BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas
Pembentukan biogas berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerob atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu oksidasi - reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi dimana sebagai donor dan akseptor elektronnya digunakan senyawa organik. Fermentasi anaerobik menghasilkan biogas yang terdiri dari metana sebanyak 50%-70%, karbon dioksida 25%-45%, sedikit hidrogen, nitrogen dan hidrogen sulfida (Gumbira Sa’id,1987). Keseluruhan reaksi pembentukan biogas dinyatakan dalam reaksi sebagai berikut :
Mikroorganisme Anaerob
Bahan Organik CH4 + CO2 + H2S + H2 + N2 (sumber :Gumbira Sa’id,1987)
Pada mulanya biogas banyak dibuat dari kotoran hewan dan manusia, namun sekarang terlihat kecenderungan untuk menggunakan limbah pertanian dan buangan kota sebagai bahan bakunya. Kecenderungan ini telah terlihat paling tidak sejak 60 tahun terakhir (Knol,1978).
Dalam aplikasinya, biogas digunakan sebagai gas alternatif untuk memanaskan dan menghasilkan energi listrik. Kemampuan biogas sebagi sumber energi sangat tergantung dari jumlah gas metan. Setiap 1 m3 metana setara dengan 0,6 L fuel oil. Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60-100 watt lampu menyala selama 6 jam penerangan. Tabel 2.1 berikut ini, kita dapat menilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan (Erliza,2007).
Sebagai energi alternatif, biogas bersifat ramah lingkungan dan dapat mengurangi efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif akan mengurangi usaha penebangan pohon di hutan, sehingga ekosistem hutan tetap terjaga (Erliza,2007).
Tabel 2.1 Nilai kesetraan biogas dan energi yang dihasilkannya (Erliza,2007). Aplikasi 1 m3 biogas setara dengan
Penerangan 60-100 watt lampu bohlam selam enam jam
Memasak Dapat memasak tiga jenis makanan untuk keluarga (5-6 orang) Pengganti bahan bakar 0,7 kg minyak tanah
Tenaga Dapat menjalankan satu motor tenaga kuda selama dua jam Pembangkit tenaga
listrik Dapat menghasilkan 1,25 kWh listrik 2.2 Proses Pembuatan Biogas
Dalam pembuatan biogas terdapat dua macam bakteri yang umum digunakan, yaitu bakteri pembentukan asam dan bakteri pembentukan gas metana. Bakteri pembentukan asam antara lain Pseudomonas, Escherichia, Flavobacrerium dan Alcaligenes.
Bakteri-bekteri tersebut akan mendegradasi bahan-bahan organik menjadi asam-asam lemah. Selanjutnya, asam-asam tersebut didegradasi menjadi metana oleh bakteri pembentukan gas metana seperti Methanobacterium, Methanosarcina dan Methanoccus (Erliza, 2007).
Proses fermentasi anaerobik dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah reduksi senyawa organik yang komplek (seperti lemak, protein dan karbohidrat) menjadi senyawaan sederhana oleh bakteri hidrolik. Bakteri hidrolik ini bekerja pada suhu antara 30-40 0C untuk kelompok Mesophilik dan 50-60 0C untuk kelompok Thermofilik. Tahap pertama proses ini berlangsung dengan pH optimum yaitu antara 6 sampai 7. Pada tahap kedua organisme pembentuk asam merubah senyawaan sederhana dari tahap pertama di atas menjadi asam organik mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat, asam propionat dan lain-lain. Dengan terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun, namun pada waktu yang bersamaan terbentuk pula buffer sebelum tahap pertama berlangsung. Tahap ketiga adalah konversi asam organik menjadi metan, CO2
dan gas-gas lain dalam jumlah sedikit oleh bakteri metan. Bakteri metan yang aktif pada tahap ini antara lain:
- Methanobacterium Omelianskii - Methanobacterium Sobngeaii - Methanobacterium Suboxydans - Methanobacterium Propionicum - Methanobacterium Formicium - Methanobacterium Ruminantium - Methanosarcina Barkeril - Methanococcus Vannielii - Methanococcus Mazei
Bakteri metan sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan pH, oleh karenanya maka kedua parameter ini harus dikendalikan dengan baik. pH optimal adalah antara 7,0 – 7,2, sedangkan pada pH 6,2 bakteri metan akan mengalami keracunan (Gumbira Sa’id, 1987).
