• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Ketakutan akan Kegagalan

2.1.1.1 Definisi Ketakutan akan Kegagalan

Pengertian hingga aspek ketakutan selama beberapa dekade ini masih menjadi perdebatan para ahli psikologi. Sebagian berpendapat bahwa aspek ketakutan adalah bagian dari kecemasan. “Kecemasan” adalah ketakutan yang tidak nyata dan merupakan suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam. Sedangkan “ketakutan” menurut batasannya adalah sesuatu yang memang nyata itu menakutkan (Calhoun & Acocella dalam Munauwaroh, 2012).

Spielberger (2003) menambahkan bahwa ketakutan adalah anxiety state yaitu keadaan atau kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subjektif. Biasanya berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus, misalnya situasi ujian atau tes.

Konsep ketakutan akan kegagalan diteliti lebih lanjut oleh Conroy dan Elliot. Menurut Conroy (2002) definisi mengenai ketakutan akan kegagalan mencakup adanya antisipasi dari konsekuensi negatif terhadap kegagalan, dan tidak adanya harapan untuk sukses. Ketakutan akan kegagalan bisa muncul dari konsekuensi negatif yang mengancam diri akibat kegagalan atau ketidakberhasilan. Pendapat Conroy ini juga dilatarbelakangi oleh definisi

(2)

Birney, Burdick dan Teevan (dalam Conroy, 2001) mengenai ketakutan akan kegagalan yaitu sebagai ketakutan dalam mencapai standar prestasi atau tidak memenuhi standar evaluatif untuk sukses.

Conroy (2002) juga menambahkan bahwa ketakutan akan kegagalan adalah dorongan untuk menghindari kegagalan terutama konsekuensi negatif kegagalan berupa rasa malu, menurunnya konsep diri individu, dan hilangnya pengaruh sosial. Atkinson (dalam Conroy, 2002) mengatakan bahwa ketakutan akan kegagalan adalah motif untuk menghindari kegagalan, dan sebagai “disposisi untuk menghindari kegagalan atau besarnya kapasitas mengalami rasa malu atau penghinaan yang muncul dalam diri individu sebagai konsekuensi dari kegagalan”. Rasa takut tersebut sering dialami mahasiswa dalam situasi kompetitif dan dirasakan kemungkinan untuk gagal. Atkinson juga menambahkan kegagalan dalam tugas tertentu akan menimbulkan konsekuensi yang negaitif. Dorongan menghindari kegagalan merupakan konsekuensi negatif dari ketakutan akan kegagalan dan merupakan kapasitas individu untuk mengantisipasi rasa malu dan penghinaan.

Petri (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) lebih lanjut menyatakan bahwa individu dengan ketakutan akan kegagalan cenderung menghindari situasi yang kompetitif dan beresiko. Ketidakpastian akan hal yang akan datang merupakan faktor utama dalam situasi beresiko yang tidak bisa ditoleransi oleh individu. Situasi yang kompetitif juga dihindari apabila individu gagal menjadi pemenang atau tidak sukses, keyakinan diri maupun keyakinan orang lain terhadap kemampuannnya akan menurun, sehingga kondisi tersebut berakibat menurunkan motivasi individu dalam mencapai kesuksesan.

(3)

2.1.1.2 Aspek-aspek Ketakutan akan Kegagalan

Conroy (2002) telah melakukan penelitian yang komprehensif mengenai rasa takut gagal. Rasa takut gagal atau ketakutan akan kegagalan, jika dilihat dari perspektif hubungan antara kognitif dan emosional individu akan diasosiasikan dengan penilaian terhadap ancaman tentang kemampuan individu untuk menyelesaikan atau mencapai tujuan ketika individu gagal dalam melakukan performansi.

Aspek-aspek ketakutan akan kegagalan menurut Conroy (2002) antara lain:

a. Ketakutan akan mengalami penghinaan dan rasa malu.

Ketakutan akan mempermalukan diri sendiri, terutama jika banyak orang yang mengetahui kegagalannya. Individu mencemaskan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya dan penghinaan serta rasa malu yang akan didapatkan.

b. Ketakutan akan penurunan estimasi diri (self-estimate) individu. Ketakutan ini meliputi perasaan kurang dari dalam individu. Individu merasa tidak cukup pintar, tidak cukup berbakat sehingga tidak dapat mengontrol performansinya.

c. Ketakutan akan hilangnya pengaruh sosial.

