung yaitu Pihak Pemerintah, Industri dan Akademik.
9 3. Teknik Pengumpulan Data
a. Literature Review
Pada tahapan ini dilakukan proses pencarian literature terkait dengan model triple helix (ABG) untuk pengembangan UKM di Jawa Barat khususnya di Wilayah Banten dan Bandung. Tahapan yang dilakukan dalam proses systematic review adalah mencari sumber paper yang dijadikan untuk bahan rujukan dibeberapa site seperti IEEE, Science Direct, Springer, Scopus.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan secara tatap muka secara langsung kepada responden. Secara umum, pertanyaan yang diajukan berupa kebutuhan fitur pendukung UKM dengan model triple helix, proses yang dilakukan serta hambatan dalam kemajuan UKM dan kendala yang sering terjadi, hal ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum serta ketubutuhan dan mengetahui lebih terperinci dari aktifitas-aktifitas yang dilakukan pada pengelolaan UKM yang didukung oleh ketiga aktor (Pemerintah, Bisnis/Industri serta Akademik).
4. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Berangkat dari tinjauan literatur terkait kondisi penerapan model Triple Helix
dan permasalahan yang muncul maka dilakukan studi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan (faktor sukses) penerapan model Triple Helix. Analisa secara kualitatif dilakukan untuk memperoleh daftar faktor sukses yang generik dengan menggunakan pendekatan AHP.
b. Masukan berupa faktor sukses implementasi triple helix divalidasi untuk menentukan signifikansi (importance) dari setiap faktor sukses. Metode yang dilakukan adalah expert judgment dengan pendekatan AHP untuk pengambilan keputusan.
c. Daftar faktor sukses yang telah diseleksi dan divalidasi merupakan sekumpulan faktor sukses yang diperoleh dari berbagai lintas studi, namun harus dibuktikan terlebih dahulu apakah faktor sukses tersebut dapat diterapkan khususnya diadopsi oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten / kota di daerah Banten dan Bandung. Pada tahap ini, peneliti menggunakan metode survei untuk mengambil data lapangan di daerah Banten dan Bandung yang diasumsikan telah berhasil mengimplementasikan model Triple Helix. Pemilihan lokus penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil implementasi model Triple Helix pada UKM menuju ekonomi kreatif.
d. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan AHP, untuk mengkaji konstruk yang dihasilkan. Model kematangan implementasi model Triple Helix pada UKM akan dikembangkan berdasarkan faktor sukses yang telah diuji menggunakan pendapat pakar (expert judgment) melalui FGD kembali. e. Pada tahap ini merupakan kegiatan ujicoba model Triple Helix pada implementasi UKM menuju industri kreatif di daerah Banten dan Bandung lalu dilakukan benchmarking dengan model evaluasi triple helix yang sudah diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia atau di negara lain. Selanjutnya
10 penyempurnaan model Triple Helix dilakukan untuk meningkatkan penerapan model kematangan secara luas. Selain itu pada tahap ini juga dilakukan rekomendasi kebijakan terhadap model triple helix untuk kemajuan UKM di Indonesia. Pada tahap akhir ini, model yang telah diterapkan juga akan divalidasi lagi oleh pakar untuk menyempurnakan melalui FGD.
