• Tidak ada hasil yang ditemukan

V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN

5.1 Masukan Utama Model (Main Input)

5.1.1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan

Keberhasilan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil, peran penting berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders), faktor pendukung dan tujuan pengelolaan yang ditetapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan potensi daerah dan kemungkinan pengembangannya di masa yang akan datang, disusun dua alternatif kebijakan sebagai berikut:

1. Alternatif 1. Mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan industri.

Sejak satu dekade terakhir, industri telah menjadi sektor utama penyangga perekonomian Kabupaten Serang. Pada tahun 2002, sektor ini memberikan sumbangan yang cukup signifikan (49,68%) pada PDRB Kabupaten Serang. Pada tahun 2003 dan 2004, sumbangan sektor ini pada PDRB Kabupaten Serang juga cukup signifikan (49,21% dan 48,90%). Tingginya aktivitas industri di wilayah ini juga telah memberikan dampak pada berkembangnya kegiatan pendukung dan sektor jasa, yakni perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 10,40%, transportasi dan komunikasi 3,38%, dan jasa-jasa 8,04% (BPS Kabupaten Serang, 2005).

2. Alternatif 2. Mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan wisata.

Keindahan alam perdesaan dan ekosistem laut yang eksotik (mangrove, lamun, karang dan bird breeding area) di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten merupakan potensi pariwisata yang bernilai tinggi. Masyarakat Banten yang religius juga memiliki obyek wisata keagamaan yang sangat terkenal sejak zaman dahulu. Walaupun kontribusi sektor pariwisata pada PDRB Kabupaten Serang relatif kecil (pada tahun 2004 sebesar 0,04%), tetapi

multiplier effect-nya di sektor perhotelan dan restoran cukup besar. Pada tahun

2004, kontribusi sektor perhotelan dan restoran pada PDRB Kabupaten Serang mencapai 2,81%.

(2)

a. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan dilakukan menggunakan metode AHP. Dalam analisis ini, terdapat 5 level pengambilan keputusan; yakni fokus pengelolaan, peranan

stakeholders, faktor pendukung, tujuan pengelolaan dan alternatif kebijakan yang

mungkin dilaksanakan. Berdasarkan perhitungan nilai tiap tingkat AHP, diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Peranan stakeholders.

Terdapat 8 stakeholders dalam pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan. Pentingnya peranan masing-masing stakeholder dalam penentuan alternatif kebijakan menurut AHP disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Pentingnya peranan stakeholders pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan

No. Stakeholders Nilai

1. Masyarakat 0,374 2. Nelayan 0,203 3. Pemerintah 0,140 4. LSM 0,122 5. Koperasi 0,055 6. Pedagang 0,042 7. Pengusaha 0,032 8. Perbankan 0,032

Dari Tabel 28 diketahui, bahwa peranan masyarakat dalam penentuan alternatif kebijakan merupakan hal yang paling menentukan (0,374). Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan. Hasil perhitungan ini mempengaruhi tingkat-tingkat pengambilan keputusan selanjutnya.

b. Hirarki faktor pendukung menurut stakeholders.

Masing-masing stakeholder memiliki perbedaan prioritas (hirarki) dalam penentuan faktor pendukung. Hirarki faktor pendukung me nurut stakeholders

(3)

dan LSM, faktor pendukung paling penting pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan adalah kebijakan pemerintah itu sendiri (masing-masing stakeholder memberikan nilai tertinggi secara berturut-turut 0,390 dan 0,414). Menurut masyarakat dan perbankan, faktor pendukung paling penting adalah sumberdaya manusia (masing-masing

stakeholder memberikan nilai tertinggi secara berturut-turut 0,395 dan 0,394).

Menurut nelayan, faktor pendukung paling penting adalah sumberdaya alam (0,469). Menurut koperasi, pedagang dan pengusaha, faktor pendukung paling penting adalah modal (masing-masing stakeholder memberikan nilai tertinggi secara berturut-turut 0,466; 0,484 dan 0,498). Dari hasil tersebut dapat diketahui, bahwa ada empat kelompok stakeholders yang memberikan penilaian berbeda dalam pemilihan alternatif kebijakan. Hal tersebut tercermin dalam penentuan skala prioritas faktor pendukung. Dalam pengambilan kebijakan, diharapkan semuanya dapat terakomodasi secara proporsional. Hasil sintesis dari keempat kelompok stakeholders (Lampiran 1) menunjukkan, bahwa prioritas faktor pendukung pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan adalah kebijakan pemerintah (0,277), disusul kemudian oleh sumberdaya manusia (0,271), sumberdaya alam (0,187), modal (0,116), sarana dan prasarana (0,084) dan terakhir pemasaran (0,065).

Tabel 29. Hirarki faktor pendukung pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan menurut stakeholders

No Faktor pendukung Stakeholders

1 2 3 4 5 6 7 8

1. Kebijakan pemerintah 0,283 0,180 0,390 0,414 0,191 0,142 0,177 0,216 2. Sumberdaya manusia 0,395 0,153 0,228 0,252 0,143 0,131 0,111 0,394

3. Sumberdaya alam 0,103 0,469 0,130 0,142 0,093 0,105 0,105 0,173 4. Modal 0,067 0,048 0,082 0,048 0,466 0,484 0,498 0,047 5. Sarana dan prasarana 0,093 0,086 0,075 0,082 0,056 0,073 0,048 0,104 6. Pemasaran 0,059 0,064 0,094 0,062 0,052 0,065 0,063 0,065

Keterangan: stakeholder 1 = masyarakat; 2 = nelayan; 3 = pemerintah; 4 = LSM; 5 = koperasi; 6 = pedagang; 7 = pengusaha; 8 = perbankan.

c. Hirarki tujuan pengelolaan berdasarkan faktor pendukung.

Hirarki tujuan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan ditentukan berdasarkan faktor pendukung (Tabel 30). Dari

(4)

Tabel 30 diketahui, bahwa berdasarkan kebijakan pemerintah dan pemasaran, peningkatan PAD merupakan tujuan paling penting (masing-masing faktor memberikan nilai tertinggi 0,475 dan 0,440). Berdasarkan sumberdaya manusia, perluasan lapangan kerja (0,611) merupakan tujuan paling penting. Berdasarkan sumberdaya alam, reduksi pencemaran (0,543) merupakan tujuan paling penting. Berdasarkan modal serta sarana dan prasarana, peningkatan daya saing merupakan tujuan paling penting (masing-masing faktor memberikan nilai tertinggi 0,562 dan 0,389). Dari hasil tersebut dapat diketahui, bahwa ada empat kelompok faktor yang memb erikan penilaian berbeda dalam pemilihan alternatif kebijakan. Hal tersebut tercermin dalam penentuan skala prioritas tujuan pengelolaan. Dalam pengambilan kebijakan, diharapkan semuanya dapat terakomodasi sesuai dengan porsi masing-masing. Hasil sintesis dari keempat kelompok faktor (Lampiran 1) menunjukkan, bahwa prioritas tujuan yang paling penting pada pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan adalah peningkatan PAD (0,265), disusul kemudian oleh perluasan lapangan kerja (0,215), reduksi pencemaran (0,196), peningkatan daya saing (0,176) dan terakhir minimasi konflik (0,147).

Tabel 30. Hirarki tujuan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan berdasarkan faktor pendukung

No. Tujuan pengelolaan Faktor pendukung

1 2 3 4 5 6

1. Peningkatan PAD 0,475 0,073 0,181 0,198 0,343 0,440

2. Perluasan lapangan kerja 0,069 0,611 0,062 0,054 0,068 0,111 3. Reduksi pencemaran 0,207 0,060 0,543 0,074 0,082 0,086 4. Peningkatan daya saing 0,108 0,099 0,058 0,562 0,389 0,158 5. Minimasi konflik 0,141 0,157 0,157 0,112 0,118 0,206 Keterangan: faktor 1 = kebijakan pemerintah; 2 = sumberdaya manusia; 3 =

sumberdaya alam; 4 = modal; 5 = sarana dan prasarana ; 6 = pemasaran.

d. Hirarki alternatif kebijakan berdasarkan tujuan pengelolaan.

Penentuan hirarki alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan ditentukan berdasarkan tujuan pengelolaan. Hirarki alternatif kebijakan menurut tujuan pengelolaan disajikan pada Tabel 31.