Ketakutan ini melibatkan penilaian orang lain terhadap individu. Individu takut apabila ia gagal, orang lain yang penting baginya tidak akan mempedulikannya, tidak mau menolong dan nilai dirinya akan menurun dimata orang lain.

(4)

d. Ketakutan akan ketidakpastian masa depan.

Ketakutan ini datang ketika kegagalan akan mengakibatkan ketidakpastian dan berubahnya masa depan individu. Kegagalan ini akan merubah rencana yang dipersiapkan untuk masa depan, baik dalam skala kecil atau skala besar.

e. Ketakutan akan mengecewakan orang yang penting baginya. Ketakutan akan mengecewakan harapan, dikritik dan kehilangan kepercayaan dari orang lain yang penting baginya seperti orang tua, yang akan menimbulkan penolakan orang tua terhadap diri individu. Berdasarkan uraian diatas, maka aspek rasa takut gagal dalam penelitian ini adalah ketakutan akan mengalami penghinaan dan rasa malu, ketakutan akan menurunnya self-estimate individu, ketakutan akan hilangnya pengaruh sosial, ketakutan akan ketidakpastian masa depan dan ketakutan akan mengecewakan orang yang penting baginya.

2.1.1.3 Karakteristik Ketakutan atau Kegagalan

Adapun karakteristik individu yang mengalami rasa takut gagal menurut Conroy (2002), yaitu:

a. Memiliki goal-setting yang defensif.

Atribusi yang dilakukan oleh mahasiswa adalah atribusi eksternal. Mahasiswa akan menyerah pada faktor-faktor internal yang stabil dan tidak bisa diubah, contohnya tingkat inteligensi yang kurang tinggi, kemampuan yang kurang, takdir dan sebagainya. Hal ini kemudian

(5)

mendorong mahasiswa untuk menetapkan tujuan dan sasaran yang seadanya dengan alasan keterbatasan faktor internal yang stabil.

b. Performansi yang buruk pada situasi tertentu

Karakteristik ini bisa dilihat jelas jika mahasiswa menunjukkan keraguan dan ketidakpastian bila dihadapkan pada tugas baru. Saat mahasiswa kurang memperhatikan dan kurang mendengarkan penjelasan tentang pokok bahasan yang baru, mahasiswa akan takut untuk belajar dibawah tekanan dan takut saat ditanyai pertanyaan karena mahasiswa berpikir jawaban mereka salah.

c. Menghindari kompetisi.

Karakteristik ini bisa dilihat dari sikap individu yang menghindari kompetensi atau persaingan diantara mahasiswa, seperti ketidakmampuan individu menghadapi kompetensi dalam belajar. d. Selalu menginginkan tanggapan positif dari orang lain.

Karakteristik ini bisa dilihat dari perilaku mahasiswa yang dihasilkan dan mengharapkan petunjuk jelas dan berulang-ulang dari pengajar atau dosen.

Karakteristik mahasiswa dengan ketakutan akan kegagalan adalah memiliki goal-setting yang defensif, performansi yang buruk pada situasi tertentu, terutama situasi yang dipersepsikan penuh tekanan atau situasi baru, menghindari kompetisi, selalu menginginkan tanggapan positif dari orang lain.

(6)

2.1.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketakutan akan Kegagalan Ketakutan akan kegagalan merupakan reaksi emosional kuat yang penuh ketidaksenangan subjektif, pergolakan dan keinginan untuk melawan dan melarikan diri sebagai cara untuk mengantisipasi ketidakberhasilan individu (Nainggolan, 2007).

Conroy (2002) mengemukakan bahwa rasa takut akan gagal disebabkan oleh:

a. Pengalaman di awal masa kanak-kanak.

Pengalaman di masa awal kanak-kanak ini dipengaruhi oleh pola pengasuhan orangtua. Orangtua yang selalu mengkritik dan membatasi kegiatan anak-anaknya akan menimbulkan perasaan takut gagal. Rasa takut gagal bisa juga ditimbulkan oleh orangtua yang terlalu melindungi anak-anaknya, sehingga anak nyaris tidak bisa mencapai suatu prestasi tanpa bantuan penuh dari orangtua karena mereka takut nanti melakukan kesalahan.

b. Karakteristik lingkungan.

