• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memang sangat kompleks. Namun masalah pengupahan menjadi masalah utama yang tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memang sangat kompleks. Namun masalah pengupahan menjadi masalah utama yang tidak"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan-persoalan ketenagakerjaan di Indonesia merupakan masalah nasional yang memang sangat kompleks. Namun masalah pengupahan menjadi masalah utama yang tidak pernah ada habisnya. Selama ini pemerintah memandang masalah ketenagakerjaan hanya pada bagaimana menangani masalah surpus labour ataupun masalah angkatan kerja yang semakin membludak namun kesempatan kerja yang tersedia sangatlah terbatas. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan, dan perbaikan kesejahteraan buruh ditinggalkan begitu saja. Termasuk masalah pengupahan yang masih jauh dari concern pemerintah, hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah belum mampu menampung dan menyelesaikan masalah pengupahan yang dihadapi buruh.

Isu upah memang merupakan isu panas sejak dulu. Hari ini, penentuan upah di daerah ( Kabupaten/Kota) adalah medan perang paling nyata bagi para buruh. Upah jelas lebih merupakan isu eksistensial bagi buruh, yang sungguh nyata dan sungguh penting. Setiap tahunnya tuntutan-tuntutan dan aspirasi buruh selalu diteriakkan lewat media perjuangan mereka yaitu melalui serikat-serikat pekerja/buruh yang mewakili kepentingan mereka. Perbaikan kesejahteraan buruh menjadi tuntutan utama para buruh yang menginginkan adanya perubahan kehidupan yang lebih layak demi kelangsungan hidup mereka. Hal ini akan menjadi masalah yang komleks jika dikaitkan dengan tingkat kebutuhan buruh yang tidak sesuai dengan tingkat upah yang mereka terima. Tingkat kebutuhan yang semakin meningkat dan mahal harus dipenuhi dengan upah yang rendah.

(2)

Di Indonesia sendiri masalah upah masih menjadi masalah yang membutuhkan perhatian lebih dalam penyelesaiannya, mengingat masalah upah merupakan masalah teratas yang terjadi dalam ketenagakerjaan. Pengupahan menjadi masalah utama dalam ketenagakerjaan tidak lain karena disebabkan masih rendahnya tingkat upah di Indonesia. Penelitian TURC (Trade Union Rights Centre) menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp700 rupiah per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras sebanyak 160 kilogram beras (dengan asumsi harga beras Rp 5.000 per kg di tahun ini). Ini bermakna upah riil buruh berkurang hampir 50 %. Penelitian INDOC juga menyatakan upah buruh Indonesia kini sangat rendah, hanya berkisar 5% sampai 6% dari biaya produksi. Data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan, yang 60 persen adalah biaya produksi, 15 persen lain uang siluman yang terus-menerus dilakukan oknum aparat pemerintah.

Upah merupakan komponen penting dalam ketenagakerjaan, yaitu sebagai salah satu unsur dalam pelaksanaan hubungan kerja, yang mempunyai peranan strategis dalam pelaksanaan hubungan industrial. Upah diterima pekerja atas imbalan jasa kerja yang dilakukannya bagi pihak lain, sehingga upah pada dasarnya harus sebanding dengan kontribusi yang diberikan pekerja untuk memproduksi barang atau jasa tertentu. Dalam menentukan tingkat upah pihak-pihak sebagai pelaku penerima pekerjaan (buruh) dan pemberi pekerjaan memiliki pandangan yang berbeda. Bagi pengusaha upah merupakan bentuk biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, yang berdampak pada keuntungan perusahaan. Oleh karena itu dalam penetapan tingkat upah mereka sangat berhati-hati. Sedangkan bagi buruh, upah merupakan sumber pendapatan, sehingga mereka sangat mengharapkan peningkatan tingkat upah.

(3)

Perbedaan pandangan mengenai penetapan tingkat upah Ini sering memicu perselisihan antara buruh dan pengusaha. Oleh karena itu untuk mencapai kesepakatan dalam penentuan tingkat upah maka peran dan intervensi pemerintah perlu dilibatkan. Hal ini juga sebagai bentuk perlindungan buruh yang memang menjadi kaum inferior jika berhadapan dengan pengusaha. Posisi tawar buruh yang rendah menyebabkan ketidakseimbangan posisi buruh jika berhadapan dengan pengusaha. Adanya intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar buruh yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha.

Salah satu bentuk keterlibatan pemerintah dalam hubungan industrial adalah dalam penetapan tingkat upah. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan upah minimum. Upah minimum diartikan sebagai ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan perusahaan untuk membayar upah sekurang-kurangnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kepada pekerja yang paling rendah tingkatannya. Dengan kata lain, bahwa upah minimum dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk melindungi kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap perusahaan agar memperoleh upah serendah-rendahnya sesuai dengan nilai atau harga kebutuhan hidup layak.

Formulasi upah dilakukan secara tripartit antara pengusaha, pemerintah dan serikat buruh untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah yang adil bagi semua pihak, terutama adil buat buruh. Berangkat dari perbedaan pandangan antara pengusaha dan buruh tadi, maka dalam hal penetapan tingkat upah bukanlah hal yang mudah. Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda, sehingga untuk mencapai kesepakatan mengenai tingkat upah tidak jarang akan diwarnai oleh pertentangan. Hal tersebut juga terjadi di tingkat kota yang mengatur tentang Upah Minimum Kota (UMK). Pertentangan dan perdebatan tersebut pastinya akan

(4)

berpengaruh pada keputusan-keputusan yang diambil dalam proses formulasi kebijakan UMK. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti formulasi upah minimum Kota Medan tahun 2010 dan menganalisis interaksi antara pengusaha, serikat buruh dan pemerintah dalam menentukan tingkat upah minimum yang menjadi hasil kesepakatan dari ketiga lembaga tersebut.

Formulasi UMK haruslah berangkat dari tuntutan-tuntutan buruh akan upah yang layak bagi mereka. Karena Formulasi yang baik adalah formulasi yang mampu merumuskan tuntutan serta mampu dilaksanakan nantinya. Inilah kemudian yang menjadi bentuk komunikasi dan pembahasan bersama yang dilakukan secara tripartit dalam hal perumusan tingkat upah yang adil, yaitu mampu memenuhi standar kelayakan hidup buruh dan bagi pengusaha tentunya tidak memberatkan dan mengancam keuntungan perusahaan.

Tuntutan-tuntutan buruh akan upah yang layak menjadi input dalam formulasi kebijakan pengupahan. Tuntutan yang lahir dari buruh ini selanjutnya akan dikonversi dalam proses formulasi menjadi kebijakan pengupahan nantinya. Melalui Formulasi kebijakan pengupahan dirumuskan tingkat upah yang menjadi dasar pengupahan setiap daerah. Oleh karena itu besaran tingkat upah masing-masing daerah kabupaten/kota berbeda. Hal ini disesuaikan berdasarkan kemampuan ekonomi makro setiap daerah.

Persoalan lain dalam formulasi UMK (Upah Minimum Kota) adalah mengenai Survei KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Persoalan penentuan harga barang yang menjadi item atau komponen KHL menjadi salah satunya, buruh menghendaki barang-barang dengan harga yang relatif tinggi sebaliknya unsur pengusaha ingin mendapatkan data barang-barang dengan harga yang relatif rendah. Selain itu survei KHL ternyata hanya merupakan bahan pertimbangan atau

(5)

rekomendasi saja dalam menentukan besaran upah dan tidak ditetapkan sepenuhnya. Inilah yang membuat survei KHL masih sangat lemah.

