Evaluasi Clinical Pathway Evaluasi Clinical Pathway A.
A. Definisi Clinical PathwayDefinisi Clinical Pathway
Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu
terpadu yang meyang me rangkum rangkum setiap langksetiap langk ah ah yang yang diberikan diberikan kepada kepada pasienpasien b
beerrddaassaarrkkaan n standar standar pelayanan pelayanan medis medis dan dan asuhan asuhan keperawatan keperawatan yang yang berbasis berbasis buktibukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.
dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.
Clinical Pathway adalah gambaran algoritma perawatan pasien dan tujuan Clinical Pathway adalah gambaran algoritma perawatan pasien dan tujuan mengurangi variasi dan biaya perawatan, meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kualitas mengurangi variasi dan biaya perawatan, meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kualitas perawatan pasien.
perawatan pasien.
Sesuai dengan defenisi diatas, bahwa Clinical Pathway adalah suatu konsep Sesuai dengan defenisi diatas, bahwa Clinical Pathway adalah suatu konsep pelayanan
pelayanan terpadu terpadu dan dan menyeluruh menyeluruh dengan dengan tujuan tujuan mengurangi mengurangi variasi variasi dan dan biaya biaya perawatan,perawatan, meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kualitas perawatan pasien.
meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kualitas perawatan pasien.
B.
B. Alasan memilih & area prioritas Clinical PathwayAlasan memilih & area prioritas Clinical Pathway
Beberapa Alasan memilih dan area prioritas Clinical pathway adalah sebagai Beberapa Alasan memilih dan area prioritas Clinical pathway adalah sebagai berikut :
berikut : 1.
1. High Cost (Biaya mahal)High Cost (Biaya mahal) 2.
2. High Risk (Risiko tinggi)High Risk (Risiko tinggi) 3.
3. High Volume (Banyaknya kejadian)High Volume (Banyaknya kejadian)
C.
C. TujuanTujuan
Beberapa tujuan dari Clinical Pathway Beberapa tujuan dari Clinical Pathway 1.
1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medikMengurangi variasi dalam pelayanan medik 2.
2. Meramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaanMeramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaan 3.
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayananSebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayanan pasien
pasien 4.
4. Meningkatkan kepuasan pasien Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan dengan memberikan edukasi tentang redukasi tentang rencana perawatanencana perawatan pasien
pasien
Clinical Pathway (CP) digunakan sebagai mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi Clinical Pathway (CP) digunakan sebagai mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan aktif
kesalahan aktif (active errors)(active errors) dari latendari laten (laten system errors)(laten system errors) maupun nyaris terjadimaupun nyaris terjadi (near miss)(near miss) dalam manajemen risiko klinis dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan dan dalam manajemen risiko klinis dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien
perbaikan dan revisi Panduan Praktik Klinis dan Asuhan Keperawatan yang bersifat dinamis dan berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM) di Rumah Sakit dr. Bratanata.
a. Clinical Pathway (CP) yang berlaku di Rumah Sakit Metta Medika Sibolga adalah : 1. Akut Miocard Infark (AMI)
2. Stroke Haemorragic 3. Stroke Non Haemorragic 4. DHF Grade I atau II 5. Apendiktomy Cito 6. Sectio Caesarea Cito
Kasus-kasus di Clinical Pathway yang dievaluasi antara lain :
1. Kardiologi
Kasus Acute Myocardial Infarction (AMI) Alasan dan
Implikasi (Latar Belakang
Masalah)
Acute Myocardial Infarction (AMI) adalah suatu kematian jaringan Miokard akibat oklusi akut pembuluh darah koroner. AMI terbagi atas ST Elevasi Myocard Acute (STEMI) dan Non ST Elevasi Myocard Acute (NSTEMI).
Laporan badan kesehatan dunia (WHO), September 2009, AMI merupakan penyebab kematian pertama sampai saat ini. Pada tahun 2004 diperkirakan 17,1 juta orang meninggal karena AMI, angka ini merupakan 29 % dari penyebab kematian global. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 kematian akibat AMI sebesar 9,3 % dan akibat Stroke sebesar 25,9 % dan apabila keduanya digabung sebagai penyakit Kardiovaskular, maka tetap sebagi penyebab kematian utama di Indonesia sebesar 35,2 %.