(5)

Tabel 31. Hirarki alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan berdasarkan tujuan

No. Alternatif kebijakan Tujuan Peningkatan PAD Perluasan lap. kerja Reduksi pencemaran Peningkatan daya saing Minimasi konflik 1. Industri 0,800 0,800 0,200 0,400 0,300 2. Wisata 0,500 0,400 0,700 0,400 0,300

Dari Tabel 31 diketahui, bahwa dengan tujuan peningkatan PAD dan perluasan lapangan kerja, industri dipandang sebagai alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan (masing-masing tujuan memberikan nilai tertinggi yang sama, yaitu 0,800). Namun bila tujuan utamanya untuk reduksi pencemaran, wisata (0,700) dipandang sebagai alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan. Dengan tujuan peningkatan daya saing dan minimasi konflik, industri dan wisata dipandang sebagai alternatif yang memiliki peluang yang sama besar untuk dilaksaksanakan (masing-masing tujuan memberikan nilai tertinggi secara berturut-turut 0,400 dan 0,300). Hasil sintesis dari ketiga kelompok tujuan di atas (Lampiran 1) menunjukkan, bahwa prioritas alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan adalah industri (0,538), kemudian disusul oleh wisata (0,471).

b. Rekomendasi Kebijakan

Dengan memperhatikan potensi daerah, kondisi masyarakat serta kemampuan pemerintah dan swasta sebagai mitra kerja, penyusunan skenario untuk menentukan alternatif kebijakan yang direkomendasikan dinilai perlu memperhatikan jangka waktu pelaksanaan. Kebijakan jangka pendek memerlukan waktu berkisar 5-10 tahun, sedangkan jangka panjang 11-20 tahun. Implementasi skenario jangka pendek dan panjang diupayakan agar merupakan satu kesatuan yang berkelanjutan (sustainable). Disamping itu, perlu juga memperhatikan kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan disajikan pada Tabel 32. Berdasarkan hasil AHP (Tabel 31) dan kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu pelaksanaan (Tabel 32), maka skenario kebijakan yang direkomendasikan sebagai berikut:

(6)

Tabel 32. Beberapa kriteria penentuan kebijakan sesuai dengan jangka waktu pelaksanaan No Tahapan pelaksanaan Kriteria 1. Jangka pendek

a. Peningkatan barang-barang produk industri lokal

b. Peningkatan peranserta masyarakat dalam pengembangan produk industri lokal

c. Peningkatan kinerja perekonomian daerah. d. Pengembangan potensi daerah dengan tetap

memperhatikan dayadukung lingkungan. e. Kesesuaian dengan tata ruang wilayah. 2. Jangka

panjang

a. Peningkatan barang dan jasa produk industri lokal b. Masuknya investasi swasta dan swasta asing dalam

pengembangan produk industri lokal

c. Peningkatan jaringan kerja dengan daerah/ negara lain d. Peningkatan nilai tambah wilayah dengan tetap

memperhatikan keseimbangan lingkungan

e. Pemanfaatan ruang wilayah dengan perencanaan terpadu antar sektor

a. Skenario jangka pendek.

Mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan industri ramah lingkungan dengan tetap berbasis pada potensi dan sumberdaya daerah. Skenario ini menjadi sangat mendasar, karena didukung oleh fakta-fakta sebagai berikut:

1. Sudah sejak satu dekade terakhir, industri telah menjadi sektor utama penyangga perekonomian Kabupaten Serang.

2. Kabupaten Serang memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar yang belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal.

3. Kabupaten Serang memiliki jumlah penduduk yang besar yang merupakan pasar tenaga kerja yang sangat potensial.

b. Skenario jangka panjang.

Mengelola lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten sebagai kawasan

eco-industrial tourism yang berbasis pada keunggulan industri yang ramah

lingkungan dan pesona keindahan alam wilayah tropika. Skenario ini dipandang cukup visible, mengingat:

(7)

1. Industri yang ramah lingkungan selain merupakan sektor penyangga perekonomian daerah juga merupakan asset yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan wisata.

2. Pesona keindahan alam wilayah pesisir dan laut Teluk Banten merupakan kekayaan khas daerah tropika yang tidak akan bisa dijumpai padanannya di daerah-daerah lain. Pulau-pulau indah yang tak berpenghuni dapat dijadikan kawasan konsesi dan dikelola bersama baik oleh swasta, pemerintah maupun masyarakat.

5.1.2 Kelayakan Pengelolaan Sumberdaya

a. Sumberdaya/Habitat Mangrove

1. Sustainable Management

Kabupaten Serang memiliki hutan mangrove dengan luas total mencapai 300 ha yang tersebar di pesisir Teluk Banten dan pesisir Selat Sunda (Pulau Sangiang) (Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB, 2004). Dengan luas hutan mangrove

di Pulau Sangiang mencapai 5% dari total luas hutan mangrove di Kabupaten Serang, luas hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten diperkirakan mencapai 285 ha. Hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten tersebar di pantai tenggara Pulau Panjang, di pantai timur Pulau Pamujan Besar, di cagar alam Pulau Dua dan di sepanjang pantai di wilayah Kecamatan Pontang dan Tanara.

Pada opsi sustainable management, benefit yang diperoleh dari pengelolaan hutan mangrove berasal dari standing stock, kemampuan mangrove dalam menyediakan habitat perikanan, kehidupan liar (wildlife), biodiversitas, physical

value dan existence value. Biaya yang harus dikeluarkan berupa investment cost,

biaya pemeliharaan dan eksploitasi standing stock, fishing cost serta biaya pemanfaatan kehidupan liar.

Dari data-data analisis biaya manfaat konservasi habitat di Selat Malaka yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), diketahui bahwa estima si nilai

standing stock hutan mangrove (mencapai USD 165/ha/th), didasarkan pada

volume log berdiameter 10 cm atau lebih dan tingkat eksploitasi yang diizinkan untuk kepentingan sustainable use selama 20 tahun masa pengelolaan (19.305

(8)

ha/th). Estimasi nilai mangrove dalam fungsinya sebagai penyedia habitat bagi berbagai jenis ikan (mencapai USD 1.522,24/ha/th), didasarkan pada nilai produksi perikanan di seputar hutan. Estimasi nilai kehidupan liar di dalam ekosistem mangrove (mencapai USD 8,22/ha/th), didasarkan pada kekayaan spesies seperti burung, mamalia dan reptil yang dimiliki hutan ini. Estimasi nilai biodiversitas (keanekaragaman hayati) ekosistem mangrove (mencapai USD 15/ha/th), disetarakan dengan nilai biodiversitas hutan hujan tropis (tropical rain

forest) dengan fungsi ekologi tinggi.

Data-data tersebut juga menunjukkan, bahwa investment cost pengelolaan hutan mangrove diestimasi mencapai USD 190,39/ha/5th. Biaya pemeliharaan dan eksploitasi standing stock USD 30/m3 dan USD 78,57/ha/th; dengan demikian total biaya pemeliharaan dan eksploitasi mangrove (19.305 ha) mencapai USD 102,93/ha/th. Fishing cost sumberdaya perikanan di sekeliling hutan mangrove

diestimasi mencapai USD 681,95/ha/th; sedangkan biaya pemanfaatan kehidupan liar di dalam area hutan mangrove mencapai USD 0,59/ha/th. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi sustainable

management disajikan pada Tabel 33. Berdasarkan data-data tersebut, dengan luas

total mencapai 285 ha, benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable management disajikan pada Tabel 34.

2. Sylvofisheries

Opsi ini didasarkan pada asumsi 20% luas hutan mangrove digunakan untuk

sylvofisheries dan sisanya (228 ha) untuk sustainable management. Berdasarkan

kondisi ini, data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998) menunjukkan bahwa benefit dari milkfish sylvofishery diestimasi mencapai USD 224,03/ha/th, polyculturesylvofishery USD 447,49/ha/th, dan shrimp sylvofishery

USD 1.249,84/ha/th. Externality cost (mencapai USD 825,91/ha/th), diestimasi berdasarkan hilangnya nilai ekonomi 20% hutan mangrove (57 ha) akibat aktivitas

sylvofisheries. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan

mangrove pada opsi sylvofisheries management disajikan pada Tabel 35.

(9)

20% luas hutan mangrove digunakan untuk sylvofisheries, benefit dan cost

pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi

sylvofisheries management disajikan pada Tabel 36.