Lingkungan disini meliputi lingkungan keluarga dan sekolah. Karakteristik keluarga yang penuh tuntutan untuk berprestasi merupakan penyebab rasa takut gagal pada anak. Lingkungan sekolah akan semakin menekan dengan kompetisi untuk mendapatkan nilai dan juara dalam bidang akademik maupun non-akademik. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi munculnya rasa takut akan kegagalan yang negatif, seperti suasana belajar mengajar dikelas, interaksi dosen, kesukaran mata kuliah, dan sebagainya.

(7)

c. Pengalaman belajar.

Pengalaman kesuksesan dan kegagalan dalam belajar akan mempengaruhi perasaan takut gagal pada individu. Kesuksesan yang dicapai dan reward yang mengiringinya akan mengakibatkan individu merasa harus terus mencapai kesuksesan, sehingga ia akan mengalami perasaan takut gagal. Rasa takut gagal bisa juga disebabkan oleh kegagalan dan dampaknya yang membuat individu merasa tidak mau dan mampu mengalaminya.

d. Faktor subjektif dan konstektual.

Faktor ini berkaitan dengan struktur lingkungan dimana individu melakukan performansi dan persepsi individu terhadap lingkungan tersebut. Kedua hal ini akan memberikan pengaruh pada penetapan tujuan dan sasaran pencapaian prestasi.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan takut gagal dalam belajar adalah faktor lingkungan (keluarga dan sekolah), ketidakmampuan menghadapi kompetisi, harapan orang tua yang terlalu tinggi dan perasaan negatif terhadap penolakan.

2.1.2 Persepsi terhadap Harapan Orangtua 2.1.2.1 Definisi Persepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Menurut McDowell & Newell (1996) persepsi dipengaruhi oleh faktor perasaan didalam diri individu, sehingga mampu mempengaruhi persepsi individu

(8)

tersebut. Sugihartono, dkk (2007) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia memiliki perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Persepsi merupakan stimulus yang diinderakan, diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diinderakan (Davidoff dalam Nainggolan, 2007). Dijelaskan pula bahwa persepsi merupakan suatu proses dalam diri individu untuk mengenali stimulus yang ada dengan menggunakan pancaindera. Proses yang ada dalam individu merupakan proses yang aktif, individu tidak hanya menerima stimulus yang ada dengan pasif, tetapi stimulus tersebut diolah secara kognitif dengan cara mengkategorikan masukan-masukan, serta menghubungkan dengan pengalaman individu sebelumnya, sampai akhirnya individu dapat mengenali dan memberikan penilaian yang tepat terhadap stimulus tersebut.

Menurut Suprihanto, dkk (2003) persepsi didefinisikan sebagai suatu proses saat individu memberikan arti terhadap fenomena yang terjadi berdasarkan kesan yang ditangkap pancainderanya, atau dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan bentuk penilaian seseorang dalam menghadapi rangsangan yang sama, namun dalam kondisi lain akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Walgito (2010) mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Namun, proses

(9)

tidak berhenti sampai disitu, melainkan stimulus diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu menyadari dengan apa yang ia lihat, dengar dan sebagainya. Dengan demikian, taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indera atau resepsi dan setelah itu individu mengalami persepsi. Proses penginderaan akan tejadi setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat inderanya, melalui alat reseptornya. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi adalah hasil suatu proses masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia melalui alat indera seperti indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman dan memberikan penilaian-penilaian terhadap stimulus atau objek, baik positif maupun negatif, dan proses ini bersifat individual.

2.1.2.2 Faktor yang terlibat dalam Persepsi

Karena persepsi merupakan suatu proses, maka dalam proses persepsi akan melibatkan beberapa faktor yang terlibat dalam persepsi (Walgito, 2010), yakni:

a. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari luar individu yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.

(10)

b. Alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke susunan syaraf pusat, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

c. Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditunjukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

Beberapa hal yang terdapat dalam suatu proses persepsi adalah objek yang dipersepsi yang akan menimbulkan suatu stimulus bagi seorang individu; alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf. Ketiga hal tersebut adalah sasaran dalam proses persepsi, alat indera sebagai penerima stimulus, syaraf sebagai sarana untuk melanjutkan stimulus yang diterima alat indera ke susunan syaraf pusat, sedangkan perhatian merupakan hal yang sangat penting dalam proses persepsi.

