• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PATOGEN TERBAWA BENIH Aspergillus flavus PADA BEBERAPA VARIETAS JAGUNG KOMPOSIT DAN HIBRIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA PATOGEN TERBAWA BENIH Aspergillus flavus PADA BEBERAPA VARIETAS JAGUNG KOMPOSIT DAN HIBRIDA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PATOGEN TERBAWA BENIH

Aspergillus flavus

PADA

BEBERAPA VARIETAS JAGUNG KOMPOSIT DAN HIBRIDA

Syahrir Pakki dan Nurasiah Djaenuddin Balai Penelitian Tanaman Serealia

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dinamika A. flavus pada beberapa varietas jagung. Penelitian dilaksanakan pada Laboratorium Penyakit, Balitsereal, Maros dalam dua tahap, Tahap I, pemurnian yaitu isolat A. flavus dikoleksi dari lapangan kemudian diidentifikasi dan dimurnikan pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Selanjutnya diperbanyak dengan varietas jagung yang tergolong peka (Srikandi Putih). Hasil perbanyakan digunakan sebagai bahan inokulan. Tahap II, setiap benih jagung perlakuan dikeringkan hingga kadar air 18-21%, kadar air dipertahankan selama penelitian dengan menyemprotkan air secukupnya dan diukur setiap 3 hari. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dalam 3 ulangan. Perlakuan adalah 8 varietas (Lamuru, Bisma, Lagaligo Bima 5, Bima 2, Bima 1, Bima 4, Anoman, Srikandi Putih). Benih jagung diletakkan dalam wadah plastik yang berisi masing-masing sekitar 500 g atau 2500 biji. Selanjutnya diinokulasi dengan meletakkan inokulum A.flavus di tengah wadah penyimpanan pada setiap perlakuan, sebanyak 5% atau 125 biji dalam setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan pada 2 MST dengan interval 10 hari sampai pada fase penyimpanan selama 65 hari (15, 25, 35, 45, 55, 65 hari). Parameter pengamatan adalah (a) persentase biji terinfeksi (b) suhu (c) bentuk morfologi biji (d) kandungan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala awal infeksi A. flavus terjadi 15 hari setelah inokulasi, dengan intensitas yang rendah, kemudian berkembang dengan dinamika pola bunga majemuk. Pada suhu simpan sekitar 28ºC dan kadar air 16-18%, dominan menginfeksi dalam 55 hari setelah inokulasi dan mencapai puncaknya pada 65 Hari. Diperoleh tiga jagung komposit yang memperlihatkan ketahanan yang tinggi terhadap A. flavus yaitu Bisma, Lagaligo, dan Lamuru dengan infeksi 15-24%, sedangkan varietas hibrida lainnya yaitu Bima 1, 2, 4, 5, terinfeksi 100%.

Kata kunci: dinamika, A. flavus, varietas, jagung

PENDAHLUAN

Penyakit kapang yang disebabkan oleh Aspergillus flavus merupakan salah satu patogen penting pada tanaman jagung. Di Sulawesi Selatan ditemukan dominan menginfeksi biji jagung (Pakki dan Muis 2006). A. flavus dapat memproduksi mikotoksin (Aflatoksin), bersifat karsiogenik dan dapat membahayakan kesehatan manusia dan ternak (Dorner et al. 1999). Issu ini menjadi penting seiring dengan meningkatnya kepedulian konsumen akan resiko kesehatan yang ditimbulkan oleh toksin tersebut. Hampir semua negara telah menetapkan batas kandungan aflatoksin yang dianggap aman untuk konsumsi manusia, sehingga dapat menjadi faktor pembatas dalam penentuan kualitas jagung yang diperdagangkan antar negara,

(2)

Infeksi A. flavus pada biji jagung dapat terjadi selama jagung masih dalam pertanaman di lapang, maupun pada proses penyimpanan (Pakki 2006). Proses terjadinya infeksi didukung oleh suhu lingkungan dan kandungan air biji. A. flavus tumbuh optimum pada kandungan air biji 15-30%, sedang suhu optimum perkembangan aflatoksin adalah 25-35oC (Cardwell et al. 1999; Abbas et al. 2004)). Upaya untuk mengurangi kandungan afllatoksin adalah pencegahan lebih dini infeksi

A. flavus di lapangan, dan dapat dilakukan dengan penggunaan varietas tahan. Pitt dan Hocking (1985); Pakki dan Talanca (2009) melaporkan bahwa penggunaan varietas tahan dapat menekan perkembangan patogen tersebut, baik di lapangan maupun ditempat penyimpanan.

