• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Keracunan Organofosfat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Keracunan Organofosfat"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

KERACUNAN ORGANOPHOSFAT

I. Pengertian Racun

Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian1.

II. Jalan Masuk Racun

Racun masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu2 :  Ditelan (per oral ; ingesti)

 Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi)  Melalui penyuntikan (parenteral ; injeksi)

 Penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit  Melalui anus atau vagina (perektal ; pervaginam)

III. Klasifikasi Racun

Racun dapat digolongkan sebagai berikut1: I. Pestisida

A. Insektisida 1. Organoklorin

a. Derivat Chlorinethane: DDT

b. Derivat Cyclodiene : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan, Aldrin, Heptachlor, toxapene.

c. Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.

(2)

2

3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam. B. Herbisida

1. Chloropheoxy 2. Ikatan Dinitrophenal

3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave 4. Ikatan Urea

5. Ikatan Triasine: Atrazine 6. Amide: Propanil 7. Bipyridye C. Fungisida 1. Caplan 2. Felpet 3. Pentachlorphenal 4. Hexachlorphenal D. Rodentisida 1. Warfarin 2. Red Squill 3. Norbomide

4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide 5. Aepha Naphthyl Thiourea

6. Strychnine 7. Pyriminil 8. Anorganik: - Zinc Phosfat - Thallium Sulfat - Phosfor - Barium Carbamat - Al. Phosfat - Arsen Trioxyde II. Bahan Industri

(3)

3 IV. Bahan obat-obatan

V. Racun (tanaman dan hewan)

Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat, maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu1:

1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga. Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.

2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan. Misalnya: pestisida, herbisida.

3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan. Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb. 4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.

Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb. 5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.

Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.

IV. Mekanisme Kerja Racun

Mekanisme kerja racun dapat dibagi dalam beberapa hal yaitu2 : 1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)

Misalnya:

- Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat. - Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.

- Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.

Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan.

2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)

Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.

(4)

4

- Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf pusat. - Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.

- Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.

- CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan. - Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

- Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama berpengaruh terhadap hati.

3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum Misalnya: - Asam oksalat - Asam karbol - Arsen - Garam Pb

V. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerja Racun

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun adalah sebagai berikut1,2 : 1. Cara pemberian

Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.

Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.

2. Keadaan tubuh a. Umur

Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.

(5)

5 b. Kesehatan

Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.

c. Kebiasaan

Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.

d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)

Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi

(6)

6

preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.

3. Racunnya sendiri a. Dosis

Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.

b. Konsentrasi

Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut.

c. Bentuk dan kombinasi fisik

Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.

d. Adiksi dan sinergisme

Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada

(7)

7

kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.

e. Susunan kimia

Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya.

f. Antagonisme

Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.

VI. Kriteria Diagnosis Keracunan

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengungkap kasus keracunan yaitu1 : 1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara

injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).

Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga korban.

2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga. Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.

3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.

(8)

8

Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.

4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.

Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.

5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.

Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.

VII. Organophosfat dan Penggolongannya

Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktur dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948.Golongan organofosfat

(9)

9

banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan.Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates,

phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat

dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf3,4.

Table 1. Jenis-Jenis pestisida golongan organophosfat3

Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain3,4 :

 Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50

dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).

 Kadusafos, merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus)

sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan iritasi kulit dan

tidak menyebabkan iritasi pada mata.

 Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar

(10)

10

 Klorpirifos, merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi.LD50 oral (tikus) sebesar 135 – 163 mg/kg;

LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.

 Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg; LD50

dermal (tikus) > 860 mg/kg.

 Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral

(tikus) sebesar 1.250 mg/kg.

 Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.LD50 (tikus) sekitar 50

mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.

 Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg;

LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.

 Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.

 Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50

dermal (kelinci) 472 mg/kg.

 Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos

(11)

11

bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus)

sekitar 57 – 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.