2.1.2.3 Proses Persepsi

Telah disampaikan sebelumnya bahwa persepsi merupakan suatu proses. Proses persepsi tidak berlangsung begitu saja, ada beberapa proses persepsi hingga akhirnya menghasilkan pemaknaan yang dapat dimengerti dan

(11)

diterima individu mengenai suatu stimulus. Walgito (2010) membagi proses terjadinya persepsi menjadi tiga, yaitu:

a. Proses fisik

Proses fisik adalah proses yang dimulai dari munculnya objek yang dirubah menjadi stimulus yang kemudian diterima oleh reseptor atau alat indera.

b. Proses fisiologis

Proses fisiologis adalah proses yang dimulai dari stimulus kemudian diterima oleh saraf sensoris dan dilanjutkan ke otak.

c. Proses psikologis

Proses psikolgis yakni proses di dalam otak sehingga individu menyadari stimulus yang diterima.

Proses persepsi dalam menghasilkan suatu makna yang berlangsung melalui tiga proses yakni: proses fisik, dimana pada proses ini stimulus pertama kali diterima oleh alat indera. Selanjutnya proses fisiologis, dimana terjadi penerusan stimulus yang diterima alat indera ke susunan syaraf pusat, dan terakhir adalah proses psikologis, yakni proses menyadari stimulus yang diterima.

2.1.2.4 Harapan Orangtua

Menurut Kreitner & Kinicki (2003) harapan merupakan suatu keyakinan yang dimiliki individu dengan melakukan usaha tertentu untuk mendapatkan tingkat prestasi tertentu. Sedangkan, menurut Snyder (2002) harapan adalah kemampuan untuk merencakan jalan keluar dalam upaya

(12)

mencapai tujuan walaupun adanya rintangan dan menjadikan motivasi sebagai suatu cara dalam mencapai tujuan. Snyder, Irving & Anderson (dalam Snyder, 2000), menyatakan harapan adalah keadaan termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency (energi yang mengarah pada tujuan) dan

pathway thinking (rencana untuk mencapai tujuan). Harapan adalah kuatnya

kecenderungan seseorang bertindak dengan cara tertentu untuk hasil tertentu. Irving, dkk (dalam Snyder, 2002) menyatakan, bahwa komponen motivasional pada teori harapan adalah agency, yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya. Agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang mempunyai harapan tinggi menggunakan self-talk seperti “Saya dapat melakukan ini” dan “Saya tidak akan berhenti sampai disini”. Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan motivasi pada jalur alternatif terbaik.

Sedangkan, pathway thinking (Snyder, dkk, 2000), mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa jalan yang dihasilkan akan berguna ketika individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang tinggi merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya mereka sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif. Individu yang memiliki keduanya merupakan contoh individu yang memiliki harapan yang tinggi, dimana individu tersebut dapat memikirkan jalan alternatif menuju tujuan dan langsung diterapkan pada jalan yang terlihat lebih efektif.

(13)

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang penting bagi seorang anak dalam tumbuh dan berkembang. Dalam lingkungan keluarga akan terbentuk corak antara orangtua dan anak melalui pengasuhan atau pendidikan yang diberikan orangtua. Dalam pengasuhan yang dilakukan orangtua, orangtua akan memberikan segala sesuatu yang terbaik untuk anaknya saat ini dan untuk masa yang akan datang. Melalui asuhan dan pendidikan yang diberikan orangtua, mereka memiliki keinginan dan harapan kepada anak-anaknya kelak. Hurlock (2003) menyebutkan bahwa tidak jarang orangtua dalam mengasuh atau mendidik anak-anaknya sangat dipengaruhi oleh keinginan atau ambisi dari orangtua kepada anaknya.

Bagi orangtua memiliki harapan ideal pada anaknya adalah sesuatu hal yang wajar. Harapan merupakan suatu perasaan yang dapat dialami oleh individu sebagai sesuatu yang belum nyata, sesuatu yang masih dalam pengharapan, dalam arti harapan karena apa yang dirasakan oleh individu merupakan perasaan yang menjangkau ke depan dan masih belum terjadi, seperti “saya berharap anak saya lulus di semester berikutnya” (Walgito, 2005).