Hasil Penelitian
1. Penerapan Model Triple Helix Pada Pengembangan UKM di Jawa Barat, khususnya Banten dan Bandung
Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing steakholder, baik pihak ABG (academic, business, maupun government) menyebabkan pentingnya penentuan prioritas untuk keberlangsungan UKM. Aspek triple helix perlu dipertimbangkan prioritas karena hal tersebut berdampak pada keberlangsungan UKM, sehingga perlu disusun hirarki triple helix tersebut. Hasil telaah terkait peraturan kementrian koperasi dan UKM, Tri Dharma Perguruan Tinggi serta keinginan para pelaku usaha lainnya, didapat beberapa aspek triple helix yang berkaitan dengan keberlanjutan suatu UKM, seperti pada table. 1 dibawah ini:
Tabel. 1. Penerapan triple helix pada pengembangan UKM
No Penerapan Triple Helix
1 Pemerintah memberikan Layanan bimbingan/layanan pada UKM 2 Pemerintah memberikan Pendampingan
3 Pemerintah memberikan Pembinaan/Pelatihan 4 Pemerintah memberikan Akses Pemasaran 5 Pemerintah memberikan Bantuan Modal 6 Pemerintah memberikan Bantuan Teknologi 7 Pemerintah memberikan Bantuan Informasi 8 Pemerintah memberikan Akses Penyaluran Modal 9 Pemerintah memberikan Pinjaman Teknologi 10 Pemerintah memberikan Pinjaman Informansi 11 Pemerintah membuat dan mendirikan PLUT
12 Perguruan Tinggi/universitas memberi layanan bimbingan/konsultasi 13 Perguruan Tinggi/universitas memberi Pendampingan
14 Perguruan Tinggi/universitas memberi Pembinaan/Pelatihan 15 Perguruan Tinggi/universitas memfasilitasi Akses Pemasaran 16 Perguruan Tinggi/universitas memberi Bantuan informasi
17 Pelaku usaha (industry) memberi bantuan layanan bimbingan/konsultasi 18 Pelaku usaha (industry) memberi Pembinaan/Pelatihan
19 Pelaku usaha (industry) memfasilitasi Akses Pemasaran 20 Pelaku usaha (industry) memberi Bantuan modal
21 Pelaku usaha (industry) memberi Bantuan teknologi 22 Pelaku usaha (industry) memberi Bantuan informasi 23 Pelaku usaha (industry) memberi Pinjaman modal
11 24 Pelaku usaha (industry) memberi Pinjaman teknologi
25 Pelaku usaha (industry) memberi Pinjaman informasi
26 Pelaku usaha (industry) membuat dan mendirikan RKB (Rumah Kreatif BUMN)
Sumber: Olah data Peneliti
2. Implementasi model Triple Helix di Bandung dan Banten a. Evolusi Telekomunikasi dan Digital bagi pelaku UKM
b. Layanan sambungan IT bagi pelaku UKM dalam mengembangkan usahanya
c. Membangun rumah kreatif BUMN (RKB) dalam rangka menaikan level para UKM agar lebih modern, melek teknologi dan go-global.
3. Sinergitas ABCGM
Ada tiga permasalahan kunci yang dihadapi yaitu berhubungan dengan entrepreneurial mindset, kualitas manajerial serta bagaimana wirausaha di Jawa Barat mampu mengoptimasi setiap peluang yang dihasilkan dari lingkungan eksternal, mulai dari lingkungan eksternal mikro, makro dan global.
Untuk, entrepreneur memerlukan social capital yaitu modal sosial berupa informasi, akses pasar, akses perijinan, akses keuangan, akses fasilitas bisnis serta jejaring yang dapat meningkatkan bisnis mereka. Hal ini dapat dikontribusikan oleh penta helix yang seringkali dikenal dengan ABCGM yaitu akademisi, Bisnis, Komunitas, Pemerintah dan Media. Atas inisiatif dari Kepala Dinas KUK Provinsi Jawa Barat, Dr. Dudi Sudrajat, diajaklah stakeholders yang berkomitmen untuk membantu diri sendiri naik kelas pada khususnya serta wirausaha pada umumnya sehingga benar-benar menjadi pengusaha yang bisa naik kelas dari skala mikro, kecil, menengah dan besar. Nama kelompok ini adalah Tim Sinergitas ABCGM untuk UMKM Jabar Naik Kelas.
Pihak Akademisi merupakan salah satu pilar yang memiliki peran strategis dalam upaya UKM Naik kelas karena memiliki resources yang sangat dibutuhkan oleh UMKM yaitu:
1) Konsep dan teori yang relevan dengan bisnis yang dapat membantu UKM menyelesaikan berbagai permasalahan bisnis.