Gambar 1. Beberapa gambaran struktur kimia dari golongan organofosfat4

VIII. Mekanisme Keracunan Organofosfat

Insektisida golongan organofosfat yang tidak membutuhkan aktifitas metabolic yang disebut juga dengan inhibitor langsung, dimana akan menghasilkan efek toksik pada daerah yang kontak langsung, termasuk keringan (berhubungan langsung dengan kulit), miosis atau pupil pinpoint (kontak dengan mata), dan/atau bronkospasme (kontak dengan pernafasan). Pada insektisida golongan organofosfat, ada organofosfat dengan inhibisi langsung (yang mengandung = O) dan organofosfat dengan inhibisi tak langsung (yang mengandung = S) tergantung dari dibutuhkan atau tidaknya pengaktivan metabolic sebelum terjadinya hambatan pada acetylcholinesterase. Dengan kata lain, senyawa organofosfat indirek harus menjalani bioaktivasi sehingga menjadi aktif secara biologi. Senyawa organofosfat indirek contohnya parathion, diazinon, malathion, dan chlorpyrifos menjadi lebih toksik dibandingkan senyawa induknya5.

Organofosfat diabsorpsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan jalan utama pajanan pekerjaan melalui kulit. Setelah diabsorbsi sebagian besar diekskresikan dalam urin, hamper seluruhnya dalam bentuk metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat

(12)

12

dalam metabolism senyawa organofosfat. Selang waktu antara absorpsi dan ekskresi bervariasi. Pada umumnya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk –thion (mengandung sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung oksigen), dalam –okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada lingkungan sehingga hasil tanaman pekerja dijumpai pajanan residu yang dapat lebih toksik dari pestisida yang digunakan. Sebagian besar sulfur dilepaskan ke dalam bentuk mercaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk – thion organofosfat. Mercaptan memiliki aroma yang rendah, dan reaksi-reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu keliru sebagai akibat keracunan akut organofosfat. Konversi dari –thion menjadi -okson juga dijumpai secara invivo pada metabolism mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat menghidrolisa organofosfat ester, menghasilkan alkali fosfat dan fenol yang memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi3,5,6.

Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja pada ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot, penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. Setelah masuk dalam tubuh, golongan organofosfat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Keadaan ini akan menimbulkan efek yang luas3 .

Gambar 2. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Menjadi Asetat dan Kolin oleh Enzim Asetilkolinesterase3

(13)

13

Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. Potensiasi aktivitas parasimpatik post-ganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil, stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventrikular dihambat. Mula-mula stimulasi disusul dengan depresi pada sel sistem saraf pusat (SSP) sehingga menghambat pusat pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang bervariasi pada ganglion dapat mengakibatkan tekanan darah naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil. Kematian disebabkan karena kegagalan pernafasan dan blok jantung3,6.

IX. Gejala Keracunan Organofosfat

Efek dari keracunan organifisfat dapat local (keringat dari kulit yang kontak dengan agen toksik) ataupun sistemik. Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat biasanya akan muncul 5 menit hingga 12 jam setelah kontak. Diagnosis intoksikasi organofosfat pada umumnya terjadi 6 jam setelah kontak. Jika gejala muncul 12 jam setelah kontak makan dapat dipertimbangkan kausa lain dan jika gejala muncul 24 jam setelah kontak maka intoksikasi organofosfat menjadi samar-samar5.

Tanda dan gejala akut dari intoksikasi organofosfat berhubungan dengan inhibisi asetilkolinesterase. Manifestasi klinik dari kontak dengan senyawa organofosfat berupa5,7 :

 Efek muskarinik (system parasimpatis) termasuk keringat, hipersalivasi, hiperlakrimasi, bronchospasme, dyspnea, gejala gastrointestinal (mual, muntah, keram abdomen, dan diare), miosis (pupil pinpoint), penglihatan kabur, inkontinensia urin, wheezing, bradikardi.

 Efek nikotinik (system saraf simpatis dan motorik) termasuk hipertensi, fasikulasi oto, keram otot, kelemahan motorik, takikardi, dan paralisis

 Efek CNS termasuk kecemasan, pusing, insomnia, mimpi buruk, sakit kepala, tremor, bingung, ataksia, koma.

Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat ini dapat digambarkan dalam DUMBELS : Diare, Urination, Miosis, Bronkospasme, Emesis, Lakrimasi, Salivasi. Tanda dan gejala dari

(14)

14

intoksikasi ini tidak akan terjadi kecuali aktifitas kolineterase sekitar 50 persen atau kurang dari aktifitas normalnya5.