Tujuan 1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik
2. Meramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaan
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayanan pasien
4. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi tentang rencana perawatan pasien
Evidence (data dasar)
1. WHO : 2004, terdapat kematian akibat AMI 17,1 juta orang di Dunia
2. RISKESDAS : 2007, terdapat kematian akibat AMI sekitar 9,3 % di Indonesia
Ukuran Kinerja Klinis
Penatalaksanaan AMI sesuai dengan guideline
Kasus yang dievaluasi
Lama rawat
Penggunaan Streptase
1. Lama Perawatan pada kasus Acute Myocard Infark
Lama Perawatan Pada
kasus AMI Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
Kurang dari 5 hari 49% 60% 65%
Lebih dari 5 hari 51% 40% 35%
Analisa & Tindak lajut
1. Terjadi penurunan presentase lama rawat setelah Clinical Pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat tentang kasus kardio dan komite medik
3. Pendekatan persuasif kepada dokter yang merawat tidak sesuai berdasarkan ppk 2. Penggunaan Streptase 0% 20% 40% 60% 80%
Kurang dari 5 hari
Lebih dari 5 hari
49% 51% 60% 40% 65% 35%
Lama Perawatan Pada kasus AMI Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
Menggunkan Streptase 0% 0% 25%
Tidak Menggunakan Streptase 100% 100% 75%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan dan pengawasan dalam penggunaan streptase setelahn clinical pathway diguanakan
2. Sosialisasi hasil di rapat cardiologi dan komite medik
3. Pendekatan persuasif kepada dokter yang merawat tidak sesuai berdasarkan ppk
2. Neurologi
Kasus Stroke Haemorragic dan Stroke Non Hemoragik (Tanpa Komplikasi)
Alasan dan Implikasi (latar belakang
masalah)
Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan utama. Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke menjadi penyebab
kecacatan nomor satu di seluruh dunia. Laporan WHO (2011) memperlihatkan bahwa penyakit tidak menular saat ini merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia. Penyakit pembuluh darah (stroke dan penyakit kardiovaskuler), kanker, dan penyakit paru kronik merupakan penyebab kematian utama, dan
0% 20% 40% 60% 80% 100% Menggunkan Streptase
Tidak Menggunakan Streptase
0% 100% 0% 100% 25% 75%
bertanggung jawab pada 53% dari seluruh kematian. Stroke menjadi penyebab kematian peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan kanker, bahkan di Indonesia menjadi penyebab kematian peringkat pertama dirumah sakit sejak tahun 1995 hingga 1999.
Peningkatan kejadian kematian akibat penyakit pembuluh darah
dijumpai di negara maju dan negara berkembang (WHO, 2011). Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007 menyebutkan bahwa angka kematian akibat infark serebral adalah 11,2% pada pasien yang dirawat di RS.
Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien yang dirawat di RS (5,24% dari seluruh kematian) (Depkes, 2008).
Meningkatnya usia harapan hidup didorong oleh keberhasilan pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi menyebabkan usia lanjut bertambah dan terjadi perubahan pola hidup yang berpotensi meningkatkan resiko stroke.
Penatalaksanaan stroke menjadi masalah yang sangat penting karena memerlukan pengorbanan baik dari aspek moril maupun materiil, dan akhirnya mengakibatkan biaya yang sangat besar, maka diperlukan penatalaksanaan komprehensif stroke yang lebih efektif dan efisien sehingga mendapatkan perbaikan kualitas hidup, mencegah kematian dan kecacatan.