Tabel 33. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi

sustainable management

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/ha/th) Asumsi

Benefit Standing stock 165,00 konstan per tahun

Perikanan 1.522,24 konstan per tahun Kehidupan liar 8,22 konstan per tahun Biodiversitas 15,00 konstan per tahun

Physical value 726,26 konstan per tahun

Existence value 2.516,40 konstan per tahun

Cost Investment cost 190,39 konstan per 5 tahun

Standing stock 102,93 konstan per tahun

Perikanan 681,95 konstan per tahun

Kehidupan liar 0,59 konstan per tahun Kusumastanto et al.(1998)

Tabel 34. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable management

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/th) Asumsi

Benefit Standing stock 47.025,00 konstan per tahun

Perikanan 433.838,40 konstan per tahun Kehidupan liar 2.342,70 konstan per tahun Biodiversitas 4.275,00 konstan per tahun

Physical value 206.984,10 konstan per tahun

Existence value 717.174,00 konstan per tahun

Cost Investment cost 54.261,15 konstan per 5 tahun

Standing stock 29.335,05 konstan per tahun

Perikanan 194.355,75 konstan per tahun Kehidupan liar 168,15 konstan per tahun

(10)

Tabel 35. Estimasi benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove pada opsi

sylvofishery(milkfish)1,( polyculture)2,dan (shrimp)3management

Benefit-cost Komponen Nilai (USD/ha/th) Asumsi

Benefit Sylvofishery1 224,03 konstan per tahun

Sylvofishery2 447,49 konstan per tahun

Sylvofishery3 1.248,64 konstan per tahun

Standing stock 132,00 konstan per tahun

Perikanan 1.217,79 konstan per tahun Hidupan liar 6,58 konstan per tahun Biodiversitas 12,00 konstan per tahun

Physical value 581,02 konstan per tahun

Existence value 2.013,12 konstan per tahun

Cost Investment cost1 30,45 konstan per 5 tahun

Investment cost2 36,18 konstan per 5 tahun

Investment cost3 153,47 konstan per 5 tahun

Sylvofishery1 46,24 konstan per tahun

Sylvofishery2 47,53 konstan per tahun

Sylvofishery3 215,49 konstan per tahun

Standing stock 82,34 konstan per tahun

Perikanan 545,56 konstan per tahun

Hidupan liar 0,47 konstan per tahun Eksternalitas 825,91 konstan per tahun

Kusumastanto et al.(1998)

Berdasarkan data-data pada Tabel 33, 34, 35 dan 36 dilakukan analisis kelayakan untuk setiap opsi pengelolaan hutan mangrove dengan hasil disajikan pada Tabel 37. Secara grafis, distribusi NPV untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Gambar 7. Perhitungan secara detail aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran 2, 3, 4 dan 5. Dari Tabel 37 diketahui bahwa semua opsi pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dinilai layak untuk dijalankan. Hal ini diindikasikan oleh kriteria kelayakan pengelolaan yang menunjukkan nilai yang layak: NPV dari semua opsi pengelolaan bernilai positif dan BCR dari semua opsi pengelolaan bernilai lebih dari 1.

(11)

Tabel 36. Benefit dan cost pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery(milkfish)1,(polyculture)2,dan

(shrimp)3management

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/th) Asumsi

Benefit Sylvofishery1 12.769,71 konstan per tahun

Sylvofishery2 25.506,93 konstan per tahun

Sylvofishery3 71.172,48 konstan per tahun

Standing stock 37.620,00 konstan per tahun

Perikanan 347.070,15 konstan per tahun Hidupan liar 1.875,30 konstan per tahun Biodiversitas 3.420,00 konstan per tahun

Physical value 165.590,70 konstan per tahun

Existence value 573.739,20 konstan per tahun

Cost Investment cost1 1.735,65 konstan per 5 tahun

Investment cost2 2.062,26 konstan per 5 tahun

Investment cost3 8.747,79 konstan per 5 tahun

Sylvofishery1 2.635,68 konstan per tahun

Sylvofishery2 2.709,21 konstan per tahun

Sylvofishery3 12.282,93 konstan per tahun

Standing stock 23.466,90 konstan per tahun

Perikanan 155.484,60 konstan per tahun Hidupan liar 133,95 konstan per tahun Eksternalitas 235.384,35 konstan per tahun

Tabel 37. Hasil analisis kelayakan dari beberapa opsi pengelolaan hutan

mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR Hasil analisis

1. Sustainable management 4.956.640,85 5,96 layak

2. Milkfish sylvofishery 3.066.800,88 2,74 layak

3. Polyculture sylvofishery 3.118.918,91 2,76 layak

(12)

0,00 2.000.000,00 4.000.000,00 6.000.000,00 sustainable management milkfish sylvofishery polyculture sylvofishery shrimp sylvofishery opsi pengelolaan NPV (USD)

Gambar 7. Distribusi NPV dari beberapa opsi pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.

b. Shallow Water Resources

1. Coral Reef Protected Areas

Luas total ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten diperkirakan mencapai 250 ha (Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB, 2004). Ekosistem terumb u karang tersebar di sekeliling pulau-pulau kecil, terutama Pulau Panjang. Pulau-pulau kecil lainnya yang dikelilingi terumbu karang adalah Pulau Kubur, Pulau Kambing, Pulau Lima, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Tarahan, Pulau Tanjungbatu, Pulau Cikantung, Pulau Kamanisan dan Pulau Kali. Selain itu terumbu karang juga dijumpai di sekitar Tanjung Awuran, Tanjung Kopo, Tanjung Gorenjang dan di pantai timur Argawana.

Pengelolaan shallow water resources pada opsi coral reef protected areas

berpotensi menghasilkan baik direct maupun indirect benefit. Direct benefit yang dihasilkan berupa nilai ekonomi coral fisheries (antara lain ornamental fish, coral fish dan coral shrimp) serta seaweed harvesting. Indirect benefit yang diperoleh antara lain berupa nilai biodiversitas dan coastal protection. Dari data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), diketahui bahwa estimasi nilai coral

fisheries ekosistem terumbu karang mencapai USD 202,13/ha/th; sedangkan nilai

seaweed harvesting-nya mencapai USD 9.174/ha/th. Terumbu karang merupakan

(13)

biodiversitas dan potensi sumberdaya genetik yang dimiliki. Nilai biodiversitas ekosistem terumbu karang disetarakan dengan ekosistem yang memiliki biodiversitas alami dan nilai ekologi tinggi seperti hutan hujan tropis (tropical

rain forest), yakni mencapai USD 15/ha/th. Ekosistem terumbu karang juga

berperan penting dalam perlindungan pantai. Nilai perlindungan pantai diestimasi menggunakan pendekatan analogi (analogical approach); yaitu disetarakan dengan nilai pembangunan fasilitas breakwater. Dengan asumsi ini, nilai coastal

protection ekosistem terumbu karang diestimasi mencapai USD 555,27/ha/th.

Selain memperoleh benefit, pengelolaan shallow water resources pada opsi

coral reef protected areas juga menanggung direct cost. Ada dua macam direct

cost, yaitu direct cost untuk coral fisheries dan direct cost untuk seaweed

harvesting. Direct cost untuk coral fisheries terdiri dari investment cost, annual

cost, operational cost dan mitigation cost. Direct cost untuk seaweed harvesting

berupa investment cost, annual cost dan operational cost. Berkaitan dengan hal tersebut, data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998) juga menunjukkan, bahwa untuk coral fisheries, investment cost antara lain digunakan untuk pengadaan boat, mesin 11 PK, jaring, kompas dan tali slambar dengan estimasi nilai mencapai USD 8.320/ha/20th. Annual cost digunakan untuk pemeliharaan dan biaya akibat depresiasi nilai dari alat-alat tersebut dengan estimasi nilai mencapai USD 3.064,52/ha/th. Operational cost digunakan untuk kepentingan pembelian bahan habis pakai seperti solar, oli dan es dengan estimasi nilai mencapai USD 1.019,04/ha/th. Mitigation cost digunakan untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan dampak dari aktivitas coral fisheries yang dilakukan. Nilainya diestimasi berdasarkan analogi terhadap alokasi dana yang disediakan oleh Asian Development Bank (ADB) untuk COREMAP (coral reef

rehabilitation and management project), yakni mencapai USD 5,75/ha/th. Untuk

seaweed harvesting, investment cost antara lain digunakan untuk pengadaan rift

boat, keranjang, pisau, culture box, alat pengering, jaring, anker dan tali rafia dengan estimasi nilai mencapai USD 2.736/ha/5th. Annual cost digunakan untuk pemeliharaan dan biaya akibat depresiasi alat-alat tersebut dengan estimasi nilai mencapai USD 874,64/ha/th. Operational cost digunakan untuk pembelian bahan habis pakai seperti solar dan oli dengan estimasi nilai mencapai USD

(14)

774,56/ha/th. Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow

water resources pada opsi coral reef protected areas disajikan pada Tabel 38.

Berdasarkan data-data tersebut, dengan luas total mencapai 250 ha, benefit dan

cost pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi coral reef protected areas disajikan pada Tabel 39.