Fakta tersebut memberi indikasi bahwa penggunaan galur/varietas tahan A. flavus sangat penting artinya untuk mengatasi penyakit ini. Ketersediaan varietas tahan

A.flavus diharapkan dapat mendukung program perbaikan varietas jagung secara terpadu.

Penggunaan varietas tahan juga akan berdampak pada penekanan sumber inokulum awal dan mengurangi infeksi dini A. flavus sehingga pengembangan aflatoxin pada fase penyimpanan akan lebih berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika A. flavus pada beberapa varietas jagung.

METODOLOGI

Tahap I, Pemurnian yaitu isolat A. flavus dikoleksi dari lapangan kemudiaan diidentifikasi dan dimurnikan pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Selanjutnya diperbanyak dengan menggunakan varietas jagung yang tergolong peka (Srikandi Putih). Hasil perbanyakan dipersiapkan sebagai bahan inokulan untuk inokulasi pada setiap varietas perlakuan.

Tahap II, Setiap benih jagung perlakuan dikeringkan dengan kadar air 15-16%, penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dalam 3 ulangan. Sebanyak 9 galur/varietas dievaluasi ketahanannya terhadap A.flavus. Sebagai pembanding peka adalah varietas Pulut Takalar. Benih jagung diletakkan dalam wadah plastik yang berisi masing-masing sekitar 500 gr atau 2500 biji, kemudian diinokulasi dengan meletakkan inokulum A. flavus. pada setiap perlakuan. Sumber inokulum yang digunakan adalah biji jagung yang terinfeksi sebanyak 5%

(3)

termometer alat pengukur suhu yaitu Alcohol-Mercury Thermometer (Kapasitas Maksimun 110ºC).

Lima belas hari setelah inokulasi dilakukan pengamatan dengan interval setiap 10 hari sampai pada fase penyimpanan selama 65 hari atau pada 15, 25, 35, 45, 55, dan 65 hari. Parameter pengamatan adalah (a) Persentase biji terinfeksi dan biji terinfeksi A. flavus dengan menggunakan kaca pembesar, (b) suhu mikro pada wadah penyimpanan (c) bentuk morfologi biji (d) Kandungan kadar air

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan gejala awal infeksi Aspergillus flavus ditandai oleh cendawan berwarna hitam kehijauan dengan infeksi berupa bintik bercak pada ujung biji jagung. Infeksi tersebut tampak pada sekitar 15 hari setelah inokulasi (HSI) dan selanjutnya tersebar secara acak dalam biji varietas perlakuan. Sebaran infeksi A. flavus masih tergolong rendah berkisar 0,67-1,84%. Tiga varietas jagung komposit yaitu Lamuru, Bisma dan Lagaligo memperlihatkan intensitas yang nyata lebih rendah dibanding jagung varietas hibrida, Bima 1, Bima 4, dan komposit Anoman (Tabel 1) .

Pengamatan ke 25 HSI, belum ditemukan adanya peningkatan infeksi yang tinggi, masih berkisar > 1% - 5,20%, namun tiga varietas (Bisma, Lamuru, Lagaligo dan Hibrida Bima 1 dan Bima 5) masih tergolong terendah dibanding dengan varietas-varietas lainnya. Perkembangan intensitas yang lambat diduga karena masa peroduksi spora dari A. flavus tergolong lama yaitu sekitar 10-15 hari (Abbas et al. 2004) sehingga intensitas A. flavus, masih rendah.