Survei KHL adalah survei yang dilakukan oleh dewan pengupahan terhadap item-item KHL yang disepakati dan yang mewakili kebutuhan buruh yang sebenarnya. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) diamanatkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pasal 89 juga dijelaskan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penetapan upah minimum dicapai secara bertahap. Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan (Permenakertrans Nomor PER-17/MEN/VIII/2005 Pasal 1) .

Survei KHL sebagai faktor intern yang mempengaruhi formulasi UMK, adalah survei yang memperhitungkan sejumlah item-item dasar kebutuhan buruh berdasarkan survei pasar yang dilakukan oleh dewan pengupahan. Namun, “Mengapa upah minimum masih saja rendah padahal survei KHL telah dilakukan?”. “Apakah formulasi UMK yang selama ini sudah mencerminkan pencapaian Kebutuhan Hidup Layak buruh ?“. Ada banyak hal yang perlu dipertanyakan dalam hal ini. UMK sebagai safety net bagi buruh pastinya menjadi harapan buruh untuk mendapatkan upah yang layak.

Begitu halnya untuk Kota Medan, Upah Minimum Kota (UMK) Kota Medan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 1.100.000,- naik sebesar 7,8 % dari tahun 2009, Namun secara riil hal

(6)

ini dinyatakan masih kurang cukup bagi buruh karena adanya peningkatan kebutuhan berdasarkan laju inflasi.

Sejak diberlakukannya UMK Medan mulai tahun 2006, Upah Minimum Kota selalu mengalami kenaikan. Tahun 2006 upah minimum kota medan Rp 750.000,. tahun 2007 sebesar Rp. 820.000 naik sekitar 9,23 %. untuk tahun 2008 sebesar Rp 918.000 naik sekitar 11,9 % dari tahun 2007, dan untuk tahun ini naik sebesar 8 % dari tahun 2009. Data diatas dapat kita bandingkan dengan tingkat KHL nya sebagai salah satu dasar dalam penetapan UMK. Tahun 2006 sebesar Rp 799.827,66 tahun 2007 sebesar Rp 913.188,16. Tingkat KHL naik sekitar 31,6% di tahun 2007. Dan tahun 2008 sebesar Rp 1.053.231,32 turun 15,3% dari tingkat KHL sebelumnya. Dari data diatas menunjukan bahwasanya penetapan Upah walaupun besaran upah minimum kota selalu meningkat dari tahun ke tahun tapi tidak sesuai dengan kebutuan riil buruh. Ini menjadi fokus kajian yang menarik bagi penulis.

Berdasarkan Berita Acara Dewan Pengupahan Kota Medan tentang Perumusan Upah Minimum Kota Medan dan Surat Rekomendasi Wali Kota Medan No 560/ 17230 perihal Penetapan Upah Minimum Kota Medan 2010. UMK Medan 2010 ditetapkan sebesar Rp1.100.000 per bulan dan mulai berlaku sejak Januari. Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan di Medan dilarang untuk membayar upah buruhnya dibawah harga umk yang ditetapkan tersebut. Dan bagi perusahaan yang memberikan upah lebih tinggi dari UMK yang ditetapkan dilarang untuk mengurangi atau menurunkan upah.

KHL sebagai dasar penetapan UMK sangatlah krusial dalam perumusan pengupahan. Sehingga apabila kebijakan upah minimum belum setara dengan hasil survei KHL maka upah yang layak sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 4 dan 89

(7)

belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan yang menyatakan bahwasanya UMK haruslah sesuai dengan standar KHL, yang pencapaiannya dilakukan secara bertahap.

Melihat persoalan-persoalan yang telah dipaparkan diatas peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang Formulasi Upah Minimum Kota (UMK) medan tahun 2010 dan melihat interaksi antara pengusaha, serikat buruh dan pemerintah dalam menentukan tingkat upah minimum sebagai hasil kesepakatan dari ketiga lembaga tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana proses perumusan Upah Minimum Kota Medan (UMK) tahun 2009?

2. Bagaimana interaksi antara pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah daerah dalam menentukan tingkat Upah Minimum Kota Medan tahun 2009?

C. Tujuan penelitian

Penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pada dasrnya memiliki tujuan penelitian yang ingin dicapai. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses atau mekanisme formulasi UMK Kota Medan tahun 2010 2. Untuk mengetahui bagaimanakah interaksi antar aktor dalam proses formulasi kebijakan

UMK

3. Untuk mengetahui apakah besaran UMK Kota Medan tahun 2010 sudah mencerminkan pencapaian KHL.

(8)

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini tentunya akan diperoleh hasil yang diharapkan dapat memberimanfaat bagi peneliti maupun bagi pihak lain yang membutuhkan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis

Penelitian ini bermanfaat untuk melatih dan mengembangkan kerangka berfikir ilmiah dan menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah, sekaligus untuk menambah bahan pengetahuan dan pemahaman tentang pengupahan buruh khususnya melalui kebijakan Formulasi Upah Minimum Kota.

2. Bagi departemen Ilmu Administrasi Negara

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai referensi bagi mahasiswa yang tertarik pada bidang kajian ini, dan bermanfaat untuk mengembangkan minat mahasiswa terutama dalam fokus kajian kebijakan publik.

3. Bagi Dinas sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam memformulasikan Upah Minimum Kota (UMK) untuk tahun berikutnya.

(9)

1. KEBIJAKAN PUBLIK

Menurut Dye publik policy atau kebijakan publik adalah “whatever governments choose

to do or not to do”. Disini tegas dinyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan itulah yang merupakan public policy atau kebijakan publik. Defenisi Dye itu didasarkan pada kenyataan bahwa banyak sekali masalah-masalah yang harus diatasi, banyak sekali keinginan dan kehendak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Oleh karena itu pemerintah harus menentukan sikap atau bertindak atau tidak melakukan tindakan sama sekali untuk itu. Karena Itu menunjukan sikap pemerintah dalam menyelesaikan suatu masalah publik.

Dan menurut Heclo dalam buku Jones (1994: 44) mendefenisikan kebijakan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan. Suatu kebijakan akan lebih cocok dilihatnya sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka.

Begitu halnya Dalam bidang ketenagakerjaan salah satu masalah yang dihadapi buruh dari tahun ke tahun adalah persoalan pengupahan. Oleh karena itu pemerintah menetapkan kebijakalan upah minimum sebagai bentuk penyelesaian atas banyaknya masalah-masalah pengupahan yang terjadi. Kebijakan pengupahan lahir atas tuntutan-tuntutan buruh yang menuntut peran pemerintah untuk turut serta atau campur tangan dalam menyelesaikan masalah pengupahan yang memang tidak pernah ada habisnya.

Pertentangan dan perdebatan antara buruh dan pengusaha kerap kali menjadi hal yang beruntut pada ketidakpuasan buruh atas upah yang mereka diterima. Karenanya untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah yang dinilai adil dan mewakili kepentingan masing-masing maka

(10)

pemerintah berperan sebagai mediator. Inilah yang disebut dengan lembaga tripartit. Dan dalam kebijakan pengupahan lembaga tripartit ini disebut dengan dewan pengupahan. Semua kesepakatan tentang tingkat upah minimum yang dibuat merupakan hasil kesepakatan dari ketiga lembaga tersebut. Bagaimana pemerintah, dunia usaha, dan serikat pekerja berinteraksi dalam merumuskan tingkat upah minimum sehingga nantinya mencapai kesepakatan akan tingkat upah minimum yang layak bagi buruh serta tidak merugikan perusahaan? Ini semua menjadi tugas dan taggung jawab dewan pengupahan.