Tanda dan gejala dari intoksikasi sedang hingga berat akan berubah dalam beberapa hari hingga minggu. Dalam beberapa kasus intoksikasi organofosfat berat, hal ini bisa terjadi selama 3 bulan atau sebelum sel darah merah kolinesterase kembali normal. Kematian dari kasus ini biasanya terjadi karena kegagalan pernafasan mulai dari depresi pusat pernafasan, paralisis otot-otot pernafasan, dan sekresi bronchial yang berlebihan, edema pulmonal, dan bronkokonstriksi. Kematian pad keracunan organofosfat yang akut terjadi pada pasien yang tidak diterapi dalam waktu 24 jam atau pasien yang mendapatkan terapi selama 10 hari. Jika tidak terjadi anoksia, maka penyembuhan total dapat terjadi, biasanya 10 hari setelah kontaminasi5.

Pada umumnya, efek kronik dari intoksikasi organofosfat adalah delayed neuropathy. Beberapa organofosfat dapat memicu neuropathy yang dikenal dengan organophosphate-induced delayed neuropathy (OPIDN). Jenis organofosfat yang dapat menyebabkan OPIDN adalah TOCP, mipafox, trichlorphon, leptophos, dan methamidophos. Hal ini menunjukkan bahwa hanya beberapa senyawa organofosfat yang dapat menyebabkan OPIDN5.

Terjadinya suatu OPIDN tidak berhubungan secara fisilogis dengan inhibisi kolinesterase. Teori tentang OPIDN mencakup dua proses pada system saraf. Pertama, terjadi fosforilasi pada protein saraf. Enzim ini disebut dengan neuropathy target esterase (NTE), yang juga dikenal dengan neurotoxic esterase. Kedua, transformasi dari enzim. Proses ini melibatkan pembelahan grup R dari fosfor, menghasilkan residu negative yang melekat pada sisi aktif enzim. Sindrom ini berkembang dalam 8-35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat. Gejala awal dari OPIDN adalah keram dan kekakuan pada kaki dan kemudian pada tangan. Selanjutnya, kelemahan akan terjadi pada tungkai bawah. Kelemahan bilateral pada tungkai (foot drop)dan pergelangan tangan

(wrist droop) dapat terjadi dan biasanya reflex tendon tidak ada atau normal5.

Beberapa penelitian tidak mendeteksi adanya gangguan memori permanen atau masalah psikologi pada individu yang kontak atau keracunan insektisida organofosfat. Walaupun gejala-gejala neurobehavioral (sakit kepala, bingung, insomnia, dll) dapat terjadi selama fase akut namun tidak ada gejala neuropsikiatrik yang dapat terjadi5

(15)

15 X. Diagnosis

Kriteria diagnosis pada keracunan adalah8 : 1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.

2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari keracunan racun yang diduga.

3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa na benda bukti tersebut memang racun yang dimaksud.

4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak ditemukan adanya penyebab kematian lain.

5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan adanya racun serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban , secara sistemik.

Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di tubuh manusia. Salah satu hal yang dapaat digunakan untuk mengindentifikasi adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik. Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk investigasi kasus keracunan organofosfat8.

Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah, jaringan hati, limpa, paru-paru dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan plasma dapat dilakukan dengan cara tintimeter (Edson) dan cara paper-strip (Acholest)9.

1. Cara Edson : berdasarkan perubahan pH darah AChE

Ach —— > kolin + asam asetat

Ambil darah korban dan tambahkan indikator brom-timol-biru, diamkan beberapa saat maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang timbul dengan warna standar pada comparator disc (cakram pembanding), maka dapat ditentukan AchE dalam darah.

(16)

16

% aktifitas AchE darah Interpretasi

75% – 100% dari normal Tidak ada keracunan 50% – 75% dari normal Keracunan ringan 25% – 50% dari normal Keracunan 0% – 25% dari normal Keracunan berat

Tabel 2. Interpretasi hasil pemeriksaan dengan cara Edson9

2. Cara Acholest :

Ambil serum darah korban dan teteskan pada kertas Acholest bersamaan dengan kontrol serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat Ach dan indikator. Waktu perubahan warna pada kertas tersebut dicatat. Perubahan warna harus sama dengan perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu warna kuning telur.