Demikian pula setelah 35 HSI, infeksi tertinggi masih pada intensitas 10%. Adanya perbedaan intensitas infeksi manandakan bahwa produksi spora yang dihasilkan menginfeksi dan berkembang baik pada varietas yang lebih peka dan perkembangannya terhambat pada pada varietas yang bereaksi tahan. Hal ini mengindikasikan pula bahwa cekaman infeksi A. flavus tergolong optimal dan diasumsikan dapat menginfeksi merata, tanpa adanya varietas uji yang terhindar dari

(4)

Tabel 1. Persentase infeksi A. flavus pada beberapa varietas jagung

Varietas Gejala penularan (%) Suhu

(oC)

Kadar air (%) 15 HSI 25 HSI 35 HSI

Bima 1 1,33 ab 2,68 cde 3,28 d 26-28 18-21 Bima 2 1,21 abc 5,20 ab 10,65 a 26-28 18-21 Bima 4 1,72 a 3,87 bcd 6,60 bc 26-28 18-21 Bima 5 1,01 bc 2,48 de 4,23 cd 26-28 18-21 Anoman 1,84 a 4,22 abc 4,96 bcd 26-28 18-21 Bisma 0,67 c 1,33 e 3,04 d 26-28 18-21 Lagaligo 0,77 bc 1,69 e 2,18 d 26-28 18-21 Lamuru 0,67 c 2,02 e 2,60 d 26-28 18-21 Srikandi Putih 1,32 ab 5,64 a 8,12 ab 26-28 18-21 Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama tidak berbeda nyata,

sesuai uji Duncan pada taraf 5 %.

Pengamatan pada umur 55 HSI, pada suhu ruang berkisar 26-28ºC dan kandungan kadar air 18-21% (Tabel 2) diperoleh hasil analisis statistik dengan penampilan intensitas A. flavus tetap rendah pada Bisma, Lamuru dan Lagaligo dibanding varietas lainnya yang telah terinfeksi sekitar 60-100%. Pada ketiga varietas tersebut, keadaan infeksi A. flavus tidak berkembang, tetap nyata lebih rendah hanya berkisar 12-21%, fakta ini memberi indikasi bahwa produksi spora A. flavus

dipengaruhi oleh perbedaan sifat ketahanan setiap varietas uji. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh Windham and Williams (1998) bahwa pada beberapa varietas jagung hibrida infeksi A. flavus berkembang baik pada varietas yang lebih peka dibanding dengan varietas yang tahan.

Pengamatan selanjutnya pada umur 65 hari (Tabel 2), terlihat bahwa dalam keadaan infeksi pada varietas yang lebih peka sekitar 26,7-100%, terdapat Bisma, Lagaligo dan Lamuru hanya terinfeksi 13,3-24%. Hal ini diduga karena adanya sifat genetis yang mempengruhi sifat ketahanan dari varietas tersebut. Ketahanan suatu varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kemampuan varietas/galur memproteksi diri dari cekaman patogen yang disebabkan oleh sifat genetis dari varietas ataupun kandungan nutrisi dari tanaman inang, pada awal infeksi, kandungan gizi dari tanaman inang akan memicu perkembangan cendawan patogen (Farrar dan Lewis 1987). Pada penelitian ini, tampak bahwa bentuk biji yang lebih kecil ukurannnya juga mempunyai reaksi infeksi yang lebih rendah, diduga bentuk morfologi biji menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan A.flavus.

(5)

optimal pada sekitar suhu 30ºC, dan optimal menginfeksi setelah berkecambah dan menghasilkan konidia. Produksi konidia dari A. flavus umumnya pada suhu sekitar 70-79º F, selanjutnya menginfeksi biji sekitarnya (Anonim, 2006; Robert et al, (1993). Spora yang menempel pada biji berkecambah, selanjutnya konidia menginfeksi melalui stomata kulit biji ( Stack, 2000).