Menurut Woodworth dan Marquis (2001), harapan dalam ilmu psikologi merupakan dimensi ketiga dari perasaan. Dimensi pertama yakni adanya perasaan senang atau tidak senang yang dialami individu, dan dimensi kedua adalah excited feeling dan innert feeling. Selanjutnya, dimensi ketiga yaitu harapan. Sehubungan dengan waktu dan perasaan, Stern (Walgito, 2005) membedakan perasan dalam tiga golongan, yaitu:

(14)

a. Perasaan present, yaitu perasaan yang timbul dalam keadaan yang sekarang hadir atau nyata dihadapi, yaitu berhubungan dengan situasi aktual.

b. Perasaan yang menjangkau maju (future), merupakan jangkauan ke depan, yaitu perasaan dalam kejadian-kejadian yang akan datang, jadi masih dalam pengharapan.

c. Perasaan yang berkaitan dengan waktu lampau (past), yaitu perasaan yang timbul dengan melihat kejadian-kejadian yang telah lalu. Dalam teori harapan ini ada kaitan antara perasaan yang timbul dengan kemungkinan tercapainya tujuan dan pentingnya tujuan, walaupun tujuan tersebut secara objektif belum dicapai individu yang bersangkutan (Walgito, 2005). Individu yang menganggap penting tujuan dari kegiatan yang dilakukan, maka ia akan memiliki harapan tinggi atas ketercapaian tujuannya dan ia akan berharap bahwa tujuan yang ingin dicapainya bisa terwujud dalam kehidupan nyata (Stern, dalam Walgito, 2005).

Selanjutnya, Chatterjee dan Sinha (2013) mendefinisikan harapan orangtua sebagai keyakinan orangtua pada kinerja akademik dan karir anak-anaknya, seperti memiliki keyakinan bahwa anak dapat menyelesaikan tugas tepat waktu dan pantang menyerah. Orangtua meyakinkan diri bahwa anak dapat berhasil di bidang akademik serta sukses dalam bidang karir. Yamamoto dan Holloway (2010) mendefinisikan harapan orangtua sebagai keyakinan atau penilaian yang realistik orangtua tentang anak-anak mereka untuk berprestasi dimasa depan mereka.

(15)

Dari beberapa pendapat ahli diatas mengenai definisi harapan orangtua, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harapan orangtua adalah suatu hal atau keinginan atau target ideal yang diinginkan orangtua pada anak untuk berprestasi dan hal tersebut diyakini akan terjadi dimasa depan anak-anaknya untuk mendapatkan masa depan yang baik.

2.1.2.5 Aspek-aspek Harapan Orangtua

Orangtua pasti mengharapkan segala sesuatu yang bersifat baik bagi masa depan anak-anaknya. Leung dan Shek (2011) dalam penelitiannya menyebutkan harapan orangtua mencakup lima dimensi yakni:

a. Harapan agar anaknya berprestasi dalam akademis. b. Harapan agar anaknya dapat mandiri.

c. Harapan agar anaknya memiliki pekerjaan. d. Harapan agar anaknya berkelakuan baik.

Selanjutnya, Sasikala dan Karunandhi (2011) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa harapan orangtua terbagi dalam empat dimensi yaitu:

a. Harapan pribadi, yaitu harapan orangtua yang berkaitan dengan kepatuhan, rasa hormat, kedewasaan, disiplin dan tanggung jawab. b. Harapan akademik, yaitu harapan orangtua yang berhubungan dengan aspirasi, prestasi dan kesuksesan akademik anak.

c. Harapan karir, yaitu harapan orangtua mengenai karir dan cita-cita anak dimasa depan.

d. Ambisi orangtua, yaitu keinginan orangtua yang belum terpenuhi dan nilai-nilai yang diharapkan orang tua dari anaknya.

(16)

Dalam penelitian ini, harapan orangtua khusus dibatasi pada dimensi harapan akademik. Salah satu harapan orangtua adalah agar anaknya memiliki prestasi dan kesuksesan akademik anak. Secara umum, orangtua memiliki keinginan dan harapan ideal yang berkaitan dengan akademik agar anak berusaha mencapai suatu prestasi-prestasi tertentu sesuai harapannya yang menjamin masa depan anaknya. (Sasikala dan Karunandhi, 2011).