Interpretasi :

Kurang dari 18 menit  tidak ada keracunan 20-35 menit  keracunan ringan

35-150 menit  keracunan berat Pemeriksaan toksikologi dapat dilakukan dengan cara9 : 1. Kristalografi :

Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/ minuman, muntahan, isi lambung dimasukkan ke dalam gelas beker dipanaskan dalam pemanas air sampai kering, kemudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan kertas saring. Filtrate yang didapat, diteteskan dalam gelas arloji dan dipanaskan sampai kering, kemudian dilihat di bawah mikroskop. Bila terbentuk Kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan hidrokarbon terklorinasi.

2. Kromatografi lapisan tipis (TLC)

Kaca berukuran 20 x 20 cm, dilapisi dengan absorben gel silikat atau dengan aluminium oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110 derajat celcius selama 1 jam. Filtrat yang akan diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan korban) diteteskan dengan mikropipet pada kaca. Disertai dengan tetesan lain yang telah diketahui golongan dan jenis serta konsentrasinya sebagai pembanding. Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam pelarut, biasanya n-Hexan. Celupan tidak boleh mengenai tetesan tersebut di atas. Dengan daya kapilaritas

(17)

17

maka pelarut akan ditarik ke atas sambil melarutkan filtrat-filtrat tadi. Setelah itu kaca TLC dikeringkan lalu disemprot dengan reagensia Paladium klorida 0,5% dalam HCl pekat, kemudian dengan Difenilamin 0,5% dalam alkohol.

Hasilnya :

Warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon terklorinasi. Warna hijau dengan dasar dadu berarti golongan organofosfat. Untuk menentukan jenis dalam golongannya dapat dilakukan dengan menentukan Rf masing-masing bercak.

Rf = jarak yang ditempuh bercak Jarak yang ditempuh pelarut

Angka yang didapat dicocokan dengan standar, maka jenisnya dapat ditentukan. Dengan membandingkan besar bercak dan intensitas warnanya dengan pembanding, dapat diketahui konsentrasi secara semikuantitatif.

Selain analisa toksikologi, pemeriksaan post mortem juga merupakan hal yang penting pada kasus keracunan.

A. Pemeriksaan Luar10

1. Pakaian. Perhatikan apakah ada bercak – bercak racun, distribusi dari bercak dan bau bercak tersebut. Dari distribusi bercak racun kita dapat memperkirakan cara kematian, apakah bunuh diri atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri, distribusi bercak biasanya teratur pada bagian depan, tengah dari pakaian. Sedangkan pada kasus pembunuhan, distribusi bercak biasanya tidak teratur.

2. Lebam mayat ( livor mortis ).Lebam mayat pada kasus keracunan organofosfat menunjukkan warna yang sama dengan keadaan kematian normal, yaitu warna lebam mayat adalah livide. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana lebam akan berwarna cherry red ( = warna COHb ). Pada keracunan sianida, lebam akan berwarna merah terang ( = warna HbO2 ), karena kadar HbO2 dalam darah vena tinggi.

3. Bau yang keluar dari mulut dan hidung. Dilakukan dengan jalan menekan dada dan kemudian mencium bau yang keluar dari mulut dan hidung, kita dapat mengenali bau khas dari bahan pelarut yang dipakai untuk melarutkan insektisida ( transflutrin ). B. Pemeriksaan Dalam10

Pada pemeriksaan dalam kasus keracunan ( secara umum ), umumnya tidak akan dijumpai kelainan – kelainan yang khas atau yang spesifik yang dapat dijadikan pegangan untuk

(18)

18

menegakan diagnosis/menentukan sebab kematian karena keracunan sesuatu zat. Hanya sedikit dari racun – racun yang dapat dikendalikan berdasarkan kelainan – kelainan yang ditemukan pada saat pemeriksaan mayat. Pada kasus keracunan organofosfat ini juga tidak dijumpai adanya kelainan yang khas. Beberapa kelainan yang didapat menunjukkan tanda – tanda yang berhubungan dengan edema serebri, edema pulmonum dan konvulsi. Bau dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi. Diagnosis dapat ditegakan dari riwayat penyakit, gejala keracunan yang kompleks dan tidak khas serta dari pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan kromatografi lapisan tipis (thin layer chromatography), spektrofotometrik dan gas kromatografi. Jadi jelaslah bahwa pemeriksaan analisa kimia ( pemeriksaan toksikologi ) untuk menentukan adanya racun dan menentukan sebab kematian korban mutlak dilakukan pada setiap kasus keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Pembedahan mayat berguna untuk menyingkirkan kemungkinan – kemungkinan lain sebagai penyebab kematian dan bermamfaat untuk memberikan pengarahan pemeriksaan toksikologi.