Tabel 38. Estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water resources pada opsi coral reef protected areas

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/ha/th) Asumsi

Benefit Coral fisheries 202,13 konstan per tahun

Seaweed harvesting 9.174,00 konstan per tahun

Biodiversitas 15,00 konstan per tahun

Coastal protection 555,27 konstan per tahun

Cost Coral fisheries:

Investment cost 8.320,00 konstan per 20 tahun

Annual cost 3.064,52 konstan per tahun

Operational cost 1.019,04 konstan per tahun

Mitigation cost 5,75 konstan per tahun

Seaweed harvesting:

Investment cost 2.736,00 konstan per 5 tahun

Annual cost 874,64 konstan per tahun

Operational cost 774,56 konstan per tahun

Kusumastanto et al. (1998)

2. Sustainable Harvest

Opsi sustainable harvest memberikan direct benefit berupa seaweed

harvesting dan indirect benefit berupa nilai biodiversitas. Selain itu, opsi ini juga

memberikan konsekuensi tiga macam komponen biaya, yakni investment cost,

annual cost dan variable cost. Berdasarkan data-data yang digunakan oleh

Kusumastanto et al. (1998), nilai seaweed harvesting pada opsi ini diestimasi sama dengan nilai seaweed harvesting pada opsi coral reef protected areas

(mencapai USD 9.174/ha/th). Nilai biodiversitasnya disetarakan dengan ekosistem yang memiliki fungsi ekologi tinggi (tropical rain forest) (mencapai USD 15/ha/th).

(15)

Tabel 39. Benefit dan cost pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi coral reef protected areas

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/th) Asumsi

Benefit Coral fisheries 50.532,50 konstan per tahun

Seaweed harvesting 2.293.500,00 konstan per tahun

Biodiversitas 3.750,00 konstan per tahun

Coastal protection 138.817,50 konstan per tahun

Cost Coral fisheries:

Investment cost 2.080.000,00 konstan per 20 tahun

Annual cost 766.130,00 konstan per tahun

Operational cost 254.760,00 konstan per tahun

Mitigation cost 1.437,50 konstan per tahun

Seaweed harvesting:

Investment cost 684.000,00 konstan per 5 tahun

Annual cost 218.660,00 konstan per tahun

Operational cost 193.640,00 konstan per tahun

Tiga macam komponen biaya budidaya rumput laut pada opsi ini diestimasi setara dengan tiga macam komponen biaya seaweed harvesting pada opsi coral reef

protected areas (mencapai USD 2.736/ha/5th untuk investment cost, USD

874,64/ha/th untuk annual cost dan USD 774,56/ha/th untuk variable cost). Secara keseluruhan, estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water

resources pada opsi sustainable harvest disajikan pada Tabel 40. Berdasarkan

data-data tersebut, dengan luas total mencapai 250 ha, benefit dan cost

pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable harvest disajikan pada Tabel 41. Berdasarkan data-data pada Tabel 38, 39, 40 dan 41, dilakukan analisis kelayakan untuk setiap opsi pengelolaan shallow water resources dengan hasil disajikan pada Tabel 42.Secara grafis, distribusi NPV untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Gambar 8. Perhitungan secara detail aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Dari Tabel 42 diketahui bahwa semua opsi pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dinilai layak untuk dijalankan. Hal ini diindikasikan oleh kriteria kelayakan pengelolaan yang menunjukkan nilai yang layak: NPV dari semua opsi pengelolaan bernilai positif dan BCR dari semua opsi pengelolaan bernilai lebih dari 1.

(16)

Tabel 40. Estimasi benefit dan cost pengelolaan shallow water resources pada opsi sustainable harvest

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/ha/th) Asumsi

Benefit Seaweeds harvesting 9.174,00 konstan per tahun

Biodiversitas 15,00 konstan per tahun

Cost Investment cost 2.736,00 konstan per 5 tahun

Annual cost 874,64 konstan per tahun

Variable cost 774,56 konstan per tahun

Kusumastanto et al. (1998)

Tabel 41. Benefit dan cost pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi sustainable harvest

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/th) Asumsi

Benefit Seaweed harvesting 2.293.500,00 konstan per tahun

Biodiversitas 3.750,00 konstan per tahun

Cost Investment cost 684.000,00 konstan per 5 tahun

Annual cost 218.660,00 konstan per tahun

Variable cost 193.640,00 konstan per tahun

Tabel 42. Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan shallow water

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR Hasil analisis

1. Coral reef protected areas 1.659.268,64 1,35 layak

2. Sustainable harvest 7.076.463,52 3,97 layak

0,00 3.000.000,00 6.000.000,00 9.000.000,00

coral reef protected areas sustainable harvest

opsi pengelolaan

NPV (USD)

Gambar 8. Distribusi NPV dari dua opsi pengelolaan shallow water resources

(17)

c. Beach Resources

1. Beach Protected Areas

Secara keseluruhan, Provinsi Banten memiliki pantai sepanjang 816,99 km (Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB, 2004). Kabupaten Serang sendiri memiliki pantai sepanjang 233 km. Teluk Banten memiliki panjang pantai mencapai 80 km (termasuk pantai dari pulau-pulau kecil yang terdapat di sekitar teluk); terentang dari Tanjung Awuran (Kecamatan Puloampel) di sebelah barat sampai muara Sungai Cidurian (Kecamatan Tanara) di sebelah timur.

Pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas selain berpotensi menghasilkan direct dan indirect benefit, juga beresiko menanggung

direct cost. Direct benefit yang diperoleh berasal dari aktivitas wisata dan

aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran yang dapat dikembangkan di area ini serta pemanenan telur penyu. Indirect benefit yang diperoleh berupa nilai kehidupan liar dan shoreline protection. Direct cost yang harus ditanggung berupa investment cost dan maintenance cost untuk bungalow

(hotel) dan restoran serta maintenance cost penyu. Direct benefit dan cost dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain dihitung berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh direktorat jenderal pariwisata, sedangkan benefit dari pemanenan telur penyu dan biaya pemeliharaannya dihitung berdasarkan analogi dari kegiatan serupa yang dilakukan di pantai selatan Jawa Barat. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), estimasi

benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas

disajikan pada Tabel 43. Berdasarkan data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 80 km, benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi beach protected areas disajikan pada Tabel 44.

2. Set Back Zone

Opsi set back zone, selain berpotensi menghasilkan direct dan indirect

benefit, juga beresiko menanggung direct cost. Direct benefit yang dihasilkan

berasal dari aktivitas wisata dan aktivitas ekonomi lain seperti bungalow (hotel) dan restoran. Indirect benefit yang diperoleh berupa shoreline protection. Direct cost yang harus ditanggung berupa investment cost dan maintenance cost untuk

(18)

bungalow (hotel) dan restoran. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data yang digunakan oleh Kusumastanto et al. (1998), estimasi benefit dan cost pengelolaan

beach resources pada opsi set back zone disajikan pada Tabel 45. Berdasarkan

data-data tersebut, dengan panjang pantai mencapai 80 km, benefit dan cost

pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi

set back zone disajikan pada Tabel 46. Berdasarkan data-data pada Tabel 43, 44,

45 dan 46 dilakukan analisis kelayakan untuk setiap opsi pengelolaan beach

resources dengan hasil disajikan pada Tabel 47. Secara grafis, distribusi NPV

untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Gambar 9. Perhitungan secara detail

aliran benefit dan cost untuk setiap opsi pengelolaan disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Dari Tabel 47 diketahui bahwa semua opsi pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dinilai layak untuk dijalankan. Hal ini diindikasikan oleh kriteria kelayakan pengelolaan yang menunjukkan nilai yang layak: NPV dari semua opsi pengelolaan bernilai positif dan BCR dari semua opsi pengelolaan bernilai lebih dari 1.

Tabel 43. Estimasi benefit dan costpengelolaan beach resources pada opsi beach protected areas

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/km/ th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 15.024,00 konstan per tahun

Bungalow (hotel) 9.659.220,48 konstan per tahun

Restoran 1.614.351,20 konstan per tahun Pemanenan telur penyu 224.640,00 konstan per tahun Hidupan liar 5.974,71 konstan per tahun

Shoreline protection 4.000.000,00 konstan per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 7.152.240,00 konstan per 10 tahun

Restoran 1.760.000,00 konstan per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 572.179,20 konstan per tahun

Restoran 140.800,00 konstan per tahun

Penyu 1,85 konstan per tahun

(19)

Tabel 44. Benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi beach protected areas

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 1.201.920,00 konstan per tahun

Bungalow (hotel) 772.737.638,40 konstan per tahun

Restoran 129.148.096,00 konstan per tahun Pemanenan telur penyu 17.971.200,00 konstan per tahun Hidupan liar 477.976,80 konstan per tahun

Shoreline protection 320.000.000,00 konstan per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 572.179.200,00 konstan per 10 tahun

Restoran 140.800.000,00 konstan per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 45.774.336,00 konstan per tahun

Restoran 11.264.000,00 konstan per tahun

Penyu 148,00 konstan per tahun

Tabel 45. Estimasi benefit dan cost pengelolaan beach resources pada opsi set back zone

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/km/ th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 18.780,00 konstan per tahun

Bungalow (hotel) 12.074.025,60 konstan per tahun

Restoran 2.017.939,00 konstan per tahun

Shoreline protection 4.000.000,00 konstan per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 8.490.300,00 konstan per 10 tahun