1.1 Pengambilan Keputusan Mengenai Kebijakan Pengupahan

Pengambilan keputusan Kebijakan publik tidak lain adalah bagaimana untuk menyelesaikan masalah (issue) dan mengatasi berbagai persoalan-persoalan publik dan juga untuk mencapai suatu tujuan demi kepentingan masyarakat (publik interest). Berhubungan dengan itu maka tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan haruslah jelas. Karena suatu kebijakan pemerintah yang baik haruslah mengandung kepentingan rakyat dalam tujuan kebijakan tersebut. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat maka pemerintah haruslah mengenali dan memahami apa yang menjadi tuntutan dan kepentingan masyarakat tersebut. Proses Pengambilan keputusan kebijakan publik untuk tahap formulasi dimulai dengan perumusan atau penentuan masalah kebijakan, dilanjutkan dengan penyusunan agenda kebijakan, dan pengembangan alternatif atau usulan kebijakan.

(11)

Menurut Robert Eyestone suatu masalah (issue) timbul apabila masyarakat umum menghendaki adanya tindakan pemerintah dengan adanya masalah (problem) yang mereka hadapi, sedang mereka tidak mempunyai kesepakatan dalam penyelesaiannya. Dalam hal ini pememerintah dibutuhkan perannya untuk menyelesaikan masalah publik yang memang sudah masuk dalam issue areas.

Menurut James Anderson mengatakan bahwa, suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan pada rakyat untuk mana dicari-cari penanggulangannya. Suatu problem akan menjadi problem-problem kebijakan apabila problem-problem tersebut dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problem tersebut.

Dan menurut Jones membedakan “problems” dengan “issue”. Jones mengartikan “issues” itu sebagai controversial publik problems “ yaitu problem-problem yang bertentangan satu sama lain. Dan ia juga menegaskan bahwa tidak semua problem dapat menjadi problem umum, tidak semua problem umum dapat menjadi issues dan tidak semua isu dapat dimasukkan ke dalam agenda pemerintahan.

Perkembangan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Terbentuknya isu publik (public issue) event problem problemspublic public issue

(12)

Di tengah-tengah masyarakat peristiwa atau kejadian-kejadian yang merupakan “event” dan yang mendapat perhatian dari seseorang Nampak sebagai masalah (problem). Tidak semua peristiwa atau kejadian dalam masyarakat berkembang menjadi problem, barulah jika seseorang mencetuskan idenya atau tanggapan terhadap problem tersebut. Kemudian hal tersebut diperbincangkan bersama oleh orang-orang dalam masyarakat “public problem” lalu berkembang pula menjadi masalah bersama yang memerlukan penyelesaian (public issue). (Soenarko, 2000: 103).

Masalah pengupahan berkembang di masyarakat sebagai bentuk ketidakpuasan buruh akan kebijakan upah selama ini. Tuntutan-tuntutan buruh dan aspirasi buruh untuk mendapatkan upah yang layak tidak pernah terpenuhi. Tingkat upah yang diterima buruh masih sangat rendah, padahal tingkat kebutuhan semakin meningkat. Oleh karena itu masalah pengupahan adalah masalah yang fundamen dan krusial dalam ketenagakerjaan.

1.1.2 Penentuan agenda (agenda setting)

Agenda setting tidak lain adalah proses bagaimana mengartikulasi dan mengagregasi aspirasi-aspirasi dan tuntutan masyarakat agar masuk dalam agenda pemerintahan untuk dirumuskan menjadi suatu kebijakan nantinya. Agenda setting adalah proses untuk mengubah bagaimana isu publik menjadi isu agenda. Karena tidak semua tuntutan rakyat tersebut dirumuskan menjadi suatu kebijakan, melainkan masalah-masalah yang berkembang menjadi “issue” yaitu masalah yang memerlukan penyelesaian pemerintah dan harus menjadi perhatian pemerintah juga (Soenarko, 2000: 79).

(13)

Dari sekian banyak masalah itu yang masuk menjadi perhatian pemerintah tidaklah banyak, yang mendapat perhatian dan terpilih itulah yang kemudian menjadi acara dalam agenda kebijakan (policy agenda). (Soenarko, 2000: 79)

Ada 2 macam agenda yaitu:

1. systemic agenda, yaitu bahwa dalam pembicaraan atau perbincangan masalah masih

berada dalam masyarakat, yang pada umumnya oleh pemimpin-pemimpin parpol, pemimpin kelompok kepentingan, dan pemimpin golongan masyarakat sebelum menjadi acara atau agenda pemerintah. Agenda disini merupakan “discussion agenda”.

2. Institutional agenda, yaitu bahwa sudah menjadi acara perbincangan pemerintah serta untuk diuruskan dalam penyelesaiannya. Di sini masalah sudah menjadi perhatian yang lebih pasti untuk ditetapkan menjadi kebijakan (policy) atau tidak ditetapkan namun terjadilah suatu keputusan. Agenda ini merupakan “action agenda”.

Dalam tahap agenda setting, masalah pengupahan masuk dalam agenda pemerintahan adalah melalui serikat pekerja atau serikat buruh yang mewakili kepentingan para buruh untuk membela dan memperjuangkan hak-hak buruh dalam menghadapi pengusaha yang menjadi kaum superior. Ketidakpuasan buruh dan berbagai pelanggaran hak-hak buruh adalah problem yang memang butuh penyelesaian dari pemerintah. Itulah yang menjadi dasar bagi media perjuangan serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak buruh untuk menjadi agenda pemerintah.

(14)

2.1 Pengertian Formulasi Kebijakan

Menurut Islamy (2001: 92) perumusan kebijakan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Yang termasuk dalam kegiatan tersebut adalah: bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. Serta siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan.

Menurut Soekarno (2003:132) Perumusan kebijaksanaan adalah merupakan kegiatan perencanaan (policy planning) dengan meletakkan keputusan-keputusan hasil analisa masalah dalam rancangan kebijaksanaan pemerintah. Sejauh mana kebijakan berhasil dalam masyarakat, sangat ditentukan oleh perumusan kebijakan itu. Banyak kebijakan yang secara umum dipandang para ahli cukup baik, tetapi tidak berhasil diterapkan dalam masyarakat sehingga tidak berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Sebaliknya ada kebijakan yang kelihatannya kurang bermutu dilihat dari substansinya, namun diterima masyarakat karena mewakili aspirasinya, sekalipun dalam pencapaian tujuan terdapat banyak kekurangan.

Formulasi merupakan turunan dari formula yang berarti untuk pengembangan metode, rencana untuk tindakan dalam suatu masalah. Ini merupakan permulaan dari kebijakan pengembangan fase atau tahap dalam kebijakan publik. Dan yang paling khas dalam tahap ini adalah bagaimana menyatukan persepsi seseorang tentang kebutuhan dan kepentingan masyarakat tentang kebutuhan yang muncul di masyarakat, bagaimana dilaksanakan, siapa yang terlibat, dan siapa yang dapat manfaat atau keuntungan dari issue tersebut. Formulasi merupakan proses yang lebih menyeluruh, termasuk perencanaan dan usaha yang kurang sistemik untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap masalah-masalah publik. (Jones, 1994: 149)

(15)

Menurut Jones (1994: 150) bahwa formulasi adalah suatu aktifitas yang mengandung unsur politik, walau ini tidaklah dilakukan seorang anggota parpol. Dengan menggunakan perencanaan yang lebih netral pun tidak dapat menghindari dan mengubah hal yang demikian. Saling mempengaruhi persepsi seseorang dalam merumuskan kebijakan pastilah tidak dapat dihindari. Masing-masing pembuat kebijakan yang memiliki persepsi berbeda akan menyarankan Bagaimana agar ide atau perencanaan dan rancangan miliknya tersebut dapat ditetapkan.