Reaksi pembentukan buffer dalam sistem fermentasi anaerobik ini dapat diterangkan melalui persamaan reaksi sebagai berikut:
(C6H10O3) + nH2O nC6H12O6 3nCH + 3nCO2 `(1)
NH3 + H2O NH4- + OH (2)
CO2 + H2O H2CO2 H- + HCO3 (3)
H2CO3 + OH- HCO3- + H2O (4)
(Gumbira Sa’id, 1987)
Sebagian dari karbondoksida bereaksi dengan air, pada persamaan (3) protein akan dideaminasi oleh mikroorganisme dan menghasilkan amonia yang akan bereaksi dengan
air pada persamaan (2). Gugus hidroksil yang dihasilkan pada persamaan (2) akan bereaksi dengan H2CO3 seperti terlihat pada persamaan (3) dan (4) membentuk ion bikarbonat. Berdasarkan persamaan reaksi di atas, maka bila substrat hanya mengandung sedikit nitrogen, buffer yang terbentuk tidak akan cukup untuk mempertahankan pH pada selang netral. Oleh karena itu penting sekali dilakukan penambahan kapur untuk mengatur pH (Gumbira Sa’id, 1987).
Pengadukan berfungsi untuk memecah lapisan kerak di permukaan cairan dalam sistem yang menggunakan bahan baku yang sukar dicerna (misalnya jerami yang mengandung senyawa lignin). Lapisan kerak tersebut perlu dipecah agar mengurangi hambatan terhadap laju biogas yang dihasilkan. Bahan penghambat adalah bahan-bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, sehingga berpengaruh terhadap jumlah biogas yang dihasilkan. Bahan penghambat ini seperti logam berat (tembaga, cadmium, dan kromium), disinfektan, detergen dan antibiotik. Karena itu, dalam proses pembentukan biogas tersebut perlu diperhatikan air yang digunakan sebagai pelarut atau pencampur (Erliza,2007). Pembuatan biogas dengan cara pertama (penghancuran dalam digester) memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut :
Dapat menghasilkan metana yang bisa digunakan sebagai bahan bakar.
Sampah berubah menjadi slurry yang kaya nutrisi dan cocok digunakan sebagai
pupuk.
Selama proses penghancuran, bakteri-bakteri patogen dalam kotoran, seperti E. Coli, terbunuh sehingga dapat menyehatkan lingkungan.
(Erliza, 2007)
Gambar 2.1 Proses produksi gas metana (biogas) (Erliza , 2007).
Proses produksi biogas biasanya dilakukan secara semi kontinyu (substrat dimasukan satu kali dalam selang waktu tertentu), tetapi untuk mendapatkan produksi optimal bisa dilakukan Sistem batch (substrat hanya dimasukan satu kali) juga dapat
digunakan. Kecepatan produksi biogas dalam sistem batch mula-mula akan naik hingga
mencapai kecepatan maksimum dan akhirnya akan turun lagi ketika sejumlah besar bahan telah dirombak. (Gumbira Sa’id, 1987)
2.3 Komposisi Biogas
Biogas merupakan campuran gas-gas utama yang terdiri atas: gas metan (CH4) : 50-70 %; gas karbondioksida (CO2): 30-50 %; gas-gas lain 1-5 %. Sedangkan nilai kalor 1m3 biogas adalah sekitar 6 kWh setara dengan 0,5-0,6 liter minyak diesel (solar) (Arsana, 2005).