2) Hasil penelitian yang sangat dibutuhkan oleh UKM dalam upaya naik kelas. 3) Berbagai informasi yang dibutuhkan oleh UKM dalam
menumbuhkembangkan bisnis
4) Program pelatihan, pembinaan yang diberikan melalui Pusat Inkubator bisnis 5) Program pengabdian masyarakat yang relevan dengan program studi serta
berhubungan dengan UKM.
Sembilan (9) kampus yang bergabung dalam tim sinergitas ABCGM ini yaitu: (1) Telkom University; (2) SBM ITB; (3) Universitas Padjadjaran; (4) LP31; (5) Univ Widyatama; (6) Univ. Sangga Buana; (7) Univ. Pasundan; (8) IKOPIN; (9) POLBAN
Pilar kedua dalam Tim Sinergitas ABCGM untuk UKM Jabar naik kelas adalah perusahaan atau pelaku usaha yang memiliki concern kepada UKM. Keberadaan perusahaan menjadi sangat strategis karena bisa berperan dalam
12 berbagai hal yang dapat memenuhi kebutuhan UMKM untuk naik kelas. Beberapa perusahaan yang sudah bergabung dengan tim sinergitas ABCGM untuk UKM Jabar naik kelas adalah: (1) PT Bank BJB; (2) PT. Smartfren Telecom Tbk; (3) PT Strabiz Manajemen Bandung; (4) MICH; (5) PT MADEIN BANDUNG SOLUSI; (6) CV Sriwijaya Mandiri; (7) PT Len Industri; (8) Financial Wisdom Indonesia; (9) PT Jasa Raharja; (10) Kulifecard, Umkm Corner; (11) PT Perisai Utama; (12) Numotret photography. Peran perusahaan atau pelaku bisnis dalam tim sinergitas ABCGM ini dapat membantu:
1) Memberikan program Corporate Social Responsibilty (CSR) kepada para UMKM berupa pembiayaan, akses pemasaran, pelatihan.
2) Menjadi strategic partner bagi UMKM berupa business process yang dimiliki perusahaan dan berhubungan dengan bisnis UMKM seperti supplier bagi perusahaan, menjalankan bisnis online bagi UMKM.
3) Pendanaan dari perbankan.
Pilar ketiga Tim Sinergitas ABCGM untuk UKM Jabar naik kelas adalah komunitas yang merupakan kelompok UKM yang memiliki kepentingan yang sama dan berkegiatan untuk bisa meningkatkan bisnisnya. Keberadaan komunitas bisnis menjadi strategic karena UKM yang akan naik kelas itu ada di komunitas ini. Peran strategis komunitas dalam tim sinergitas ABCGM ini berupa: (1) Anggota yang siap naik kelas, dan (2) Program yang dimiliki oleh komunitas yang dapat relevan dengan program untuk bisa membantu UMKM naik kelas.
Media adalah pilar kelima dalam tim Sinergitas ABCGM untuk UMKM Jabar naik kelas karena UMKM membutuhkan media yang dapat mengkomunikasikan diri, bisnis dan produk UMKM kepada target pasar sehingga dapat diketahui, menarik sampai berminat untuk membelinya. Peran strategis yang dimiliki oleh media dalam Tim sinergitas ABCGM untuk UMKM Jabar naik kelas adalah:
1) Membantu UMKM untuk mengenal UMKM lebih dekat sehingga dapat bersahabat dengan media.
2) Memberikan edukasi kepada UMKM untuk berhubungan baik dengan media dan bahkan mengoptimasi peluang dari media.
3) Mempromosikan diri, perusahaan dan produk UMKM kepada target market. 4) Beberapa media yang sudah bergabung dengan tim sinergitas ABCGM Jabar
untuk naik kelas adalah: 1) Bandung TV; 2) Digital Media; 3) MQ Radio; 4) MQ TV; 5)Radio K-Llite 107.1 fm; 6) Strabiz TV (www.strabiztv.com); dan 7) Portal www.strategidanbisnis.com
13
………..
……….