2.2 Pengembangan Alternatif Kebijakan

Salah satu tahap dalam perumusan kebijakan publik adalah tahap pengembangan alternatif kebijakan dan menentukan kriteria seleksi terhadap berbagai alternatif yang ditawarkan. Kebijakan yang dipilih adalah kebijakan yang telah lolos dari proses seleksi karena dipandang lebih unggul daripada alternatif kebijakan yang lain.

Menurut Islamy (2001: 92-95) Setelah beberapa masalah umum dapat masuk dalam agenda pemerintah, maka langkah selanjutnya adalah perumusan usulan-usulan kebijakan publik (policy agenda). Perumusan kebijakan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah: mengidentifikasi alternatif, mendefenisikan dan merumuskan alternatif, dan memilih alternatif yang “memuaskan” atau paling memungkinkan untuk dilaksanakan”.

1. Mengidentifikasi alternatif

Problem-problem umum yang telah jelas dirumuskan oleh pembuat kebijakan dan telah disepakati untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah berarti siap untuk dibuatkan usulan kebijakan untuk memecahkan masalah tadi. Sebelum pembuat kebijakan merumuskan usulan kebijakan maka terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap alternatif-alternatif

(16)

untuk kepentingan pemecahan masalah tersebut. Alternatif-alternatif kebijakan itu tidak begitu saja tersedia. Terhadap problem yang hampir sama maka pembuat kebijakan dapat menggunakan alternatif-alternatif kebijakan yang pernah dipilih namun untuk problem-problem baru pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan alternatif-alternatif kebijakan yang baru.

2. Mendefenisikan dan merumuskan alternatif kegiatan

Mendefenisikan dan merumuskan alternatif ini bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Nampak dengan jelas pengertiannya. Semakin jelas alternatif itu diberi pengertian maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negative dari masing-masing alternatif tersebut. Sebaliknya, alternatif yang tidak dapat didefenisikan atau dirumuskan dengan baik maka tidak akan dapat dipakai secara baik sebagai alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah. Selain itu persamaan persepsi sebagai hasil dari proses berfikir yang empatik pada setiap pembuat kebijakan sangat diperlukan sehingga dapat mendefenisikan alternatif kebijakan dengan baik. Hal ini karena alternatif kebijakan yang telah didefenisikan dengan baik dan jelas akan mempermudah proses penilaian terhadap masing-masing alternatif tersebut.

3. Menilai alternatif

Menilai alternatif adalah kegiatan pemberian bobot (nilai) pada setiap alternatif, sehingga nampak dengan jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing. Dengan mengetahui bobot positif dan negative dari masing-masing alternatif itu maka pembuat kebijakan akan mengambil sikap untuk menentukan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dipakai/dilaksanakan. Alternatif yang memiliki

(17)

bobot positif yang lebih bersar dibandingkan bobot negatifnya, maka apabila dipakai sebagai alternatif kebijakan akan memberikan dampak atau akibat yang positif juga.

Untuk dapat melakukan penilaian terhadap alternatif dengan baik maka diperlukan kriteria tertentu, misalnya adalah sampai seberapa jauh alternatif tersebut dapat dilaksanakan dan diterima semua pihak sehingga menghasilkan dampak yang positif. Kriteria ini tidak hanya bermakna bahwa pemilihan alternatif kebijakan mempunyai resiko tenaga, biaya, dan waktu, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bahwa alternatif yang dipilih tersebut benar-benar berfungsi dengan baik (pragmatis) dan menguntungkan semua pihak.

4. Memilih alternatif kebijakan yang “memuaskan”

Proses pemilihan alternatif kebijakan yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif-alternatif kebijakan. Kegiatan memilih alternatif kebijakan yang memuaskan tidaklah semata bersifat rasional tetapi juga emosional, dalam artian bahwa pembuat kebijakan para pembuat kebijakan akan menilai alternatif-alternatif kebijakan sebatas kemampuan rasionya dengan mengantisipasikan dampak positif dan negatifnya, dan selanjutnya membuat pilihan alternatif tersebut bukan hanya untuk kepentingan dirinya tetapi juga untuk kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh, akibat, dan konsekuensi dari pilihan alternatif tersebut. Dengan kata lain pemilihan alternatif kebijakan yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif.

(18)

Menurut Patton dan Sarwicki dalam Subarsono (2005: 58) Dalam hubungannya dengan kriteria yang berfungsi sebagai standar penilaian mengajukan beberapa kriteria sebagai berikut:

a. Kelayakan teknis, ini mencakup dua sub-kriteria yaitu efektivitas dan kecukupan. Efektifitas menyangkut, apakah alternatif yang dipilih dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan kecukupan mencakup seberapa jauh alternatif yang dipilih mampu memecahkan problem.

b. Kemungkinan ekonomi dan finansial, kriteria ini menyangkut sub-kriteria efisiensi ekonomi yang mempersoalkan apakah dengan menggunakan resource yang ada dapat diperoleh manfaat yang maksimal, profitability (keuntungan) mempersoalkan perbandingan antara input dengan output kebijakan dan efisiensi biaya yaitu mempersoalkan apakah tujuan dapat dicapai dengan biaya yang minimal.

c. Kelayakan politik kriteria ini mencakup sub-kriteria tingkat penerimaan yaitu apakah alternatif kebijakan yang bersangkutan dapat diterima oleh para aktor dan masyarakat, kepantasan yaitu mempersoalkan apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, daya tanggap yang mempersoalkan apakah kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspek keadilan yaitu mempersoalkan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.

d. Kelayakan administratif, kriteria ini mencakup sub-kriteria otoritas mempersoalkan apakah organisasi pelaksana kebijakan cukup memilik otoritas, komitmen institusi menyangkut komitmen dari para administrator, dan dukungan organisasi adalah ada tidaknya dukungan dari oragnisasi pelaksana kebijakan.

(19)

2.4 Formulasi Kebijakan Pengupahan

2.4.1 Aktor-Aktor Dalam Formulasi UMK

Dalam formulasi upah minimum ada aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, yang bertugas untuk merumuskan dan menentukan besaran tingkat upah setiap tahunnya. Aktor-aktor tersebut merupakan lembaga tripartit yang tergabung dalam suatau lembaga perumusan kebijakan pengupahan yang disebut dengan dewan pengupahan. Dewan pengupahan adalah lembaga yang terdiri dari unsur pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah serta akademisi yang bersifat non-struktural yang memiliki tugas dan fungsi dalam perumusan kebijakan pengupahan yaitu memberikan saran dan pertimbangan akan tingkat upah minimum.

1. Pengusaha (APINDO)

Di dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003 dinyatakan bahwa pengusaha adalah: a. Orang-perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan

milik sendiri.

b. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya.

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan milik sendiri atau badan hukum yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pada prinsipnya pengusaha adalah pihak yang menjalankan perusahaan milik sendiri maupun bukan. Secara umum istilah pengusaha adalah orang yang menjalankan suatu usaha (enterprenuer).

(20)

Menurut Husni ( 2003: 35) wadah bagi pengusaha untuk menjamin usahannya disebut dengan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang keberadaanya mulai dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. APINDO memiliki peran dan fungsi strategis untuk memberikan perlindungan kepada para anggota-anggotanya demi perkembangan dan peningkatan usaha secara maksimal. Beberapa peran dan fungsi APINDO antara lain adalah: membantu dalam hal pembuatan kesepakatan kerja bersama yang dilakukan oleh anggotanya, membantu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, ikut mengusulkan penetapan upah minimum baik regional maupun sektoral, dan ikut aktif dalam dewan penelitian pengupahan daerah atau pusat.