Tabel 2. Persentase infesi A. flavus pada beberapa varietas jagung

Varietas Gejala penularan (%) Suhu

(oC)

Kadar air (%)

45 HSI 55 HSI 65 HSI

Bima 1 13,53 ab 26,67 d 100,00 a 26-28 18-21 Bima 2 16,27 a 77,33 b 100,00 a 26-28 18-21 Bima 4 11,54 ab 60,00 c 100,00 a 26-28 18-21 Bima 5 11,52 ab 78,33 b 100,00 a 26-28 18-21 Anoman 11,13 ab 100,00 a 100,00 a 26-28 18-21 Bisma 2,29 b 13,33 e 16.33 c 26-28 18-21 Lagaligo 3,52 b 12,33 e 15.67 c 26-28 18-21 Lamuru 7,33 ab 21,67de 24,00 b 26-28 18-21 Srikandi Putih 8,96 ab 91,67 a 100,00 a 26-28 18-21 Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama tidak berbeda nyata, sesuai uji Duncan pada taraf 5 %.

Hal tersebut juga terlihat pada pengamatan 65 HSI, dengan keadaan infeksi 6 varietas lainnya sekitar 100 persen, dan merata pada setiap varietas uji, varietas Bisma, Lamuru dan Lagaligo tetap terinfeksi lebih rendah sekitar 15-24% (Gambar 1). Fakta ini memperkuat dugaan bahwa ketiganya mempunyai sifat genetik yang mampu membatasi infeksi A. flavus atau A. flavus menginfeksi namun tidak berkembang dalam jaringan sel permukaan kulit efidermis biji. Dilaporkan oleh Abadi, (2003) bahwa respon ketahanan inang terhadap cendawan patogen dipengaruhi oleh daya hambat pytoaleksin yang dikeluarkan oleh inangnya. Belum banyak laporan mengenai senyawa tertentu yang mengatur ketahanan biji jagung terhadap A. flavus, namun penampilan ketahanan yang bervariasi ekstrem tersebut, memberi sinyal perlunya kajian yang mendalam tentang faktor-faktor dominan yang mempengaruhi sifat-sifat ketahanannya.

(6)

Gambar 1. Infeksi A. flavus pada varietas Lagaligo dan Anoman dalam 65 hari setelah inokulasi.

Dinamika A. flavus terlihat bahwa dalam keadaan sumber inokulum 5% dari populasi, infeksi yang rendah terjadi pada 15 HSI, kemudian berkembang dengan pola bunga majemuk dan mencapai puncaknya pada 65 HSI (Gambar 2). Dalam 65 HSI, dengan suhu penyimpanan sekitar 24-28ºC dan kandungan kadar air konstan antara 18 - 21%, pada varietas yang tergolong rentan, infeksi dapat mencapai 100 %.

(7)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Diperoleh tiga jagung komposit yang memperlihatkan ketahanan yang tinggi terhadap A. flavus yaitu Bisma, Lagaligo, dan Lamuru dengan infeksi 15-24%, sedangkan varietas lainnya yaitu Bima-1, 2, 4, 5 infeksinya mencapai 100%.

Gejala awal infeksi A. flavus terjadi 15 hari setelah inokulasi dengan intensitas yang rendah, kemudian berkembang dengan dinamika pola bunga majemuk. Pada suhu simpan sekitar 28ºC dan kadar air 16-18%, A. flavus dominan menginfeksi dalam 55 hari setelah inokulasi dan mencapai puncaknya pada 65 Hari.

Saran

Varietas yang memperlihatkan reaksi tahan dapat ditelusuri lebih jauh kandungan nutrisi dan sifat genetik yang mengatur ketahanannya terhadap penyakit

A. flavus.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Maize Doctor. CYMMIT, Meksiko http://maizedoctor.Cimmyt.org/

ndex.php.php?id( Diakses 8 Mei 2013).

Abadi Latif 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan II. Fakultas Pertanian Universitas .Brawijaya. Malang dan Bayu Media Publishing, Surabaya- Malang.

Abbas. H.K. Zablotowicz and . M.A Locke. 2004 Spatial variability Aspergillus flavus

soil population under different crops and corn grain colonitation and aflatoxin. NRC Research Press. Canada. USA.