Harapan orangtua dalam bidang akademik merupakan keyakinan atau penilaian bahwa prestasi anak dimiliki oleh orangtua dan akan berpengaruh pada kesuksesan anak di masa depan, seperti tercermin dalam perolehan nilai, mencapai nilai terbaik atau mendapat peringkat tertinggi (Yamamoto & Holloway, 2010). Kesuksesan akan mendorong usaha-usaha seorang anak untuk menguasai ilmu yang dipelajarinya, sehingga meningkatkan prestasi akademiknya. Harapan untuk sukses merupakan salah satu komponen motivasi yang mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia memiliki potensi untuk berhasil menyelesaikan tugas (Lawanto, dkk dalam Kulsum 2015). Hasibuan (2008) juga menyatakan, bahwa anak yang memiliki harapan keberhasilan akademik tinggi maka motivasi dan prestasi yang diraih juga akan meningkat.

2.1.2.6 Karakteristik Harapan Orangtua

Harapan orangtua tidak selalu sependapat dengan harapan pribadi pada anaknya. Tak jarang ditemukan keadaan dimana harapan orangtua berbeda dengan harapan pribadi si anak. Agar anaknya mencapai keinginan atau harapan orangtua, banyak orangtua yang melakukan tindakan-tindakan yang mendukung tercapainya harapan tersebut.

(17)

Dalam penelitian Hariyanto, dkk (2014) harapan orangtua ditunjukan dengan tindakan:

a. Memberikan nasehat kepada anak-anaknya.

b. Memberikan bantuan maupun bimbingan berupa alternatif pemecahan masalah

c. Memberikan pujian atau hadiah.

d. Serta memberikan ganjaran yang konkrit pada anak atas pencapaiannya.

Hadawi (dalam Kulsum, 2015) menyebutkan ciri-ciri harapan orangtua ditunjukkan dengan:

a. Melakukan komunikasi terus menerus dengan anak. b. Menetapkan visi keberhasilan masa depan anak-anaknya.

c. Menetapkan pandangan bahwa kerja keras merupakan jalan keberhasilan.

d. Membangun tanggung jawab anak.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan karakteristik harapan orangtua ditunjukkan dengan:

a. Melakukan komunikasi terkait visi keberhasilan sesuai harapan akademik orangtua.

b. Memberikan nasehat-nasehat untuk keberhasilan akademik anaknya.

c. Memberikan bantuan dalam pemecahan masalah berkaitan dengan akademik anak.

(18)

d. Memberikan reward dan punishment pada pencapaian anak yang terkait dengan akademik.

2.1.2.7 Pengertian Persepsi terhadap Harapan Orangtua

Telah disampaikan sebelumnya bahwa dalam proses persepsi akan menghasilkan penilaian-penilaian terhadap suatu stimulus, artinya dalam setiap proses persepsi melibatkan stimulus sebagai objek persepsi. Dalam penelitian ini, harapan orangtua digunakan sebagai objek persepsi.

McDowell & Newel (1996) persepsi dipengaruhi oleh faktor perasaan didalam diri individu, sehingga mampu mempengaruhi persepsi individu tersebut. Sugihartono, dkk (2007) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia memiliki perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Selanjutnya, Yamamoto dan Holloway (2010) mendefinisikan harapan orangtua sebagai keyakinan atau penilaian yang realistik orangtua tentang anak-anak mereka untuk berprestasi dimasa depan mereka. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan persepsi terhadap orangtua adalah hasil suatu proses masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia melalui alat indera seperti indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciuman dan memberikan penilaian-penilaian positif atau negatif terhadap keinginan-keinginan ideal

(19)

orangtua pada anaknya untuk mendapatkan masa depan yang baik sesuai keinginan orangtua.

2.1.2.8 Aspek-aspek Persepsi terhadap Harapan Orangtua

Menurut McDowell & Newell (1996) aspek-aspek persepsi adalah aspek kognisi dan afeksi. Aspek persepsi terhadap harapan orangtua adalah aspek persepsi yang disesuaikan dengan karakteristik dari harapan orangtua, yaitu:

a. Aspek Kognisi

Aspek kognisi berhubungan dengan cara berpikir atau pengenalan, yaitu bagaimana pandangan atau penilaian individu terhadap suatu stimulus yang ditemui.