Restoran 2.220.000,00 konstan per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 849.030,00 konstan per tahun

Restoran 222.000,00 konstan per tahun Kusumastanto et al. (1998)

(20)

Tabel 46. Benefit dan cost pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten pada opsi set back zone

Benefit-cost Komponen Nilai

(USD/th) Asumsi

Benefit Wisata pantai 1.502.400,00 konstan per tahun

Bungalow (hotel) 965.922.048,00 konstan per tahun

Restoran 161.435.120,00 konstan per tahun

Shoreline protection 320.000.000,00 konstan per tahun

Cost Investment cost:

Bungalow (hotel) 679.224.000,00 konstan per 10 tahun

Restoran 177.600.000,00 konstan per 10 tahun

Maintenance cost:

Bungalow (hotel) 67.922.400,00 konstan per tahun

Restoran 17.760.000,00 konstan per tahun

Tabel 47. Hasil analisis kelayakan dari dua opsi pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR Hasil analisis

1. Beach protected areas 4.286.609.192,48 7,30 layak

2. Set back zone 4.896.186.866,75 6,54 layak

3.500.000.000,00 4.000.000.000,00 4.500.000.000,00 5.000.000.000,00

beach protected areas set back zone

opsi pengelolaan

NPV(USD)

Gambar 9. Distribusi NPV dari dua opsi pengelolaan beach resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.

(21)

5.1.3 Opsi Pengelolaan Sumberdaya

Untuk menentukan opsi pengelolaan sumberdaya alam yang paling layak dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten, dibuat peringkat dari beberapa opsi pengelolaan yang ada dengan menggunakan teknik perbandingan indeks kinerja.

a. Opsi Pengelolaan Sumberdaya/Habitat Mangrove

Penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dilakukan menggunakan matriks awal yang disajikan pada Tabel 48. Hasil penilaian berupa matriks hasil transformasi pada Tabel 49.

Tabel 48. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/ habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan Kriteria

NPV (USD) BCR 1. Sustainable management 4.956.640,85 5,96 2. Milkfish sylvofishery 3.066.800,88 2,74 3. Polyculture sylvofishery 3.118.918,91 2,76 4. Shrimp sylvofishery 3.263.940,88 2,80 Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 49. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan Kriteria Nilai

opsi Peringkat NPV (USD) BCR 1. Sustainable management 161,6 217,5 195,1 1 2. Milkfish sylvofishery 100,0 100,0 100,0 4 3. Polyculture sylvofishery 101,7 100,7 101,1 3 4. Shrimp sylvofishery 106,4 102,2 103,9 2 Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 49 menunjukkan, bahwa nilai opsi pengelolaan 1,2,3 dan 4 masing-masing adalah 195,1; 103,9; 101,1 dan 100,0. Berdasarkan nilai tersebut, maka opsi pengelolaan 1 yaitu sustainable management menempati peringkat 1, disusul oleh shrimp sylvofishery menempati peringkat 2, polyculture sylvofishery

(22)

menempati peringkat 3 dan milkfish sylvofishery menempati peringkat 4. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sustainable management merupakan opsi pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Melalui opsi ini, konversi mangrove yang berlangsung secara massive dinilai perlu segera dihentikan; bahkan penanaman kembali lahan mangrove yang kini telah beralih fungsi perlu mendapatkan prioritas.

b. Opsi Pengelolaan Shallow Water Resources

Penilaian opsi pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dilakukan menggunakan matriks awal yang disajikan pada Tabel 50. Hasil penilaian berupa matriks hasil transformasi pada Tabel 51.

Tabel 50. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan shallow water

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR

1. Coral reef protected areas 1.659.268,64 1,35

2. Sustainable harvest 7.076.463,52 3,97

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 51. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan shallow

water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No Opsi pengelolaan Kriteria Nilai

opsi Peringkat NPV (USD) BCR

1. Coral reef protected areas 100,0 100,0 100,0 2

2. Sustainable harvest 426,5 294,1 347,1 1

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 51 menunjukkan, bahwa nilai opsi pengelolaan 1 dan 2 masing-masing adalah 347,1 dan 100,0. Berdasarkan nilai tersebut, maka opsi pengelolaan 1 yaitu sustainable harvest menempati peringkat 1, disusul oleh coral reef

protected areas yang menempati peringkat 2. Hasil ini juga menunjukkan bahwa

sustainable harvest merupakan opsi pengelolaan shallow water resources yang

(23)

Melalui opsi ini, perlu dilakukan penataan kembali berbagai kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat agar tetap memenuhi standard

kelayakan ekologis yang telah ditetapkan dan peningkatan produktivitas secara berkesinambungan.

c. Opsi Pengelolaan Beach Resources

Penilaian opsi pengelolaan beachresources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dilakukan menggunakan matriks awal yang disajikan pada Tabel 52. Hasil penilaian berupa matriks hasil transformasi pada Tabel 53.

Tabel 52. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan beach resources

di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR

1. Beach protected areas 4.286.609.192,48 7,30

2. Set back zone 4.896.186.866,75 6,54

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 53. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan beach

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No Opsi pengelolaan Kriteria Nilai

opsi

Peringkat NPV (USD) BCR

1. Beach protected areas 100,0 111,6 107,0 1

2. Set back zone 114,2 100,0 105,7 2

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 53 menunjukkan, bahwa nilai opsi pengelolaan 1 dan 2 masing-masing adalah 107,0 dan 105,7. Berdasarkan nilai tersebut, maka opsi pengelolaan 1 yaitu beach protected areas menempati peringkat 1, disusul oleh set back zone

yang menempati peringkat 2. Hasil ini juga menunjukkan bahwa beach protected

areas merupakan opsi pengelolaan beach resources yang dinilai paling layak

dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Melalui opsi ini, perlu dilakukan berbagai langkah nyata untuk melindungi wilayah pantai, mengingat kecenderungan yang terjadi selama ini menunjukkan, bahwa berbagai proses baik yang bersifat alami maupun antropogenik seperti abrasi, akresi dan reklamasi

(24)

pantai, cenderung menimbulkan dampak yang merugikan baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial.

5.1.4 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang

a. KebijakanPemanfaatan Ruang

Dengan mengacu pada UU No. 26/2007 tentang penataan ruang, dipahami bahwa kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah merupakan syarat paling mendasar yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemeliharaan lingkungan yang baik. Untuk mengakomodasi kepentingan tersebut,

strategicinvestment planning yangdiimplementasikan dalam konteks sustainable

spatial planning merupakan opsi yang sangat mungkin untuk dilakukan

(Kementerian Lingkungan Hidup, 2001).

Dalam kerangka otonomi daerah, kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dilakukan dengan memperhatikan pola kemitraan

(partnership) antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam rangka

menciptakan sense of belonging dan sense of developing dari para stakeholders. Disain pemanfaatan ruang wilayah dirancang dalam kerangka pemanfaatan ruang berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan geografik dari berbagai kegiatan ekonomi yang ada dan mengurangi beban ekologik pada bagian wilayah yang telah overburden. Untuk mengembangkan kebijakan yang bersifat conserving the

biodiversity, disain pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut Teluk Banten juga

dirancang dengan memperhatikan beberapa aspek penting seperti koridor-koridor ekologi, buffer zones, rural zones dan integrasi perencanaan antara daratan dan lautan.

b. Pemanfaatan Ruang Darat (Existing Condition) dan Pergeseran Garis

Pantai

Berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini, secara garis besar kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten dibedakan menjadi 2 bagian wilayah. Bagian pertama adalah kecamatan-kecamatan di wilayah timur Teluk Banten yang merupakan rural area dengan lokasi permukiman penduduk tersebar dan pemanfaatan ruang utama berupa sawah tadah hujan dan tambak (perikanan budidaya). Vegetasi alami yang dijumpai di wilayah ini adalah mangrove yang

(25)

menempati area yang relatif sempit di kawasan pantai. Bagian wilayah ini meliputi kecamatan-kecamatan Kasemen, Pontang, Tirtayasa dan Tanara. Di kecamatan Kasemen, terdapat Kota Banten Lama, sebuah situs purbakala yang secara keruangan sebenarnya hanya menempati wilayah yang kecil saja, tetapi mempunyai nilai sejarah yang tinggi.

Bagian kedua adalah kecamatan-kecamatan di wilayah barat Teluk Banten yang juga masih merupakan rural area dengan lokasi permukiman penduduk tersebar tetapi dengan pemanfaatan ruang utama berupa semak belukar/hutan dan tegalan/ladang. Bagian wilayah ini meliputi kecamatan-kecamatan Puloampel, Bojonegara dan Kramatwatu. Semak belukar terdapat di daerah perbukitan di sekeliling Gunung Gede (masuk dalam wilayah kecamatan Bojonegara dan Puloampel); sedangkan lahan hutan dijumpai di Kecamatan Bojonegara dan Kramatwatu.