2. Serikat pekerja atau serikat buruh

Ada begitu banyak kepentingan dan aspirasi yang muncul dalam masyarakat. Pemenuhan atas kebutuhan dan aspirasi mereka menjadi tuntutan utama yang menjadi dasar perjuangan sekelompok orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama. Berbagai kepentingan yang muncul, bisa dilihat dari keberadaan kelompok kepentingan yang jumlahnya memang sangat banyak dan bervariasi. Kelompok kepentingan mengumpulkan dan mengubah kepentingan-kepentingan yang tercerai-berai di massyarakat,menjadi satu kesatuan untuk kemudian diperjuangkan, agar menjadi bagian dari kebijakan publik yang member manfaat bagi kelompoknya.

Menurut Truman, kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok pembagi sikap yang membuat klaim-klaim tertentu atas kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan tindakan-tindakan tertentu terhadap instansi-instansi pemerintah.

(21)

Ramlan Surbakti mengatakan bahwa kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan

Menurut Almond kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan publik

Fungsi utama kelompok kepentingan

Menurut Almond, yang menekankan pada aspek struktur dan fungsi komponen-komponen dalam system politik, kelompok kepentingan merupakan salah satu dari struktur yang terdapatd alam system politik, sebagai bagian dari infrastruktur politik. Fungsi utama kelompok kepentingan yaitu melakukan artikulasi politik. Artikulasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan dalam proses pembuatan kebijakan publik, yang di dalamnya terdapat kegiatan penggabungan berbagai kepentingan dan tuntutan masyarakat yang akan diubah menjadi alternatif-alternatif kebijakan. Menurut model proses demokrasi formal dari Dieter Fuchs, fungsi kelompok kepentingan bersama-sama media massa adalah dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik, yaitu dalam hal pengungkapan berbagai tuntutan. (Faturohman Deden, dan Wawan Sobari, 2004: 168)

Dari begitu banyak, kelompok kepentingan salah satunya adalah serikat pekerja/serikat buruh. Yaitu sebuah Kelompok kepentingan yang memperjuangkan hak-hak buruh dalam bidang ketenagakerjaan. Bagaimana serikat buruh untuk mengubah kepentingan-kepentingan para buruh menjadi tuntutan-tuntutan yang siap diperjuangkan menjadi salah satu agenda kebijakan publik nantinya.

(22)

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik dari perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Serikat pekerja/serikat buruh memiliki pandangan sendiri akan tingkat upah yang akan diusulkan nantinya. Yang terpenting dan menjadi tuntutan utama serikat pekerja/serikat buruh adalah adanya tingkat upah yang layak bagi para buruh. Serikat buruh yang tergabung dalam dewan pengupahan merupakan perwakilan bagi para buruh, oleh karena itu sebagai lembaga perjuangan hak-hak buruh maka tuntutan upah yang layak demi peningkatan kesejahteraan buruh adalah dasar bagi lembaga ini untuk menuntut tingkat upah yang tinggi dalam forum dewan pengupahan.

Tujuan didirikannya serikat pekerja/serikat buruh adalah untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Menurut Maimun (2004: 24) Untuk mencapai tujuan tersebut, serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi:

a. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial

b. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerjasama di bidang ketatakerjaan sesuai tingkatannya.

c. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(23)

e. Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemerintah daerah

Dalam PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Dan perangkat pemerintah daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari secretariat daerah, secretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.

Pemerintah selaku penguasa negara berkepentingan agar roda perekonomian nasional dan pendistribusian penghasilan dapat berjalan dengan tertib dan lancar sehingga tidak membahayakan keamanan negara. Begitu halnya di tingkat kabupaten/kota demi menjamin keberlangsungan perekonomian daerah menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah. Salah satunya adalah dalam bidang ketenagakerjaan, sebagai sector yang bersentuhan langsung dengan nasib dan hak dasar golongan masyarakat tertentu yaitu buruh dan dunia usaha. Maka, pemerintah berkewajiban agar peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat berjalan dengan adil bagi para pihak sebagaimana mestinya.

(24)

Untuk menjamin peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dengan adil diperlukan campur tangan pemerintah melalui instansi/departemen khusus yang menangani masalah ketenagakerjaan yaitu Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja. Dinas sebagai lembaga penyelenggara urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk tingkat Kabupaten/Kota maka pemerintah daerah yang dimaksud adalah semua elemen pemerintah daerah yang terlibat dalam perumusan upah minimum yaitu anggota dinas tenaga kerja dan transmigarasi yang bertugas dalam bidang pengupahan, perwakilan dari BPS, dan perwakilan dari Bappeda kota, dan perwakilan Sekdakot . Dalam bidang ketenagakerjaan, pemerintah melalui dinas tenaga kerja mempunyai fungsi pembinaan, pengawasan dan penyidikan. (Husni, 2003: 47)

a. Pembinaan, pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap unsur-unsur dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait, baik melalui kerjasama nasional maupun internasional.

b. Pengawasan, pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pengawasan biasanya dilakukan di tempat kerja dengan melihat dan memerikasa secara langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu lembur, upah minimum, serta aspek-aspek keselamatan dan kesehatan kerja. Bagi pekerja/buruh pengawasan menjamin terlaksananya hak-hak pekerja/buruhyang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan bagi penguaha pengawasan merupakan sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak yang berwenang dan kompeten tentang kewajibannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(25)

c. Penyidikan, peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan memuat ketentuan-ketentuan pidana bagi pihak yang melanggarnya. Guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran pidana di bidang keetenagakerjaan maka ditunjuk pegawai atau badan yang berwenang dan kompeten melakukan penyidikan.

Dalam hal penetapan upah minimum maka ketiga aktor tersebut memiliki posisi, peran dan fungsi yang sama. Hal ini dikarenakan lembaga tripartit tersebut tergabung dalam suatu lembaga nonstruktural yang disebut dengan dewan pengupahan. Namun kenyataan yang sering di dapat bahwa pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah memberikan pengaruh dan tekanan yang berbeda dalam mempengaruhi isi kebijakan pengupahan. Kelompok pengusaha memberikan tekanan dan pengaruh yang dominan dibandingkan serikat pekerja/serikat buruh terhadap pembuat kebijakan atau pemerintah. Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal ini, karena kedua lembaga tersebut berdiri di atas dua kepentingan yang bertentangan. Oleh karena itu pertentangan dan perdebatan untuk saling mempertahankan persepsi dan pandangan tentang upah selalu mewarnai forum diskusi penentuan tingkat upah minimum.

2.4.2 Formulasi kebijakan pengupahan

Formulasi kebijakan pengupahan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian alternatif-alternatif tindakan dalam menentukan tingkat upah yang dilakukan lembaga tripartit yang terdiri dari unsur pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah daerah.

(26)

Dalam pengembangan alternatif kebijakan pengupahan pemerintah daerah, serikat pekerja/serikat buruh, dan dunia usaha memiliki pandangan dan persepsi masing-masing. Masing-masing lembaga mengusulkan atau merekomendasikan tingkat upah yang berbeda-beda karena mereka melihat dari sudut pandang dan kepentingan yang berbeda-beda juga. Serikat pekerja/serikat buruh selalu menghendaki tingkat upah yang lebih tinggi dari perwakilan pengusaha, sedangkan untuk perwakilan pemerintah berperan sebagai stabilisator.