Tabel 2.2 Perkiraan komposisi gas hasil fermentasi bahan organik (Harahap, 1980)
No Nama gas Komposisi (%)
1 Metana 54-70
2 Karbondioksida 27-45
3 Nitrogen 0,5
4 Oksigen 0,1
5 Hidrogen 0,1
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi biogas
Proses degradasi bahan organik baik secara aerobik maupun anaerobik, diperoleh hasil dalam fase gas dan suspensi padat-cair. Proses degradasi secara aerobik dengan cukup oksigen, dapat berlangsung secara alamiah atau secara tiruan, misalnya dalam proses pembuatan kompos untuk pupuk. Sedangkan proses degradasi secara anaerobik dengan oksigen terbatas, juga dapat berlangsung secara alamiah atau tiruan. Misalnya proses yang berlangsung secara alamiah terjadi dalam perut binatang atau manusia dan secara tiruan proses degradasi terjadi dalam bak pencerna dengan bahan baku sampah organik (Fry, 1973). Secara umum kondisi operasi yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Temperatur
Pembangkitan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pencernaan anaerobik dapat berlangsung kisaran 5oC-55oC. Temperatur kerja yang optimum untuk penghasil biogas dalah 35oC (Saubolle : 1978). Pencernaan anaerobik bekerja pada temperatur 25oC-65oC. Pada rentang suhu tersebut terdapat dua daerah temperatur kerja, yaitu 25oC-45oC (hidupnya bakteri-bakteri Meshophilis) dan 46oC-65oC (hidupnya bakteri-bakteri Thermophilis). Kebanyakan bakteri hidup pada daerah Meshophilis (Laksmi,1993). Keuntungan temperatur termifilik dibandingkan dengan
mesofilik dan psichorofilik adalah sebagagai berikut: Efektif untuk penghilangan patogen
Tingkat pertumbuhan bakteri methanogenic lebih tinggi pada suhu yang lebih
tinggi
Waktu retensi berkurang, memebuata proses lebih cepat dan lebih efisien
Degradasi subtrat padat menjadi lebih baik sehingga pemanfaatan subtrat menjadi lebih baik (Seadi et al, 2008).
b. Total Padatan
Menurut Singh didalam Dissanyake (1977), kandungan padatan optimal adalah antara 7-9% (Gumbira Sa’id, 1987).
c. Rasio C/N
Singh di dalam Dissanyake (1977), menyarankan agar rasio C/N substrat berkisar antara 25 : 1 dan 30 : 1. Besaran rasio C/N yang terlalu tinggi akan menaikan kecepatan perombakan, tetapi buangannya (sludge) akan mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi. Sunstrat dengan rasio C/N yang terlalu rendah akan banyak menyisakan banyak nitrogen yang akan berubah menjadi ammonia dan meracuni bakteri. Pencampuran limbah pertanian dengan kotoran ternak akan merubah rasio C/N untuk produksi gas yang lebih baik (Gumbira Sa’id,1987).
Tabel 2.3 Rasio C/N dari beberapa bahan organik (Karki and Dixit :1984)
d.Laju Pengumpanan
Laju pengumpanan adalah jumlah bahan yang diumpankan kedalam pencerna per unit kapasitas pencerna per hari. Pada umumnya, 6 kg kotoran sapi per m3 volume pencerna adalah direkomendasikan pada suatu jaringan pengolah kotoran sapi. Apabila terjadi pengumpan yang berlebihan, terjadi akumulasi asam maka produksi
metana akan terganggu. Sebaliknya bila pengumpanan kurang dari kapasitas pencerna, produksi gas juga akan menjadi rendah. (Teguh dan Asrri, 2009).
e. Waktu tinggal dalam pencerna (digester)
Waktu tinggal dalam pencerna adalah rerata periode waktu saat input masih berada dalam pencerna dan proses pencernaan oleh bakteri metanogen. Dalam jaringan pencerna dengan kotoran sapi, waktu tinggal dihitung dengan pembagian volume total dari pencerna oleh input yang ditambah setiap hari. Waktu tinggal juga tergantung pada suhu, dan di atas 35oC atau suhu lebih tinggi, waktu tinggal semakin singkat. (Teguh dan Asrri, 2009).