Dari perspektif biofisik, kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh perkembangan dua kota utama di sebelah selatan teluk, yaitu Serang dan Cilegon. Secara ekologis, Serang berlokasi di catchment area Sungai Cibanten yang dicirikan oleh tingginya aktivitas permukiman dan pertanian. Melalui Sungai Cibanten, limbah domestik yang berasal dari Serang dan limbah pertanian dari daerah-daerah di sekitarnya dialirkan ke Teluk Banten. Cilegon berlokasi di catchment area Sungai Cilengkong yang dicirikan oleh aktivitas perindustrian dengan intensitas yang tinggi. Melalui Sungai Cilengkong, limbah industri yang berasal dari Cilegon dan daerah-daerah di sekitarnya juga dialirkan ke Teluk Banten. Selain Kota Serang dan Cilegon, di bagian timur Kabupaten Serang kini tengah berkembang Kragilan, sebuah pusat pertumbuhan baru yang semakin padat oleh aktivitas perindustrian dan permukiman. Secara ekologis, Kragilan yang berlokasi di catchment area Sungai Ciujung mengalirkan limbah industri dan domestik dari daerah-daerah di sekitarnya ke Teluk Banten melalui sungai tersebut.

Di antara keseluruhan pulau yang tersebar di wilayah perairan Teluk Banten, Pulau Panjang merupakan pulau terbesar yang dihuni oleh sekitar 2.500 penduduk dengan pemanfaatan lahan utama berupa pertanian/perkebunan. Di pulau-pulau lainnya, lahan yang ada digunakan sebagai wilayah perlindungan

(26)

alam. Kondisi pemanfaatan ruang darat di tujuh kecamatan pesisir Teluk Banten disajikan pada Gambar 10.

Di sepanjang pantai barat Teluk Banten, sejak tahun 1999 telah berlangsung aktivitas reklamasi pantai yang cukup intensif. Reklamasi pantai adalah aktivitas pengurugan laut untuk diubah menjadi daratan. Area reklamasi yang kini luasnya telah mencapai ±180 ha itu berlokasi di Desa Bojonegara, Argawana, Mangureja, dan Margagiri. Lahan hasil reklamasi digunakan untuk keperluan pembangunan pelabuhan (harbour), jetty dan industri. Aktivitas reklamasi yang berlangsung intensif berdampak pada terjadinya pergeseran garis pantai di Kecamatan Bojonegara seperti diilustrasikan pada Gambar 11. Aktivitas reklamasi pantai di Kecamatan Bojonegara merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup komunitas padang lamun di sekitar pulau-pulau kecil seperti Pulau Tanjungbatu, Pulau Cikantung dan Pulau Kamanisan.

Pergeseran garis pantai yang terjadi di pesisir Teluk Banten, tidak hanya disebabkan oleh aktivitas reklamasi saja, tetapi juga karena akresi dan abrasi. Akresi adalah bertambah luasnya daratan yang berbatasan dengan laut karena proses sedimentasi, baik oleh aktivitas sungai maupun air laut di sekitarnya. Di pesisir Teluk Banten, akresi dijumpai di daerah Tanjung Tengkurak, dimulai dari Desa Tengkurak memanjang ke arah utara, searah dengan aliran Sungai Ciujung sampai ke Tanjung Tengkurak. Pertambahan luas daratan yang terjadi karena akresi sejak tahun 1942 sampai tahun 2002 diperkirakan mencapai 26 km2.

Abrasi adalah berkurangnya daratan yang berbatasan dengan laut sebagai akibat dari kegiatan air laut, ombak dan arus. Abrasi biasanya meninggalkan jejak berupa garis pantai yang bergerigi dengan tebing berbentuk cliff berukuran rendah (kurang dari 1 m) atau bentuk-bentuk lain sesuai dengan keadaan topografi pantai sebelum abrasi terjadi. Di pesisir Teluk Banten, abrasi dijumpai di daerah Tanjung Pontang dengan pengurangan hingga 2 km ke arah darat dengan luasan mencapai 5.857 km2 (sejak tahun 1942 sampai tahun 2002). Abrasi juga terjadi di bagian utara Desa Lontar dengan pengurangan hingga 1 km ke arah darat (sejak tahun 1962 sampai tahun 2002). Abrasi yang terjadi di pantai timur Teluk Banten tidak terlepas dari tingginya intensitas konversi mangrove menjadi tambak. Di lokasi terjadinya abrasi, lahan mangrove yang dulu ada bahkan kini telah hilang sama

(27)

sekali. Pergeseran garis pantai akibat akresi di daerah Tanjung Tengkurak dan abrasi di daerah Tanjung Pontang dan Desa Lontar diilustrasikan pada Gambar 12.

c. Arahan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Darat

Pemanfaatan ruang darat di kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten akan mengalami perubahan mendasar di masa yang akan datang, terutama di wilayah barat, seiring dengan rencana Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Kabupaten Serang yang akan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pertumbuhan pembangunan berskala besar. Pusat pertumbuhan itu merupakan perluasan dari urban area Cilegon-Serang, dan perluasan dari aksis pertumbuhan kota Cilegon-Serang-Ciruas di sepanjang koridor tol Jakarta-Merak. Pusat pertumbuhan baru tersebut sekaligus juga merupakan pengembangan dari kawasan industri di Kecamatan Bojonegara, yang bermula dari lingkaran industri di sekitar Gunung Gede, dan perluasan kawasan industri Kragilan di sepanjang Sungai Ciujung di sebelah timur. Pesatnya perkembangan pemanfaatan ruang di wilayah barat, tidak serta merta diikuti oleh perkembangan yang sama di wilayah timur Teluk Banten. Lahan sawah tadah hujan dan tambak yang membentang luas di wilayah timur relatif belum tersentuh perubahan selain oleh perluasan permukiman perdesaan (rural settlements) dalam skala kecil.

Kondisi perekonomian yang collapsed karena krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998, sempat menunda pelaksanaan sejumlah besar proyek pembangunan di wilayah barat Teluk Banten. Dua buah proyek pembangunan berskala besar yang sempat tertunda pelaksanaannya kala itu, kini telah mulai dilanjutkan kembali, bahkan dengan luasan wilayah yang jauh lebih besar. Kedua buah proyek itu adalah pembangunan Pelabuhan Internasional Bojonegara (PIB) di wilayah barat bagian utara sepanjang 4,2 km dan pembangunan sebuah

industrial estate seluas 1.300 ha di wilayah barat bagian selatan. Pemerintah

Provinsi Banten telah menyiapkan lahan seluas 5.000 ha yang berlokasi di 3 kecamatan: Puloampel, Bojonegara dan Kramatwatu untuk pengembangan zona ekonomi khusus PIB (Kompas, 20 Februari 2007). Dalam rencana umum tata ruang Kabupaten Serang bahkan disebutkan, secara keseluruhan, pengembangan zona industri di wilayah barat Teluk Banten memerlukan lahan seluas 11.000 ha.

(28)

T E L U K B A N T E N L A U T J A W A P . K a li P . T a r a h a n P . K a m b i n g P . K u b u r P . D u a T g . P o n t a n g P . P a m u j a n K e c il P . P a m u j a n B e s a r P . P a n j a n g N LE G E N D A : P r o y e k s i : Tra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e r s a l T r a n s v e rs e M e r c a t o r D a t u m H o r is o n t a l : W G S 8 4 P R O G R A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L I N G K U N G A N I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R S u m b e r : P e t a R u p a b u m i D i g i ta l I n d o n e s ia s k a l a 1 : 2 5 . 0 0 0 , t a h u n 1 9 9 9 A t la s S u m b e r d a y a P e s is i r d a n L a u t K a b u p a t e n S e r a n g , s k a la 1 : 2 0 0 . 0 0 0 t a h u n 2 0 0 2 K A B U P A T E N S E R A N G 6 2 1 0 0 0 6 2 1 0 0 0 6 3 0 0 0 0 6 3 0 0 0 0 6 3 9 0 0 0 6 3 9 0 0 0 6 4 8 0 0 0 6 4 8 0 0 0 6 5 7 0 0 0 6 5 7 0 0 0 9 3 2 4 0 0 0 9324 0 0 0 9 3 3 3 0 0 0 933 3 0 0 0 9 3 4 2 0 0 0 934 2 0 0 0 9 3 5 1 0 0 0 935 1 0 0 0 P . T u n d a P . Sa lir a M u a r a U j u n g P E T A P E M A N F A A T A N R U A N G D A R A T K E C A M A T A N P E S I S I R T E L U K B A N T E N K A B U P A T E N S E R A N G 2 0 0 7 20 0 0 0 20 0 0 M e te r s P e r m u k im an S a w a h t a d ah h u ja n T a m b a k P e r ke b u n a n S e m a k b el u ka r T a n a h k o so n g S a w a h ir ig a s i T e g a la n R a w a M a n g r ov e K A B . S E R A N G K O T A C I L E G O N K A B . T A N G E R A N G