Aspek kognisi pada persepsi terhadap harapan orangtua mencakup bagaimana siswa berpikir mengenai harapan akademik orang tuanya yang kemudian akan terbentuk pemikiran, pengetahuan dan penilaian yang ditunjukkan dengan perilaku:

1. Memahami komunikasi yang dilakukan orangtua terkait visi keberhasilan sesuai harapan akademik orangtua.

2. Memikirkan nasehat-nasehat yang diberikan orangtua untuk keberhasilan akademiknya sesuai keinginan orangtua.

3. Memikirkan bantuan yang diberikan orangtua dalam pemecahan masalah terkait dengan akademiknya.

4. Memikirkan pemberian reward dan punishment atas pencapaiannya yang terkait dengan akademik.

(20)

b. Aspek Afeksi

Aspek afeksi berhubungan dengan perasaan atau kesan, yaitu bagaimana perasaan atau emosi yang dimiliki seseorang terhadap suatu stimulus yang ditemui.

Aspek afeksi pada persepsi terhadap harapan orangtua mencakup bagaimana perasaan yang timbul dalam diri sendiri akibat menilai harapan orang tua berkaitan dengan akademiknya. Aspek afeksi pada persepsi terhadap harapan orangtua ditunjukkan dengan:

1. Memahami komunikasi yang dilakukan orangtua terkait visi keberhasilan sesuai harapan akademik orangtua.

2. Merasa senang dengan nasehat-nasehat yang diberikan orangtua untuk keberhasilan akademiknya sesuai keinginan orangtua.

3. Merasa senang dengan bantuan yang diberikan orangtua dalam pemecahan masalah terkait dengan akademiknya.

4. Merasa senang dengan pemberian reward dan sedih dengan pemberian punishment atas pencapaiannya yang terkait dengan akademik.

Karena harapan bersifat individual maka sangat mungkin terjadi perbedaan harapan orangtua dengan harapan pribadi anak terutama terkait harapan terhadap akademik. Perbedaan tersebut akan menghasilkan perbedaan persepsi terhadap harapan orangtua. Beberapa individu mungkin akan

(21)

mempersepsi harapan orangtuanya secara positif dan adapula yang menganggap harapan orangtua sebagai sesuatu yang negatif (Kulsum, 2015).

2.1.3 Definisi Mahasiswa

Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008), definisi mahasiswa adalah individu yang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasaan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak (Siswoyo, dkk., 2007). Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya dari 18 sampai 25 tahun (Yusuf, 2012).

Menurut Kartono (Ulfah, 2010) mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain:

1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia.

2. Karena kesempatan yang ada, mahasiswa diharapkan nantinya dapat bertindah sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.

3. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi.

4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan professional.

(22)

Mahasiswa diikat oleh peraturan perguruan tinggi dan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah mengenai perguruan tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (PERMENDIKBUD) No. 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi tahun 2014 (news.detik.com, 2014). Didalam peraturan tersebut, diatur sejumlah standar acuan untuk pendidikan tinggi. Mulai dari kurikulum kompetensi pendidikan, hingga durasi studi. Salah satu aturan PERMENDIKBUD mengenai durasi belajar mahasiswa program sarjana (S1) terdapat di Pasal 17 yaitu:

 Ayat 2 huruf d

Untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mahasiswa wajib menempuh beban belajar paling sedikit 144 sks untuk program diploma 4 (D4) dan program sarjana (S1).

 Ayat 3 huruf d

Masa studi terpakai bagi mahasiswa dengan beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah 4 sampai 5 tahun untuk program diploma 4 (D4 dan program sarjana (S1).

Peraturan perguruan tinggi mengikuti peraturan pemerintahan yang menetapkan bahwa pencapaian pembelajaran lulusan program sarjana (S1) paling sedikit 144 sks dan masa studi siswa maksimal 4 sampai 5 tahun, tak terkecuali Universitas Mercu Buana Jakarta. Peraturan Universitas Mercu Buana Jakarta pun menambahkan, jika masa studi mahasiswa sudah mencapai atau lewat 5 tahun maka sanksi yang akan diberikan kepada mahasiswa tersebut adalah dikeluarkan dari kampus atau Drop Out (DO). Mahasiswa diminta untuk

(23)

mengikuti peraturan yang berlaku baik peraturan di perguruan tinggi maupun peraturan pemerintahan.