Permasalahan yang sering muncul dalam penentuan upah minimum adalah perbedaan persepsi tentang nilai kebutuhan hidup layak (KHL) hasil survei yang akan dijadikan dasar pertimbangan dalam merumuskan usulan penetapan upah minimum. Hampir dapat dipastikan bahwa nilai KHL hasil survei dalam persepsi pihak serikat pekerja/serikat buruh cenderung lebih tinggi dibanding nilai KHL dalam persepsi pengusaha, hal ini sangat terkait dengan kepentingan masing-masing pihak.

a. Perumusan upah minimum menurut pengusaha (APINDO)

Perumusan upah minimum oleh pengusaha adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pengusaha dalam mengembangkan berbagai alternatif tindakan dalam menentukan tingkat usulan upah yang nantinya menjadi dasar pertimbangan untuk mencapai kesepakatan tingkat upah minimum.

Pengusaha sebagai pemberi kerja memiliki pengaruh yang dominan, sehingga dalam hal penentuan tingkat upah yang akan diusulkan menjadi upah minimum pengusaha akan burusaha menekan bagaimana agar tingkat upah yang berlaku rendah dan tidak sampai mengurangi keuntungan perusahaan. Bagaimana pun juga dalam perumusan tingkat upah akan tetap dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok masing-masing.

(27)

Sebelum menentukan usulan tingkat upah minimum unsur pengusaha melakukan survei KHL bersama dengan tim survei yang tergabung dalam dewan pengupahan. Hasil survei inilah yang nantinya menjadi dasar bagi setiap aktor termasuk APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dalam menyampaikan usulan upah yang mewakili kepentingan pengusaha. Walaupun hasil survei KHL telah disepakati nantinya, namun tidak serta merta dunia usaha akan mengusulkan tingkat upah sesuai dengan hasil survei KHL tersebut, hal ini karena dunia usaha harus mempertimbangkan kemampuan perusahaan. Walau bagaimanapun juga dunia usaha menghendaki tingkat upah yang rendah demi mempertahankan tingkat keberlangsungan perusahaan.

Usulan upah yang disepakati oleh APINDO akan mewakili keinginan mereka, dan inilah nantinya yang diajukan ke forum dewan pengupahan untuk dibahas bersama dan diperdebatkan dengan usulan upah yang diajukan oleh aktor lainnya.

b. Perumusan tingkat upah minimum oleh serikat pekerja/serikat buiruh

Perumusan tingkat upah minimum oleh serikat pekerja/serikat buruh adalah kegiatan yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh dalam menyusun dan mengembangkan berbagai alternatif akan tingkat upah yang nantinya menjadi usulan serikat pekerja/serikat buruh dalam mencapai kesepakatan akan tingkat upah minimum.

Buruh sebagai pihak penerima kerja sangatlah mengharapkan tingkat upah yang tinggi agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan keluarga mereka. Oleh karena itu Serikat pekerja/serikat buruh menghendaki agar tingkat upah sesuai dengan tingkat kebutuhan riil saat ini. Sebelum mengusulkan besaran upah, serikat pekerja/serikat buruh juga melakukan survei KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang tergabung dalam tim survei. Hasil survei tadi akan menjadi

(28)

acuan buruh dalam mengusulkan tingkat upah. Dalam perumusan tingkat upah minimum pastinya buruh akan mengusulkan besaran upah diatas nilai KHL.

Usulan upah yang disepakati oleh serikat pekerja/serikat buruh tersebut akan dibawa ke dalam rapat/forum dewan pengupahan untuk diperdebatkan dan disepakati besaran upah minimum kota yang akan diusulkan kepada kepala daerah.

c. Perumusan upah minimum oleh pemerintah daerah

Perumusan upah minimum yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyusun dan merumuskan tingkat upah yang nantinya menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan tingkat upah minimum.

Pemerintah daerah yang diwakili oleh Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja disini berperan sebagai stabilisator dan penengah dalam menengahi kedua kepentingan lembaga di atas. Canpur tangan pemerintah ini adalah dalam rangka terciptanya hubungan ketenagakerjaan yang adil khususnya dalam hal pengupahan.

Dalam merumuskan usulan upah minimum pemerintah tidak hanya mengacu pada hasil survei KHL saja, tetapi factor-faktor lain yang mempengaruhi formulasi upah minimum kota juga yaitu inflasi pertumbuhan ekonomi daerah, UMP, dan tingkat upah daerah sekitar. Pemerintah daerah mengusulkan tingkat upah yang memang menjadi penengah dari tingkat upah yang diusulkan oleh dunia usaha dan serikat pekerja/serikat burruh. Dengan hadirnya campur tangan pemerintah diharapkan maka kemungkinan terjadinya perselisihan dan ketimpangan yang terjadi antara buruh dan pengusaha dapat ditangani dan dihindari.

(29)

Untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah yang menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan upah minimum maka lembaga tripartit yang terdiri dari unsur pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah daerah harus melakukan rapat dan forum musyawarah yang membahas, mengkaji, dan menganalisis tingkat upah yang diusulkan oleh masing-masing lembaga. Upah minimum yang nantinya menjadi rekomendasi yang disepakati bersama oleh ketiga lembaga tripartit tersebut haruslah berdasarkan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar perumusan upah minimum.

Dalam forum diskusi dan musyawarah yang dilakukan oleh lembaga tripartit tersebut tidak dapat dihindari terjadinya pertentangan dan perdebatan tentang tingkat upah yang menjadi usulan nantinya. Masing-masing lembaga akan mempertahankan pandanganya tentang tingkat upah yang mereka usulkan. hal ini karena masing-masing lembaga memiliki usulan upah yang berbeda sesuai dengan kepentingan yang mereka wakili. Inilah yang menjadi salah satu permasalahan dalam perumusan tingkat upah, oleh karena itu tidaklah mudah untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah minimum.

Sebelum formulasi kebijakan pengupahan Terlebih dahulu lembaga tripartit tersebut melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di pasar-pasar tradisional. Dengan survei KHL ini maka dewan pengupahan dapat menyesuaikan tingkat harga kebutuhan buruh saat ini dengan usulan upah yang nantinya di rumuskan. KHL bukan satu-satunya faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum, masih ada 4 faktor lain, yaitu: produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kemampuan usaha marginal dan kondisi pasar kerja. Namun keempat faktor tersebut masih bersifat kualitatif. KHL merupakan faktor yang bersifat kuantitatif, oleh karena itu dalam menetapkan nilai KHL yang akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan upah minimum haruslah tepat dan akurat.

(30)

Hasil survei KHL tersebut nantinya akan menjadi dasar perumusan tingkat upah oleh pemerintah daerah, serikat pekerja/serikat buruh dan juga dunia usaha. Ketiga lembaga tripartit tersebut mewakili kepentingan masing-masing. Sehingga mereka mengusulkan tingkat upah yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kepentingan yang melatar belakangi mereka. Hanya pemerintah lah yang menjadi penengah antara kedua kelompok kepentingan tersebut. Tidak lah mudah untuk mencapai kesepakatan dalam menentukan tingkat upah minimum tersebut, karena masing-masing pihak memiliki pandangan dan latar belakang kepentingan yang berbeda tentang upah. Keinginan untuk mempertahankan pandangan atau pun kepentingannya pasti ada. Setiap perbedaan dan perdebatan tentang tingkat upah yang diusulkan oleh masing-masing lembaga akan dirapatkan dan dimusyawarahkan.