XI. Penanganan

Penanganan yang dapat diberikan pada pasien dengan keracunan organofosfat yaitu2,5 :  Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak

berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan menghilangkan gejala –gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena atropin melawan brokokonstriksi,

menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan.

Pralidoksim. Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, keefektifannya dipertanyakan. Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika

(19)

19

kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. Pralidoksim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.

XII. Pencegahan

Cara-cara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada pekerja pekerja pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai berikut3 :

a. Penyimpanan pestisida :

1. Pestisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda, sebaiknya tertutup dan dalam lemari terkunci.

2. Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh disimpan dekat makanan. Campuran yang rasanya manis biasanya paling berbahaya. Tanda-tanda harus jelas juga untuk mereka yang buta huruf.

3. Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus dibakar agar sisa pestisida musnah sama sekali.

4. Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti di botol-botol, sangat besar bahayanya.

b. Pemakaian alat-alat pelindung :

1. Pakailah masker dan adakanlah ventilasi keluar setempat selama melakukan pencampuran kering bahan-bahan beracun.

2. Pakailah pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat dari neopren, jika pekerjaan dimaksudkan untuk mencampur bahan tersebut dengan minyak atau pelarut-pelarut organis. Pakaian pelindung harus dibuka dan kulit dicuci sempurna sebelum makan. 3. Pakaialah respirator, kacamata, baju pelindung, dan sarung tangan selama menyiapkan dan

menggunakan semprotan, kabut, atau aerosol, jika kulit atau paru-paru mungkin kontak dengan bahan tersebut.

c. Cara-cara pencegahan lainnya :

1. Selalu menyemprot ke arah yang tidak memungkinkan angin membawa bahan, sehingga terhirup atau mengenai kulit tenaga kerja yang bersangkutan.

(20)

20

2. Hindarkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari bekerja di tempat tertutup dengan penguap termis, juga alat demikian tidak boleh digunakan di tempat kediaman penduduk atau di tempat pengolahan bahan makanan.

3. Janganlah disemprot tempat-tempat yang sebagian tubuh manusia akan bersentuhan dengannya.

.

(21)

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Santoso, Jihad. Keracunan Arsenik. [online] April, 2012 [accessed April 12, 2012] ; Available from URL : http://forpapjs.blogspot.com/2005/06/forensic-paper.html.

2. Mun’im, Abdul. Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Binarupa Aksara . Jakarta : 1997. Hal 329-46

3. Asti, Yodenca. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. 2008.

4. Joseph Fenton. Insecticides In : Toxicology A case-Oriented Approach. CRC Press. Washington D.C : 2002.

5. Philip Wiliiams, dkk. Properties and Effects of Pesticides In : Priciple of Toxicology. A Wiley – Interscience Publication. New York. 2000. Hal. 345-51

6. Sari Lubis, Halinda. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Keracunan Pestisida Golongan Organofosfat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2002.

7. Hodgson Ernest. A Textbook of Modern Toxicology. A John Wiley & Sons, Inc Publication. New Jersey. 2004. Hal. 54-64

8. Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences.Jakarta. 2008. Hal 35-9

9.

Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A Sidhi, Hertian S, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. Hal. 121-8

10. Saputra, Tri. Keracunan Baygon. [online] April, 2012 [accessed April 14, 2012] ; Available from URL : http://dokmud.wordpress.com/2009/10/24/keracunan-baygon/

Gambar

Table 1. Jenis-Jenis pestisida golongan organophosfat 3
Gambar 1. Beberapa gambaran struktur kimia dari golongan organofosfat 4
Gambar 2. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Menjadi Asetat dan Kolin oleh Enzim  Asetilkolinesterase 3
Tabel 2. Interpretasi hasil pemeriksaan dengan cara Edson 9

Referensi

Dokumen terkait