………. Goal
Triple helix untuk berkelanjutan UKM
Akademi Bisnis/Industri Pemerintah
Stakeholder Fasilitas akses pemasar an Pinjam an teknolo gi Pembin aan/pel atihan Layanan bimbinga n/konsult asi Bantuan Modal Bantu an teknol ogi Bantuan Informasi Penda mpinga n Pinjaman Informasi Pinjama modal Mendiri kan RKB Alternatif
Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang Kriteria
14
Berikut hasil borang wawancara dengan pihak Akademik, Industri dan Pemerintah serta Para UMK di Banten dan Bandung sebagai berikut:
Tabel.2. Hasil Borang Wawancara Dengan Industri, Pemerintah dan Akademik NO PERNYATAAN BANK INDONESIA
Banten
TELKOM Bandung 1. Peran industry dalam
mendorong pertumbuhan unit UKM
Memberikan pelatihan, bantuan teknis secara berkelanjutan selama 3 tahun dari mulai produksi (tahun pertama), peningkatan produksi, (tahun kedua) hingga pengemasan dan pemasaran (tahun ketiga)
a. Membuat kampong UKM digital sebanyak 947 di seluruh
Indonesia
b. Bantuan peralatan computer, edukasi dan pelatihan
c. Memberikan program Corporate Social Responsibilty (CSR) kepada para UMKM berupa pembiayaan, akses pemasaran, dan pelatihan.
d. Menjadi strategic partner bagi UMKM
e. Pendanaan dari perbankan 2. Kendala yang dihadapi Kurangnya motivasi dan
pengelolaan yang baik
Motivasi dari pelaku UKM yang turun naik
3. Pelatihan khusus secara berkala
Ada beberapa binaan yang dibimbing selama 3 tahun
Memberikan pelatihan, pameran, dan sarana promosi
4. kesalahpahaman dalam kerjasama antara pihak industry dan unit UKM
Tidak ada Tidak ada
5. Peran pemerintah daerah Secara keseluruhan, pemerintah daerah telah berusaha secara maksimal dengan memberikan pelatihan, memfasilitasi dan sarana pameran
a. Program Pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan UMKM untuk naik kelas dan tepat sasaran pada UMKM yang benar-benar ingin naik kelas
b. Kebijakan tentang akses pasar dengan menghubungkan kepada pasar.
c. Kebijakan yang mendukung perijinan bagi UMKM sehingga aspek legal dari seluruh UMKM dapat terpenuhi sebagai salah satu indikator UMKM bisa naik kelas.
d. Kebijakan dan program yang dapat menghubungkan UMKM kepada akses pembiayaan seperti perbankan, program CSR dan PKBL yang dimiliki oleh perusahaan, khususnya BUMN. e. Kebijakan dan program yang
dapat mendukung UMKM mendapatkan fasilitas pemerintah berupa bimbingan teknis sampai dengan fasilitas yang relevan dengan kebutuhan pemerintah.
15
f. Yang tidak kalah penting adalah pemerintah dapat membuat kebijakan yang dapat
mensinergikan dengan program pemerintah pusat (Kementrian), program pemerintah provinsi sampai dengan kota/kabupaten. 6. Peran perguruan tinggi Tidak tahu Ada dengan dibentuknya sinergitas
abcgm
a. Konsep dan teori yang relevan dengan bisnis yang dapat membantu UMKM menyelesaikan berbagai permasalahan bisnis. b. Hasil penelitian yang sangat
dibutuhkan oleh UMKM dalam upaya naik kelas.
c. Berbagai informasi yang dibutuhkan oleh UMKM dalam menumbuhkembangkan bisnis d. Program pelatihan, pembinaan yang diberikan melalui Pusat Inkubator bisnis
e. Program pengabdian masyarakat yang relevan dengan program studi serta berhubungan dengan UMKM.