Cardwell. K.F. King. J.G. B. Mzya-Dixon and Bosque-Feres. Inraction between Fusarium vertiliciodies, Asfergillus flavus, and Insect infestation in four maize genotype in Lowland Africa. Ekology and Population Biology. The American Phytopathologycal Society.USA.

Doddner. J.W. Richard. J.C. dan Ronald. T.W. 1999. Aflatoxin reduction corn through field aflication of competitive fungi. Jurnal of food Frotection. Illionis USA.

Donald T. W. David K.W. and James .E.T. 1998 Fungal colonist of maize grain conditioned at contans tempratures and humidities. Agricultural Research Service. Mahattan USA.

Farrar, J.F, and Lewis, DH. 1987. Nutrion relation in biotropic infection dalamFungi infection of plant. Cambridge University. New York. Sidney Melbourne. Pp 92-132.

(8)

Kardin 1989. Resistensi tanaman terhadap penyakit. Makalah disajikan pada Pelatihan Metodologi penelitian pengendalian hama dan penyakit tanaman. Balittan Sukamandi. h 62.

Pakki S, dan Talanca 2009. Pengelolaan penyakit pasca panen jagung. Jagung, Teknik produksi dan pengembangannya, Puslitbangtan Badan Litbang Pertanian.

Pakki, S., Amran Muis. 2006. Patogen utama tanaman jagung setelah padi rendengan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian Pertanain, Puslitbangtan Tanaman Pangan.

Pakki, S. 2006. Patogen Tular benih Fusarium dan aspergillkus flavus pada jagung serta pengendaliannya. Prossiding dan Loka karya Nasional Jagung. Puslitbangtan Bogor.

Pakki, S. 2009. Efektivitas ammonia, asam propionate, dan ekstrak daun cengkeh dalam pengendalian Aspergillus flavus pada jagung. Jurnal Penelitian Pertanian. Puslitbangtan. Bogor

Pitt and Hocking. 1985. Fungi and Food spollage, Academic Press Nord Ryde N.S.W 413 p

Robert L. B, Petter J.C, and Neil W.W, 1993 Living maize embryo influences accumulation of aflatoxin in maize kernel. Jurnal of Food Protection. Georgia. Stack. J. 2000. Grain mold and mycotoxin in corn. Extension Research Plant

Pathologist. University of Nebraska – Lincoln

Windham G.L and Williams W.P. 1998. Aspergillus flavus infection and aflatoxin accumulation in resistant and susceptible maize hybrid. The American Phytopathological Society.

Gambar

Tabel 1. Persentase infeksi A. flavus pada beberapa varietas jagung
Tabel 2. Persentase infesi  A. flavus pada beberapa varietas jagung
Gambar 1. Infeksi A. flavus pada varietas Lagaligo dan Anoman dalam                                 65 hari setelah inokulasi

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu PT Kaltim Prima Coal juga memiliki ancaman, diantaranya pesaing dari Cina dan Amerika dengan produk sejenis, produsen batubara lokal yang berada di setiap

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa praktek kader jumantik dalam melaksanakan PSN DBD 3M Plus sudah berjalan baik, hal ini didukung oleh pengetahuan dan

Perkebunan V Sei Rokan maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Lingkungan Kerja Dan Insentif Terhadap Produktivitas

Berbagai temuan tersebut didukung kondisi dan keletakannya pada bagian lereng yang tinggi dan cukup terjal, serta informasi dari masyarakat menggambarkan adanya aktivitas

Pada bulan Juni 2016, NTPT mengalami kenaikan sebesar 0,49 persen apabila dibandingkan bulan Mei 2016 yaitu dari 97,96 menjadi 98,44 , hal ini terjadi karena laju indeks

Minusnya pertumbuhan ekonomi Aceh tersebut terutama dipengaruhi oleh menurunnya komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah dan PMTB yang masing-masing turun sebesar

Richard Burton Simaputang, mengatakan : 2 Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit adalah seperti yang ditegaskan dalam Pasal 41 Undang-Undang

Selama penyimpanan kualitas kelapa parut kering diukur berdasarkan analisa kimia meliputi kadar air, kadar lemak, kadar FFA, bilangan peroksida, analisa fisik meliputi