Hal yang menjadi perdebatan dalam forum atau rapat dewan pengupahan adalah usulan akan tingkat upah minimum yang akan disepakati nantinya. Serikat pekerja/serikat buruh akan mengusulkan tingkat upah yang tinggi dan diatas dari nilai KHL, namun sebaliknya tingkat upah yang diusulkan dunia usaha cenderung rendah dan dibawah nilai KHL. Dan pemerintah daerah sendiri sebagai penengah juga akan mengusulkan tingkat upah yang dinilai mampu menengahi kedua kepentingan dari serikat pekerja dan pengusaha. Perdebatan dan perbedaan usulan antara serikat pekerja dan pengusaha ini harus dibahas bersama dan di musyawarahkan demi mencapai kesepakatan. Jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan maka dewan pengupahan melakukan voting tentang tingkat upah yang menjadi hasil kesepakatan bersama. Hasil kesepakatan rapat diputuskan dengan syarat 2/3 kuorum. Bagaimana pun juga kesepakatan akan tingkat upah yang nantinya menjadi dasar penetapan upah minimum haruslah diputuskan.

Melalui rapat dewan pengupahan maka semua perbedaan hasil survei dibahas, dikaji, dihitung, dan dianalisa untuk mendapatkan besaran upah yang menjadi usulan bagi pertimbangan

(31)

penetapan upah minimum yang nantinya diputuskan oleh kepala daerah. Meskipun ada perbedaan dari masing-masing lembaga dapat dimusyawarahkan atau mungkin tidak, maka jumlah nominal tetap diusulkan kepada kepala daerah. Oleh karena itu interaksi lembaga tripartit tersebut akan menentukan tercapai tidaknya kesepakatan akan tingkat upah yang menjadi usulan dewan pengupahan nantinya sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan tingkat upah minimum oleh kepala daerah.

2.5 Upah Minimum Kota (UMK)

2.5.1 Pengertian Upah Minimum

Jaminan hukum atas upah yang layak tercantum dalam UUD 1945 pasal 28D dan pasal 27 ayat 2 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan upah dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Juga UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, di mana dalam pasal 88 menyebutkan bahwa setiap buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk mewujudkannya pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi buruh. Diantaranya yaitu upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), upah lembur, struktur dan skala upah yang proporsional, dan upah untuk pembayaran pesangon.

Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan prinsipil. Upah minimum harus dilihat sebagai bagian sistem pengupahan secara menyeluruh. Menurut ILO (International Labour Organization) dalam Report of the Meeting of Experts of 1967, Upah minimum didefinisikan sebagai upah yang memperhitungkan kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan perkembangan ekonomi dan budaya tiap negara. Pengertian upah minimum menurut Permenaker Nomor Per-01/MEN/1992 tentang upah minimum pada pasal 1 ayat 1 yang

(32)

menyatakan: upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.

Menurut Soedarjadi ( 2008: 75), upah minimum adalah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan perusahaan untuk membayar upah sekurang-kurangnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak pekerja (KHL) kepada pekerja yang paling rendah tingkatannya.

Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan untuk mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban pemerintah memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha. Dengan kata lain, bahwa upah minimum dapat dikatakan sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk melindungi kelompok pekerja lapisan paling bawah di setiap perusahaan agar memperoleh upah serendah-rendahnya sesuai dengan nilai atau harga kebutuhan hidup minimum.

Upah minimum di Indonesia diperkenalkan tahun 1996, peran upah minimum semakin penting. Hingga tahun 2000, tingkat upah minimum ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja untuk tiap propinsi di Indonesia. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, mulai tahun 2000 tanggung jawab menetapkan upah minimum terletak di pundak pemerintah propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

(33)

Penetapan kebijakan upah minimum adalah sebagai jaring pengaman (sosial safety net) dimaksudkan agar upah tidak terus merosot sebagai akibat dari ketidakseimbangan pasar kerja (disequilibrium labour market). Juga untuk menjaga agar tingkat upah pekerja pada level bawah tidak jatuh ke tingkat yang sangat rendah karena rendahnya posisi tawar tenaga kerja di pasar kerja. Agar pekerja pada level bawah tersebut masih dapat hidup wajar dan terpenuhi kebutuhan gizinya, maka dalam penetapan upah minimum mempertimbangkan standar kehidupan pekerja.

Kebijakan penetapan upah minimum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 diarahkan untuk mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) selain memberi jaminan pekerja/buruh penerima upah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Program pencapaian upah minimum terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menunjukan perbaikan nyata. Hal ini dimaksudkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup akan dicapai secara bertahap.

Di lain pihak upah minimum juga diharapkan harus dapat mendorong kemajuan usaha dan daya saing sehingga menaikkan tingkat produktivitas. Di sisi lain dalam penetapan upah minimum juga perlu mempertimbangkan kemampuan membayar upah dari usaha-usaha mikro dan kecil yang paling tidak mampu (marginal) untuk tetap hidup yang nantinya usaha-usaha tersebut diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dalam upaya mengurangi pengangguran dan penciptaan lapangan kerja baru.

Penetapan upah minumum dipandang perlu sebagai salah satu bentuk perlindungan upah, dengan tujuan :

(34)

1. Menghindari atau mengurangi persaingan yang tidak sehat sesama pekerja dalam kondisi pasar kerja yang surplus, yang menyebabkan pekerja menerima upah di bawah tingkat kelayakan.

2. Menghindari atau mengurangi kemungkinan eksploitasi pekerja yang memanfaatkan kondisi pasar untuk akumulasi keuntungannya.

3. Sebagai jaring pengaman untuk menjaga tingkat upah

4. Menghindari terjadinya kemiskinan absolut pekerja melalui pemenuhan kebutuhan dasar pekerja.

2.5.4. Jenis-jenis upah minimum

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/2000 jangkauan wilayah upah minimum meliputi:

a. Upah minimum provinsi (UMP) adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.

b. Upah minimum kabupaten/kota (UMK) adalah upah minimum yang berlaku di daerah kabupaten/kota.

c. Upah minimum sektoral provinsi (UMPProp) adalah upah minimumyang berlaku secara sektoral di seluruh kabupaten/kota da satu provinsi

d. Upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSKab) adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di daerah kabupaten/kota.

(35)

a. Upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Besar upah yang untuk tiap wilayah propisi dan kabupaten/kota tidaklah sama tergantung dari nilai kebutuhan minimum di daerah yang bersangkutan. Setiap kabupaten/kota tidak boleh menetapkan upah minimum di bawah upah minimum propinsi yang bersangkutan.

b. Upah minimum berdasarkan sektor/subsektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Upah minimum sektoral ditetapkan berdasarkan kelompok usaha tertentu misalnya kelompok usaha manufaktur dan non faktur. Upah minimum sekotoral ini tidak boleh lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.

2.6 Upah Minimum Kota (UMK) Medan

Upah Minimum Kota (UMK) adalah upah minimum yang berlaku di daerah kabupaten/kota. Kebijakan upah minimum kota dirumuskan atas aspirasi dan tuntutan buruh akan upah yang layak yang sesuai dengan tingkat kebutuhan riil saat ini. Oleh karena itu untuk melaksanakan tugas dan fungsi penetapan UMK tersebut maka dibentuklah dewan pengupahan untuk tingkat Kabupaten/Kota yang kemudian disebut dengan dewan pengupahan Kabupaten/Kota (Depeko). Dewan pengupahan kota diangkat dan diberhentikan oleh Walikota. Dan bertanggung jawab untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Walikota dalam rangka pengusulan UMK atau UMSK serta penerapan sisitem pengupahan di tingkat Kota. (Surya Tjandra, dkk 2007: 29).