(29)

50 0 0 50 0Me t er s N La m u n LE G E N D A : P r o y e k s i : T ra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e rs a l T r a n s v e rs e M e r c a t o r D a t u m H o r is o n t a l : W G S 8 4 P E T A P E R G E S E R A N G A R I S P A N T A I P E S IS I R B A R A T T E L U K B A N T E N K A B U P A T E N S E R A N G 2 0 0 7 P R O G R A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L I N G K U N G A N I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R S u m b e r : P e t a L i n g k u n g a n P a n ta i I n d o n e s ia s k a l a 1 : 5 0 . 0 0 0 , t a h u n 1 9 9 9 A t la s S u m b e r d a y a P e s is i r d a n L a u t K a b u p a t e n S e ra n g , s k a la 1 : 2 0 0 . 0 0 0 t a h u n 2 0 0 2 K A B U P A T E N S E R A N G 6 2 1 0 0 0 6 2 1 0 0 0 6 2 4 0 0 0 6 2 4 0 0 0 6 2 7 0 0 0 6 2 7 0 0 0 6 3 0 0 0 0 6 3 0 0 0 0 6 3 3 0 0 0 6 3 3 0 0 0 9 3 3 9 0 0 0 9339 0 0 0 9 3 4 2 0 0 0 934 2 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 93 4 5 0 0 0 G a ri s p an ta i 2 0 0 4 G a ri s p an ta i 1 9 9 4 G a ri s p an ta i 1 9 8 5 K e c . P u l o a m p e l K e c . B o j o n e g a ra T g . K o p o T g . G o r e n j a n g T g . B a j u P . K u b u r P . K a m b in g T E L U K B A N T E N P . T a r a h a n P . P a n ja n g

(30)

N LE G E N D A : P r o y e k s i : T ra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e r s a l T r an s v e rs e M e r c a t o r D a t um H or is o n t a l : W G S 8 4 P E T A P E R G E S E R A N G A R I S P A N T A I P E S IS I R T IM U R T E L U K B A N T E N K A B U P A T E N S E R A N G 2 0 0 7 P R O G R A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L I N G K U N GA N I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R S u m b e r : P e t a L i n g k u n g a n P a n ta i I n d o n e s ia s k a l a 1 : 5 0 . 0 0 0 , t a h u n 19 9 9 A t la s S u m b e r d a y a P e s is i r d a n L a u t K a b u p a t e n S e r a n g , s k a la 1 : 2 0 0 . 0 0 0 t a h u n 2 0 0 2 K A B U P A T E N S E R A NG G a r is p a n t a i 2 0 0 4 G a r is p a n t a i 1 9 4 2 L A U T J A W A M u a r a U ju n g P r o y e k s i : T ra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e r s a l T r an s v e rs e M e r c a t o r D a t um H or is o n t a l : W G S 8 4 D e s a T e n g k u ra k D e s a L o n t a r T g . P o n t a n g K A B . T A N G E R A N G 6 4 0 0 0 0 6 4 0 0 0 0 6 4 5 0 0 0 6 4 5 0 0 0 6 5 0 0 0 0 6 5 0 0 0 0 6 5 5 0 0 0 6 5 5 0 0 0 9 3 3 5 0 0 0 933 5 0 0 0 9 3 4 0 0 0 0 93 4 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 93 4 5 0 0 0 10 0 0 0 10 0 0M e te r s M u a r a U ju n g D e s a T e n g k u ra k D e s a L o n t a r T g . P o n t a n g L A U T J A W A K A B . T A N G E R A N G

(31)

Pertumbuhan penduduk pesisir Teluk Banten yang cukup tinggi (rata-rata 2,5% per tahun) cenderung terkonsentrasi di dua kota utama Cilegon dan Serang dan di sepanjang aksis Cilegon-Serang dan Serang-Ciruas-Kragilan. Wilayah pesisir yang lebih bersifat rural, terutama di bagian timur Teluk Banten, cenderung menunjukkan tingka t pertumbuhan penduduk yang lebih rendah. Rencana pengembangan zona industri berskala besar, yang disertai dengan pertumbuhan penduduk di wilayah barat Teluk Banten yang cukup tinggi akan diikuti oleh kebutuhan pengembangan zona permukiman berskala besar pula. Kondisi ini menuntut dilakukannya konversi lahan, terutama lahan pertanian (sawah) dan perikanan budidaya (tambak).

Semak belukar yang terdapat di daerah perbukitan di sekeliling Gunung Gede dan lahan hutan di wilayah Kecamatan Bojonegara dan Kramatwatu, merupakan zona perlindungan alam di wilayah barat Teluk Banten yang perlu dipertahankan keberadaannya. Zona ini merupakan daerah tangkapan air (water

catchment area) yang penting di wilayah barat Teluk Banten. Gangguan yang

berpotensi merusak keberadaan zona ini berupa aktivitas penambangan batu dan pasir yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah perbukitan Gunung Gede dengan luasan mencapai 6,5 ha. Di wilayah timur, zona perlindungan alam yang ada (berupa lahan mangrove) sudah cukup kritis kondisinya, bahkan di beberapa lokasi seperti di sekitar Tanjung Pontang dan pantai utara Desa Lontar, lahan

mangrove sudah terkikis sama sekali sehingga mengakibatkan terjadinya abrasi.

Berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini (existing

condition), kebutuhan pengembangan zona industri berskala besar serta dengan

tetap memperhatikan esensi beberapa koridor ekologi penting, maka arahan kebijakan pemanfaatan ruang darat di kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten disajikan pada Gambar 13.

d. Pemanfaatan Ruang Laut (Existing Condition)

Secara tradisional, wilayah perairan Teluk Banten telah lama dimanfaatkan oleh para nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan. Nelayan pesisir Teluk Banten melakukan penangkapan ikan terutama di wilayah perairan pada kedalaman kurang dari 10 m. Di wilayah ini, dasar perairan biasanya berupa pasir

(32)

berlumpur. Substrat tersebut berasal dari proses sedimentasi beberapa sungai yang bermuara di Teluk Banten.

Menurut jenis kapal, jenis alat tangkap yang digunakan dan data hasil tangkapan, secara garis besar terdapat 3 zona penangkapan ikan di wilayah perairan Teluk Banten (Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang dan PT. Bernala Nirwana, 2004):

a. Zona I.

Merupakan daerah penangkapan ikan yang berada pada garis isodepth 0-5 m. Pada zona ini, alat tangkap yang digunakan biasanya berupa perangkap pasang surut (trap), sero (barrier net), sudu (push net), jaring lingkar (encircling

gillnet), jaring udang (bottom trammel net), jala lempar (cast net), pukat

pantai/bondet (beach seine) dan arad (bag net). b. Zona II.

Merupakan daerah penangkapan ikan yang berada pada garis isodepth 5-10 m. Pada zona ini, alat tangkap yang digunakan biasanya berupa arad (bag net), jaring rajungan (bottom gillnet), bubu rajungan (trap), jaring klitik (anchored

surface gillnet), jaring kakap (bottom gillnet), jaring udang (bottom trammel

net), bagan tancap (fixed lift net), pancing rawe (bottom long line) dan pancing ulur (hand line).

c. Zona III.

Merupakan daerah penangkapan ikan yang berada pada garis isodepth lebih dari 10 m. Pada zona ini, alat tangkap yang digunakan biasanya berupa jaring klitik (anchored surface gillnet), jaring kakap (bottom gillnet), pancing rawe

(bottom long line), pancing ulur (hand line), bubu ikan (trap), bagan apung

(lift net), dogol (danish seine) dan payang (boat seine).

Di wilayah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 m, biasanya hanya nelayan dengan kapal dan alat tangkap berskala kecil yang melakukan aktivitas penangkapan. Biota perairan yang hidup di daerah ini di antaranya udang, rajungan, ikan dasar dan ikan pelagis kecil. Nelayan dengan kapal dan alat tangkap berskala menengah ke atas melakukan aktivitas penangkapan di wilayah perairan dengan kedalaman lebih dari 10 m. Biota perairan yang hidup di daerah ini di antaranya ikan dasar, ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Tiga zona

(33)

penangkapan ikan di wilayah perairan Teluk Banten diilustrasikan pada Gambar 14.