Tujuan 1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik
2. Meramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaan
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayanan pasien
4. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi tentang rencana perawatan pasien
Ukuran Kinerja Klinis
Penatalaksanaan stroke sesuai dengan guideline
Kasus yang dievaluasi
Lama Perawatan pada Stroke Haemoragik dan Stroke Non Haemoragik
1. Lama Perawatan pada kasus Stroke Haemoragik
Lama Perawatan pada kasus
Stroke Haemoragik Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
Kurang dari 7 hari 55% 73% 80%
Lebih dari 7 hari 45% 27% 20%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan presentase lama rawat setelah clinical pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat neurologi dan komite medik
3. Pendekatan kepada dokter terkait yang tidak sesuai lama rawat berdasarkan ppk
2. Lama perawatan pada kasus Stroke Non Haemoragik
0% 20% 40% 60% 80%
Kurang dari 7 hari
Lebih dari 7 hari
55% 45% 73% 27% 80% 20%
Lama Perawatan pada kasus Stroke Non
Haemorogik
Sebelum CP Triwuan I Triwulan II
Kurang dari 5 hari 19% 34% 69%
Lebih dari 5 hari 81% 66% 31%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan presentase lama rawat setelah Clinical Pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat neurologi dan komite medik
3. Pendekatan kepada dokter terkait yang tidak sesuai lama rawat berdasarkan ppk
5. Penyakit Dalam
Kasus DHF ( Dengue Haemorragic Fever ) Alasan dan Implikasi
(latar belakang masalah)
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut dengan manifestasi perdarahan dalam berbagai stadia yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sesuai kriteria WHO untuk Demam Berdarah Dengue (DBD).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kurang dari 5 hari
Lebih dari 5 hari
19% 81% 34% 66% 69% 31%
endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relative menurun sebagaimana tampak pada grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1958 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia ( Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis
–
Dit PPBB -Ditjen PP dan PL
–
Kementerian Kesehatan RI ).WHO melaporkan lebih dari 2,5 milyar orang dari 2/5 populasi dunia saat ini beresiko terinveksi virus dengue.
Tujuan 1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik
2. Meramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaan
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayanan pasien
4. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi tentang rencana perawatan pasien
Ukuran Kinerja Klinis
Penatalaksanaan DHF sesuai dengan guideline (terlampir ) Non formakologis : tirah baring, makanan lunak.
Farmakologis :
a. Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam.
b. Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protokol tatalaksana DBD.
1) Cairan intravena: Ringer laktat atau ringer asetat 4-5 jam/kolf; koloid / plasma ekspander pada DBD stadium
III dan IV bila diperlukan.
2) Transfusi trombosit dan komponen darah (optional). 3) Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III dan IV
dengan koagulasi intravaskular diseminata (KID). 4) Kortikosteroid (optional).
5) Antibiotik bila diperlukan. Kasus yang dievaluasi Pengguanaan Antibiotik Lama rawat penggunaan
1. Persentase penggunaan Antibiotik pada kasus DHF
Penggunaan
Antibiotik pada DHF Sebelum CP Triwulan I Triwulan II DHF Dengan
Antibiotik 38% 25% 15%
DHF Tanpa Antibiotik 62% 75% 85%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan presentase penggunaan antibiotik setelah Clinical Pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat internist dan komite medik
3. Penyegaran ilmu tentang DHF dengan melibatkan dokter internist sebagai narasumber saat rapat
2. Persentase Lama Perawatan pada kasus DHF
0% 20% 40% 60% 80% 100% Dengan Antibiotik Tanpa Antibiotik 38% 62% 25% 75% 15% 85%
Lama Perawatan DHF Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
Kurang dari 3 hari 65% 71% 86%
Lebih dari 3 hari 35% 29% 24%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan presentase lama rawat setelah Clinical Pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat internist dan komite medik
3. Penyegaran ilmu tentang DHF dengan melibatkan dokter internist sebagai narasumber saat rapat berikutnya
3. Penggunaan Koloid 0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kurang dari 3 hari
Lebih dari 3 hari
65% 35% 71% 29% 86% 24%
Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
0% 20% 40% 60% 80% 100% Penggunaan Koloid
Tidak Menggunakan Koloid
6% 94% 4% 96% 2% 98%
Pengguanaan Koloid pada
DHF Sebelum CP Triwulan I triwulan II
Penggunaan Koloid 6% 4% 2%
Tidak Menggunakan
Koloid 94% 96% 98%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan presentase penggunaan cairan koloid setelah Clinical Pathway digunakan
2. Sosialisasi hasil di rapat internist dan komite medik
3. Penyegaran ilmu tentang DHF dengan melibatkan dokter internist sebagai narasumber saat rapat berikutnya
5. Bedah
Kasus Appendictomy
Alasan dan Implikasi (latar belakang
masalah)
Appendiksitis adalah peradangan dari appendiks v ermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara
10 sampai 30 tahun.