7. Kerjasama industry dengan perguruan tinggi untuk UKM
Tidak ada, hanya berdiri sendiri sendiri
Ada dengan dibentuknya sinergitas abcgm
8. Bentuk kerjasama antara industry, pemerintah daerah dan perguruan tinggi dalam mendorong pertumbuhan unit UKM
Tidak ada kerjasama yang mengikat, dan formal namun setiap industry biasanya juga menjadi nara sumber yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau provinsi untuk memberikan pelatihan dan edukasi kepada UKM. Untuk perguruan tinggi, belum ada kerjasama yang formal
Dalam program jabar naik kelas, terbentuknya sinergitas ABCGM yang membantu UKM secara berkelanjutan
9. Jenis unit UKM yang dibantu
Sesuai dengan program BI yaitu pengendalian investasi dan pangan, sehingga UKM yang dibantu disesuaikan dengan dua program tersebut
Semua UKM
Sumber: Wawancara dengan Pihak Industri di Lokasi Banten dan Bandung (2018) Tabel 3. Hasil Borang Wawancara Responden UKM Banten NO Pernyataan Pandan Craft
Serang Griya Batik Banten Serang Sate bandeng Kang cepi Serang Rumah Juice Ummi Pandeglang Bakso Ngeces Pandeglang 1. Peran pemerintah dalam Cukup banyak membantu dalam Pemerintah daerah Tidak banyak Cukup membantu dengan memberikan Tidak banyak yang dilakukan Tidak banyak membantu dan tidak ada
16 perkembangan UKM perkembangan UKM membantu, namun dari departemen kebudayaan dan pariwisata membantu mempromosi kan batik banten sebagai yang terbaik di dunia pada tahun 2004 bantuan, informasi, dan pelatihan dalam membantu UKM sinergi dan harmonisasi yang tercipta antara kabupaten dan propinsi 2. Hal dilakukan pemerintah daerah Memberika n pelatihan Membantu pengurusan Paten secara gratis Mendapatk an Dana hibah sebesar 10 juta Mendapatk an peralatan mesin Mendapatkan bantuan meja kerja dan laptop HP Mempromosi kan produk batiknya di acara pameran saja tanpa melibatkan pemiliknya Tidak banyak yang dilakukan, namun malah menjadi nara sumber dan pelatih bagi UMKM lainnya dan dunia pendidikan dari semua tingkatan Pernah mendapat bantuan mesin vakum kecil Label halal, HAKI dan No PIRT secara gratis Pembinaan dari dinas kelautan, Dinas perindag, dinas pariwisata (pembinaan pemasaran dan membawa produk bandeng BPPT dengan bandeng diradiasi Bantuan promosi dan disosialisasik an oleh Batan Pelatihan dari PLUT Pelatihan manajemen dari Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Pelatihan dari PLUT dan pengurusan sertifikasi halal
3. Peran industry Memberikan pelatihan, dan promosi melalui pameran dari bank Indonesia, dan Krakatau Steel PT jamsostek, karakatau Steel, dalam program kemitraan dan bantuan promosi Bantuan 1000 kemasaan dus
Tidak ada Belum ada
4. Peran akademisi Melakukan penelitian dan
Melakukan penelitian
Melakukan penelitian
17 pengabdian masyarakat bersama dan pengabdian masyarakat Menjadi nara sumber dan memberikan pelatihan di bbr perguruan tinggi untuk skripsi dan pengabdian masyarakat Banyak mahasiswa yang magang di tempatnya 5. Peningkatan yang signifikan setelah adanya peran dari pemerintah, industry dan akademisi 10-15% Menjadi lebih terkenal dan kenaikan omset Cukup signifikan Kapasitas penjualan meningkat Bila ada pameran atau festival kuliner bisa mencapai 2-3 lipat dari omset biasanya. Bila ada pameran atau festival kuliner bisa mencapai 4-5 lipat (50-60 juta) dari omset biasanya (11-13 juta). 6. Kendala dalam mengembangkan produknya Cuaca hujan karena bahan mentahnya harus dijemur terlebih dahulu
Tidak ada namun batik banten Tidak dikenal di seluruh Indonesia, padahal bapak Uke merupakan salah satu tokoh batik di banten mulai tahun 2002 dibandingkan batik solo atau batik cirebon Kendala bahasa karena pernah ditawari kerjasama dengan Abu Dhabi Persaingan antar UKM sate bandeng yang semakin banyak saat ini SDM karyawan SDM karyawan dan etos kerja yang rendah