Selain dimanfaatkan untuk aktivitas penangkapan ikan, sejak tahun 1996 wilayah perairan Teluk Banten juga telah dimanfaatkan untuk aktivitas penambangan pasir laut. Beberapa perusahaan penambang pasir laut telah memiliki Kuasa Pertambangan (KP) dan telah melakukan eksploitasi. Pasir laut dari wilayah perairan Teluk Banten dimanfaatkan sebagai pasir urug pada beberapa proyek reklamasi pantai utara Jakarta dengan permintaan lebih dari 320.000.000 m3 dalam 10 tahun (PT BAT, 2003). Selama peride 1997-2003, produksi pasir laut dari wilayah perairan Teluk Banten telah mencapai 17.081.000 m3 dengan rata-rata produksi per tahun mencapai 2.500.000-3.000.000 m3 (Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB, 2004). Lokasi beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten diilustrasikan pada Gambar 15. Dari Gambar 15 diketahui bahwa telah terjadi overlapping (tumpang tindih) di antara ketiga zona penangkapan ikan dengan beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten yang apabila tidak diantisipasi sejak dini, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Luas dan kandungan pasir laut dari beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten disajikan pada Tabel 54.

Tabel 54. Luas dan volume kandungan pasir laut dari beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten

No. Kuasa Pertambangan Luas (ha) Kandungan (m3) 1. KP 1 dan 2 (KP PS dan PU) 8.687,00 dan 5.350,00 45.069.375,00 2. KP 3 (KP DU 925 / Jabar) 1.999,70 37.744.000,00 3. KP 3 (KP DU 948 / Jabar) 1.970,67 11.593.000,00 4. KP 3 (KP W F00313) 1.970,67 9.929.000,00 5. KP 4 (SBJ) 1.958,00 2.800.000,00 6. KP 5 (KWW1) 2.829,67 28.296.708,00 Total cadangan 135.432.083,00

Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang dan PT. Bernala Nirwana (2004)

e. Arahan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Laut

Perumusan kebijakan pemanfaatan ruang laut di wilayah pesisir Teluk Banten dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini (existing

(34)

condition), zona pemanfaatan bersyarat dan zona perlindungan alam di wilayah tersebut.

Selain termasuk ke dalam zona pemanfaatan bersyarat yang keberadaannya diatur oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 33/Men/2002, daerah penangkapan ikan tradisional di wilayah perairan Teluk Banten merupakan sumber penghasilan yang penting bagi nelayan, dan telah memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan perekonomian daerah pada umumnya. Daerah penangkapan ikan tradisional tersebut merupakan sumber utama perikanan dari kecamatan pesisir. Menurut Tabel 24, produksi perikanan kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten tahun 2004 mencapai 7.454,40 ton, yang terdiri dari produksi perikanan tangkap sebesar 5.910,50 ton dan perikanan tambak sebesar 1.543,90 ton. Total nilai produksi perikanan mencapai Rp. 44.578.460.000,00 yang terdiri dari nilai produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 25.606.660.000,00 dan nilai produksi perikanan tambak sebesar Rp. 18.971.800.000,00. Dari Tabel 24dapat diketahui bahwa perikanan laut memiliki kontribusi besar terhadap produksi perikanan kecamatan-kecamatan pesisir. Produksi perikanan laut mencapai 79,29% dari produksi total dengan nilai produksi mencapai 57,44% dari nilai produksi total.

Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pesisir Teluk Banten merupakan mata pencaharian yang sudah dijalankan secara turun-temurun. Di antara para nelayan, sudah terjalin hubungan kekeluargaan yang baik yang direfleksikan dalam semangat kebersamaan, baik pada saat mempersiapkan aktivitas penangkapan, selama melakukan aktivitas penangkapan di laut, maupun pada saat penjualan hasil tangkapan. Kondisi ini menunjukkan, bahwa aktivitas penangkapan ikan tradisional di perairan Teluk Banten telah memberikan kontribusi yang besar bagi terciptanya hubungan sosial yang baik di antara para nelayan. Gangguan terhadap tingginya semangat kebersamaan justru terjadi pada tahun-tahun terakhir setelah beroperasinya beberapa perusahaan penambangan pasir laut yang dinilai merusak daerah penangkapan ikan tradisional sehingga menurunkan hasil tangkapan nelayan.

Dengan kearifan tradisional yang dimiliki, dan sebagai mata pencaharian yang sudah dijalankan secara turun-temurun, aktivitas penangkapan ikan

(35)

tradisional oleh nelayan pesisir Teluk Banten dilakukan secara ramah lingkungan dan jauh dari tindakan yang merusak. Kearifan tradisional telah melandasi kesadaran bahwa perusakan terhadap lingkungan dan sumberdaya laut sebagai sumber kehidupan akan menghancurkan masa depan para nelayan itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, daerah penangkapan ikan tradisional di perairan Teluk Banten perlu dipertahankan keberadaannya, bahkan dilindungi dengan peraturan yang ketat agar tidak rusak dan mampu memberikan pendapatan secara berkelanjutan bagi nelayan.

Berdasarkan dampak yang ditimbulkannya, baik dampak sosial ekonomi maupun biofisik, beberapa KP pasir laut di wilayah perairan Teluk Banten dinilai perlu ditinjau kembali keberadaannya. Valuasi ekonomi makro tahunan penambangan pasir laut yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang bersama PT. Bernala Nirwana (2004), dengan mengambil contoh dari 1 perusahaan penambangan pasir laut, pemerintah Kabupaten Serang memperoleh pemasukan sebesar Rp. 2.194.103.000,00 per tahun (setara dengan sumbangan sebesar 0,027% terhadap PDRB dan 3,483% terhadap PAD). Nilai pasir laut pada sektor konstruksi sebesar Rp. 186.498.755.000,00. Apabila kemudian dibuat skenario penghentian total aktivitas penambangan pasir laut, maka kondisi ini akan menyebabkan terjadinya kerugian ekonomi sekitar Rp. 78 milyar (kehilangan sekitar 57% dari kondisi saat ini), peningkatan cost pada sektor konstruksi sebesar Rp. 76.793.605.000,00 serta hilangnya rente ekonomi (retribusi dan sebagainya) yang seharusnya diperoleh pemerintah sebesar ± Rp. 2,1-6,6 milyar. Total kerugian yang dialami akibat penghentian total aktivitas penambangan pasir laut diperkirakan mencapai Rp. 158 milyar per tahun. Nilai ini bila dihitung untuk jangka waktu yang panjang (lima belas tahun ke depan) akan setara dengan hampir Rp. 2 triliun. Bila dihitung dari kandungan pasir laut yang diperkirakan mencapai 3,7 miliar m3 dengan potensi penerimaan pemerintah sebesar Rp. 3,7-11,1 miliar, maka skenario penghentian total penambangan pasir laut hanya mengakibatkan kehilangan pemerintah yang relatif sangat kecil, yakni sekitar 0,06%-0,18%. Bila dilihat dari total nilai ekonomi yang hilang dibanding dengan kandungan pasir laut yang diperkirakan, maka potensi ekonomi yang hilang ini diperkirakan sebesar

Gambar

Tabel  33.  Estimasi  benefit  dan  cost  pengelolaan hutan  mangrove  pada opsi    sustainable management
Tabel 35. Estimasi  benefit  dan  cost  pengelolaan hutan  mangrove  pada opsi   sylvofishery (milkfish) 1  ,( polyculture) 2 , dan (shrimp) 3  management  Benefit-cost  Komponen  Nilai (USD/ha/th)  Asumsi
Tabel 36. Benefit  dan  cost  pengelolaan hutan  mangrove  di wilayah pesisir dan   laut Teluk Banten pada opsi sylvofishery (milkfish) 1 , (polyculture) 2 , dan  (shrimp) 3  management
Gambar  7.  Distribusi NPV dari beberapa opsi pengelolaan hutan  mangrove  di    wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya agar tercipta keseimbangan energi yang baik.Energi alternatif adalah solusi untuk meningkatkan peran energi terbarukan dalam

Lebih lanjut, Menurut Fandy, Gregorius dan Dadi (2008), bahwa salah satu manfaat spesifik kepuasan berdampak positif pada loyalitas. Maka tidak diragukan

Kampus diharapakan mampu mengembangkan sistem belajar mengajar, kurikulum yang berlaku serta sikap mental yang harus dimiliki oleh mahasiswa sesuai dengan kebutuhan

Namun, hasil analisis statistik tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan penggunaan hidrolisat singkong terhadap laju pertumbuhan spesifik

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam skripsi ini dengan judul “ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN

Transformator adalah suatu peralatan listrik yang dipergunakan untuk memindahkan daya atau energi listrik, dari suatu bagian rangkaian ke rangkaian yang lain secara

Dengan diagnosa ketiga outcomenya yaitu : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi kerusakan integritas jaringan, dengan

Adanya penyaluran pinjaman atau kredit yang dilakukan oleh bank CIMB Niaga unit Subrantas Pekanabaru kepada masyarakat tidak akan terlepas dari resiko berupa kredit