f. Toxicity
Ion mineral, logam berat dan detergen adalah beberapa material racun yang mempengaruhi pertumbuhan normal bakteri patogen di dalam reaktor pencerna. Ion mineral dalam jumlah kecil (sodium, potasium, kalsium, amonium dan belerang) juga merangsang pertumbuhan bakteri, namun bila ion-ion ini dalam konsentrasi yang tinggi akan berakibat meracuni. Sebagai contoh, NH4 pada konsentrasi 50 hingga 200 mg/l merangsang pertumbuhan mikroba, namun bila konsentrasinya diatas 1500 mg/l akan mengakibatkan keracunan. (Teguh dan Asrri, 2009)
g. Slurry
Slurry adalah residu dari input yang keluar dari lubang pengeluaran setelah
mengalami proses fermentasi oleh bakteri metana dalam kondisi anaerobik di dalam pencerna. Setelah ekstraksi biogas (energi), slurry keluar dari ruang pencerna
sebagai produk samping dari sistem pencernaan secara aerobik. Kondisi ini, dapat dikatakan manure dalam keadaan stabil dan bebas pathogen serta dapat dipergunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman. (Teguh dan Asrri, 2009).
2.5 Desain Digester
Jika dilihat dari cara pengoprasian digester, ada dua disain digester yaitu: 2.5.1 Batch feeding
Umumnya didesain untuk limbah padatan seperti sayuran/hijauan. Desain yang tidak perlu pipa air, tangki tinggal merupakan desain yang paling baik untuk digunakan. Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan
digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukan lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali. Tergantung jenis bahan limbah dan yang temperatur yang dipakai, sistem batch akan mulai berproduksi setelah minggu
kedua sampai minggu keempat, laju peningkatan produksi menjadi lambat lalu menurun setelah bulan ketiga atau keempat. Sistem batch biasanya dibuat dalam
beberapa set sekaligus sehingga paling tidak ada yang beroperasi dengan baik. Limbah sayuran mempunyai rasio C : N yang tinggi dibandingkan limbah kotoran ternak sehingga perlu ditambahkan sumber nitrogen. Limbah sayuran menghasilkan biogas delapan kali lipat lebih banyak dibandingkan limbah kotoran ternak. Campuran dari limbah sayuran merupakan campuran yang ideal untuk menghasilkan biogas, dengan perbandingan jumlah limbah sayuran lebih banyak. (Haryati, 2006).
2.5.2 Continuous feeding
Gambar 2.2 sistem kontinyus 1 fasa
Proses pencernaan anaerobik dari limbah kotoran sapi memakan waktu sekitar 8 jam dalam temperatur hangat (35oC). Sepertiga biogas akan dihasilkan pada minggu ketiga sampai kedelapan. Produksi gas dapat dipercepat dan konsisten dengan sistem pemasukan bahan baku yang kontinyu serta sejumlah kecil buangan proses setiap hari. Proses juga akan menyisakan nitrogen pada slurry buangan yang
akan digunakan untuk pupuk. Hal yang perlu diperhatikan dalam sistem kontinyu adalah tangki harus cukup besar untuk menampung semua bahan yang terus menerus dimasukan selama proses pencernaan berlangsung. Kondisi yang ideal untuk sistem ini yaitu menggunakan dua buah tangki digester, konsumsi limbah berlangsung dalam dua tahap, metan diproduksi pada tahap pertama dan tahap kedua dengan laju lebih lambat. (Haryati, 2006)
2.6 Digester Anaerob Dua Tahap
Pada proses anaerob termofilik, biasanya performance proses lebih baik
(kecepatan fermentasi, konversi bahan organik menjadi biogas) dan lebih higienis terkait pemusnahan bakteri patogen. Selama proses fermentasi anaerob, senyawa-senyawa organik diurai menjadi gas mentana dan karbon dioksida. Proses ini melewati beberapa tahap yang melibatkan berbagai jenis mikroba. Beberapa jenis mikroba terkait adalah mikroba yang tumbuh sangat lambat, sehingga sensitif terhadap perubahan-perubahan, inilah yang bisa menyebabkan ketidakstabilan dan bahkan menyebabkan kegagalan proses selama waktu yang cukup lama.