7. Pihak yang terlibat dalam perkembangan UKM Pemerintah, industri seperti BI, Krakatau steel Pemerintah daerah berperan kurang maksimal Akademisi cukup berperan dalam mengembang kan aneka ragam motif batik banten Pemerintah dan industry cukup berperan namun kurang banyaknya paguyuban UKM, dan fasilitas dari dinas kurang sehingga UKM Banten tidak terlalu maju Pemerintah berperan kurang maksimal Pemerintah namun belum maksimal 8. Dampak kelompok usaha bersama (KUB) Memberikan pelatihan dan pengetahuan serta pekerjaan kepada ibu rumah tangga Saling Memberikan informasi, dan pengetahuan Saling memberi dukungan, informasi dan pengetahuan Saling memberi dukungan, informasi dan pengetahuan Saling memberi informasi dan pengetahuan
18 9. Kendala dalam KUB yang berkaitan dengan produk, pemasaran, dan finansial
Belum ada Kurangnya peran pemerintah daerah dalam mempromosikan batik banten Persaingan Kurangnya informasi Tidak ada 10. Kendala dalam pemasaran Persaingan yang cukup kompetitif dari sesame UKM sejenis dari daerah lain Kurangnya promosi dari pemerintah kabupaten dan provinsi
Bahasa Tidak ada Tidak ada
11. Unsur unsur inovasi dalam produk yang dihasilkan Pewarnaan dan ragam produk Ragam motif yang menjadi lebih bervariasi dari 75 menjadi 90
Pola dasar ragam hias berasal dari benda sejarah purbakala Ragam aneka olahan bandeng Teknologi vacuum Tanpa bahan pengawet Radiasi Level kepedasan dari berbagai macam makanan Bumbu bumbu yang diracik sendiri
Sumber: Wawancara dengan Pihak Pelaku UKM di Lokasi Banten (2018)
Tabel 4. Hasil Borang Wawancara Responden UKM Bandung NO Pernyataan Hanny lovely
fashion
UKM CV. Wikarta Sari Bumbu Masak Cap Pohon Mangga
Brand Miedde Fashion & Craft
Resto ayam madu si Bangkong 1. Peran pemerintah dalam perkembangan UKM Cukup banyak membantu Cukup banyak membantu Cukup banyak membantu Cukup banyak membantu 2. Hal dilakukan pemerintah daerah Memberikan pelatihan 2-5 kali dalam setahun Label halal, perizinan, promosi melalui website dan pameran yang diselenggarakan oleh dinas setempat
Memberikan pelatihan pameran dan fasilitasi perbankan Memberikan pelatihan, pameran dan fasilitasi perbankan
3. Peran industry Memberikan pelatihan, pameran, dan promosi Memberikan pelatihan, pameran, dan promosi Memberikan pelatihan, pameran, dan promosi Memberikan pelatihan, pameran, dan promosi
4. Peran akademisi Memberikan pelatihan Memberikan pelatihan Memberikan pelatihan Memberikan pelatihan 5. Peningkatan yang signifikan Omset bertambah sebanyak 6-7 kali, peningkatan kualitas jahitan, network yang semakin luas Cukup signifikan Omset bertambah 10-20% Cukup signifikan Omset bertambah 15-25% Cukup signifikan Omset bertambah sekitar 35%
6. Pihak yang terlibat dalam perkembangan UKM
Semua pihak dalam sinergitas ABCGM
Semua pihak dalam sinergitas abcgm
Semua pihak dalam sinergitas abcgm
Semua pihak dalam sinergitas abcgm
7. kelompok usaha bersama (KUB)
Tergabung di APPMI yaitu
Komunitas kuliner Komunitas UKM
19 Asosiasi perancang pengusaha mode Indonesia 8. Dampak kelompok usaha bersama (KUB) Menjadi lebih terkenal, penjualan omset meningkat Meningkatkan pengetahuan, dan ketrampilan Meningkatkan pengetahuan, jaringan, omset dan ketrampilan. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan jaringan 9. kendala dalam KUB
yang berkaitan dengan produk, pemasaran, dan finansial Pemasaran yang harus lebih ditingkatkan Pemasaran yang belum besar Pemasaran yang belum besar