Penatalaksanaan appendiksitis dilakukan dengan appendictomy yaitu suatu tindakan pembedahan dengan mengangkat appendiks. Hal ini harus segera dilakukan tindakan bedah karena setiap keterlambatan akan berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, yaitu dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau ruptur pada dinding appendiks. Bedah appendiks juga memiliki dampak yang dapat membahayakan bagi pasien pasca operasi khususnya pada appendisitis yang sudah perforasi dan menyebabkan sepsis rongga abdomen. Pada appendisitis yang sudah perforasi dapat menimbulkan komplikasi infeksi luka operasi, bocornya (leakage) jahitan appendiks dan kematian karena sepsinya yang berat. Namun demikian, bahaya tersebut dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang cepat dan menggunakan antibiotik profilaksis spektrum luas.
Tujuan 1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik
2. Meramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaan
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayanan pasien
4. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi tentang rencana perawatan pasien
Ukuran Kinerja Klinis
Apendisitis kronis: direncanakan apendektomi elektif, disesuaikan jadwal elektif
Apendisitis akut: direncanakan apendektomi segera (cito emergency)
Periapendikuler abses: insisi, drainase
Periapendikuler infiltrate: pertama dirawat konservatif, medikamentosa yang adekwat, bila massa mengecil ukuran < 3cm atau menghilang, dilakukan apendektomi dengan insisi paramedian
Apendisitis perforata disertai tanda-tanda peritonitis local: dilakukan apendektomi dengan insisi gradiron atau transversal pada appendsitis anak
Bila ditemukan tanda-tanda peritonitis umum, dilakukan laparatomi dengan insisi median.
Kasus yang dievaluasi
Lama Perawatan
Lama Perawatan pada kasus Appendictomy
Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
Kurang 4 hari 60% 67% 75%
Lebih 4 hari 40% 33% 25%
Analisa & Tindak lanjut
1. Terjadi penurunan presentase lama rawat setelah Clinical Pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat dokter spesialis bedah dan komite medik
3. Pendekatan kepada dokter terkait yang tidak sesuai lama rawat berdasarkan ppk
5. Obsgyn
Kasus Seksio Caesarea-Hamil Aterm-KTG Patologis. Alasan dan Implikasi
(latar belakang masalah)
Seksio sesarea adalah tindakan operasi untuk melahirkan janin melalui insisi dinding perut dan uterus. Seksio sesarea dapat dilakukan secara primer (berencana) ataupun darurat. Terdapat sejumlah indikasi untuk melakukan seksio sesarea, yaitu indikasi Ibu (CPD, kemacetan persalinan), bekas seksio >2 kali,
0% 20% 40% 60% 80% Kurang 4 hari Lebih 4 hari 60% 40% 67% 33% 75% 25%
perdarahan antepartum, kegagalan induksi, atau bekas operasi lain pada uterus) dan indikasi janin (gawat janin, malpresentasi, pertumbuhan janin terhambat, makrosomia).
Gawat janin dalam persalinan adalah keadaan yang menunjukkan hipoksia (kurang oksigen) pada janin. Tanpa oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi (perlambatan) lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis (pemecahan glukosa) anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun. Pada keadaan gawat janin yang menetap diperlukan tindakan segera untuk melahirkan janin.
Seksio sesaria yang dilakukan di Instalasi Kamar Operasi umumnya adalah seksio sesarea darurat, dan indikasi gawat janin merupakan 3 besar penyebab dilakukannya seksio sesaria.
Tujuan 1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik
2. Meramalkan lama rawat di Rumah Sakit dan jumlah pemeriksaaan
3. Sebagai panduan bagi seluruh staf Rumah Sakit yang terkait dalam pemberian pelayanan pasien
4. Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan edukasi tentang rencana perawatan pasien
Ukuran Kinerja Klinis
Hasil yang diharapkan adalah :
-
Pasien didorong ke OK dalam waktu 8 menit.-
Operasi selesai dalam 1 jam-
Perdarahan kurang dari 1000 cc-
Tidak ada komplikasi tindakan. Kasus yangdievaluasi
Lama Perawatan
Lama Perawatan pada kasus
SC Cito Sebelum CP Triwulan I Triwulan II
Kurang dari 4 hari 70% 80% 85%
Lebih dari 4 hari 30% 20% 15%
Analisa & Tindak lajut
1. Terjadi penurunan presentase lama rawat setelah clinical pathway digunakan 2. Sosialisasi hasil di rapat obgyn dan komite medik
3. Pendekatan persuasif kepada dokter yang merawat tidak sesuai berdasarkan ppk
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Kurang dari 4 hari
Lebih dari 4 hari
70% 30% 80% 20% 85% 15%