Sesuai dengan keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 561/283/K/Tahun 2010 tentang penetapan Upah Minimum Kota Medan tahun 2010 ditetapkan sebesar Rp. 1.100.000,- per bulan dan mulai berlaku sejak Januari. Nilai UMK ini mencapai 8 persen dari KHL (kebutuhan hidup layak) senilai Rp 1.094.213 juta per bulan. Penetapan UMK Medan 2009 ini

(36)

mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumut 2010 sebesar Rp 965.000 per bulan yang disesuaikan dengan kondisi realistis dan kemampuan perusahaan di Kota Medan.

Berdasarkan penetapan kebijakan pengupahan tersebut maka perusahaan-perusahaan di kota medan dilarang membayar upah buruhnya di bawah UMK, sedangkan bagi perusahaan yang telah membayar upah buruh lebih dari UMK dilarang untuk mengurangi atau menurunkan upah buruh.

2.7 Kebutuhan Hidup Layak (KHL)

Dalam tataran normatif, KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik maupun nonfisik dalam kurun waktu satu bulan. Setiap pekerja berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Upah minimum dipandang sebagai sumber penghasilan bersih (take home pay) sebagai jaring pengaman (safety net) KHL.

Sebab itu, upah minimum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan seorang buruh terhadap pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Bahkan, bila dimungkinkan dapat disisihkan untuk menabung.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) diamanatkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pasal 89 juga dijelaskan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam penetapan upah minimum dicapai secara bertahap. Sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 seperti tersebut diatas, maka diterbitkanlah Permenakertrans

(37)

Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Nilai kebutuhan hidup layak (KHL) diperoleh melalui survei harga yang dilakukan oleh tim tripartit ( untuk pemerintah diwakili oleh badan pusat statistic (BPS), perwakilan pengusaha dan perwakilan serikat buruh).

Pokok-pokok pikiran yang mendasari perumusan komponen KHL adalah sebagai berikut :

1. Perlunya keseimbangan gizi antara karbohidrat dan protein

2. Semakin banyaknya angkatan kerja wanita yang memasuki pasar kerja, sehingga perlu

mengakomodir kebutuhan khusus pekerja wanita.

3. Kondisi masyarakat Indonesia yang religius, sehingga perlu mengakomodir kebutuhan

perlengkapan ibadah yang juga memerlukan biaya.

4. Perlunya menambahkan beberapa jenis kebutuhan yang secara riil digunakan oleh

masyarakat pada semua lapisan.

F. DEFENISI KONSEP

Menurut Singarimbun ( 2006: 33), konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok, atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka defenisi konsep yang dikemukakan penulis adalah:

(38)

1. Formulasi Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010 adalah proses perumusan alternatif-alternatif atau pilihan tindakan oleh serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha dan pemerintah daerah dalam menentukan tingkat upah yang menjadi usulan bagi pertimbangan penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2010.

2. Formulasi Upah Minimum Kota oleh pengusaha adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha dalam mengembangkan alternatif-alternatif tindakan untuk merumuskan tingkat upah yang nantinya menjadi usulan dalam penetapan upah minimum kota.

3. Formulasi Upah Minimum Kota oleh serikat pekerja/serikat buruh adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian alternatif-alternatif tindakan dalam menentukan tingkat upah minimum kota yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh. 4. Formulasi Upah Minimum Kota oleh Pemerintah Daerah adalah serangkaian tindakan yang

dilakukan oleh pemerintah daerah dalam merumuskan tingkat upah yang menjadi usulan pertimbangan dalam penetapan tingkat upah minimum kota.

G. DEFENISI OPERASIONAL

Defenisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja untuk mendukung analisa dari variabel-variabel tersebut. ( Singarimbun, 2006: 46)

Adapun yang menjadi indikator dari formulasi kebijakan Upah Minimum Kota Medan tahun 2010 adalah:

(39)

a. Keinginan dari anggota unsur pengusaha mengenai tingkat upah yang mewakili kepentingan mereka.

b. Mekanisme/ proses formulasi upah minimum

c. Regulasi/aturan yang mengatur tentang upah minimum

d. Kesepakatan dari anggota APINDO mengenai tingkat upah yang akan diusulkan e. Nilai KHL yang menjadi dasar penetapan UMK

- Item/komponen kebutuhan dasar yang di survei

- Harga barang yang ditetapkan dalam item/komponen yang akan disurvei - Mekanisme proses survei

- Tim survei

f. Interaksi antar aktor dalam formulasi upah minimum kota

2. Indikator fomulasi kebijakan upah menurut serikat pekerja/serikat buruh a. Tuntutan para buruh untuk memperoleh tingkat upah yang layak b. Mekanisme/ proses formulasi upah minimum

c. Regulasi/aturan yang mengatur tentang upah minimum

d. Kesepakatan dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh mengenai tingkat upah yang akan diusulkan dalam rapat dewan pengupahan

e. Tingkat KHL yang menjadi dasar perumusan UMK - Item/komponen kebutuhan dasar yang di survei

- Harga barang yang ditetapkan dalam item/komponen yang akan disurvei - Mekanisme proses survei

- Tim survei

(40)

3. Indikator formulasi kebijakan upah menurut pemerintah daerah a. Mengidentifikasi tuntutan buruh dan pengusaha

b. Mekanisme/ proses formulasi upah minimum

c. Regulasi/aturan yang mengatur tentang upah minimum d. Nilai KHL yang menjadi dasar perumusan UMK

- Item/komponen kebutuhan dasar yang di survei

- Harga barang yang ditetapkan dalam item/komponen yang akan disurvei - Mekanisme proses survei

- Tim survei

e. Interaksi antar aktor dalam formulasi upah minimum kota.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang disusun dalam rangka memaparkan keseluruhan hasil penelitian ini secara singkatdapat diketahui sebagai berikut:

(41)

Bab ini memuat latar belakng masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesa, defenisi konsep, defenisi operasional dan sisitematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor, dan teknik analisa data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini memuat gambaran umum tentang gambaran atau karakteristiklokasi penelitian berupa sejarah singkat, visi dan misi, kedudukan, tugas dan fungsi.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Bab ini memuat penyajian data yang diperoleh selama penelitian dilapangan atau berupa dokumen-dokumen yang akan diteliti.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini memuat pembahasan dari data-data yang telah diperoleh kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan korelasi hubungan antar variabel.

BAB VI : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

(2) Pelaksanaan manajemen hubungan sekolah dan masyarakat (humas) meliputi kegiatan pemberdayaan komite sekolah, mewajibkan orang tua mengambil rapor anak sendiri,

Suaka Margasatwa Lamandau (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten.. Bengkayang), Taman Nasional Gunung Palung (Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten.. Ketapang), Taman

Selanjutnya untuk memberikan gambaran arah dan sasaran yang jelas serta sebagaimana pedoman dan tolok ukur kinerja Pengadilan Negeri Yogyakarta diselaraskan dengan arah

Hasil analisis terhadap data penilaian media pembelajaran oleh ahli materi dan ahli media, pendidik, dan teman sejawat serta respon peserta didik menunjukkan bahwa

Materi divalidasi oleh dua validator materi. Hasil validasi materi yang telah divalidasi sebelumnya oleh para ahli validator materi selanjutnya dianalisis. Dari hasil

Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan oleh sistem sentralisasi ini adalah perekonomian lebih terarah dan teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang

Hasil penelitian ini didapat faktor utama kekuatan PT Perkebunan Tambi yaitu terdapat pemotivasian kepada karyawan secara teratur, dengan nilai skor 0,269, faktor

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui kemampuan menulis cerpen berdasarkan pengalaman siswa kelas IX A SMP Negeri 17 Kota Jambi dalam menulis