Butuh lebih banyak lagi informasi mengenai pemasaran 10. Kendala dalam pemasaran Belum memahami teknologi dalam pemasaran Belum memahami teknologi dalam pemasaran Belum memahami teknologi dalam pemasaran Belum ada
11. Unsur unsur inovasi dalam produk yang dihasilkan
Kualitas jahitan dan model yang lebih bervariasi Racikan bumbu yang lebih bervariasi untuk segala macam masakan
Model dan jenis yang lebih kekinian
Penambahan madu pada racikan bumbu ayam
Sumber: Wawancara dengan Pihak Pelaku UKM di Lokasi Bandung (2018) Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hirarki untuk prioritas keberlanjutan UKM merupakan hirarki triple helix yang tersusun atas empat level hirarki yaitu tujuan (goal), steakholder (academic, business, government), kriteria (layanan bimbingan/konsultasi, pendampingan, pembinaan/pelatihan, fasilitas akses pemasaran, bantuan teknologi, bantuan informasi, pinjaman modal, pinjaman teknologi, pinjaman informasi, dan mendirikan kelompok kerja), dan alternatif (jangka pendek, menengah, dan panjang).
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan maka ada beberapa saran terkait atas model triple helix sebagai landasan perkembangan UKM di Jawa Barat, khususnya Banten dan Bandung yang telah dikembangkan yaitu:
1. Implementasi dan lanjutan komitmen dari ketiga aktor dalam pengembangan UKM, baik dari pemerintah, cendekiawan dan pebisnis model triple helix supaya program dapat dirangkum dan direalisasikan pada setiap UKM di Jawa Barat, khususnya Banten dan Bandung.
20
2. Komitmen model Triple Helix harus memiliki 5 hal utama yang harus dipegang oleh aktor ABG (akademis, pebisnis dan pempemerintah) yaitu: kuantitas dan kualitas SDM UKM, menciptakan iklim usaha yang kondusif, memberikan penghargaan/apresiasi kepada pelaku UKM yang dihasilkan, memberikan informasi teknologi, pengetahuan bagi pelaku UKM, Lembaga Pembiayaan yang mendukung bagi pelaku UKM
Daftar Pustaka
Beate Svensson, Anja. (2015). Innovation in Waste Management A case study of the Oslo Region as an Emerging Regional Innovation System in Waste Management. Master Thesis at TIK Centre for Technology, Innovation and Culture Faculty of Social Science, University of Oslo.
Carayannis, E.G. & Cambell, D.F.J. (2009). 'Mode 3' and 'Quadruple Helix': toward a 21st century fractal innovation ecosystem. International Journal of Technology Management, 46(3/4), 201-234. http://dx.doi.org/10.1504/IJTM.2009.023374
Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2010). Triple Helix, Quadruple Helix and Quintuple Helix and How Do Knowledge, Innovation and the Environment Relate To Each Other? International Journal of Social Ecology and Sustainable Development, 1(1), 41–69. https://doi.org/10.4018/jsesd.2010010105
Chowdhury, M.S., Alam, Z., & Arif, Md. I. (2013). Success factors of entrepreneurs of small and medium sized enterprises: Evidence from Bangladesh. Business and Economic Research, 3(2), 38-52. https://doi.org/10.5296/ber.v3i2.4127
Dhewanto, W., Lantu, D.C., Herliana, S. & Anggadwita, G. (2015). The innovation cluster of ICT start-up companies in developing countries: case of Bandung, Indonesia. International Journal of Learning and Intellectual Capital, 12(1), 32-46. https://doi.org/10.1504/IJLIC.2015.067829
Etzkowitz, H. & Leydesdorff, L. (1995). The Triple Helix -- University-Industry-Government Relations: A Laboratory for Knowledge Based Economic Development. EASST Review, 14(1), pp. 14-19, 1995. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2480085
Etzkowitz, H. (2008). The Triple Helix: University-Industry-Government Innovation in Action. Routledge, London.