2.2 Kerangka Berfikir

Dalam penelitian ini, orang tua yang memiliki cita-cita dan harapan tinggi terhadap prestasi akademik dan prestasi sosial anak akan mempengaruhi persepsi anak terhadap harapan orang tua (Hurlock, 2003). Harapan untuk sukses merupakan salah satu komponen motivasi yang mengarahkan individu untuk percaya bahwa ia memiliki potensi untuk berhasil menyelesaikan tugas (Lawanto, dkk, dalam Kulsum 2015). Hasibuan (2008), juga menyatakan bahwa anak yang memiliki harapan keberhasilan akademik tinggi maka motivasi dan prestasi yang diraih juga akan meningkat.

Keadaan tersebut menimbulkan persepsi positif dan negatif pada diri mahasiswa. Persepsi positif dapat dilihat ketika mereka dapat menyesuaikan diri dengan baik dan mereka akan berusaha terus untuk mencapai tujuan. Sedangkan persepsi negatif, jika mereka tidak dapat memenuhinya maka mereka tidak akan konsentrasi dalam belajar, berusaha membolos dan berusaha memperoleh izin dari orang tua untuk berhenti belajar sebelum waktunya (Naingolan, 2007).

Harapan Orangtua 1. Aspek Kognisi 2. Aspek Afeksi

Ketakutan akan kegagalan (Fear of Failure)

1. Penghinaan dan rasa malu 2. Penurunan estimasi diri

individu

3. Ketidakpastian masa depan 4. Hilangnya pengaruh sosial 5. Mengecewakan orang lain

(24)

Tuntutan berasal dari harapan yang dimiliki orangtua agar anak berhasil dalam bidang akademiknya. Tuntutan orangtua kepada anaknya untuk mencapai prestasi yang tinggi dapat menyebabkan anak mengalami ketakutan akan kegagalan. Orangtua yang memberikan harapan positif kepada anak namun, anak mempersepsikannya secara negatif maka akan memunculkan rasa takut akan kegagalan. Begitu pula sebaliknya, jika orangtua memiliki harapan yang negatif, namun anak memiliki persepsi positif, maka juga akan memunculkan rasa takut akan kegagalan. Menurut Conroy (2002), individu dengan ketakutan akan kegagalan, khawatir akan konsekuensi sosial kegagalan. Kegagalan akan membuat individu mengalami rasa malu dan penghinaan dari lingkungan sosialnya.

Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa harapan orangtua akan berkorelasi positif dengan ketakutan akan kegagalan (fear of failure). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara harapan orang tua dengan ketakutan akan kegagalan (fear of failure).

2.3 Hipotesis

Berdasarkan uraian teori diatas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

H1 : Ada hubungan yang signifikan antara harapan orang tua dengan ketakutan akan kegagalan ada mahasiswa rentan DO Universitas Mercu Buana.

H2 : Terdapat arah hubungan yang signifikan antara harapan orang tua dengan ketakutan akan kegagalan ada mahasiswa rentan DO Universitas Mercu Buana.

Referensi

Dokumen terkait

Namun hanya sedikit yang membahas tentang HSE secara satu Namun hanya sedikit yang membahas tentang HSE secara satu kesatuan untuk penilaian di industri berbasis logika fuzzy..

Disetiap siklus selalu melaksanakan tahapan- tahapan berikut ini: (1) perencanaan, di dalam perencanaan ini peneliti dan guru melakukan kegiatan diantaranya

PROSEDUR TETAP PENANGANAN LIMBAH SITOSTATIKA 1) Gunakan Alat Pelindung Diri (APD). 2) Tempatkan limbah pada kontainer buangan tertutup. Untuk benda-benda tajam seperti

Alhamdulillahirobbil’ alamin puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat,rahmat dan hidayah-Nya yang senatiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan sampai

Grafik perbandingan efisiensi Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa efisiensi line axle shaft A meningkat dimana efisiensi awal line sebelum perbaikan sebesar 72%

Terdapat beberapa permasalahan yang mungkin muncul dalam penjualan on-line berbasis media sosial yaitu: a) Kualitas produk yang tidak pasti. Karena calon pembeli tidak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga bekerja sebagai petani memiliki motivasi negatif, keadaan ini akan menyebabkan keluarga enggan untuk menerima

The Salvadoran state has the power to regulate and supervise the rendering of public services provided by private enterprise, the approval of their fees, with the exemption of