Gambar 2.3 digester 2 fase (Kholiq, 2007).
Kegagalan dan ketidaksetimbangan proses anaerob bisa disebabkan oleh overload hidraulis (waktu tinggal terlalu pendek), oleh overload organis (laju beban organik
terlalu tinggi) yang menyebabkan souring pada keseluruhan proses, dan oleh akumulasi
dari senyawa-senyawa yang bersifat toksis atau inhibitor. Selain itu, perubahan temperatur secara tiba-tiba akan membawa akibat (negatif) pada bakteri metanogen. Untuk mengurangi peluang kegagalan atau ketidaksetimbangan proses anaerob khususnya terkait dengan souring, maka diterapkan proses anaerob dua fase yang terdiri
dari reaktor hidrolisa dan reaktor metanogen. Sedangkan pada proses anaerob satu fasa semua tahap proses penguraian dan semua jenis mikroba yang terlibat proses tersebut berada dalam satu reaktor (Kholiq, 2007).
Stock mikroba tersebut dibagi dalam 2 (dua) bagian. Satu bagian dipersiapkan untuk
stock mikroba asidogenesis, dikondisikan pada pH = 5 (55 oC) dan diberi substrat campuran tepung beras dan gula pasir. Satu bagian lainnya dipersiapkan untuk stock mikroba metanogenik, dikondisikan pada pH = 7 (25-28 oC) dan diberi substrat molase. Aklimatisasi dari masing-masing stock mikroba terhadap lumpur dilakukan dengan cara
menambah substrat lumpur sedikit demi sedikit sampai akhirnya dapat beradaptasi dengan substrat lumpur 100%. Proses aklimatisasi dilakukan selama 3 bulan dapat mengasilkan kandungan CH4 = 50,4 – 64,1 % dan CO2 = 18 – 30 % menggunakan bahan lumpur biologi industri kertas (Soetopo dkk, 2011). Diagram alir reaktor digestasi anaerobik dua tahap yang digunakan pada percobaan ini dapat dilihat pada gambar di bawah
Gambar 2.4 Diagram alir reaktor digester anaerobik dua tahap proses kontinyu (Soetopo dkk, 2011)
Fermentasi anaerob pada penelitian oleh Hilda hasanah dilakukan pada digester
yang dirancang khusus untuk mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit sehingga fermentasi berlangsung dua tahap. Digester anaerob dua tahap ini disusun secara seri
dengan kapasitas masing-masing digester 20 liter. Pada hari ke-0 digester yang diisi
dengan volume 70% dari volume total digester yaitu digester pertama yang terhubung
langsung dengan pipa inlet. Sedangkan digester kedua yang berfungsi untuk melanjutkan
proses fermentasi anaerobik pada cairan yang mengalir dari digester pertama, terhubung
langsung dengan pipa outlet. Digester tahap I dengan digester tahap II terhubung oleh
sebuah pipa penghubung yang dilengkapi dengan stop keran. Pengadukan bahan yang ada dalam digester dilakukan dengan sistem pengaduk yang berdekatan dengan keran
gas. Sistem pengaduk diatur agar tidak terganggunya proses anaerob di dalam digester. Selain untuk memaksimalkan produksi gas yang terbentuk dari hasil perombakan bahan organik yang terjadi dalam digester, perancangan digester dua tahap ini juga dapat
mengoptimalkan penurunan beban pencemar limbah. (Hasanah, 2011).
Gambar 2.5 Digester dua tahap dan bagian-bagiannya (Hasanah, 2011)