Etzkowitz, H. (2012). Triple Helix Clusters: Boundary Permeability at University-IndustryGovernment Interfaces as a Regional Innovation Strategy. Environment & Planning C: Government and Policy. In Press.
21
Etzkowitz, H., Ranga, M., Benner, M., Guaranys, L, Maculan, A. M. and Kneller R. (2008). Pathways to the Entrepreneurial University: Towards a Global Convergence. Science and Public Policy 35.
Frida Ramadini & Inggrita Gusti Sari Nasution, (2016). The Development Model of Small and Medium Enterprises in Textile Sector (Batik, Weaving and Embroidery) with Triple Helix in Medan. Academic Journal of Economic Studies. vol. 2(3), pages 125-140, September. https://ideas.repec.org/a/khe/scajes/v2y2016i3p125-140.html
Hamsani, & Khairiyansyah. (2018). The Opportunity of SMEs Development by Triple Helix ABG Method in Supporting Creative Economy in Pangkalpinang City. Integrated Journal of Business and Economics, 2(1), 76–83. https://doi.org/10.5281/ZENODO.1173704
Herliana, S. (2015). Regional Innovation Cluster for Small and Medium Enterprises (SME): A Triple Helix Concept. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 169, 151–160. https://doi.org/10.1016/J.SBSPRO.2015.01.297
Howkins, John. (2009). The Creative Economy: How People Make Money from Ideas. Penguin: UK
Jo Foord. (2008). Strategies for creative industries: an international review, Creative Industries Journal Volume 1 Number 2 Cities Institute, London Metropolitan University
Kuncoro, Mudrajad. (2008). Tujuh Tantangan UKM di Tengah Krisis Global. Harian
Bisnis Indonesia 21 Oktober 2008. [Online]
http://www.mudrajad.com/upload/Tujuh%20 Tantangan% 20UKM%20di%20Tengah%20Krisis%20Global.pdf Diakses tanggal 5 Juni 2010 Kurniawan, Didi. (2009). Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan dengan Akselerasi
Sektor Riil dan UKM. Tersedia [Online] http://didikurniawan.web.id/2009/04/29/ mengembangkan-ekonomi-kerakyatan-dengan-akselerasi-sektor-riil-dan-ukm/ Diakses tanggal 25 Oktober 2018
Leydesdorff, L. (2008). Configurational Information as Potentially Negative Entropy: The Triple Helix Model. Entropy 10, 391-410.
Prabawani, B., Saryadi, Widiartanto, and Hidayat, W. (2017). Knowledge Hubs for Empowering Indonesian SMEs and the Sustainability. Advanced Science Letters, 23(1), 448-452. http://doi.org/10.1166/asl.2017.7219
Purnomo, D., Pujianto, T., & Efendi, N. (2015). Unpad – Ibu Popon Collaboration; A Best Practice in Sustainable Assistance Model for Social Entrepreneurship in Agro-industrial Based SME’s. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 3, 206– 210. https://doi.org/10.1016/J.AASPRO.2015.01.040
22
Rudito, B. (2014). The Improvement of Community Economy as Impact of Corporate Social Responsibility Program: A Case Study in Pengalengan, Bandung, West Java, Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 164, 471–476. https://doi.org/10.1016/J.SBSPRO.2014.11.104.
Supriyadi, R. E. (2012). Local Economic Development And Triple Helix: Lesson Learned From Role of Universities In Higher Education Town of Jatinangor, West Java, Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 52, 299–306. https://doi.org/10.1016/J.SBSPRO.2012.09.467.